Kaedah Keyakinan Tidak Bisa Disingkirkan Keraguan

بسم الله الرحمن الرحيم

Keyakinan Tidak Bisa Disingkirkan Oleh Keraguan

Di antara kaidah fiqh yang disepakati, dimana permasalahan-permasalahan fiqh banyak dikembalikan kepadanya adalah “Al Yaqiin laa yuzaalu bisy syak”, artinya “Yang sudah diyakini tidak dapat disingkirkan oleh keragu-raguan.” Kaidah ini didasari hadits berikut:
عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ : أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : الرَّجُلُ الَّذِى يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّىْءَ فِى الصَّلاَةِ . فَقَالَ :« لاَ يَنْفَتِلْ - أَوْ لاَ يَنْصَرِفْ - حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتاً أَوْ يَجِدَ رِيحاً » . 
Dari ‘Abbad bin Tamim dari pamannya, bahwa pernah mengeluh kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seorang laki-laki yang merasakan keluar sesuatu dalam shalat. Maka Beliau bersabda, “Jangan ia keluar (dari shalat) sampai mendengar suara atau mendapatkan baunya.” (Muttafaq 'alaih)
Yakni benar-benar yakin keluar hadats.
Kaidah di atas juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:
« إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ
“Apabila salah seorang di antara kamu ragu-ragu dalam shalatnya, ia tidak ingat apakah sudah shalat tiga rak’at atau empat rak’at, maka singkirkanlah keragu-raguan dan dasarilah sesuai yang diyakini.” (HR. Muslim)
Yakin artinya maa kaana tsaabitan bin nazhar wad dalil, yakni sesuatu yang pasti, dengan dasar pemeriksaan atau dengan dasar dalil (bukti). Sedangkan syak (ragu-ragu) artinya adalah keadaan yang tidak pasti, berada di tengah-tengah antara betul atau tidak tanpa bisa dikalahkan salah satunya.
Maksud kaidah “Al Yaqiin laa yuzaalu bisy syak”
Maksud kaidah tersebut adalah bahwa sesuatu yang telah meyakinkan tidak dapat digoyahkan oleh sesuatu yang masih meragukan, kecuali yang meragukan itu naik menjadi yakin.
Cabang-cabang kaidah “Al Yaqiin laa yuzaalu bisy syak”
Kaidah di atas memiliki banyak cabang, di antaranya adalah:
1- اَلْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ
“Hukum asal sesuatu adalah tetapnya keadaan seperti pada awalnya.”
Berdasarkan kaidah ini, apabila seseorang kedatangan sikap ragu-ragu mengenai hukum suatu perkara, maka dilihat kepada hukum yang telah ada atau yang ditetapkan pada masa yang lalu, sampai ada hukum lain yang merubahnya, karena apa yang telah ada itu lebih meyakinkan. Contohnya adalah sbb:
-   Seseorang yang telah yakin suci, tiba-tiba datang keraguan apakah dia sudah berhadats atau belum, maka kembali ke hukum asal, yaitu masih suci.
-   Seorang istri ditinggal pergi suami dan tidak diketahui di mana suaminya berada; istri tidak boleh kawin lagi dengan orang lain, sebab hukum yang berlaku (hukum asalnya) adalah ia masih tetap bersuami. Keadaan ini akan berubah dengan adanya bukti telah meninggalnya suami, atau dengan adanya keputusan dari hakim bahwa suaminya dianggap telah meninggal setelah menjalani masa menunggu datangnya suami, setelah itu si istri menjalani ‘iddah wafat, yaitu 4 bulan 10 hari, baru kemudian ia boleh menikah.
2- اَلْأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّةُ
“Pada dasarnya, manusia adalah bebas dari tanggungan.”
Maksudnya adalah bahwa pada dasarnya manusia bebas dari tanggung jawab terhadap hak-hak orang lain. Adanya beban tanggung jawab karena adanya hak-hak yang telah dimiliki atau perbuatan yang telah dilakukan. Contohnya adalah sbb:
-   Dua orang berselisih mengenai harga/nilai barang yang dirusak, maka perkataan yang dipegang adalah perkataan pemiliknya.
-    Si terdakwa lebih kita pegang kata-katanya daripada si pendakwa, selama si pendakwa tidak membawakan bukti.
3- مَنْ شَكَّ هَلْ فَعَلَ شَيْئًا أَوْ لاَ فَالْأَصْلُ أَنَّهُ لَمْ يَفْعَلْهُ
“Barang siapa yang ragu-ragu, apakah ia telah melakukan sesuatu atau belum, maka hukum asalnya, bahwa dia belum melakukan sesuatu itu.”
4- مَنْ تَيَقَّنَ الْفِعْلَ وَشَكَّ فِي الْقَلِيْلِ أَوِ الْكَثِيْرِ حُمِلَ عَلَى الْقَلِيْلِ
“Barangsiapa yakin telah melakukan suatu perbuatan, namun ragu-ragu tentang sedikit banyaknya perbuatan yang dilakukan, maka dianggap masih sedikit.”

Misalnya seseorang ragu-ragu dalam shalatnya apakah ia shalat dua rak’at atau tiga rak’at, ia telah berusaha untuk mengingat-ingat namun tetap tidak bisa, maka ia anggap masih sedikit/kurang lalu ia tambah kekurangannya kemudian sujud sahwi dua kali sebelum salam lalu salam. Contoh lainnya adalah ketika seseorang membasuh anggota wudhu’, ia ragu-ragu apakah baru dua kali basuhan atau sudah tiga, maka ia anggap masih kurang (yakni baru dua), namun Al Juwainiy berpendapat tidak demikian, karena menurutnya meninggalkan Sunnah lebih ringan daripada berbuat bid’ah (yaitu menambah jumlah basuhan menjadi empat kali). Pendapat Al Juwaini tersebut dikritik bahwa hal tersebut menjadi bid’ah adalah jika seseorang mengetahui bahwa jumlah basuhannya sudah empat kali.
5- اِنَّ مَا ثَبَتَ بِيَقِيْنٍ لاَ يَرْتَفِعُ اِلاَّ بِيَقِيْنٍ
“Apa saja yang tetapnya berdasarkan sesuatu yang meyakinkan, tidak dapat diangkat kecuali dengan sesuatu yang meyakinkan pula.”
Contohnya kain seseorang terkena najis, namun ia merasa samar di mana letak jatuhnya najis ke kainnya, maka ia basuh sebagian besar atau semuanya, karena untuk sampai kepada yakin, hanya dengan cara seperti itu.
6- اَلْأَصْلُ الْعَدَمُ
“Asalnya adalah belum ada.”
Yakni dalam sifat-sifat yang ‘aaridhah (baru muncul), pada asalnya adalah tidak ada.
Biasanya kaidah ini digunakan pada orang yang sedang bermasalah (saling mendakwakan). Contoh:
-     Seorang yang menjalankan modal melaporkan perkembangannya kepada pemilik modal, bahwa ia belum memperoleh keuntungan atau sudah mendapatkan keuntungan tetapi sedikit, maka laporannya (si mudhaarib) itu yang dibenarkan/diterima. Karena dari awal adanya ikatan mudhaarabah memang belum diperoleh laba dan keadaan ini yang sudah nyata, sedangkan keuntungan yang diharap-harapkan itu hal yang belum terjadi (belum ada).
-     Si A berhutang ke si B dan mengaku sudah membayar, sebaliknya si B mengatakan bahwa hutang itu belum dibayar. Dalam hal ini pengingkaran si B yang dibenarkan, sebab menurut asalnya belum ada pelunasan.
7- اَلْأَصْلُ فِي كُلِّ حَادِثٍ تَقْدِيْرُهُ بِأَقْرَبِ زَمَنٍ
“Untuk setiap kejadian pada asalnya diperkirakan dengan waktu yang terdekat.”
Contoh penerapan kaidah ini adalah:
-    Seorang melihat mani di kainnya, namun ia tidak ingat kapan ia bermimpi, maka ia harus mengulangi shalatnya saat bangun dari tidurnya yang terakhir; jika ia beberapa kali tidur dan shalat.
-    Seorang beberapa kali berwudhu’ dari sebuah sumur, lalu shalat, suatu ketika dilihatnya air tersebut kejatuhan bangkai tikus, maka ia tidak wajib mengqadha’ kecuali pada shalat yang diyakini bahwa ia berwudhu’ menggunakan air yang najis itu.
-    Tim dokter berhasil memisahkan bayi kembar siam. Beberapa hari kemudian salah seorang bayi kembar itu mati, dalam kejadian seperti ini, tim dokter tidak bisa dimintai pertanggung jawaban atas kematian itu. Karena bisa jadi, kematian itu karena faktor-faktor lain yang dekat dengan waktu kematian.
8-اَلْأَصْلُ فِي اْلأَشْيَاءِ اْلإِبَاحَةُ حَتىَّ يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
“Hukum asal segala sesuatu adalah mubah (boleh), sampai ada dalil yang mengharamkan.”
Inilah madzhab Syafi’i, sedangkan Abu Hanifah berpendapat:
اَلْأَصْلُ فِيْهَا التَّحْرِيْمُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى الْإِبَاحَةِ
“Hukum asal segala sesuatu adalah haram sampai ada dalil yang membolehkan.”
Dua kaidah di atas nampaknya bertentangan, sebenarnya bisa dijamak (digabung), yaitu bahwa hukum asal dalam segala sesuatu adalah mubah jika dalam lingkup mu’amalah (hubungan antar sesama) atau urusan keduniaan. Sedangkan kaidah kedua khusus dalam lingkup ibadah, karena dalam lingkup ibadah hukum asalnya adalah tauqifi (menunggu sampai ada dalil).
Dalil bahwa hukum asal dalam mu’amalah adalah mubah firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala berikut:
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (terj. Al Baqarah: 29)
Sedangkan dalil kaidah kedua, yakni bahwa dalam masalah ibadah hukum asalnya adalah haram sampai ada dalilnya adalah berdasarkan hadits berikut:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim)
Inilah syarat diterimanya ibadah di samping harus ikhlas.
Contoh penerapan kaidah pertama adalah halalnya hewan yang tidak ada dalil keharamannya, misalnya Jerapah.
Contoh penerapan kaidah kedua (yakni termasuk yang tidak ada perintah dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) adalah melafazkan niat shalat (membaca “ushalliy…dst”), niat wudhu’ (membaca “nawaitu…”,dst) dsb. contoh lainnya adalah memperingati maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, mengkhususkan ziarah kubur pada saat hari raya atau ke makam tertentu, menambahkan kata sayyidinaa dalam shalawat ketika shalat, selamatan kematian, mengirimkan faatihah untuk orang yang sudah mati, mengkhususkan malam nishfu Sya’ban untuk beribadah, mengkhususkan malam Jum’at untuk qiyamul lail dsb.
9- اَلْأَصْلُ فِي الْكَلاَمِ الْحَقِيْقَةُ
“Pada dasarnya, arti suatu kalimat menunjukkan arti hakikat (sebenarnya).”
Suatu ucapan bisa diartikan hakiki dan bisa majazi, berdasarkan kaidah ini, maka arti hakiki adalah yang pertama kali kita pegang. Contoh kaidah ini adalah:
-   Seseorang mengatakan bahwa rumahnya diberikan kepada si fulan. Maka arti yang hakiki adalah memindahkan hak milik kepada si fulan itu, sehingga apabila si pemberi mengingkari bahwa maksudnya adalah boleh ditempati, maka pengingkaran tersebut tidak bisa dibenarkan.
-   Seseorang bersumpah untuk tidak membeli sesuatu atau menjual sesuatu, lalu ia menyuruh orang lain untuk membelinya atau menjualnya, maka ia belum dianggap melanggar sumpah, karena tidak bertentangan dengan arti hakiki ucapan tersebut.
Jika ada perbedaan antara hukum asal dengan zhahirnya
Dalam hal ini ada dua pendapat; bisa dikedepankan asalnya dan bisa dikedepankan zhahirnya. Contoh masalah yang dikedepankan zhahirnya tidak kepada hukum asal (baraa’atudz dzimmah) adalah persaksian dua orang yang adil. Sedangkan contoh masalah yang dikedepankan hukum asal adalah seseorang ragu-ragu apakah sudah berhadats atau belum, maka kembali kepada hukum asal. Untuk mengedepankan salah satunya adalah dengan melihat mana yang lebih kuat; dalil hukum asal atau zhahir.
Contoh dikegepankan zhahir adalah seseorang mendapat kabar dari seorang yang terpercaya bahwa air yang digunakannya adalah bernajis, jika tidak diberitahukan tentu kembali kepada hukum asal yaitu suci. Dalam kondisi seperti ini dalil zhahir lebih kuat daripada dalil hukum asal.
Masalah lain tentang syak
Terkait dengan masalah syak atau keragu-raguan, Syaikh Abu Haamid Al Isfiraayini menjelaskan bahwa syak itu ada tiga macam:
-    Syak yang menimpa kepada asal (sumber) yang haram.
-    Syak yang menimpa kepada asal yang mubah.
-    Syak yang tidak diketahui asalnya.
Contoh syak yang pertama adalah seseorang mendapatkan hewan sembelihan di negeri yang di sana banyak orang muslim dan majusi, maka hukumnya tidak halal, sampai diketahui bahwa hewan tersebut adalah sembelihan orang muslim. Namun jika mayoritas di negeri tersebut adalah kaum muslimin, maka boleh dimakan melihat kebanyakan yang tinggal adalah kaum muslimin.
Contoh yang kedua adalah seseorang menemukan air yang sudah berubah, kemungkinan perubahannya disebabkan najis atau lamanya ditempati sehingga mubah, maka boleh bersuci dengannya karena hukum asalnya adalah suci.
Contoh yang ketiga adalah bermu’amalah dengan orang yang hartanya kebanyakan haram, namun tidak dapat dipastikan bahwa harta yang kita terima darinya adalah yang haram, maka tidak haram bermu’amalah dengannya karena ada kemungkinan halal, akan tetapi makruh.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Asybaah wan Nazhaa’ir (As Suyuuthiy), Kaidah-kaidah ilmu fiqh (Drs. Abdul Mujib) dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger