Kaedah Bahaya Harus Disingkirkan

بسم الله الرحمن الرحيم

 

Kaedah Fiqh "Bahaya harus disingkirkan"


Demikianlah yang diperintahkan oleh Islam, sampai-sampai menyingkirkan sesuatu yang mengganggu di jalan (seperti duri) yang membahayakan orang yang lewat dijadikan Islam termasuk cabang keimanan dan dapat memasukkan seseorang ke surga. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ » . 
“Iman itu ada tujuh puluh atau enam puluh cabang lebih, yang paling utama adalah Laailaahaillallah dan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan hal yang mengganggu dari jalan, dan malu itu termasuk cabang keimanan.” (HR. Muslim)
Beliau juga bersabda:
« لَقَدْ رَأَيْتُ رَجُلاً يَتَقَلَّبُ فِى الْجَنَّةِ فِى شَجَرَةٍ قَطَعَهَا مِنْ ظَهْرِ الطَّرِيقِ كَانَتْ تُؤْذِى النَّاسَ » . 
“Sungguh aku melihat seorang laki-laki yang bolak-balik di surga hanya karena ia telah menebang pohon di tengah jalan yang mengganggu orang-orang.” (HR. Muslim)
Lalu bagaimana mungkin Islam merestui pengeboman-pengeboman yang terjadi di sana-sini, yang membahayakan jiwa manusia?
Padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
“Sungguh, hilangnya dunia ini masih lebih ringan bagi Allah daripada dibunuhnya jiwa seorang muslim.” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5077)

Adh Dhararu yuzaal

Salah satu ka’idah fiqh yang diambil dari banyak ayat dan hadits adalah Adh Dhararu yuzaal (Bahaya harus disingkirkan). Ajaran Islam seluruhnya tegak di atas asas ini; di atas asas mengambil maslahat dan menghindarkan bahaya. Contoh masalah-masalah fiqh yang berada di bawah naungan ka’idah ini adalah:
Dalam masalah mu’amalah, diperbolehkan mengembalikan barang yang telah dibeli jika ternyata ada cacat. Demikian pula dalam transaksi jual beli karena terdapat perbedaan sifat yang tidak sesuai dengan yang telah disepakati, diperbolehkan bagi pembeli membatalkannya atau mengambilnya dengan adanya pengurangan harga sesuai kekurangan pada barangnya itu. Disyari’atkannya hajr (pencegahan melakukan transaksi pada harta) bagi orang yang safih (dungu/kurang akal), anak yatim yang belum cerdas atau orang yang hilang akalnya. Dasar pertimbangan diberlakukan ketentuan-ketentuan tersebut adalah untuk menghindarkan sejauh mungkin madharrat (bahaya) yang merugikan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Dalam masalah jinayat (penganiayaan terhadap badan), agama Islam menetapkan qishas (membalas serupa). Juga ditetapkan hukuman hudud agar tidak terulang lagi perbuatan berbahaya yang dilakukan.
Termasuk ke dalam ka’idah di atas adalah perintah untuk mengganti rugi kerusakan, pengangkatan para penguasa dan hakim untuk menegakkan keadilan, menjalankan hudud terhadap pelaku kriminalitas dan menumpas para pengacau keamanan. Dalam masalah munakahat (perkawinan), Islam membolehkan thalaq (perceraian) yaitu dalam situasi dan kondisi kehidupan rumah tangga yang sudah tidak teratasi, juga membolehkan faskh (membatalkan pernikahan) karena adanya ‘aib yang membuat suami atau isteri menjauh dsb.

Ka’idah fiqh yang termasuk bagian ka’idah “Adh Dhararu yuzaal”

Termasuk ke dalam ka’idah “Adh Dhararu yuzaal” (bahaya harus disingkirkan) adalah, ka’idah-ka’idah berikut:

1-اَلضَّرُوْرِيَّاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
“Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang.”
Atau,
لاَ حَرَامَ مَعَ الضَّرُوْرَاتِ وَلاَ كَرَاهَةَ مَعَ الْحَاجَةِ
“Tidak dihukumi haram ketika darurat dan tidak menjadi makruh jika dibutuhkan.”
Tentunya ketika benar-benar darurat dan tidak ada cara lain lagi.
Dalil ka’idah ini adalah firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala:
“Tetapi Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakan yang haram) sedangkan dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (terj. Al Baqarah: 173)
Oleh karena itu, dibolehkan memakan bangkai ketika darurat, di mana jika tidak memakannya ia akan binasa dan tidak ada lagi makanan selain itu. Demikian pula dibolehkan membela diri ketika diserang oleh orang lain yang hendak membunuh dirinya meskipun sampai membunuh penyerang itu.
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata: Ada seseorang yang datang dan berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu jika datang seseorang yang hendak mengambil hartaku?” Beliau menjawab, “Jangan kamu berikan”, orang itu bertanya lagi, “Lalu bagaimana jika ia memerangiku?” Beliau menjawab, “Perangi lagi” orang itu bertanya, “Bagaimana pendapatmu kalau ternyata ia membunuhku?” Beliau menjawab, “Kalau begitu kamu syahid”, orang itu bertanya lagi, “Bagaimana jika aku membunuhnya?” Beliau menjawab, “Orang itu di neraka.” (HR. Muslim dan lain-lain)
Dibolehkan juga membongkar kuburan, ketika mayyitnya belum dimandikan atau tidak menghadap kiblat atau dikubur di tanah rampasan.
Namun kemutlakan ka’idah di atas dibatasi dengan ka’idah berikut:
مَا أُبِيْحَ لِلضَّرُوْرَةِ يُقَدَّرُ بِقَدْرِهَا
“Apa yang  dibolehkan karena darurat, diukur menurut kadar daruratnya.”
Sehingga dihalalkan memakan makanan yang haram karena darurat dengan syarat tidak lebih dari ukuran yang bisa menjaga diri dari kebinasaan (seperlunya), dan hendaknya ia tidak bersenang-senang dengannya.
Demikian juga jika terpaksa seorang wanita harus berobat kepada dokter laki-laki, maka dokter laki-laki memeriksa atau mengobati pasien wanita pada bagian-bagian tubuhnya yang memang sakit, tidak boleh melebihi dari apa yang memang benar-benar diperlukan.

2-مَا جَازَ لِعُذْرٍ بَطَلَ بِزَوَالِهِ
“Apa yang diizinkan karena adanya ‘udzur, akan menjadi batal ketika ‘udzur itu hilang.”
Dari ka’idah ini diketahui bahwa tayammum tidak diizinkan lagi ketika sudah ada air dan shalat fardhu sambil duduk tidak diizinkan lagi ketika sudah mampu berdiri.

3-اَلضَّرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَّرَرِ
“Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya.”
Contoh ka’idah ini adalah ketika dokter mengobati pasien yang memerlukan tambahan darah, maka tidak boleh bagi dokter mengambil darah pasien lain, yang apabila diambil darahnya, pasien lain tersebut akan lebih parah lagi sakitnya. Demikian juga  tidak boleh bagi seorang yang sedang kelaparan mengambil makanan milik orang lain yang juga akan mati kelaparan jika tidak makan.

4- إِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
“Apabila dua mafsadat (bahaya) berhadapan, maka dilihat mana di antara keduanya yang lebih besar, lalu dipilih mafsadat yang paling ringan.”
Contoh dalam ka’idah ini adalah tim dokter boleh membedah kandungan mayit bila bayi yang dikandungnya masih ada harapan hidup. Membedah perut mayit itu sendiri adalah perbuatan merusak, namun resiko akibat pembedahan dipandang lebih ringan daripada membiarkannya mati di dalam perut. Termasuk dalam masalah ini juga adalah melaksanakan shalat dengan pakaian yang terkena najis, tidak mengapa shalat memakai pakaian tersebut jika tidak memungkinkan untuk dibersihkan, sebab meninggalkan shalat mafsadatnya lebih besar.
Demikian pula dibolehkan pada suatu waktu bersikap diam melihat kemungkaran, karena apabila melarangnya akan membawa kemungkaran yang lebih besar. Ka’idah ini disebut juga akhaff udh dharurain.
Dan jika dilakukan nahi mungkar akan menimbulkan kemungkaran yang sama, maka di sini tempat seseorang berijtihad.

5- دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ فَإِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَةٌ وَمَصْلَحَةٌ قُدِّمَ دَفْعُ الْمَفْسَدَةِ غَالِبًا
“Menolak mafsadat lebih didahulukan daripada menarik maslahat. Apabila dihadapkan antara maslahat dan mafsadat, maka ghalibnya didahulukan menghindarkan mafsadat.”
Didahulukannya menghindari mafsadat, karena perhatian syara’ terhadap menjauhi larangan lebih besar dibanding mengerjakan perintah. Perintah-perintah disuruh mengerjakannya sesuai kemampuan seperti shalat sambil duduk boleh dilakukan ketika tidak sanggup berdiri dsb. sedangkan larangan harus ditinggalkan; tidak ada jalan untuk mengizinkannya, terlebih terhadap dosa-dosa besar.
Oleh karena itu, diharamkan berjudi dan meminum minuman keras meskipun di sana ada maslahatnya, namun bahaya yang diakibatkan lebih besar daripada maslahatnya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi; katakanlah: pada kedua itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa’at bagi manusia; tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfa’atnya.” (terjemah Al Baqarah: 219)

6- تُحْتَمَلُ اَخَفُّ الْمَفْسَدَتَيْنِ لِحُصُوْلِ الْمَصْلَحَةِ الْعَظِيْمَةِ
“Dilakukan mafsadat yang ringan agar tercapai maslahat yang besar.”
Contoh ka’idah ini adalah yang dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam perjanjian Hudaibiyah, di mana dalam perjanjian tersebut seakan-akan menguntungkan kaum musyrikin, yang di antara isinya adalah “Orang Quraisy yang datang kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam wajib dikembalikan, namun siapa yang datang kepada orang-orang Quraisy dari pengikut Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tidak boleh dikembalikan
Perjanjian ini terkesan lebih menguntungkan pihak Quraisy, padahal di sana terdapat hikmah yang dalam dan setelahnya adalah kemenangan. Dengan adanya perjanjian damai ini kaum muslimin berkesempatan menyusun kekuatan. Nabi Muhammad shallalllahu 'alaihi wa sallam bebas menyebarkan Islam kepada kabilah-kabilah Arab lainnya dan banyak pula di antara mereka yang memeluk Islam, lalu Beliau mengirimkan surat kepada kaisar-kaisar dan raja-raja. Di samping itu Beliau pun dapat berumrah dengan aman di tahun depan.

7- اَلْحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ عَامَّةً كَانَتْ اَمْ خَاصَّةً
“Hajat (kebutuhan) itu bisa menduduki posisi darurat, baik hajat umum maupun hajat khusus.”
Jika kita memperhatikan dibolehkannya ijarah (menyewa), ju’alah (mengupah), hiwalah (pemindahan hutang) dsb. yang masing-masingnya tidak berjalan di atas qiyas, di mana dalam ijarah mengambil manfa’at yang masih ma’dum (belum berwujud), sedangkan dalam ju’alah terdapat hal yang masih majhul (belum jelas berhasil atau tidak) dan dalam hiwalah terdapat bai’ud dain bid dain (jual beli hutang dengan hutang) yang terlarang, namun mu’amalah di atas diperbolehkan oleh Islam karena butuhnya manusia kepada mu’amalah tersebut. Oleh karena itu hajat (kebutuhan) jika sudah umum, maka bisa menimpati posisi darurat.
Contoh-contoh dari ka’idah ini adalah bolehnya memakan harta ghanimah (rampasan perang) dalam medan perang karena dibutuhkan. Termasuk dalam ‘akad jual beli, di mana jual beli dianggap sah apabila syarat rukunnya telah sempurna, di antaranya adalah obyek (barang tersebut) telah terwujud, namun untuk kelancaran hidup atau untuk menghilangkan kesulitan diadakan keringanan dalam ‘akad jual beli ini, yakni dengan menganggap sah jual beli ini, meskipun barangnya belum terwujud, seperti dalam ‘akad “Salam”. Di mana pada ‘akad salam pembeli membeli sesuatu dengan menyerahkan uang terlebih dahulu di tempat terjadinya akad jual-beli yang nanti si penjual akan menyerahkan sesuai yang diminta pembeli pada waktu yang ditentukan. Dalam salam tidak disyaratkan si penjual harus memiliki barang itu ketika terjadinya jual-beli Salam.

Tingkatan kebutuhan manusia

Dalam kaitannya dengan ka’idah di nomor tujuh, perlu diketahui bahwa kebutuhan seseorang itu ada lima tingkatan: Dharurah (darurat), Hajah (kebutuhan di bawah darurat), Manfa’ah (manfa’at), Ziinah (Penghias/pelengkap) dan Fudhuul (kelebihan).
Tingkatan dharurah ini, tidak dapat tidak seseorang harus mengerjakannya, sebab jika tidak dikerjakan ia akan binasa atau hampir binasa, kondisi ini membolehkan melakukan yang haram.
Tingkatan hajah, misalnya adalah orang yang lapar, jika ia tidak makan ia tidak binasa namun merasakan kepayahan yang sangat.
Tingkatan manfa’ah, seperti butuhnya seseorang untuk makan makanan yang bergizi dan memberikan kekuatan sehingga dapat hidup secara wajar.
Tingkatan ziinah, untuk keindahan dan kemewahan hidup seperti makan makanan yang lezat, pakaian yang indah, perhiasan dsb.
Tingkatan fudhuul, yaitu berlebih-lebihan misalnya banyak mengkonsumsi makanan yang haram atau yang syubhat dsb.
Tingkatan dharurah sudah dijelaskan di ka’idah pertama. Tingkatan hajah sudah dijelaskan di ka’idah pertama dan ketujuh, yakni hajat/kebutuhan dapat menjadikan yang makruh menjadi mubah dan terkadang hajat menempati posisi darurat apabila sudah umum untuk kelancaran hidup dan menghilangkan kesukaran. Sedangkan tingkatan manfa’ah dan ziinah tidak bisa dijadikan alasan mengerjakan yang haram, adapun tingkatan fudhul sudah cukup jelas tentang larangannya.

Wallahu a’lam.
Marwan bin Musa


Maraaji’: Al Asybaah wan Nazhaa’ir (Abdurrahman bin Abu Bakr As Suyuuthiy), Ka’idah-ka’idah ilmu fiqh (Drs. Abdul Mujib), Taujihul Qaariy (Az Zaahidiy) dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger