بسم الله الرحمن الرحيم
Dzikr Setelah Shalat
الحمد لله والصلاة والسلام على من لانبي بعده
اما بعد:
Setelah
shalat kita dianjurkan berdzikr. Demikianlah yang dilakukan Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam. Namun sangat disayangkan, masih ada saudara kita kaum
muslimin dalam hal ini yang meremehkannya atau melampaui batas.
Meremehkan
di sini adalah dengan biasa meninggalkannya atau meninggalkannya secara
keseluruhan (tanpa membacanya) meskipun sedikit. Padahal Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
« لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ
الْمَعْرُوفِ شَيْئًا » .
“Janganlah sekali-kali kamu meremehkan perkara yang ma’ruf.” (HR. Ahmad,
Muslim dan Tirmidzi)
Sedangkan melampaui batas, maksudnya
adalah membaca dzikr setelah shalat namun tidak sesuai yang dibaca atau diajarkan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Sehingga mereka terjatuh ke dalam
bid’ah (sesuatu yang diada-adakan), padahal syarat diterimanya ibadah adalah
harus sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di samping
niat yang ikhlas. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا
لَيْسَ عَلَيْهِ اَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengerjakan amalan
(ibadah) yang tidak kami perintahkan, maka amalan itu tertolak.” [HR. Muslim]
Kita dapat menyaksikan dzikr yang bermacam-macam yang dilakukan kaum
muslimin. Jika kita mendatangi satu daerah, kita temukan dzikr mereka seperti
ini, kemudian kita datangi daerah yang lain, dzikr mereka seperti itu, padahal Nabi
umat ini hanya satu, tetapi anehnya bacaannya bisa beraneka macam dalam jumlah
yang banyak. Seharusnya, karena Nabinya hanya satu, yaitu Nabi Muhammad shallallahu
'alaihi wa sallam; rasul terakhir, maka perbedaannya tidak begitu banyak; tidak
seperti yang kita lihat. Ini menunjukkan bahwa bid’ah dapat memecah belah kaum
muslimin.
Dalam risalah ini, insya Allah, kami sebutkan dzikr yang sesuai dengan
sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meskipun masih ada lagi dzikr
yang datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selain yang disebutkan di
bawah ini. Syaikh Masyhur bin
Hasan berkata, “Walhasil, sebagian dzikr yang datang (dari Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam) setelah shalat ada bermacam-macam, maka yang mana saja dia
pakai, ia telah berbuat baik, namun yang lebih utama adalah membaca sesekali
yang ini dan sesekali yang itu.” Semoga risalah ini bermanfaat. Allahumma Aamin.
Dzikr Setelah Shalat
1-أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ 3x اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا
الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
Artinya: “Aku meminta ampun kepada Allah.”
3X. ”Ya Allah,
Engkau Maha Penyelamat, dari-Mulah keselamatan, Maha banyak kebaikannya Engkau,
wahai Tuhan Yang Memiliki keagungan dan kemuliaan.”[HR. Muslim]
Jika sebagai
imam, maka setelah membaca dzikr di atas, hendaknya ia berbalik menghadap ke
arah makmum[i].
2-لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا
شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلَا
يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
Artinya: “Tidak ada Tuhan yang
berhak disembah kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya
kerajaan dan milik-Nya segala pujian. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Ya
Allah, tidak ada yang dapat menghalangi yang Engkau berikan dan tidak ada yang
dapat memberikan jika Engkau menghalangi serta tidaklah bermanfaat bagi
seseorang kekayaannya (yang bermanfaat adalah iman dan amal saleh).”[HR.
Bukhari dan Muslim]
3-لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ
وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ
الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُخْلِصِينَ
لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
Artinya: “Tidak ada Tuhan yang
berhak disembah kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya
kerajaan dan milik-Nya pujian. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada
daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah, Tidak ada Tuhan yang berhak
disembah kecuali Allah, dan kami tidak menyembah selain kepada-Nya. Milik-Nya
kenikmatan, karunia dan pujian yang baik. Tidak ada Tuhan yang berhak disembah
kecuali Allah dengan hanya beribadah kepada-Nya meskipun orang-orang kafir
tidak menyukainya.”[HR. Muslim]
4- سُبْحَانَ اللهِ 33 اَلْحَـمْدُ ِللهِ 33
اَللهُ أَكْـَبرُ 33
Artinya: “Mahasuci
Allah” 33X
“Segala Puji bagi Allah.” 33X
“Allah Mahabesar.”
33X[ii]
dihitung dengan jari tangan kanan[iii].
لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: “Tidak ada Tuhan yang berhak
disembah kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan dan
milik-Nya pujian. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu[iv].”[HR.
Muslim]
6. Membaca
Ayat Kursiy[v]
(Al Baqarah: 255).
7. Membaca
surat
mu’awwidzaat (surah Al Ikhlas, Al Falaq dan An Naas)[vi].
[HR. Abu Dawud dan Nasa’i, Tirmidzi, lihat Shahih At Tirmidzi 2/8]
8. Membaca
setelah shalat Subuh:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا
مُتَقَبَّلًا
Artinya: “Ya
Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang
baik dan amal yang diterima.”[vii]
Faedah/Catatan:
- Imam
Syafi’i berkata dalam Al Umm:
وأختار للامام والمأموم أن يذكر الله
بعد الانصراف من الصلاة ويخفيان الذكر إلا أن يكون إماما يجب أن يتعلم منه فيجهر
حتى يرى أنه قد تعلم منه ثم يسر فإن الله عزو وجل يقول ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت
بها يعنى والله تعالى أعلم الدعاء ولا تجهر ترفع ولا تخافت حتى لا تسمع نفسك وأحسب
ما روى ابن الزبير من تهليل النبي وما روى ابن عباس من تكبيره كما رويناه قال
الشافعي وأحسبه إنما جهر قليلا ليتعلم الناس منه
“Saya memilih bagi imam dan makmum untuk melakukan
dzikr (mengingat) Allah setelah selesai shalat, dan hendaknya mereka (imam dan
makmum) mensir(pelan)kan dzikrnya, kecuali jika sebagai imam yang perlu diambil
(bacaan dzikrnya), maka ia keraskan sampai ia melihat bahwa makmumnya telah
belajar darinya (sudah bisa), maka selanjutnya ia mensirkan dzikrnya, karena
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Dan janganlah kamu keraskan suaramu dalam shalatmu
dan jangan pula merendahkannya.” (Al Israa’: 110) maksudnya, Allah Ta’ala
lebih mengetahui terhadap doa. Jangan keraskan, yakni jangan kamu tinggikan
(suara), dan jangan kamu rendahkan sampai engkau tidak memperdengarkan kepada
dirimu. Menurutku, apa yang diriwayatkan oleh Ibnuz Zubair tentang tahlil
(ucapan Laailaahaillallah) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas tentang takbirnya sebagaimana yang telah kami
riwayatkan (yang di sana
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengeraskan suaranya), Syafi’i berkata,
“Menurut saya, Beliau mengeraskan hanya sebentar agar orang-orang dapat
mengambil ilmu (bacaan dzikr) dari Beliau.”
-
Sebagian ulama berpendapat, bahwa
doa yang disebutkan dalam hadits yang dibaca di akhir shalat, maka maksudnya
dibaca sebelum salam di akhir shalat. Adapun dzikr yang disebutkan dalam hadits
yang dibaca di akhir shalat, maka maksudnya dibaca setelah salam, karena kata
“dubura kulli shalaat” (di akhir setiap shalat) bisa maksudnya sebelum dan
setelah shalat. Jika berupa doa, maka sebelum salam, dan jika berupa dzikr,
maka setelah salam.
- Syaikh
Abdul ‘Aziz bin Baz berkata, “Tidak sah dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
bahwa Beliau mengangkat kedua tangannya setelah shalat fardhu, dan hal itu juga
tidak sahih dari para sahabat Beliau radhiyallahu 'anhum menurut yang kami
ketahui. Oleh karena itu, apa yang dilakukan sebagian orang berupa mengangkat
tangan setelah shalat fardhu adalah bid’ah yang tidak ada asalnya.”
- Syaikh
Abdul ‘Aziz bin Baz juga berkata, “Mengangkat kedua tangan dalam berdoa
termasuk sebab dikabulkannya doa, dan dianjurkan dilakukan kecuali pada
tempat-tempat yang terdapat sebab untuk mengangkat tangan namun ternyata Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam tidak mengangkatnya (maka tidak diangkat), namun pada
tempat-tempat yang Beliau mengangkat(tangan)nya, maka kita mengangkatnya,
seperti doa istisqa’ (meminta diturunkan hujan), ketika seorang tiba-tiba butuh
lalu ia angkat kedua tangannya seperti pada istikharah dan lainnya. Adapun
tempat yang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengangkatnya seperti
antara dua sujud, maka kita tidak mengangkatnya, demikian pula pada akhir
shalat sebelum salam serta setelah shalat fardhu, Beliau shallallahu 'alaihi wa
sallam tidak mengangkatnya, sehingga kita tidak mengangkatnya. Dan hukum
asalnya dalam berdoa adalah mengangkat kedua tangan kecuali pada tempat yang
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengangkatnya sedangkan sebab-sebab
mengangkatnya ada. Adapun mengusap muka dengan kedua telapak tangan tidak
mengapa karena Al Hafizh menghasankannya, dan dia lebih mengetahui daripada
selainnya[viii].” (Dari kitab Shalaatul
Istisqaa’ karya Dr. Sa’id bin Al Al Qahthani).
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Maktabatusy Syaamilah, Buluughul
Maram (Al Hafizh Ibnu Hajar Al ’Asqalani), Hishnul Muslim (Dr. Sa’id Al
Qahthani), Al Adzkaar (Imam Nawawi), Al Qaulul Mubiin (Syaikh Masyhur Hasan
Salman), Shahiul Jaami’ (Syaikh Al Albani), Fiqhus Sunnah (Syaikh As Sayyid
Saabiq), Al Umm (Imam Syafi’i) dll.
[i] Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah berkata, “Sepatutnya bagi makmum tidak bangkit sampai imam
berpaling, yakni berpindah dari arah kiblat (menghadap makmum), dan tidak patut
bagi imam duduk setelah salam terus-menerus menghadap kiblat kecuali seukuran
istighfar tiga kali dan mengucapkan, “Allahumma antas salaam wa minkas
salam, tabaarakta yaa dzal jalaali wal ikraam.”
Dalil perkataan Syaikhul Islam adalah sabda
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:
« أَيُّهَا النَّاسُ
إِنِّى إِمَامُكُمْ فَلاَ تَسْبِقُونِى بِالرُّكُوعِ وَلاَ بِالسُّجُودِ وَلاَ
بِالْقِيَامِ وَلاَ بِالاِنْصِرَافِ …
“Wahai manusia! Sesungguhnya aku
imam kamu, maka janganlah mendahuluiku dalam ruku’, sujud, bangun dan berpaling
(berpindah)…” (HR. Muslim)
Dari
Samurah bin Jundab ia berkata, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam apabila
telah selesai shalat, maka Beliau menghadap kami dengan wajahnya.” (HR.
Bukhari)
Dari
Barra’ bin ‘Aazib ia berkata, “Apabila kami shalat di belakang Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam, maka kami suka berada di sebelah kanan Beliau, maka Beliau
menghadap kepada kami dengan wajahnya.” (HR. Muslim dan Abu Dawud).
[ii] Cara membacanya
bisa juga sebagaimana yang diterangkan oleh Abu Shalih salah seorang rawi yang
meriwayatkan dari Abu Hurairah, saat ia ditanya tentang cara membaca dzikrnya,
ia menjawab, “Yaitu Allahu akbar wa subhaanallah wal hamdulillah, dibaca
semuanya sebanyak 33 kali.” (HR. Muslim)
[iii] Abdullah bin
‘Amr berkata, “Aku melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menghitung tasbih
dengan tangan kanannya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, Shahihul Jaami’ no. 4865)
Syaikh Masyhur berkata, “Bertasbih
dengan tangan kanan lebih utama daripada bertasbih dengan tangan kiri, bahkan
lebih utama daripada bertasbih dengan kedua tangan bersamaan. Demikian pula
lebih utama daripada bertasbih dengan biji-biji tasbih, bahkan bertasbih dengan
biji-biji menyalahi perintah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika
bersabda kepada sebagian wanita, “Hendaknya kalian bertasbih, bertahlil dan
bertaqdis (bertasbih), dan jangan lalai, sehingga kalian akan melupakan tauhid
–dalam sebuah riwayat: melupakan rahmat-. Hitunglah dengan jari-jari, karena ia
akan ditanya dan diminta bicara.”
Syaikh bin Baz berkata,
“Meninggalkannya (bertasbih dengan biji-biji) lebih utama, bahkan sebagian ahli
ilmu memakruhkannya. Yang lebih utama adalah dengan tangan kanan sebagaimana
yang dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.”
[iv] Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa bertasbih (mensucikan)
Allah di akhir setiap shalat 33 kali, bertahmid (memuji) Allah 33 kali, dan
bertakbir (membesarkan) Allah 33 kali, lalu mengucapkan hingga sempurna jumlahnya
100 kali, “Laailaahaillallah wahdahuu laa syariikalah…dst.” Maka akan diampuni
dosa-dosanya meskipun sebanyak buih di laut.” (HR. Muslim)
Bisa juga
membaca tasbih 33 kali, tahmid 33 kali dan takbir 34 kali, sehingga
jumlahnya menjadi 100 kali. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Mu’aqqibaat (kalimat yang beriringan) yang tidak akan kecewa orang yang
mengucapkannya atau melakukannya setelah shalat, yaitu 33 kali tasbih, 33 kali
tahmid, dan 34 kali takbir.” (HR. Muslim)
Demikian juga
bisa membaca tasbihnya 10 kali, tahmidnya 10 kali dan takbirnya 10 kali, sebagaimana
dalam hadits berikut, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Maukah kamu aku beritahukan sesuatu yang dengannya kamu dapat menyusul orang
yang sebelum kamu dan mendahului orang yang datang setelah kamu, dan tidak ada
orang yang datang membawa seperti yang kamu bawa kecuali orang yang datang
membawa seperti itu? Yaitu kamu bertasbih di akhir setiap shalat 10 kali,
bertahmid 10 kali dan bertakbir 10 kali. (HR. Bukhari)
Dari Abdullah bin ‘Amr dari Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam Beliau bersabda, “Ada
dua perkara atau dua hal yang jika dijaga oleh seorang muslim, maka dia akan
masuk surga. Keduanya ringan, namun sedikit yang mengamalkannya, yaitu:
bertasbih di akhir setiap shalat 10 kali, bertahmid 10 kali, dan bertakbir 10
kali. Itu adalah 150 di lisan dan 1.500 di timbangan. Demikian pula ia
bertakbir 34 kali ketika hendak tidur, bertahmid 33 kali dan bertasbih 33 kali,
hal itu adalah 100 di lisan dan 1.000 di timbangan.” Sungguh, aku melihat Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam menghitungnya dengan tangannya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana
(bisa) keduanya ringan, namun sedikit yang mengamalkannya?” Beliau menjawab,
“(Setan) akan datang kepadamu di tempat tidurnya, lalu membuatnya tidur sebelum
mengucapkannya dan mendatanginya ketika shalat, lalu mengingatkan kebutuhannya
sebelum ia membacanya.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, dan Nasa’i. Imam Nawawi
berkata, “Isnadnya shahih, hanyasaja di sana
terdapat ‘Atha bin As Saa’ib, dan padanya terdapat perselisihan disebabkan
hapalannya yang bercampur. Ayyub As Sihtiyani mengisyaratkan sahihnya hadits
ini.” Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani menshahihkannya, ia menjelaskan, bahwa
didengarnya hadits ini dari ‘Athaa bin As Saa’ib adalah sebelum hapalannya
bercampur.).
[v] Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa membaca ayat Kursi di
akhir setiap shalat fardhu, maka tidak ada yang menghalanginya masuk surga
kecuali ia mati.” (HR. Nasa’i dalam ‘Amalul Yaumi wal Lailah dan Ibnus
Sunniy, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6464 dan
Silsilah Ash Shahiihah no. 927)
[vi] Dari ‘Uqbah
bin ‘Amir radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam memerintahkan aku untuk membaca mu’awwidzatain (Al Falaq dan An Naas) di
akhir setiap shalat.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan lain-lain,
dishahihkan oleh Al Haafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani. Dalam riwayat Abu Dawud
dengan lafaz ‘mu’awwidzaat’ (Al Ikhlas, Al Falaq dan An Naas).
[vii] Dari Ummu
Salamah, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam apabila selesai shalat Subuh
ketika selesai salam mengucapkan, “Allahumma innii as’aluka…dst.”
[viii] Hadits tersebut
didha’ifkan oleh Syaikh Al Albani dalam Dha’if At Tirmidzi, lihat Al Misykaat
(2245) dan Al Irwaa’ (433).
0 komentar:
Posting Komentar