بسم
الله الرحمن الرحيم
FIQH DAKWAH (bag. 2)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan
kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari Kiamat. Amma ba'du:
Berikut ini merupakan lanjutan tentang pembahasan fiqh dakwah dan
melanjutkan pembahasan tentang bekal yang perlu dimiliki seorang da'i.
2.
Ikhlas
Seorang da'i hendaknya Ikhlas dalam berdakwah, tidak
ada unsur riya’, mencari popularitas, martabat, jabatan, kekuasaan, harta dan
segala ambisi dunia lainnya. Demikian pula tidak berdakwah kepada dirinya dan
untuk membesarkan dirinya. Perhatikanlah kata-kata para nabi, “Wahai kaumku,
aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. Upahku tidak lain hanyalah
dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kamu memikirkan(nya)?"
(Terj. QS. Huud: 51)
Ini salah satu bukti keikhlasan mereka, dimana
Perhatian mereka tertuju kepada keridhaan Allah dan pahala-Nya. Ingatlah selalu
bahwa orang yang tidak ikhlas itu ibarat seorang musafir yang berbekal dengan
mengumpulkan pasir, di mana apa yang dikumpulkannya tidak bernilai apa-apa dan
menjadi sia-sia.
3.
Bersabar
Dalam berdakwah hendaknya seorang da’i bersabar ketika
menghadapi rintangan dan tantangan. Karena sejak dahulu, dakwah itu tidak
berjalan mulus begitu saja, tetapi penuh hambatan dan rintangan, maka hadapilah
tantangan dan rintangan itu dengan kesabaran. Allah Subhaanahu wa Ta'aala
berfirman, “Dan Sesungguhnya telah didustakan (pula) Rasul-rasul sebelum
kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang
dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka.” (Terj.
QS. Al An’aam: 34)
Lihatlah para nabi, mereka dihina, dicaci-maki, diberi
gelar dengan gelaran yang buruk, diancam akan dibunuh atau diusir dan
lain-lain, tetapi mereka bersabar dan tidak lekas marah.
Perhatikanlah keadaan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi
wa sallam. Sebelum Beliau diutus, Beliau dikenal di kalangan orang-orang
Quraisy sebagai orang yang jujur lagi terpercaya, namun setelah Beliau diangkat
menjadi rasul, Beliau dikatakan pendusta, pesihir, penyair, dukun, orang gila
dan sebutan-sebutan buruk lainnya. Begitulah seorang da'i, ia akan mengalami
rintangan dan gangguan baik dengan lisan maupun perbuatan. Namun semua
rintangan itu akan luluh oleh kesabaran yang dimilikinya.
Ketahuilah, semakin besar gangguan yang menimpa da’i,
maka semakin dekat pertolongan Allah. Ketahuilah, pertolongan Allah tidak mesti
pada masa hidup seorang da’i, bahkan pertolongan Allah bisa diberikan kepada
da’i setelah wafatnya, yakni dengan dijadikan-Nya hati-hati manusia menerima
dakwahnya.
Tempuhlah jalan para nabi, mereka menghadapi tantangan,
rintangan dan gangguan dengan kesabaran dan tidak membalas keburukan orang itu,
tetapi membalasnya dengan kebaikan, mereka pun tidak marah karena dirinya
disakiti, tetapi marah jika larangan Allah yang dilanggar. Ingatlah baik-baik
firman Allah Ta'ala, “Tetapi orang
yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk
hal-hal yang diutamakan.” (Terj. QS. Asy Syuuraa: 43)
Untuk mencapai kesabaran, hendaknya seorang da’i
meminta pertolongan kepada Allah, karena Allah-lah yang memberikan kesabaran
dan membantunya untuk bersabar. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Bersabarlah dan tidak ada kesabaranmu itu
melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap
(penolakan) mereka serta janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka
tipu dayakan. (Terj.
QS. An Nahl: 127)
4. Tidak bosan
Seorang da’i pun hendaknya tidak bosan dalam berdakwah
dan tetap bersabar, karena dengan begitu ia akan mendapatkan pahala kesabaran
dan akan mendapatkan kesudahan yang baik. Allah Subhaanahu wa Ta'aala
berfirman:
“Maka bersabarlah; sesungguhnya kesudahan
yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Hud: 49)
Perhatikanlah Nabi Nuh 'alaihis salam yang berdakwah
selama 950 tahun. Beliau berdakwah di siang dan malam tanpa bosan, dengan
sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, namun dakwah yang Beliau lakukan
tidak membuat kaumnya kembali, bahkan membuat mereka menjauh dan malah menjauh.
Setiap kali Beliau berdakwah, kaumnya sengaja menaruh jari-jemarinya ke telinga
dan menutup kepala dengan bajunya karena tidak suka terhadap seruan Nabi Nuh
'alaihis salam (lihat Surat Nuh: 5-9). Namun Beliau menghadapi semua itu dengan
bersabar. Bayangkan selama 950 tahun lamanya Beliau berdakwah; waktu yang tidak
sebentar (lihat surat Al 'Ankabut: 14), tetapi Beliau tidak bosan.
Jangan pula seorang da’i tidak bersabar sampai langsung
mendoakan keburukan kepada mad’unya (orang yang didakwahi). Allah Subhaanahu wa
Ta'aala berfirman:
“Maka
bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari
Rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi
mereka.” (Terj.
Al Ahqaaf: 35)
Ingatlah kewajiban da’i hanyalah menyampaikan. Allah
Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Karena Sesungguhnya tugasmu hanya
menyampaikan saja, sedang Kami-lah yang menghisab amalan mereka.” (Terj. QS. Ar Ra’d:
40)
Da’i tidaklah dibebani agar orang-orang menerima
hidayah, Allah-lah yang memberi hidayah. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Dan
kalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi
seluruhnya[i].
Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang
yang beriman semuanya?” (Yunus: 99)
5. Tidak berdakwah untuk kepentingan
pribadinya
Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah dalam risalahnya
"Ta'awunud du'aat" berkata, "Kemudian seorang da'i tidak
patut berdakwah untuk kepentingan pribadinya, bahkan ia harus berdakwah kepada
Allah, yakni ia tidak peduli baik dirinya berhasil atau diterima perkataannya
sewaktu hidupnya atau setelah wafatnya, yang penting kebenaran yang
diserukannya diterima di kalangan manusia, baik sewaktu hidupnya atau setelah wafatnya.
Memang, seorang merasa gembira dan semangat ketika kebenaran yang diserukan
diterima sewaktu hidupnya. Akan tetapi, jika ditaqdirkan, Allah mengujinya
untuk mengetahui ia bersabar atau tidak, (misalnya) Allah mengujinya dengan
tidak diterima secara langsung atau tidak segera diterima, maka hendaknya ia
bersabar dan mengharap pahala terhadapnya. Selama dirinya mengetahui berada di
atas kebenaran, maka tetaplah di atasnya, dan ia akan memperoleh kesudahan yang
baik, berbeda dengan sebagian da'i yang ketika mendengar perkataan yang
menyakitkan atau disakiti dengan perbuatan yang menyakitkan, ia kemudian
mundur, ragu atau merasa syak terhadap kebenaran yang dipegangnya. Allah Ta'ala
telah berfirman kepada Nabi-Nya Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Jika kamu (Muhammad) berada dalam
keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada
orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang
kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, karena itu janganlah sekali-kali kamu temasuk
orang-orang yang ragu-ragu." (Terj. QS. Yunus: 94)
Seorang da'i, apabila tidak mendapati penerimaan segera
terkadang mundur, ragu-ragu dan bimbang, apakah dirinya di atas kebenaran atau
tidak di atas kebenaran? Akan tetapi, Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah
menerangkan yang hak, menjadikan untuk kebenaran tanda yang diketahui. Oleh
karena itu, jika anda mengetahui bahwa diri anda di atas kebenaran, maka
tetaplah (di atasnya), meskipun anda mendengarkan kata-kata miring atau
menyaksikan sesuatu yang tidak anda sukai. Bersabarlah! karena sesungguhnya
kesudahan yang baik akan didapatkan oleh orang-orang yang bertakwa."
Menurut penulis, keberhasilan dalam dakwah bukanlah terletak pada banyak
pengikutnya atau tidak. Lihatlah Nabi Ibrahim 'alaihis salam, pengikut Beliau dari
kalangan kaumnya hanya seorang saja, yaitu Luth, selebihnya kafir. Tetapi Beliau
adalah orang yang berhasil dalam dakwahnya, yaitu karena Beliau telah
menyampaikan risalahnya, menunaikan amanahnya, dan menasihati umatnya. Ketika Beliau
telah melakukannya, maka berarti Beliau telah berhasil, meskipun pengikutnya sedikit.
Di bagian akhir risalah "Ta'awunud du'aat",
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Termasuk adab para da'i
yang mesti dilakukan adalah saling tolong-menolong, yakni tolong-menolong
antara sesama mereka. Jangan ada keinginan salah seorang di antara mereka agar
perkataannya diterima dan didahulukan daripada yang lain. Bahkan seharusnya,
yang menjadi harapan para da'i adalah agar dakwah diterima, baik dakwah itu
muncul darinya maupun dari orang lain, selama anda menginginkan agar kalimat
Allah menjadi tegak, baik olehnya maupun oleh yang lain. Jika maksudnya seperti
ini, tentu yang lain akan saling bantu-membantu dalam dakwah ilallah,
meskipun manusia lebih menerima orang
lain daripada dirinya. Yang wajib bagi para da'i adalah sama-sama satu tangan,
saling bahu-membahu, saling bantu-membantu, saling bermusyawarah di antara
mereka dan berangkat bersama serta mereka bangkit karena Allah, baik dua orang,
tiga orang maupun empat orang."
Apabila kita melihat para penyeru keburukan dan
kejahatan berkumpul dan bersatu serta membuat rencana, mengapa para da'i tidak
mengamalkan seperti ini, sehingga satu sama lain saling menutupi kekurangan
yang ada pada yang lain, baik terkait dengan ilmu maupun sarana dakwah dan
sebagainya?!" Apabila kita melihat nash-nash Al Qur'an dan As Sunnah,
tentu kita akan mendapatkan bahwa Allah Ta'ala menyifati kaum mukmin dengan
sifat-sifat yang menunjukkan bahwa mereka selalu bersatu dan saling membantu.
Allah Ta'ala berfirman:
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki
dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang
lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana." (Terj.
QS. At Taubah: 71)
6.
Mengawali dari yang terpenting
Para da’i hendaknya mengawali dakwahnya dari yang
terpenting. Demikianlah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau
mengirimkan para da’i ke beberapa tempat agar mereka memulai dari yang
terpenting; Beliau menyuruh da’i yang Beliau kirim agar mengajak mereka
mentauhidkan Allah, mengajak mereka mendirikan shalat, berzakat dst. Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada utusannya untuk berdakwah, yaitu
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu:
إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ أَهْلِ
كِتَابٍ ، فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللَّهِ ،
فَإِذَا عَرَفُوا اللَّهَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ
خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ ، فَإِذَا فَعَلُوا ، فَأَخْبِرْهُمْ
أَنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهُمْ زَكَاةً { تُؤْخَذُ } مِنْ أَمْوَالِهِمْ
وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ ، فَإِذَا أَطَاعُوا بِهَا فَخُذْ مِنْهُمْ ،
وَتَوَقَّ كَرَائِمَ أَمْوَالِ النَّاسِ » .
“Sesungguhnya
kamu akan mendatangi segolongan ahli kitab, maka hendaknya dakwah yang pertama
kamu serukan adalah agar mereka beribadah hanya kepada Allah. Jika mereka telah
mengenal Allah, maka beritahukanlah, bahwa Allah mewajibkan mereka mengerjakan
shalat lima waktu dalam sehari semalam. Jika mereka mau melakukannya, maka
beritahukanlah, bahwa Allah mewajibkan mereka mengeluarkan zakat yang diambil
dari harta mereka (yang kaya) dan diberikan kepada kaum fakir mereka. Jika
mereka mau mentaatimu, maka ambillah zakat itu, dan jauhilah mengambil harta
berharga manusia.” (HR. Bukhari)
Dalam hadits ini juga terdapat dalil bahwa seorang da'i
hendaknya mengetahui keadaan mad'u (orang atau masyarakat yang didakwahi).
Bersambung…
Wallahu
a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa
man waalaah.
Marwan bin Musa
Maraaji': Zaadu Daa'iyah (Syaikh Ibnu
'Utsaimin), Silsilah Ta'limil Lughatil 'Arabiyyah (mustawa 4 tentang
Uslub dakwah), Ta'aawunud du'aat (Syaikh Ibnu 'Utsaimin), Ad Da'wah
Ilallah (Syaikh Ibnu Baaz), Taisirul Karimir Rahman (Syaikh
Abdurrahman As Sa'diy), Tafsir Al 'Usyril Akhir wayaliih ahkaam tahummul
muslim, Maktabah Syaamilah, Mausu'ah Haditsiyyah Mushaghgharah, dll.
[i] Akan tetapi, hikmah (kebijaksanaan) Allah menghendaki
bahwa di antara manusia ada yang beriman dan ada yang kafir.
0 komentar:
Posting Komentar