بسم الله الرحمن الرحيم
Istiqamah
Allah Subhaanahu wa Ta'aala
memerintahkan secara umum kepada hamba-hamba-Nya untuk beristiqamah,
firman-Nya:
"Maka tetaplah pada jalan
yang lurus menuju kepada-Nya." (Terj. Fushshilat: 6)
Demikian juga kepada Nabi-Nya
secara khusus, firman-Nya:
"Maka tetaplah kamu pada
jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan orang yang telah
taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.." (Terj. Hud: 112)
Allah Ta'ala juga menjanjikan
pahala yang banyak kepada mereka yang istiqamah, firman-Nya:
"Sesungguhnya orang-orang
yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah", kemudian mereka tetap
istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula)
berduka cita.-- Mereka Itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di
dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan." (Terj. Al
Ahqaaf: 13-14)
Ta'rif (pengertian) Istiqamah
Secara bahasa istiqamah berarti
menjadikan sesuatu tegak, lurus dan sejajar. Sedangkan secara istilah ada
beberapa ta'rif dari para ulama.
Al Qadhiy 'Iyadh berkata:
Tauhidkanlah Allah, beriman kepadanya kemudian beristiqamahlah. Jangan
menyimpang dari tauhid dan teruslah menjalankan ketaatan kepada-Nya hingga kamu
mati dalam keadaan seperti itu."
Ibnu Katsir mengartikan istiqamah
sebagai mengikhlaskan amal untuk Allah dan menjalankan ketaatan kepada Allah
sesuai yang Dia syari'atkan.
Al Qurthubiy berkata,
"Bersikap luruslah dalam ketaatan kepada Allah, baik dalam keyakinan, ucapan
maupun perbuatan dan tetaplah dalam keadaan tersebut."
Jadi, istiqamah adalah usaha
menempuh shiratal mustaqim (jalan yang lurus) tanpa berbelok ke kanan dan ke
kiri, tanpa menambah atau mengurangi, tanpa mempersulit atau menyepelekan. Hal
ini, sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah Ta'ala "
"Maka tetaplah kamu pada
jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang
telah bertobat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. "
Ayat “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar” yakni tetaplah
kamu berada di atas ajaran Islam, jangan malas mengerjakannya atau
meremehkannya.
Sedangkan ayat “sebagaimana diperintahkan
kepadamu” yakni
sesuai yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ayat "Janganlah kamu
melampaui batas" yakni tidak melewati aturan dan tidak menambah-nambah (berbuat bid'ah).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
pernah menjelaskan bahwa karamah terbesar yang diberikan Allah Ta'ala adalah
seseorang dapat beristiqamah.
Usaha setan memalingkan manusia
dari istiqamah
Dalam surat Al A'raaf ayat 16-17, Allah Subhaanahu
wa Ta'aala menyebutkan janji setan untuk menyesatkan manusia yang mengharuskan
kita agar selalu waspada, firman-Nya:
Iblis menjawab: "Karena
Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalanggi)
mereka dari jalan Engkau yang lurus,--- Kemudian saya akan mendatangi mereka
dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau
tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). (Terj. Al A'raaf:
16-17)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
إِنَّ الشَّيْطَانَ قَعَدَ لِابْنِ آدَمَ
بِطُرُقِهِ فَقَعَدَ لَهُ بِطَرِيْقِ الْإِسْلاَمِ فَقَالَ : تُسْلِمُ
وَ تَذَرُ دِيْنَكَ وَ دِيْنَ آبَائِكَ وَ آبَاءِ آبَائِكَ ؟ فَعَصَاهُ
فَأَسْلَمَ ثُمَّ قَََََعَدَ لَهُ بِطَرِيْقِ الْهِجْرَةِ فَقَالَ : تُهَاجِرُ
وَ تَدَعُ أَرْضَكَ وَ سَمَاءَكَ وَ إِنَّمَا مَثَلُ الْمُهَاجِرِ كَمَثَلِ الْفَرَسِ
فِي الطُّوْلِ ! فَعَصَاهُ فَهَاجَرَ ثُمَّ قَعَدَ لَهُ بِطَرِيْقِ الْجِهَادِ
فَقَالَ : تُجَاهِدُ فَهُوَ جُهْدُ النَّفْسِ وَ الْمَالِ فَتُقَاتِلُ
فَتُقْتَلُ فَتُنْكَحُ الْمَرْأَةُ وَ يُقْسَمُ الْمَالُ ؟ فَعَصَاهُ
فَجَاهَدَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ
وَ مَنْ قُتِلَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ وَ إِنْ غَرَقَ
كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ وَ إِنْ وَقَصَتْهُ دَابَّتُهُ
كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ.
"Sesungguhnya setan duduk pada anak Adam di semua jalannya.
Setan duduk di jalan Islam dan berkata, "Apakah kamu akan masuk Islam
sehingga kamu meninggalkan agamamu sebelumnya, agama bapakmu dan agama nenek
moyangmu?" Ia (anak Adam) itu tidak mau menaati setan dan masuk Islam.
Lalu setan duduk di jalan hijrah dan berkata, "Apakah kamu akan berhijrah
dan meninggalkan tanah airmu, padahal orang yang berhijrah itu seperti kuda
yang menempuh perjalan panjang?!" ia tidak mau menaati setan dan tetap
berhijrah. Lalu setan duduk di jalan jihad dan berkata: "Apakah kamu akan
berijhad yang melelahkan jiwa dan mengorbankan harta, kamu berperang dan bisa
terbunuh sehingga istrimu dinikahi orang dan hartamu dibagi-bagikan?!" ia
tidak mau menaati setan dan tetap berjihad. Orang yang melakukan demikian,
Allah akan memasukkannya ke surga, orang yang terbunuh (dalam jihad), Allah
akan memasukkannya ke surga dan jika ia tenggelam, Allah akan memasukkannya ke
surga, dan jika ia terlempar oleh binatang tunggangannya (sehingga meninggal),
maka Allah akan memasukkanya ke surga." (HR. Ahmad, Nasa'i dan Ibnu
Hibban, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 1652)
Qatadah menjelaskan bahwa setan
akan datang kepada manusia dari depan mereka mengabarkan bahwa tidak ada
kebangkitan, surga dan neraka. Dari belakang mereka, dengan menghias perkara
dunia dan mengajak mereka kepadanya. Dari kanan mereka, dengan membuat mereka
menunda-nunda kebaikan dan dari kiri mereka dengan menghias kejahatan dan
maksiat, mengajak mereka kepadanya dan memerintahkannya. Ia akan datang dari
semua arah selain dari atas, karena ia tidak sanggup menghalangi seseorang dari
rahmat Allah.
Ibnu Abbas menafsirkan "dari
kanan mereka" yakni setan akan membuat samar urusan agama mereka
(mendatangkan syubhat), sedangkan dari kiri mereka, yakni membuat mereka senang
kepada maksiat (fitnah syahwat).
Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam senantiasa membaca doa berikut di pagi dan sore hari -meminta
kepada Allah perlindungan-Nya di berbagai arah-:
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ اَلْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا
وَالْاَخِرَةِ اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَ اَلْعَافِيَةَ فِي دِينِي,
وَدُنْيَايَ, وَأَهْلِي, وَمَالِي, اَللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِي, وَآمِنْ
رَوْعَاتِي, اَللَّهُمَّ احْفَظْنِي مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ, وَمِنْ خَلْفِي, وَعَنْ
يَمِينِي, وَعَنْ شِمَالِي, وَمِنْ فَوْقِي, وَأَعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ
أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِي
"Ya Allah, sesungguhnya aku meminta ‘afiyat (penjagaan) kepada-Mu di dunia
dan akhirat. Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu maaf dan 'afiyat baik
dalam agamaku, duniaku, keluargaku dan hartaku. Ya Allah, tutupilah cacatku,
tenangkanlah rasa takutku. Ya Allah, jagalah aku dari depan dan belakangku,
dari kanan dan kiriku serta dari atasku. Aku berlindung dengan keagungan-Mu agar jangan sampai ada yang menghantamku secara tiba-tiba dari
bawahku.” (HR. Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Hakim, ia
berkata: "Shahih isnadnya")
Ketahuilah wahai hamba-hamba
Allah, ketika seorang hamba dalam keadaan berpaling dari agama, maka
setan akan mendorongnya untuk menggampangkan atau bermalas-malasan sampai
akhirnya dia meninggalkan kewajiban dan melakukan perkara yang haram. Setan
akan terus membuatnya lalai, sehingga putuslah hubungannya dengan agama
(seperti dijadikannya meninggalkan shalat), dan di saat itulah setan
meninggalkannya dalam keadaan binasa.
Sebaliknya, jika setan melihat
seorang hamba bersemangat menjalankan agamanya dan tidak mungkin baginya
menghalangi, maka setan menggodanya agar dia berlebih-lebihan dan menganiaya
diri sehingga melampaui batas. Setan terus mendorongnya hingga ia keluar dari
batasan yang ditentukan terjatuh ke dalam bid'ah, bisa saja dijadikannya ia
bangga (ujub) terhadap ibadahnya, seperti yang menimpa orang-orang khawarij. Di
mana ibadah yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dianggap kecil oleh
mereka.
Kedua keadaan tersebut, yakni
meremehkan dan melampaui batas aturan merupakan keadaan tercela. Meremehkan
merupakan tanda kelemahan iman, sedangkan melampaui batas merupakan sebab
penyimpangan. Kedua sikap itu menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam dan istiqamah. Dalam hadits shahih dari Anas bin Malik radhiyallahu
'anhu disebutkan:
جَاءَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ صلى الله
عليه وسلم يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا
أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا فَقَالُوا : وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِىِّ
صلى الله عليه وسلم قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ
. قَالَ أَحَدُهُمْ : أَمَّا أَنَا فَإِنِّى أُصَلِّى اللَّيْلَ أَبَداً . وَقَالَ
آخَرُ : أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلاَ أُفْطِرُ . وَقَالَ آخَرُ : أَنَا
أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلاَ أَتَزَوَّجُ أَبَداً . فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صلى
الله عليه وسلم فَقَالَ :« أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا ؟ أَمَا
وَاللَّهِ إِنِّى لأَخْشَاكُمْ لِلّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ ، لَكِنِّى أَصُومُ
وَأُفْطِرُ ، وَأُصَلِّى وَأَرْقُدُ ،وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَنْ رَغِبَ
عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى
Pernah datang tiga orang ke
rumah-rumah istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk bertanya
tentang bagaimana ibadah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Setelah mereka
diberitahukan, sepertinya mereka menganggap sedikit, mereka berkata,
"Bagaimana keadaan kami dibanding Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang
telah diampuni dosa-dosanya di masa yang lalu dan yang akan datang", salah
seorang di antara mereka berkata, "Saya shalat malam selamanya (tanpa
diselingi tidur)", yang satu lagi berkata, "Saya akan puasa selamanya
dan tidak akan berbuka." Sedangkan yang lain berkata: "saya akan
menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya." Maka Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam datang dan bersabda, "Kaliankah orang yang
mengucapkan kata-kata ini dan itu? Demi Allah, sesungguhnya saya adalah
orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya. Akan
tetapi, saya berpuasa dan berbuka, saya shalat (malam) dan tidur dan saya
menikahi wanita. Barang siapa yang membenci Sunnahku, maka ia bukanlah termasuk
golonganku." (HR. Bukhari)
Jalan Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam tersebut adalah jalan yang lurus, adapun jalan-jalan yang
dibuat manusia dalam beribadah atau biasa dikenal dengan nama
"tarekat" seperti yang dibuat oleh orang-orang shufi, bukanlah jalan
yang lurus, dan yang demikian dapat menjadikan kita berpecah belah. Allah Subhaanahu
wa Ta'aala berfirman:
"Dan bahwa (yang Kami
perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah
kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai
beraikan kamu dari jalan-Nya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu
bertakwa." (Terj. Al An'aam: 153)
Di samping hal di atas, sikap berlebih-lebihan
dapat membuat seseorang mudah bosan dan berputus asa, menghalangi istiqamah,
memberatkan diri dan tidak sejalan dengan fitrahnya.
Cukupkah beriman tanpa disertai
istiqamah?
Wahai hamba-hamba Allah, sebagian
manusia ada yang berkata: "Kami beriman kepada Allah", akan
tetapi mereka tidak istiqamah di atas agama Allah, bahkan mencukupkan keimanan
itu hanya dengan ucapan semata. Tentang mereka, Allah Ta'ala berffirman:
"Dan di antara manusia ada
orang yang berkata: "Kami beriman kepada Allah", Maka apabila ia
disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia menganggap fitnah manusia itu
sebagai azab Allah. dan sungguh jika datang pertolongan dari Tuhanmu, mereka
pasti akan berkata: "Sesungguhnya Kami adalah besertamu". Bukankah
Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam dada semua manusia? (Al 'Ankabut: 10)
Mereka berpaling ketika
mendapatkan ujian dan mereka tersesat ketika menghadapi syubhat dan syahwat.
Agama mereka didasari hawa nafsu dan apa saja yang mereka inginkan. Mereka
tidak bermar ma'ruf dan bernahi mungkar. Mereka tidak konsisten dengan ucapan
mereka "Kami beriman kepada Allah" yang menuntut keistiqamahan
kepada tujuan kalimat ini, berupa melaksanakan ketaatan dan meninggalkan yang
haram, ikhlas karena Allah dan berbuat baik kepada sesama hamba Allah. Dari
sini kita ketahui bahwa keimanan kepada Allah harus ditambah dengan istiqamah.
Jalan keselamatan
Sufyan bin Abdullah Ats Tsaqafiy
pernah berkata: “Wahai Rasulullah, katakanlah kepada saya dalam Islam sebuah
perkataan yang tidak saya tanyakan kepada seorang pun selainmu.”
Beliau menjawab:
قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ
Katakanlah: "Aku beriman
kepada Allah dan beristiqwamahlah." (HR. Muslim)
Berdasarkan hadits di atas kita
mengetahui bahwa keselamatan dari neraka dan kemenangan meraih surga tidaklah
dihasilkan kecuali dengan 2 perkara:
1.
Beriman kepada Allah
2.
Beritiqamah, yakni dengan beramal
shalih dan bertahan di atasnya.
Allah Subhaanahu wa Ta'aala
berfirman:
Demi masa.--Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam
kerugian,--Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh …dst..
(Al ‘Ashr: 1-3)
Kalau sekiranya ucapan semata
sudah cukup dan bermanfaat bagi pelakunya, tentu bergunalah ucapan "saya
beriman kepada Allah" yang diulang-ulang oleh orang-orang munafik. Namun
kenyataannya, Allah mendustakan mereka dengan firman-Nya "Mereka itu sesungguhnya
bukan orang-orang yang beriman." (Lih. Al Baqarah: 8)
Jika dihadapkan futur (sikap loyo
dan kurang semangat)
Seorang ahli ibadah memiliki masa
semangat dan masa kendornya sebagaimana dijelaskan Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam dalam sabdanya berikut:
إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةٌ وَ لِكُلِّ
شِرَّةٍ فَتْرَةٌ فَمَنْ كَانَ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّتِيْ فَقَدِ اهْتَدَى وَ مَنْ
كَانَتْ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ
"Sesungguhnya setiap amal memiliki saat-saat semangat, dan
saat-saat semangat memiliki saat-saat lemahnya. Barang siapa yang ketika
lemahnya masih di atas Sunnahku, maka dia mendapatkan petunjuk. Sebaliknya,
jika tidak di atas itu, maka dia
binasa." (HR. Baihaqi dalam Syu'abul Iman, Lih. Shahihul Jami no.
2152)
Apabila sesorang tertimpa futur, -dan
hal itu pasti datang kepada ahli ibadah-, jika ia tidak meninggalkannya
secara keseluruhan, yakni mengarah kepada iqtishad (pertengahan dan tidak
meremehkan), maka ia memperoleh petunjuk, karena diharapkan sekali ia akan
kembali semangat. Contohnya sesorang yang banyak menjalankan shalat sunat,.
Tidak ada satu shalat sunat pun kecuali dia kerjakan, tiba-tiba ia futur. Jika
futurnya tidak membuatnya meninggalkan secara keseluruhan, misalnya tetap
menjaga shalat wajib beserta shalat sunat yang mu'akkadnya saja, maka insya
Allah ia masih di atas pertunjuk. Sebaliknya, jika malah ditinggalkannya secara
keseluruhan, sampai-sampai yang wajib ditinggalkan dan beralih kepada maksiat,
maka ia akan binasa. Wallahu a'lam.
Marwan bin Musa
Maraaji’: Kitab-kitab tafsir,
Shahih Bukhari dan Muslim, Shahihul Jami', majalah Fatawa (Vol. 05 Tahun II 1425
H/2004 M) dll.
0 komentar:
Posting Komentar