بسم الله الرحمن الرحيم
Hikmah di Balik Musibah
Orang yang merenungi Sunnatullah tentu akan mengetahui
bahwa cobaan merupakan salah satu Sunnah (ketetapan) Allah yang bersifat
kauniyyah qadariyyah (qadar Allah terhadap alam semesta). Allah Subhaanahu wa
Ta'aala berfirman:
“Dan sungguh
akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar.” (Terj. Al Baqarah: 155)
Sungguh
keliru orang yang beranggapan, bahwa hamba Allah yang paling salih adalah orang
yang paling jauh dari cobaan, bahkan cobaan merupakan tanda keimanan. Di
dalam hadits disebutkan:
Dari Mush’ab
bin Sa’ad, dari bapaknya, ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah,
“Siapakah orang yang paling berat ujiannya?” Beliau menjawab, “Para nabi, kemudian yang setelahnya dan setelahnya. Seseorang
akan diuji sesuai kadar keimanannya. Siapa yang imannya tinggi, maka ujiannya pun
berat, dan siapa yang imannya rendah maka ujiannya disesuaikan dengan kadar
imannya. Ujian ini akan tetap menimpa seorang hamba sampai ia berjalan di bumi tanpa
membawa dosa.” (HR. Tirmidzi)
Di samping
itu, cobaan adalah salah satu tanda kecintaan Allah kepada hamba-Nya,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ
الْبَلاَءِ، وَإِنَّ اللهَ تَعَالَى إِذَا أَحَبَّ قَوْماً ابْتَلاَهُمْ، فَمَنْ
رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَي، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ
“Sesungguhnya besarnya
pahala tergantung besarnya cobaan, dan Allah apabila mencintai suatu kaum, maka
Allah akan menguji mereka. Barang siapa yang ridha, maka ia akan mendapatkan
keridhaan-Nya dan barang siapa yang kesal terhadapnya, maka ia akan mendapatkan
kemurkaan-Nya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, Tirmidzi menghasankannya)
Demikian
juga cobaan merupakan salah satu tanda diberikan oleh Allah kebaikan
kepadanya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ
عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوْبَةَ فِي الدُّنْيَا، وَإِذَا أَرَادَ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ
أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِىَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Apabila Allah
menginginkan kebaikan kepada hamba-Nya, maka Allah akan mempercepat hukuman di
dunia. Dan apabila Allah menginginkan keburukan bagi hamba-Nya maka ditahan
hukuman itu karena dosa-dosanya sehingga ia mendapatkan balasannya pada hari
kiamat.” (HR. Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Dan sebagai
penebus dosanya, meskipun bentuknya kecil. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
مَا مِنْ مُصِيبَةٍ تُصِيبُ الْمُسْلِمَ إِلاَّ
كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا عَنْهُ ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا »
“Tidaklah suatu musibah menimpa seorang muslim, melainkan Allah
akan menggugurkan dosa-dosanya, meskipun hanya terkena duri.” (HR. Bukhari)
Sebaliknya, jika
seseorang diberikan dunia ini namun tetap bergelimang di atas kemaksiatan, maka
ketahuilah bahwa yang demikian merupakan istidraj (penangguhan ‘azab dari
Allah). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اِذَا رَأَيْتَ اللهَ يُعْطِى الْعَبْدَ مِنَ
الدُّنْيَا عَلىَ مَعَاصِيْهِ مَا يُحِبُّ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ ثُمَّ
تَلاَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم "فَلَمَّا نَسُوا ....الاية.
“Apabila kamu melihat
Allah memberikan kenikmatan dunia yang disenangi kepada seorang hamba padahal
ia berada di atas maksiat, maka sebenarnya hal itu adalah istidraj”, kemudian
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
membacakan ayat:
”Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. (Terj.Al An’aam: 44). [HR. Ahmad dengan isnad yang jayyid, Shahihul Jami' no. 561]
”Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. (Terj.Al An’aam: 44). [HR. Ahmad dengan isnad yang jayyid, Shahihul Jami' no. 561]
Hikmah adanya musibah
Oleh karena itu, seorang muslim yang tertimpa musibah,
jika ia seorang yang salih, maka cobaan itu menghapuskan kesalahan-kesalahan
yang lalu dan mengangkat derajatnya. Namun jika ia seorang pelaku maksiat, maka
cobaan itu akan menghapuskan dosa-dosanya dan sebagai peringatan terhadap
bahaya dosa-dosa itu. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
"Dan Kami uji
mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar
mereka kembali (kepada Allah)." (Terj.
Al A'raaf: 168)
Yakni agar kembali
beribadah kepada Allah, mengingat-Nya dan bersyukur terhadap nikmat-Nya.
Ibnul Qayyim berkata,
"Kalau tidak karena cobaan dan musibah dunia, niscaya manusia terkena
penyakit kesombongan, ujub (bangga diri) dan kerasnya hati. Padahal sifat-sifat
ini merupakan kehancuran baginya di dunia maupun akhirat. Di antara rahmat
Allah, kadang-kadang manusia tertimpa musibah yang menjadi pelindung baginya
dari penyakit-penyakit hati dan menjaga kebersihan ibadahnya. Mahasuci Allah
Yang merahmati manusia dengan musibah dan ujian."
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata, "Musibah yang diterima karena Allah semata, lebih
baik bagimu daripada nikmat yang membuat lupa mengingat-Nya."
Di samping yang
disebutkan di atas, hikmah musibah lainnya adalah:
-
Sebagai
jalan menuju surga.
Surga adalah tempat yang
penuh kenikmatan, tidak mungkin mencapainya dengan santai dan berleha-leha,
bahkan untuk mencapainya dibutuhkan kerja keras, penderitaan, kesabaran dan kesungguhan.
Orang-orang yang anda lihat berharta banyak dan merasakan berbagai kenikmatan
di dunia ini, ia mengawali hidupnya dengan kerja keras, penderitaan, kesabaran
dan kesungguhan, sehingga di akhirnya ia mendapatkan kekayaan dan kenikmatan.
Nah, sekarang yang hendak anda kejar adalah kenikmatan yang lebih baik dari
itu, kenikmatan yang sesungguhnya, yang tidak memiliki kekurangan dan
keterbatasan; hidup kekal tidak mati, senantiasa sehat tidak sakit, santai
menikmati kesenangan yang ada tanpa susah payah mendapatkannya dsb.
Athaa' pernah berkata: Ibnu
Abbas berkata kepadaku, "Maukah kamu aku perlihatkan seorang wanita
penghuni surga?" Aku (Athaa') menjawab, "Ya." Ia berkata, "Yaitu
wanita hitam ini. Ia pernah datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
dan berkata, "Saya terkena penyakit ayan, dan jika sedang kambuh, auratku
terbuka, maka berdoalah kepada Allah untukku!" Beliau bersabda, "Jika
kamu mau bersabar, maka kamu akan masuk surga. Namun jika kamu mau, maka aku
akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu." Wanita itu berkata,
"Aku siap bersabar. Hanya saja jika sedang kambuh auratku terbuka. Oleh
karena itu, berdoalah kepada Allah agar auratku tidak terbuka." Maka Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam mendoakannya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Lihatlah wanita yang
terkena musibah ayan ini, ia siap bersabar terhadap musibah sehingga membuatnya
akan masuk surga.
Di dalam hadits lain
disebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Apabila
anak seorang hamba meninggal dunia, maka Allah akan berkata kepada para
malaikat-Nya, "Apakah kalian telah mencabut nyawa anak hamba-Ku?" Para malaikat menjawab, "Ya." Allah berfirman,
"Apakah kalian telah mengambil buah hatinya?" Mereka menjawab,
"Ya." Allah berfirman, "Lalu apa yang diucapkan hamba-Ku?"
Mereka menjawab, "Dia memuji-Mu dan beristirja' (mengucapkan "Innaa
lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun)." Allah berfirman, "Bangunkanlah
untuk hamba-Ku rumah di surga dan namailah dengan Baitul hamd (rumah
pujian)." (Hasan, HR. Tirmidzi)
Dalam hadits qudsi,
Allah berfirman:
إِذَا ابْتَلَيْتُ عَبْدِى
بِحَبِيبَتَيْهِ فَصَبَرَ عَوَّضْتُهُ مِنْهُمَا الْجَنَّةَ
"Apabila Aku memberi cobaan kepada hamba-Ku dengan
(dijadikan buta) kedua mata yang dicintainya, ia pun bersabar, maka Aku akan
menggantinya dengan surga." (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketahuilah wahai
saudaraku, sesungguhnya sikap kesal dan keluh kesah, tidak dapat menghilangkan
musibahmu, bahkan hanya menambah derita dan dosa.
-
Membawa
keselamatan dari api neraka dan membersihkan dosa-dosa.
Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda tentang penyakit demam:
اَلْحُمَّى حَظُّ كُلِّ مُؤْمِنٍ مِنَ النَّارِ
"Sakit demam itu menjauhkan setiap orang mukmin dari api
neraka." (HR. Al Bazzar, Silsilah Ash Shahiihah no. 1821)
Di dalam hadits lain
disebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila menjenguk
orang sakit berkata kepadanya, "Laa ba'sa thahuur insya Allah."
Artinya: Tidak apa-apa, penyakit itu akan membersihkan (dosa-dosamu) insya
Allah. (HR. Bukhari)
-
Menyadari
betapa besarnya nikmat sehat.
Seseorang akan merasakan
nikmat sehat ketika sakit. Ketika seseorang sakit gigi misalnya, ia akan
merasakan begitu nikmat gigi yang sehat. Ketika telinganya tersumbat sesuatu
sehingga tidak dapat mendengar secara jelas, ia akan merasakan nikmatnya bisa
mendengar dengan baik, dsb. Dengan demikian, ia pun dapat bersyukur dan
merasakan begitu besarnya nikmat yang diberikan Allah kepada dirinya.
-
Membuat
dirinya peka terhadap musibah yang menimpa saudaranya, sehingga ia pun mau
membantu saudaranya.
Di dalam hadits qudsi
disebutkan, bahwa Allah akan berfirman kepada anak cucu Adam pada hari kiamat:
يَا ابْنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ
تَعُدْنِى . قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَعُودُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ .
قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِى فُلاَنًا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ أَمَا
عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِى عِنْدَهُ يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَطْعَمْتُكَ
فَلَمْ تُطْعِمْنِى . قَالَ يَا رَبِّ وَكَيْفَ أُطْعِمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ
الْعَالَمِينَ . قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّهُ اسْتَطْعَمَكَ عَبْدِى فُلاَنٌ
فَلَمْ تُطْعِمْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ أَطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلِكَ
عِنْدِى يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِنِى .قَالَ يَا رَبِّ
كَيْفَ أَسْقِيكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ قَالَ اسْتَسْقَاكَ عَبْدِى
فُلاَنٌ فَلَمْ تَسْقِهِ أَمَا إِنَّكَ لَوْ سَقَيْتَهُ وَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِى
"Wahai
anak Adam, Aku sakit, namun mengapa kamu tidak menjenguk-Ku?" Anak Adam menjawab,
"Ya Rabbi, bagaimana aku menjengukmu, sedangkan Engkau Tuhan semesta alam?"
Allah berfirman, "Tidakkah kamu mengetahui bahwa hamba-Ku si fulan sedang sakit,
tetapi kamu tidak menjenguknya. Kalau sekiranya kamu mau menjenguk, tentu kamu
akan mendapati-Ku di dekatnya. Wahai anak Adam! Aku meminta makan kepadamu,
namun mengapa kamu tidak memberi-Ku makan?" Ia berkata: "Ya Rabbi,
bagaimana aku memberi-Mu makan, padahal Engkau Tuhan semesta alam?" Allah
berfirman, "Tidakkah kamu mengetahui bahwa hamba-Ku si fulan meminta makan
kepadamu, tetapi kamu tidak memberinya. Kalau sekiranya kamu mau memberi, tentu
kamu akan mendapatkan yang demikian di sisi-Ku. Wahai anak Adam! Aku meminta
minum kepadamu, namun mengapa kamu tidak memberi-Ku minum?" Ia berkata,
"Ya Rabbi, bagaimana aku memberi-Mu minum, padahal Engkau Tuhan semesta
alam?" Allah berfirman, "Hamba-Ku si fulan telah meminta minum
kepadamu, tetapi kamu tidak memberinya. Kalau sekiranya kamu mau memberinya
minum, tentu kamu akan mendapatkan yang demikian itu di sisi-Ku." (HR.
Muslim)
Marwan bin Musa
Maraji’: Tafsir Al 'Usyril Akhir, Shahihul Jami' (Syaikh Al Albani), Shahih
Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Tirmidzi, Doa dan Wirid (Ust. Yazid bin A.Q Jawas),
Fawaa'idul maradh (Abdurrahman bin Yahya), dll.
0 komentar:
Posting Komentar