بسم الله الرحمن الرحيم
Kaedah Penting Asma'ul Husna
(bag. 1)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada
Rasulullah, kepada keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya
hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut ini pembahasan tentang kaedah Asma'ul Husna dan beberapa
hal yang terkait dengannya, semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan
bermanfaat, Allahumma aamin.
Pentingnya mempelajari asma' dan
sifat Allah
Dalam mentauhidkan Allah (baca:
mengesakan Allah) ada tiga hal yang kita tauhidkan; rububiyyah, uluhiyyah dan
asma' dan sifat Allah.
Tauhid Rububiyyah maksudnya kita tauhidkan Allah,
bahwa hanya Dia Rabbul 'alamin, yakni yang menciptakan, yang memberikan rezeki,
yang mengatur dan menguasai alam semesta.
Tauhid Uluhiyyah maksudnya kita tauhidkan Allah,
bahwa hanya Dia yang berhak disembah dan ditujukan berbagai ibadah; tidak
selain-Nya.
Tauhid asmaa' dan shifat maksudnya kita mengimani nama-nama
dan sifat-sifat Allah yang disebutkan Allah dalam Al Qur'an atau disebutkan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam As Sunnah tanpa ta'wil (merubah
arti), tasybih (menyerupakan dengan makhluk), takyif (menanyakan bagaimana
hakikatnya), ta'thil (meniadakan) dan tanpa tamtsil (menyamakan dengan
makhluk).
Dengan demikian, kedudukan
mempelajari asma' dan sifat Allah sangat tinggi karena termasuk mentauhhidkan
Allah 'Azza wa Jalla, dan seseorang tidak mungkin beribadah kepada Allah Ta'ala
secara sempurna sampai ia memiliki ilmu terhadap asma' dan sifat Allah, agar
dia dapat beribadah kepada Allah Ta'ala di atas ilmu. Allah Subhaanahu wa
Ta'aala berfirman:
"Hanya
milik Allah asmaa-ul husna, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul
husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat Balasan terhadap apa yang
telah mereka kerjakan." (Terj.
QS. Al A'raaf: 180)
Ayat
" Maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu "
mengandung dua doa:
1. Du'aaul mas-alah
(doa permintaan), yakni sebelum meminta, kita dahulukan menyebut asmaa'ul husna
yang sesuai. Contohnya mengucapkan "Yaa Ghafuur (Maha Pengampun),
ampunilah aku," "Yaa Rahiim (Maha Penyayang), sayangilah aku,"
dan "Yaa Razzaaq (Maha Pemberi rezeki), berilah aku rezeki".
2.
Du'aaul ibadah (doa sebagai perwujudan ibadah), yakni
kita beribadah kepada Allah Ta'ala mengikuti konsekwensi dari nama-nama Allah
tersebut. Misalnya kita bertobat kepada Allah, karena Dia At Tawwab (Maha
Penerima taubat), kita berdzikr dengan lisan kita karena Dia As Samii' (maha
Mendengar), kita beribadah kepada-Nya dengan anggota badan kita, karena Dia Al
Bashiir (Maha Melihat) dan kita takut kepada Allah ketika hendak bermaksiat di
tempat yang sepi karena Dia Al Lathiif dan Al KHabiir (Mahahalus lagi Maha
Mengetahui).
Ka'idah
dalam memahami Asma' wa Shifat Allah
1- أَسْمَاءُ
اللهِ كُلُّهَا حُسْنَى
"Nama-nama Allah semuanya husna
(sangat indah)."
Dalilnya
kaedah ini ada di surat Al A'raaf: 180 yang telah disebutkan sebelumnya.
Mengapa semua nama Allah husna? Hal itu, karena nama-nama Allah mengandung
sifat yang sempurna dan tidak memiliki kekurangan dari berbagai sisi baik dar
sisi ihtimal (adanya kemungkinan dari lafaz)[i]
maupun sisi taqdir (perkiraan)[ii].
Contoh:
1. Al Hayyu
(Allah Maha Hidup).
Nama ini adalah salah satu nama Allah Ta'ala. Hidup di sini mengandung hidup
secara sempurna yang sebelumnya tidak diawali ketiadaan dan tidak diakhiri oleh
ketiadaan; hidup yang menghendaki kesempurnaan sifat, seperti mengetahui,
mampu, mendengar, melihat, dsb.
2. Al 'Aliim
(Allah Maha mengetahui).
Nama ini mengandung pengetahuan secara sempurna tanpa didahului oleh
ketidaktahuan dan tidak disudahi dengan lupa (Lih. Surat Thahha: 52).
Mengandung pengetahuan yang luas, yang meliputi segala sesuatu baik secara
garis besar maupun secara rinci, baik yang berkaitan dengan perbuatan-Nya
maupun berkaitan dengan perbuatan makhluk-Nya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala
berfirman:
Dia
mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi dan mengetahui apa yang kamu
rahasiakan dan yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha mengetahui segala isi
hati." (Terj.
QS. At Taghaabun: 4)
3. Ar Rahmaan
(Allah Maha Pemurah),
dimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sampai bersabda:
َللهُ
أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَـدِهَا
"Sungguh
Allah lebih sayang kedpada hamba-hamba-Nya daripada seorang ibu ini sayang
kepada anaknya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Yakni
ketika ibu tersebut mendapati puteranya dalam tawanan, ia pun langsung mengambilnya,
memeluk dan menyusukannya.
Di
dalam kata Ar rahman juga mengandung kasing sayang yang luas. Allah Ta'ala
berfirman:
"Dan
rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.".(Terj. QS. Al A'raaf: 156)
Keindahan
nama-nama Allah Ta'ala ada pada masing-masing nama itu dan ketika digabungkan,
dan apabila digabung dengan nama-nama-Nya yang lain, maka menjadi kesempurnaan
di atas kesempurnaan. Contoh: Al 'Azizul Hakiim (Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana).
Kedua nama ini sering digabung dalam Al Qur'an. Masing-masingnya menunjukkan
kesempurnaan secara khusus dari nama itu, seperti izzah (keperkasaan) dari
nama-Nya Al 'Aziz, dan hukum (menetapkan) serta hikmah (bijaksana) dari
nama-Nya Al Hakiim. Jika digabungkan keduanya, maka menunjukkan kesempurnaan
lagi yang lain, yaitu bahwa keperkasaan Allah Ta'ala dihubungkan dengan
kebijaksanaan, sehingga keperkasaan-Nya tidaklah menghendaki berbuat zalim dan
berbuat buruk, berbeda dengan makhluk, dimana ketika mereka perkasa membuat
mereka bersikap sombong lalu menzalimi orang lain dan bertindak jahat. Demikian
juga hukum dan hikmah Allah Ta'ala, keduanya dihubungkan dengan keperkasaan
yang sempurna. Adapun makhluk; hukum dan hikmahnya terkena oleh kelemahan.
2- أَسْمَاءُ
اللهِ تَعَالَى أَعْلاَمٌ وَأَوْصَافٌ
"Nama-nama
Allah Ta'ala mengandung nama dan sifat."
Ka'idah ini untuk menjelaskan bahwa
nama-nama Allah Ta'ala mengandung nama dan menunjukkan sifatnya, berbeda dengan
manusia yang memiliki nama, namun sifatnya tidak sesuai namanya. Ada orang yang
bernama shalih, tetapi kenyataannya pelaku maksiat, ada yang bernama sa'id
(bahagia) namun kenyataannya ia termasuk orang yang sengsara dan ada yang
bernama adil (orang yang adil), namun kenyataannya ia adalah orang yang zalim.
Oleh karena itu, nama Allah Ar
Rahiim misalnya, menunjukkan bahwa Dia memiliki sifat rahmah (sayang). Nama Al
'Aliim (Maha Mengetahui), menunjukkan bahwa Dia memiliki pengetahuan yang
sempurna, nama-Nya As samii' (Maha Mendengar), menunjukkan bahwa Dia memiliki
pendengaran, nama-Nya Al Bashiir (Maha Melihat), menunjukkan bahwa Dia memiliki
penglihatan, dsb.
Nama-nama Allah tersebut menunjukkan
kepada dzat (Diri)-Nya, dan merupakan sifat melihat kepada makna (kandungan)
dari nama itu.
Nama-nama Allah tersebut jika kepada
Dzat-Nya adalah sama, karena menunjukkan kepada satu saja, yaitu kepada Allah
Azza wa Jalla. Namun jika melihat kepada makna, maka berbeda, karena
masing-masing nama tersebut menunjukkan makna tertentu. Oleh karena itu
nama-nama Al Hayyu, Al 'Aliim, Al Qadiir (Maha Kuasa), As Samii', Al Bashiir,
Ar Rahmaan, Ar Rahiim, Al 'Aziiz dan Al Hakiim semuanya nama untuk Dzat yang
satu, yaitu Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Akan tetapi, makna (kandungan) Al
Hayyu berbeda dengan Al 'Aliim, dan makna Al 'Aliim berbeda dengan makna Al
Qadiir dst.
Kita katakan bahwa nama-nama Allah
merupakan nama dan menunjukkan sifat karena memang seperti itulah yang
ditunjukkan oleh Al Qur'an. Allah Ta'ala berfirman:
uqèdur âqàÿtóø9$# ÞOÏm§9$# ÇÑÈ
"Dan
Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (Terj. QS. Al Ahqaaf: 8)
y7/uur âqàÿtóø9$# rè ÏpyJôm§9$# (
"Dan
Tuhanmulah yang Maha Pengampun, lagi mempunyai rahmat. " (Al Kahfi:
58)
Pada
ayat di atas jelas sekali bahwa Allah memang memiliki rahmat, jadi tidak
sekedar nama, bahkan nama dan menunjukkan pula sifat-Nya. Dari sinilah kita
mengetahui sesatnya orang yang meniadakan makna dari nama-nama Allah Ta'ala
dari kalangan Ahlut Ta'thil, di mana mereka mengatakan bahwa Allah mendengar
namun tidak memiliki pendengaran, melihat namun tidak memiliki penglihatan,
perkasa namun tidak memiliki keperkasaan dst. Mereka beralasan bahwa adanya
sifat dari nama-nama itu menghendaki banyaknya dzat. Alasan ini sangat lemah
sekali, bahkan bukan merupakan alasan. Banyak dalil yang membatalkan alasan ini
baik dari sam'i (Al Qur'an dan As Sunnah) maupun Akal. Dari Al Qur'an Misalnya:
"Sesungguhnya
azab Tuhanmu benar-benar keras.--Sesungguhnya Dia-lah yang menciptakan
(makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali).--Dia-lah yang Maha
Pengampun lagi Maha Pengasih,-- Yang mempunyai 'Arsy, lagi Maha mulia,--Mahakuasa
berbuat apa yang dikehendaki-Nya." (Terj. QS. Al Buruuj: 12-16)
Dalam
ayat-ayat tersebut disebutkan sifat-sifat yang banyak kepada satu Dzat yang
disifati, yaitu Allah Subhaanahu wa Ta'aala, dan banyaknya sifat tidaklah
menunjukkan banyaknya dzat.
Sedangkan
dalil dari akal adalah karena sifat bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang
disifati, dimana adanya sifat tidak mengharuskan banyaknya dzat. Ia hanyalah
sifat bagi yang memilikinya dan tegak dengan sifat itu. Bahkan semua yang
terwujud memiliki banyak sifat, minimal padanya terdapat sifat ada (wujud), ada
yang mesti ada (waajibul wujud), mungkin ada (mumkinul wujud) seperti makhluk,
ada yang berupa sesuatu yang tegak sendiri atau sifat bagi yang lain.
Dari
ka'idah di atas, kita mengetahui bahwa Ad Dahr (masa) bukanlah termasuk
nama Allah Ta'ala, karena Ad Dahr merupakan isim (kata benda) jamid (baku) yang
tidak mengandung makna yang dikandung oleh Asmaa'ul Husna, di samping ia
merupakan nama untuk waktu dan zaman. Adapun sabda Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam:
قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ :
يُؤْذِيْنِي ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ بِيَدِي الْأَمْرُ أُقَلِّبُ
اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
Allah
Azza wa jalla berfirman, "Anak Adam menyakiti-Ku dengan memaki masa,
padahal Aku adalah masa; di Tangan-Ku segala urusan, Aku membolak-balikkan
malam dan siang." (HR. Bukhari, Muslim dan lainnya)[iii]
Hadits
ini tidaklah menunjukkan bahwa Ad Dahr termasuk nama-nama Allah Ta'ala, karena
orang-orang yang memaki masa, yang mereka maksudkan adalah waktu dimana
berlangsung di sana semua peristiwa, bukan "Allah" yang mereka
maksudkan. Oleh karena itu, maksud "Aku adalah masa" adalah seperti
yang diterangkan oleh firman-Nya setelahnya: "Di tangan-Ku-lah segala
urusan, Aku membolak-balikkan malam dan siang." Allah Subhaanahu wa Ta'aala yang menciptakan
masa dan segala yang ada di dalamnya. Di hadits tersebut Allah Subhaanahu wa
Ta'aala menerangkan bahwa Dia yang membolak-balikkan malam dan siang, yakni
masa tersebut. Tidak mungkin yang membolak-balikkan (subjek) adalah masa yang dibolak-balikkan
(objek). Dengan demikian, jelaslah bahwa maksud "masa" di sini
bukanlah Allah.
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji':
Al Qawaa'idul Mutsla fi Asmaa'illahi wa shifaatihil 'Ula karya Syaikh
Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin.
[i] Contohnya adalah kata "makr" dan
"kaid" (membuat makar dan tipu daya), dalam kedua kata ini ada
kemungkinan kekurangan dan ada kemungkinan kesempurnaan, karena adanya
kemungkinan kekurangan, sehingga tidak ada dalam nama Allah "Al Maakir"
(yang membuat makar).
[ii] Taqdir di sini, bukan taqdir dalam arti qadar. Maksud
taqdir di sini adalah lafaz tersebut memang menunjukkan kesempurnaan, namun
masih bisa mengandung kekurangan berdasarkan taqdir (perkiraan). Contohnya Al
Mutakallim (yang berbicara), karena yang berbicara itu bisa berkata-kata baik
dan bisa berkata-kata buruk, sehingga tidak ada dalam nama Allah Ta'ala
"Al Mutakallim", karena nama Allah Ta'ala tidak mengandung
kemungkinan kekurangan meskipun dengan taqdir (perkiraan). Oleh karena itu,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Ashfahaaniyyah hal. 5 menjelaskan:
"Adapun menamai Allah Subhaanahu wa Ta'aala dengan nama Al Muriid dan Al
Mutakallim, maka kedua nama itu tidak ada dalam Al Qur'an maupun dalam Asmaa'ul
Husna yang sudah dikenal, kedua maknanya memang hak (benar). Akan tetapi karena
Asmaa'ul Husna yang sudah dikenal adalah nama yang dipakai berdoa kepada Allah
Ta'ala, ia merupakan nama yang disebutkan dalam Al Qur'an dan As Sunnah.
Nama-nama tersebut menghendaki adanya pujian terhadapnya dan sanjungan.
Sedangkan ilmu (mengetahui), qudrah (mampu) dan rahmah (sayang) dsb. Merupakan
sifat yang di dalamnya mengandung sifat terpuji, dan nama-nama yang
menunjukkannya juga nama-nama terpuji. Adapun kalam (berbicara) dan iradah
(berkehendak) karena ia terbagi ada yang terpuji, serperti jujur dan adil, dan
ada yang tercela seperti zalim dan dusta. Karena Allah Ta'ala tidaklah disifati
kecuali dengan yang terpuji tidak yang tercela, maka telah ada nama tertentu
yang terpuji yang sudah ada di dalamnya sifat berbicara dan berkehendak,
seperti nama-Nya Al Hakim (Maha Terpuji), Ar Rahiim (Maha Penyayang), Ash
Shaadiq (Mahabenar), Al Mu'min (Maha Membenarkan), As Syahiid (Maha
Menyaksikan), Ar Ra'uuf (Maha Penyayang), Al Haliim (Mahasantun), Al Fattah
(Maha Pemberi keputusan) dsb. Oleh karena itu, tidak ada dalam riwayat, bahwa
termasuk ke dalam nama-Nya yang indah adalah Al Mutakallim dan Al Muriid."
[iii] Mencela masa ada tiga keadaan:
-
Maksud dalam dirinya adalah sebagai kabar (informasi) semata, bukan
mencela. Maka dalam hal ini dibolehkan. Misalnya seorang berkata, "Kita
merasa lelah karena panas udara di hari ini." Niatnya hanya sebagai
informasi saja.
-
Mencela masa, karena menganggap bahwa musibah yang menimpanya dilakukan
oleh masa. Menurutnya, bahwa masa yang membolak-balikkan perkara; kepada yang
baik atau yang buruk. Hal ini merupakan syirk akbar, karena keyakinannya bahwa
di samping Allah Ta'ala ada yang mengatur urusan terhadap peristiwa yang
terjadi, yaitu masa.
-
Mencela masa, dengan keyakinan bahwa yang melakukannya adalah Allah,
akan tetapi ia mencela masa karena di masa itulah tempat terjadi berbagai
peristiwa yang tidak mengenakkan tersebut. Hal ini hukumnya haram, karena
menafikan kesabaran dan bukan kekufuran, karena ia tidak langsung mencela
Allah, kalau langsung mencela Allah tentu ia kafir. (Diringkas dari fatwa
Syaikh Ibnu 'Utsaimin)
0 komentar:
Posting Komentar