بسم الله الرحمن الرحيم
Tobat
Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan kaum mukmin untuk bertobat,
firman-Nya:
“Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai
orang-orang yang beriman agar kamu beruntung.” (terj. An Nuur: 31)
Dia membagi hamba-hamba-Nya kepada dua golongan; hamba yang bertobat
dan hamba yang zhalim, tidak ada yang ketiganya, firman-Nya:
“Dan barang siapa yang tidak bertobat, maka
mereka itulah orang-orang yang zalim.” (terj. Al Hujuraat: 11)
Di akhir-akhir ini, banyak orang yang jauh dari agama Allah,
maksiat merata dan kerusakan melanda sehingga hampir tidak ada satu pun manusia
kecuali telah dilumuri oleh berbagai noda dosa dan maksiat, selain orang yang
Allah jaga.
Akan tetapi, Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan
cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci, sehingga banyak orang yang sadar
dari kelalaiannya dan bangun dari tidurnya. Mereka menyadari sikapnya selama
ini yang jauh dari jalan yang lurus; jalan orang-orang yang diberi nikmat oleh
Allah, jalan para nabi, para shiddiqin, syuhada dan orang-orang saleh. Mereka
pun pergi menuju menara tobat, sedangkan yang lain sudah mulai bosan dengan
hidupnya dan berangkatlah mereka bersama-sama untuk keluar dari kegelapan
kepada cahaya.
Bahaya meremehkan dosa
Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberikan tiga kesempatan kepada kita
untuk bertobat:
Pertama, sebelum dicatat dosa itu oleh
malaikat, berdasarkan hadits berikut:
اِنَّ صَاحِبِ الشَّمَالِ لَيَرْفَعُ الْقَلَمَ سِتَّ سَاعَاتٍ عَنِ
الْعَبْدِ الْمُسْلِمِ الْمُخْطِئِ فَإِنْ نَدِمَ وَاسْتَغْفَرَ اللهَ مِنْهَا
اَلْقَاهَا وَاِلاَّ كُتِبَتْ وَاحِدَةً
“Sesungguhnya malaikat yang berada di
sebelah kiri mengangkat pena (tidak mencatat) selama enam jam[i]
ketika seorang hamba muslim melakukan
dosa. Jika ia menyesali perbuatannya dan meminta ampunan Allah, maka dilepaslah
pena itu, namun jika tidak demikian, maka akan dicatat satu dosa.” (HR. Thabrani dalam Al
Kabir dan Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dihasankan oleh Al Albani dalam Silsilah
Ash Shahiihah (1209)).
Kedua, Setelah dicatat dan,
Ketiga, Sebelum ajal tiba.
Namun sangat disayangkan, banyak orang yang tidak mengenal siapa
Allah dan tidak mengetahui keagungan-Nya sehingga membuat mereka berani
mendurhakai-Nya dengan melakukan dosa-dosa di malam dan siang hari. Ada di antara mereka yang
menganggap remeh suatu dosa, misalnya mengatakan, “Memangnya, apa bahaya
memandang wanita?” atau “Memangnya, apa bahaya dari berjabat tangan dengan
lawan jenis?”, akhirnya mereka berani memandang wanita yang terbuka aurat baik
di koran, majalah, televisi dan lain-lain. Sampai-sampai di antara mereka
ketika mengetahui haramnya suatu perbuatan, bertanya, “Apakah dosa ini besar
atau kecil?”
Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata, “Sesungguhnya kalian
mengerjakan perbuatan yang kalian kira lebih ringan dari sehelai rambut,
padahal kami di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menganggapnya
termasuk perbuatan yang dapat membinasakan.” (Diriwayatkan oleh Bukhari)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu berkata, “Sesungguhnya seorang mukmin memandang
dosa-dosanya seakan-akan ia sedang duduk di bawah sebuah bukit, ia takut kalau
bukit itu roboh menimpanya. Sedangkan orang yang fasik memandang dosa-dosanya
seakan-akan ada lalat yang menempel di hidungnya, lalu ia berbuat seperti ini
–yakni dengan tangannya- ia menyingkirkan lalat itu.” (Diriwayatkan oleh
Bukhari)
Ahli ilmu menjelaskan bahwa dosa yang kecil apabila dilakukan
tanpa ada rasa malu, tidak peduli sama sekali dan hilangnya rasa takut kepada
Allah disertai sikap meremehkan bisa menjadikannya dosa besar.
Oleh karena itu,
لاَ صَغِيْرَةَ مَعَ الْاِسْتِمْرَارَ وَلاَ كَبِيْرَةَ مَعَ
الْاِسْتِغْفَارِ
“Tidak ada dosa kecil apabila dilakukan
terus-menerus,
Dan tidak ada dosa besar apabila diiringi
dengan istighfar.”
Menganggap remeh suatu dosa adalah penyakit berbahaya, kepada orang
yang terserang penyakit ini, kita katakan, “Kamu jangan melihat kecilnya
dosa yang kamu kerjakan, tetapi lihatlah kepada siapa kamu bermaksiat.”
Syarat Tobat dan penyempurnanya
Tobat adalah kata-kata mulia yang isinya dalam, tidak seperti yang
disangka oleh banyak orang yaitu hanya ucapan di lisan namun perbuatannya masih
tetap di atas dosa. Perhatikanlah ayat berikut ini:
Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada
Tuhanmu dan bertobat kepada-Nya. (terjemah Huud: 3)
Kita dapat mengetahui bahwa tobat adalah sesuatu yang lebih
setelah istighfar.
Karena masalah tobat adalah masalah yang sangat penting, para
ulama menyebutkan syarat-syarat tobat yang mereka ambil dari Al Qur’an dan As
Sunnah. Berikut ini syaratnya:
1.
Segera meninggalkan perbuatan
dosa itu.
2.
Menyesalinya.
3.
Berniat keras untuk tidak
mengulangi.
Dan apabila ada hak orang lain yang kita ambil/zhalimi maka
ditambah dengan yang keempatnya yaitu mengembalikan hak mereka atau meminta
dihalalkan berdasarkan hadits berikut:
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لأَحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَىْءٍ
فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ
دِرْهَمٌ ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ ،
وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبهِ فَحُمِلَ
عَلَيْهِ » .
“Barang siapa yang pernah menzalimi
seseorang baik kehormatannya ataupun yang lainnya, maka mintalah untuk
dihalalkan pada hari ini sebelum datang hari yang ketika itu tidak ada dinar
dan dirham. Jika ia memiliki amal saleh, maka diambillah amal salehnya sesuai
kezhaliman yang dilakukannya, namun jika tidak ada amal salehnya, maka
kejahatan orang itu akan dipikulkan kepadanya.” (HR. Bukhari)
Sebagian ahli ilmu menyebutkan syarat lain tobat nashuha (yang sesungguhnya)
yang merupakan penyempurnanya sbb:
Pertama, meninggalkan dosa tersebut
karena Allah.
Yakni ia meninggalkan dosa tersebut bukan karena tidak mampu
mengerjakannya, bukan juga karena takut dibicarakan oleh manusia. Sehingga
tidaklah dinamakan tobat jika seseorang meninggalkan dosa karena khawatir
namanya menjadi buruk di masyarakat. Dan tidaklah dinamakan tobat kalau ia
meninggalkan dosa karena khawatir sakit seperti orang yang meninggalkan zina
karena khawatir terserang penyakit Aids.
Kedua, merasakan buruknya perbuatan
dosa.
Yakni tobat yang sesungguhnya tidak mungkin membuat seseorang
senang ketika mengingat dosa-dosanya yang telah lalu atau merasakan nikmat
perbuatan dosa, atau bahkan ada keinginan untuk mengulanginya.
Ketiga, bersegera dalam bertobat.
Oleh karena itu, apabila seseorang menunda-nunda tobat berarti tobatnya
menunjukkan kurang sunguh-sungguh.
Keempat, merasa khawatir tobatnya belum
diterima.
Yakni seseorang yang bertobat tidak boleh memastikan bahwa tobatnya
sudah diterima sehingga dirinya santai merasa aman dari makar Allah Subhaanahu
wa Ta'aala.
Kelima, adanya upaya untuk menutupi
kekurangan dalam memenuhi hak Allah ketika mampu. Misalnya mengeluarkan zakat
yang ditahannya di tahun yang lalu, di samping karena adanya hak orang fakir di
hartanya itu.
Keenam, meninggalkan tempat maksiat dan
kawan-kawannya yang mendorongnya berbuat maksiat.
Hendaknya seseorang yang bertobat mengingat firman Allah
Subhaanahu wa Ta'aala ini”
Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya
menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa. (terj.
Az Zukhruf: 67)
Kawan-kawan jahatnya kelak akan saling melaknat satu sama lain,
oleh karena itu hendaknya ia meninggalkan kawannya itu jika ia merasakan
kesulitan mendakwahinya, dan jangan sampai memberikan kesempatan kepada setan
menyeret dirinya dengan ikut duduk bersama mereka, karena ada saja orang yang
kembali lagi berbuat maksiat ketika tetap bergaul dengan kawan-kawannya yang
jahat.
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ
قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الأَرْضِ
فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ فَأَتَاهُ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ
نَفْسًا فَهَلْ لَهُ مِنَ تَوْبَةٍ فَقَالَ لاَ . فَقَتَلَهُ فَكَمَّلَ بِهِ
مِائَةً ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ
فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ فَقَالَ نَعَمْ
وَمَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ انْطَلِقْ إِلَى أَرْضِ كَذَا
وَكَذَا فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُونَ اللَّهَ فَاعْبُدِ اللَّهَ مَعَهُمْ
وَلاَ تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أَرْضُ سَوْءٍ . فَانْطَلَقَ حَتَّى
إِذَا نَصَفَ الطَّرِيقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ فَاخْتَصَمَتْ فِيهِ مَلاَئِكَةُ
الرَّحْمَةِ وَمَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ فَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ جَاءَ
تَائِبًا مُقْبِلاً بِقَلْبِهِ إِلَى اللَّهِ . وَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ
إِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ . فَأَتَاهُمْ مَلَكٌ فِى صُورَةِ آدَمِىٍّ
فَجَعَلُوهُ بَيْنَهُمْ فَقَالَ قِيسُوا مَا بَيْنَ الأَرْضَيْنِ فَإِلَى
أَيَّتِهِمَا كَانَ أَدْنَى فَهُوَ لَهُ . فَقَاسُوهُ فَوَجَدُوهُ أَدْنَى إِلَى
الأَرْضِ الَّتِى أَرَادَ فَقَبَضَتْهُ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ » .
“Dahulu, di zaman sebelum kamu ada seseorang yang telah membunuh
sembilan puluh sembilan orang. Dia pun bertanya kepada orang-orang siapa yang
paling mengerti agama, lalu diberitahukanlah kepadanya seorang rahib (ahli
ibadah), maka didatanginya ahli ibadah itu dan diberitahukannya bahwa dia telah
membunuh sembilan puluh sembilan orang, apakah masih bisa bertobat? Ahli ibadah
itu menjawab, “Tidak bisa.” Maka dibunuhnya ahli ibadah itu sehingga genap
seratus orang yang telah dibunuhnya, namun dia (masih ingin bertobat) dan
bertanya siapakah orang yang mengerti agama, maka ditunjukkanlah kepadanya
seorang yang alim (mengerti agama), ia memberitahukan kepadanya bahwa dirinya
telah membunuh seratus orang, “Apakah masih bisa bertobat?” Orang alim itu
menjawab, “Ya, siapakah yang dapat menghalangi seseorang untuk bertobat.
Pergilah kamu ke kampung ini atau itu, karena di sana ada orang-orang yang
beribadah kepada Allah. Beribadahlah kamu kepada Allah bersama mereka, dan
jangan kembali lagi ke kampungmu, karena kampungmu adalah kampung yang buruk.”
Orang ini pun pergi, dan di tengah perjalanan tiba-tiba maut datang, sehingga
malaikat rahmat dan malaikat azab berselisih (siapa di antara keduanya yang
mencabut nyawanya), malaikat rahmat berkata, “Bukankah ia datang untuk bertobat
seraya menghadapkan hatinya kepada Allah?” Sedangkan malaikat azab berkata,
“Tetapi dia belum sempat berbuat baik.” Maka datanglah kepada mereka seorang
malaikat dalam bentuk manusia, dan dijadikanlah ia sebagai hakim di antara
mereka berdua, ia berkata, “Ukur saja jarak antara kedua kampung, apabila
lebih dekat ke kampung yang satu, maka yang mencabut adalah malaikat ini.”
Kedua malaikat itu pun mengukur, ternyata lebih dekat ke kampung yang hendak
ditujunya, maka dicabutlah nyawanya oleh malaikat rahmat.” (HR. Muslim)
Ketujuh, menghilangkan benda-benda haram
agar tidak bisa kembali lagi berbuat maksiat.
Benda-benda haram itu misalnya minuman keras, alat musik, gambar
porno, buku-buku yang mengisahkan kisah-kisah porno, patung dsb.
Kedelapan, mencari kawan yang membantunya
menjalankan ketaatan atau membantunya tetap istiqamah.
Termasuk dalam hal ini adalah menghadiri majlis-majlis ilmu dan
memanfaatkan waktu sebaik mungkin, jangan sampai memberikan kesempatan kepada
setan untuk mengenang masa-masa lalunya.
Kesembilan, memperhatikan badannya.
Yakni jika sebelumnya badannya tumbuh dari yang haram dan untuk
perbuatan yang haram, ia bersihkan dengan makanan yang halal dan menggunakannya
untuk ketaatan kepada Allah.
Kesepuluh, tobat tersebut dilakukan
sebelum kiamat kecil yaitu ketika nyawa di tenggorokan dan sebelum tibanya
tanda kiamat besar yaitu matahari terbit dari barat.
Tobat menghapus semua kesalahan yang telah
berlalu
Imam Muslim meriwayatkan tentang masuk Islamnya ‘Amr bin ‘Aash
radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Ketika Allah memasukkan Islam ke dalam hatiku,
aku datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, aku katakan,
“Bentangkanlah tanganmu, agar aku membai’atmu”, maka Beliau membentangkan
tangannya, namun aku malah menggenggam tanganku, Beliau pun bertanya, “Ada apa denganmu wahai
‘Amr?” ‘Amr menjawab, “Aku ingin membuat syarat.” Beliau bertanya, “Syarat
apa?” ‘Amr menjawab, “Yaitu agar Dia mengampuniku.” Beliau menjawab:
«
أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ الإِسْلاَمَ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ وَأَنَّ
الْهِجْرَةَ تَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهَا وَأَنَّ الْحَجَّ يَهْدِمُ مَا كَانَ
قَبْلَهُ » .
“Tidakkah kamu mengetahui bahwa Islam
menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu, hijrah juga menghapuskan dosa-dosa yang
telah lalu dan hajji juga menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu?”
Marwan bin Musa
Maraji’: “Uriidu an atuub wa
laakin” (M. bin Saleh Al Munajjid).
[i] Jam di sini
maksudnya bisa jam biasa yang sudah kita kenal, bisa juga maksudnya waktu yang
singkat di malam atau siang hari.
0 komentar:
Posting Komentar