بسم
الله الرحمن الرحيم
'Aqidah Islam (2)
Sumber rujukan Aqidah
Islam
7- يجب الإلتزام بالألفاظ الشرعية فى
العقيدة وتجنب الألفاظ البدعية , والألفاظ المجملة المحتملة للخطإ و الصواب يستفسر عن معناها, فماكان حقا اثبت بلفظه الشرعي
وما كان باطلا رد
8-
العصمة
ثابتة للرسول صلى الله عله وسلم والأمة في مجموعها معصومة من الإجتماع على ضلالة
واما احادها فلاعصمة لأحد منهم وما اختلف فيه الأئمة وغيرهم فمرجعه الى الكتاب و
السنة مع الإعتذار للمخطئ من مجتهدي الأمة
9-
فى الأمة محدثون ملهمون و الرؤيا الصالحة حق وهي جزء من
النبوة والفراسة الصادقة حق وهذه كرامات ومبشرات بشرط موافقتها للشرع وليست مصدرا
للعقيدة ولا للتشريع
7. Wajib berpegang dengan lafaz
syar'i dalam beraqidah dan menjauhi lafaz bid'ah. Lafaz-lafaz yang masih mujmal
(umum) yang bisa mengandung salah dan benar, maka digali maknanya. Jika benar,
maka ditetapkan dengan lafaz yang syar'i, dan jika batil, maka ditolak.
8. Kema'shuman (terpelihara dari
kesalahan) ada pada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
9.
Di umat ini ada orang-orang yang mendapatkan ilham. Mimpi yang baik
adalah hak (benar), ia bagian dari kenabian dan firasat yang benar adalah hak.
Ini semua merupakan karamah dan kabar gembira dengan syarat sesuai syari'at.
Namun ia bukanlah sumber rujukan dalam berakidah dan menetapkan syari'at. (Mujmal Ushul Ahlissunah karya Dr. Nashir Al
‘Aql).
Penjelasan:
No. 7:
Contoh nomor tujuh adalah lafaz yang digunakan oleh sebagian orang ketika
ditanya, "Di mana Allah?" ia menjawab: "Di jihat (arah)".
Ini termasuk lafaz bid'ah, tidak jelas dan masih mengandung
kemungkinan-kemungkinan yang bisa benar dan bisa salah. Bahkan ia wajib
menjawab dengan lafaz syar'i, seperti fis samaa' (di atas langit) sebagaimana
jawaban seorang budak wanita yang dibenarkan oleh Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam atau "Ar Rahmaanu 'alal 'arsyis tawaa"
(Allah bersemayam di atas 'arsy). Wallahu a'lam.
No. 8: Karena para sahabat tidak mungkin berkumpul
di atas kesesatan, maka Ijma' mereka (as salafush shaalih) adalah ma'shum. Adapun
secara individu, maka masing-masing mereka tidak ma'shum. Kemudian, apa saja
yang diperselisihkan oleh para ulama, maka jalan keluarnya adalah dengan
mengembalikan masalah tersebut kepada Al Qur'an dan As Sunnah. Allah Subhaanahu
wa Ta'aala berfirman:
Kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), … (An NIsaa': 59)
Bagi para mujtahid diberi udzur,
dima'afkan dan tidak dicela, karena niat mereka yang baik untuk mencari yang
hak dan telah bersusah payah untuk menggali hukum setelah melalui cara istinbat
yang dibenarkan.
No.9:
Abu Zaid Ad Dabusiy –salah seorang ulama madzhab Hanafi- berkata,
"Sesungguhnya ilham adalah sesuatu yang menggerakkan hati kepada suatu
ilmu yang mengarah kepada pengamalan ilmu tersebut tanpa mencari dalil lagi."
Di kalangan umat ini ada orang yang
mendapatkan ilham dan mimpi yang benar serta firasat. Itu semua merupakan
karamah dan kabar gembira selama sesuai syari'at. Namun ilham, mimpi dan
firasat bukanlah sumber rujukan 'Aqidah dan hukum Islam. Oleh karena itu, kita
tidak mengatakan bahwa semua itu merupakan hujjah syar'i, ia adalah cahaya dari
Allah yang diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara
hamba-hamba-Nya. Jika sesuai syari'at, maka syari'at itulah yang menjadi
hujjah.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
قَدْ كَانَ
فِيْمَا مَضَى قَبْلَكُمْ مِنَ اْلأُمَمِ أُنَاسٌ مُحَدَّثُوْنَ فَإِنْ يَكُ فِي أُمَّتِي
أَحَدٌ مِنْهُمْ فَهُوَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ
"Dahulu di kalangan umat sebelum
kalian ada orang-orang yang mendapatkan ilham. Jika ada pada umatku seorang seperti
itu, maka ia adalah Umar bin Khaththab." (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim,
Tirmidzi dan Nasa'i, Shahihul Jami' no. 4377)
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abbas
Al Hamdaniy Abu Ahmad tentang firman Allah Ta'ala, "Dan orang-orang
yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik."
(Terj. QS. Al 'Ankabut: 69) ia berkata, "Orang-orang yang mengamalkan ilmu
yang mereka ketahui, maka Allah akan menunjuki mereka kepada ilmu yang tidak
mereka ketahui." Ahmad bin Abil Hawariy berkata, "Lalu aku sampaikan
kata-kata itu kepada Abu Sulaiman Ad Daraniy dan ia kagum terhadapnya, lalu
berkata, "Tidak patut bagi orang yang diilhami kepada suatu kebaikan
langsung mengamalkannya sampai ia mendengar ada keterangannya dalam atsar
(riwayat atau hadits). Jika ia telah mendengarnya dalam atsar, maka ia
mengamalkannya dan memuji Allah karena sesuai dengan apa yang ada dalam
hatinya."
*******************
10-
المراء فى الدين مذموم
والمجادلة بالحسنى مشروعة وما صح النهي عن الخوض فيه وجب امتثال ذلك ويجب الإمساك
عن الخوض فيما لا علم للمسلم به و تفويض علم ذلك الى عالمه سبحانه
11-
يجب الإلتزام بمنهج الوحي فى الرد كما يجب
فى الإعتقاد والتقرير, فلا ترد البدعة ببدعة ولايقابل التفريط بالغلو ولا العكس.
12-
كل محدثة فى الدين بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالةفى النار
10. Miraa' (bertengkar) dalam
masalah agama adalah tercela, dan berdebat dengan cara yang baik adalah
disyari'atkan. Dalam hal yang telah
jelas (ada dalil dari Al Qur'an dan As Sunnah) larangan membicarakan secara
mendalam, maka wajib diikuti. Wajib menahan diri dari pembicaraan secara
mendalam dalam masalah di mana seorang muslim tidak memiliki ilmu tentangnya.
Selanjutnya ia menyerahkan ilmu tentang hal tersebut kepada Allah Subhaanahu wa
Ta'aala yang Maha Mengetahui.
11. Wajib berpegang dengan manhaj
(cara) Al Qur'an dan As Sunnah dalam menolak sesuatu; sebagaimana dalam hal
'Aqidah dan menetapkan sesuatu. Oleh karena itu, bid'ah tidak boleh dibalas
dengan bid'ah, kekurangan tidak boleh dibalas dengan berlebihan, demikian juga
sebaliknya.
12. Semua perkara baru dalam agama
adalah bid'ah. Setiap bid'ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan tempatnya
di Neraka. (Mujmal Ushul Ahlissunah
karya Dr. Nashir Al ‘Aql).
Penjelasan:
No. 10:
Miraa' artinya mengkritik orang lain untuk memperlihatkan cacat padanya tanpa
ada maksud tertentu selain menghina orang yang dikritiknya dan memperlihatkan
kelebihannya di atas orang tersebut. Hal ini dilarang dan tercela. Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
«أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ
لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا، وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ
لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ
لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ»
"Aku menjamin sebuah rumah (istana) di
sekitar Surga bagi orang yang meningalkan miraa' meskipun benar. Aku juga
menjamin sebuah rumah (istana) di tengah surga bagi orang yang meninggalkan
dusta meskipun bercanda, serta menjamin sebuah rumah (istana) di bagian atas
surga bagi orang yang memperbaiki akhlaknya." (HR. Abu Dawud dan Adh
Dhiyaa' dari Abu Umamah, dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahiul Jami'
no. 1464)
Adapun berdebat (mujadalah) dengan
cara yang baik untuk menampakkan yang hak dan agar syubhat yang menimpa
seseorang hilang, maka hal ini disyari'atkan. Allah Subhaanahu wa Ta'aala
berfirman:
"Dan bantahlah mereka dengan
cara yang baik…" (An Nahl: 125)
Kita juga wajib berhenti dengan
tidak membicarakan secara mendalam perkara-perkara dimana syari'at melarangnya
untuk dibicarakan secara mendalam, misalnya tentang sifat Allah, qadha' dan
qadar, ruh dsb. Serta menyerahkan pengetahuan tentang masalah itu kepada Allah
Subhaanahu wa Ta'aala.
No. 11: Contoh membantah bid'ah dengan bid'ah juga atau
membantah sikap tafrith (peremehan) dengan sikap ghuluw (berlebihan) adalah
sikap kaum musyabbihah terhadap kaum Jahmiyyah yang menafikan
sifat-sifat Allah, mereka (kaum
Musyabbihah) membantahnya dengan menetapkan sifat Allah, namun malah menyamakan
sifat Allah tersebut dengan sifat makhluk. Contoh lainnya kaum Qadariyyah,
mereka mengatakan bahwa manusia dalam tindakannya bebas dalam arti Allah tidak
berkuasa terhadapnya, lalu dibantah oleh kaum Jabriyyah yang
mengatakan bahwa manusia sama sekali tidak memiliki kekuasaan dan bahwa mereka
dipaksa dalam berbuat. Ahlussunnah pertengahan di antara kelompok-kelompok itu,
mereka menetapkan sifat Allah, namun tidak menyamakan dengan sifat makhluk.
Mereka juga menetapkan bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala berkuasa terhadap
makhluk-Nya, namun hal ini tidak berarti bahwa manusia tidak memiliki pilihan
dan kekuasaan terhadap tindakannya, bahkan Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah
memberikan pilihan dan kemampuan kepada mereka.
No. 12: Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ
"Jauhilah oleh kalian perkara yang
diada-adakan (dalam agama), karena sesungguhnya semua yang diada-adakan adalah
bid'ah dan semua bid'ah adalah sesat." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi,
Ibnu Majah, Tirmidzi berkata: "Hadits hasan shahih", dishahihkan oleh
Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabiy)
*******************
Tauhid
yang berupa ilmu yang wajib diyakini
13-
الأصل في اسماء الله و صفاته إثبات
ماأثبته الله لنفسه اواثبته له رسوله صلى الله عليه وسلم من غر تمثيل ولا تكييف
ونفي ما نفاه الله عن نفسه او نفاه عنه رسوله من غير تحريف ولا تعطيل كما قال
تعالى: ليس كمثله شيئ وهو السميع البصير مع الإيمان بمعاني ألفاظ النصوص وما دلت
عليه
14-
التمثيل والتعطيل في أسماء الله وسفاته كفر.
أما التحريف الذي يسميه أهل البدع تأويلا فمنه ما هو كفر كتأويلات الباطنية ومنه
ما هو بدعة ضلالة كتأويلات نفات الصفات ومنه ما يقع خطأ.
15-
وحدة الوجود واعتقاد حلول الله تعالى في
شيئ من مخلوقاته او اتحاده به كل ذلك كفرمخرج عن الملة.
13.
Prinsip penting
dalam masalah nama-nama dan sifat Allah adalah menetapkan apa yang ditetapkan
Allah Ta'ala untuk Diri-Nya atau yang ditetapkan Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam untuk-Nya tanpa mentamtsil (menyerupakan dengan sifat makhluk) dan
tanpa takyif (menanyakan bagaimana hakikatnya), serta meniadakan segala sifat
yang ditiadakan Allah bagi Diri-Nya atau ditiadakan Rasul-Nya tanpa mentahrif
(menta'wil) dan tanpa menta'thil (meniadakan), sebagaimana firman Allah Ta'ala:
"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar
lagi Maha Melihat." (Asy Syura: 11) disertai dengan mengimani makna
(kandungan) dari lafaz nash-nash tersebut dan yang ditunjukkan olehnya.
14.
Mentamtsil dan
menta'thil nama-nama Allah dan sifat-Nya adalah sebuah kekufuran. Adapun tahrif
atau yang biasa disebut ahlul bid'ah sebagai ta'wil, maka ada yang kufur
seperti ta'wilnya kaum Bathiniyyah, ada juga yang merupakan bid'ah dhalalah
(sesat) seperti ta'wil orang-orang yang menafikan sifat dan ada yang berupa
kekeliruan (tanpa disengaja).
15.
Keyakinan
Wihdatul wujud (semua yang wujud adalah Allah) dan keyakinan hulul (Allah
menempati makhluk-Nya) atau ittihad (Allah menyatu dengan makhluk-Nya) adalah
keyakinan kufur dan menjadikan pelakunya keluar dari Islam. (Mujmal Ushul Ahlissunah karya Dr. Nashir Al
‘Aql)
Penjelasan:
No. 13 & 14: Al Walid bin Muslim pernah bertanya
kepada Imam Malik, Al Auza'iy, Al Laits bin Sa'ad dan Sufyan Ats Tsauriy
tentang khabar (berita) yang datang mengenai sifat-sifat Allah, mereka semua
menjawab:
أَمِرُّوْهَا كَمَا جَاءَتْ بِلاَ كَيْفَ
"Perlakukanlah
(nash-nash tentang sifat Allah) sebagaimana datangnya dan jangan kamu tanyakan
bagaimana (sifat itu)."
Oleh
karena itu, dalam masalah nama-nama Allah dan sifat-Nya, sikap kita adalah
menetapkan-Nya mengikuti apa yang ditetapkan Allah Subhaanahu wa Ta'aala untuk
Diri-Nya dan Rasul-Nya, serta menolak segala sifat yang ditiadakan oleh Allah
Subhaanahu wa Ta'aala dan Rasul-Nya. Ketika kita menetapkan sifat tersebut,
kita tidak boleh menyamakan dengan sifat makhluk dan tidak boleh menanyakan
bagaimana sifat Allah. Demikian juga kita tidak boleh menta'wil, yakni merubah
lafaz nama dan sifat, atau merubah maknanya atau menyelewengkan dari makna yang
sebenarnya. Contohnya mengartikan "Tangan" dengan kekuasaan atau
mengartikan "bersemayam" dengan menguasai, ini semua termasuk ta'wil.
Kita juga tidak menta'thil (menolak) nama-nama Allah dan sifat-Nya yang telah
ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, karena hal ini sama saja tidak beriman. Oleh
karena itu, menta'thil adalah sebuah kekufuran, sebagaimana menyamakan sifat
Allah dengan sifat makhluk juga sebagai kekufuran. Adapun ta'wil, maka ada
perincian, ada yang menjadi sebuah kekufuran seperti ta'wil kaum Bathiniyyah,
ada yang sebatas bid'ah dhalalah seperti ta'wil orang-orang yang meniadakan
sifat dan ada yang terjadi karena kekeliruan.
Perlu
diketahui, 'Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam masalah sifat Allah didasari
atas dua prinsip:
Pertama, bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala
wajib disucikan dari semua sifat kekurangan secara mutlak, seperti ngantuk,
tidur, lemah, bodoh, mati dan lainnya.
Kedua, Allah mempunyai sifat-sifat yang
sempurna yang tidak ada kekurangan sedikit pun juga, tidak ada sesuatu pun dari
makhluk-Nya yang menyamai sifat Allah.
Marwan bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar