بسم الله الرحمن الرحيم
Aqidah Islam (23)
Tentang Qadar
53- من أركان الإيمان، الإيمان بالقدر خيره وشره،
من الله تعالى، ويشمل: الإيمان بكل نصوص القدر ومراتبه ( العلم، الكتابة، المشيئة،
الخلق ) وأنه تعالى لا إرادة لقضائه، ولا معقب لحكمه.
54- الإرادة والأمر الواردان في الكتاب والسنة،
نوعان:
أ- إرادة كونية قدرية ( بمعنى المشيئة ) وأمر
كوني قدري.
ب- إرادة شرعية ( لازمها المحبة ) وأمر شرعي .
وللمخلوق إرادة ومشيئة، ولكنها نابعة لإرادة
الخالق ومشيئته .
55- هداية العباد وإضلالهم بيد الله، فمنهم من هداه
الله فضلاً، ومنهم من حقت عليه الضلالة عدلاً .
56- العباد وأفعالهم من مخلوقات الله تعالى، الذي
لا خالق سواه، فالله خالق لأفعال العباد، وهم فاعلون لها على الحقيقة .
57- إثبات الحكمة في
أفعال الله تعالى، وإثبات تأثير الأسباب إذا شاء الله ذلك .
58-
الآجال مكتوبة، والأرزاق مقسومة، والسعادة والشقاوة مكتوبتان على الناس قبل خلقهم.
59-
الاحتجاج بالقدر، يكون على المصائب والآلام، ولا يجوز الاحتجاج به على المعايب
والآثام، بل تجب التوبة منها، ويلام فاعلها .
60-
الانقطاع إلى الأسباب شرك في التوحيد . والإعراض عن الأسباب بالكلية قدح في الشرع،
ونفي تأثير الأسباب مخالف للشرع والعقل، والتوكل لا ينافي الأخذ بالأسباب .
53.
Termasuk rukun iman ialah beriman kepada qadar (takdir), yang baik maupun yang
buruk dari Allah Ta'ala. Iman kepada qadar meliputi iman kepada setiap nash
tentang qadar serta tingkatannya (diketahui, dicatat, dikehendaki dan
diciptakan oleh Allah). Tidak ada seorang pun yang dapat menolak ketetapan-Nya
atau yang dapat membatalkan keputusan-Nya.
54. Iradah (kehendak) dan amr (perintah) yang
tercantum dalam Al Qur'an dan As Sunnah ada dua macam:
[a] Iradah
kauniyah qadariyah[i]
yang pengertiannya sama dengan
masyi'ah, dan amr kauny qadariy[ii].
Makhluk mempunyai keinginan dan kehendak, tetapi
keinginan dan kehendaknya itu mengikuti kehendak Allah Al Khaliq.
55. Mendapatkan petunjuk dan menjadi sesat seseorang
ada di tangan Allah. Di antara makhluk ada yang diberi Allah petunjuk karena
karunia-Nya, dan ada pula yang sesat karena keadilan-Nya.
56. Makhluk dengan segala tingkah lakunya adalah
ciptaan Allah Ta'ala. Hanya Dia-lah Yang Mencipta. Allah-lah yang menciptakan
tingkah laku makhluk dan makhluk melakukannya secara hakiki.
57. Menetapkan bahwa segala yang dilakukan Allah ada
hikmahnya, dan sebab itu ada pengaruhnya atas kehendak Allah Ta'ala.
58. Ajal telah ditulis, rezeki telah dibagi dan
kebahagiaan serta kesengsaraan telah dicatat oleh-Nya untuk seluruh manusia
sebelum mereka diciptakan.
59. Berdalih dengan takdir boleh dilakukan terhadap
musibah dan cobaan, namun dosa dan kesalahan tidak boleh berdalih dengan takdir
tetapi harus bertobat dan pelakunya berhak mendapatkan celaan.
60. Bersandar kepada usaha saja adalah syirik dalam
tauhid, sedangkan meninggalkan sebab sama sekali berarti menolak ajaran agama.
Menyatakan bahwa sebab tidak ada pengaruh dan hasilnya, bertentangan dengan
ajaran agama dan akal. Dan bahwa tawakal tidak berarti meninggalkan sebab. (Mujmal
Ushul Ahlissunnah bagian Al Qadr karya Dr. Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql)
Syarh/Keterangan:
No. 53: Dalil bahwa beriman kepada qadar termasuk rukun iman
adalah hadits Jibril ’alaihis salam ketika ia bertanya kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam tentang iman, maka Beliau Beliau shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ
وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ.
”(Yaitu) kamu beriman kepada
Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari Akhir dan kamu
beriman kepada qadar yang baik dan yang buruk.” (HR. Muslim)
Untuk tingkatan qadar, maka telah
diterangkan pada pembahasan sebelumnya sehingga tidak perlu diulang lagi.
Adapun dalil bahwa tidak ada yang dapat menolak taqdir-Nya, ketetapan dan keputusan-Nya
adalah firman Allah Ta’ala di surat
Ar Ra’d: 41:
“Tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya; dan Dia-lah yang Maha
cepat hisab-Nya.”
No. 54:
Iraadah bagi
Allah yang disebutkan dalam Al Qur’an atau As Sunnah ada dua; Kauniyyah dan
Syar’iyyah.
Iradah kauniyyah
adalah iradah yang bermakna masyi’ah (kehendak), seperti dalam ayat berikut,
“Barang siapa yang Allah menghendaki akan
memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki
Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit,
seolah-olah ia sedang mendaki ke langit.” (Terj. Al An’aam : 125)
Adapun Iradah
Syar’iyyah adalah iradah yang bermakna mahabbah (cinta), seperti dalam ayat
berikut,
“Dan Allah hendak menerima tobatmu.” (Terj. An Nisaa’ “ 27)
Perbedaan
antara Iradah Kauniyyah dengan Iradah Syar’iyyah adalah bahwa iradah kauniyyah
itu belum tentu dicintai Allah Subhaanahu wa Ta'aala meskipun terwujud.
Sedangkan iradah syar’iyyah itu sudah tentu dicintai Allah Ta’ala meskipun
belum/tidak terwujud.
Untuk
lebih jelasnya tentang iradah kauniyyah adalah seperti pada ayat berikut,
"Dan kalau Allah menghendaki,
niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang
setelah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam
keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang
beriman dan ada di antara mereka yang
kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan
tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Terj. Al Baqarah : 254)
Terjadinya bunuh-bunuhan pada ayat tersebut adalah
dengan kehendak Allah Ta’ala, karena setiap yang terjadi di alam semesta ini
adalah terjadi dengan kehendak Allah Ta’ala (sebagaimana telah dijelaskan),
tetapi kehendak Allah tersebut, bukanlah berarti bahwa Allah senang/cinta dengan
perbuatan tersebut meskipun terwujud.
No. 55: Dalil terhadap penjelasan pada no. 55 adalah firman
Allah Ta’ala di surat
Al Qashash ayat 56:
“Sesungguhnya kamu
(Muhammad) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi,
tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah
lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.”
No. 56:
Dalil bahwa perbuatan manusia juga merupakan ciptaan Allah Subhaanahu wa
Ta'aala ada di surat
Ash Shaaffaat: 56.
No. 57:
Tindakan Allah Subhaanahu wa Ta'aala di atas kebijaksanaan karena nama-Nya
adalah Al Hakim, yang artinya Mahabijaksana. Oleh karena itu, tidak mungkin dan
mustahil Dia melakukan sesuatu tanpa maksud dan tujuan. Termasuk dalam hal ini
adalah perbuatan-Nya menciptakan manusia, Dia berfirman:
“Maka apakah kamu
mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan
bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami--Maka Mahatinggi Allah, Raja
yang sebenarnya; tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia, Tuhan (yang
mempunyai) 'Arsy yang mulia.” (Terj. Al Mu’minun:
115-116)
No. 59:
Beralasan dengan taqdir terhadap musibah adalah boleh. Hal ini ditunjukkan oleh
hadits tentang perdebatan Nabi Adam ‘alaihis salam dengan Nabi Musa ‘alaihis
salam, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
« احْتَجَّ
آدَمُ وَمُوسَى فَقَالَ مُوسَى يَا آدَمُ أَنْتَ أَبُونَا خَيَّبْتَنَا
وَأَخْرَجْتَنَا مِنَ الْجَنَّةِ فَقَالَ لَهُ آدَمُ أَنْتَ مُوسَى اصْطَفَاكَ
اللَّهُ بِكَلاَمِهِ وَخَطَّ لَكَ بِيَدِهِ أَتَلُومُنِى عَلَى أَمْرٍ قَدَّرَهُ
اللَّهُ عَلَىَّ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَنِى بِأَرْبَعِينَ سَنَةً » . فَقَالَ
النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم « فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى » .
“Adam dan Musa
berdebat, lalu Musa berkata, Wahai Adam! Engkau adalah nenek moyang kami,
engkau telah mengecewakan kami dan mengeluarkan kami dari surga.” Maka Adam
menjawab, “Engkau Musa, Allah telah memilihmu untuk berbicara dengan-Nya, dan
Dia telah menuliskan untukmu (kitab Taurat) dengan tangan-Nya, apakah engkau
mencelaku terhadap sesuatu yang telah ditaqdirkan Allah 40 tahun sebelum Dia
menciptakanku?!” Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Maka Adam
mengalahkan Musa dalam hujjahnya, maka Adam mengalahkan Musa dalam hujjahnya.”
(HR. Muslim)
No. 60: Seorang muslim beriman kepada
sunnatullah di alam semesta ini, oleh karena itu dia mengerjakan sebab-sebabnya
untuk memperoleh sesuatu dan berusaha semaksimal mungkin mendatangkan sebabnya,
namun ia sama sekali tidak meyakini bahwa sebab adalah satu-satunya yang bisa
mendatangkan apa yang diharapkan, sama sekali tidak. Bahkan seorang muslim
memandang bahwa mengerjakan sebab adalah sebuah perintah Allah sebagaimana
perintah-perintah-Nya yang lain, adapun tercapai atau tidaknya ia berharap
kepada Allah dan bertawakkal kepada-Nya agar apa yang diinginkannya itu
tercapai, karena betapa banyak orang yang menjalankan sebab, namun tidak dapat
memetik hasilnya; yakni apa yang dinanti-nantikannya tidak tercapai. Oleh
karena itu, seorang muslim memandang bahwa bersandar kepada sebab dan memandang
bahwa sebab adalah yang bisa mendatangkan apa yang diharapkan adalah kekufuran
dan kesyirkkan, yang seorang muslim berlepas diri darinya. Ia pun memandang
bahwa meninggalkan sebab, padahal ia mampu mendatangkannya adalah sebuah
kefasikan dan maksiat yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dengan
demikian, tawakkal yang benar adalah tawakkal yang disertai menjalankan sebab
dan usaha. Lihatlah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau tidak berperang
kecuali sebelumnya telah menyiapkan perlengkapan, menjalankan sebabnya, Beliau
memilih waktu dan tempat yang cocok untuk berperang. Disebutkan dalam riwayat
bahwa Beliau tidak memulai peperangan
kecuali jika udaranya sejuk setelah sebelumnya menyiapkan langkah-langkah dan
membentuk barisan, setelah sebab selesai Beliau lakukan, maka Beliau mengangkat
kedua tangannya sambil berdoa:
اَللَّهُمَّ مُنْزِلَ الْكِتَابِ وَمُجْرِيَ
السَّحَابِ وَهَازِمَ الْأَحْزَابِ اهْزِمْهُمْ وَانْصُرْنَا عَلَيْهِمْ
“Ya
Allah, yang menurunkan kitab dan menjalankan awan, kalahkanlah mereka dan
bantulah kami mengalahkan mereka.” (HR. Bukhari)
Disebutkan dalam Muqarrar
Maaddah Al ’Aqidah oleh tim ahli dalam bidang ’Aqidah hal. 98:
”Wajib diketahui, bahwa
menjalankan sebab tidaklah menafikan beriman kepada qadar dan bertawakkal
kepada Allah, bahkan ia termasuk beriman kepada qadar. Barang siapa yang
meninggalkan sebab dengan sengaja karena bersandar kepada qadar, maka dalam
imannya terdapat cacat sesuai sikap remehnya meninggalkan sebab.”
Larangan
membicarakan qadar secara mendalam
Islam melarang membicarakan masalah
qadar secara mendalam dan menanyakan rahasianya yang jauh dari jangkauan
manusia, karena membicarakan hal ini secara mendalam tidaklah mencapai hasil,
bahkan membuatnya bingung, ragu dan tersesat serta membuka pintu penyimpangan
dan penentangan.
Wallahu a’lam, wa shallallahu
’alaa Muhammad wa ’alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Mujmal Ushul Ahlissunnah
(Dr. Nashir Al ’Aql), Minhajul Muslim (Syaikh Abu Bakar Al Jaza’iriy),
Muqarrarut tauhid (Tim ahli dalam bidang tauhid), dll.
[i] Iradah
Kauniyah qadariyah ialah kehendak yang berkenaan dengan takdir Allah terhadap
alam semesta.
[ii] Amr kauniy
qadariy adalah perintah yang berkenaan dengan takdir Allah terhadap alam
semesta. Contohnya, firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala dalam surat Yaasin ayat 82, "Sesungguhnya
perintah Allah apabila Dia mengkehendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, “Jadilah!,”
maka jadilah ia."
[iii] Iradah
syar'iyah ialah kehendak yang berkenaan dengan syari'at atau apa yang dicintai
Allah dalam agama.
[iv] Amr syar'i,
yaitu perintah yang berhubungan dengan syari'at, seperti perintah tentang
shalat, zakat, puasa, dan lain-lain.
0 komentar:
Posting Komentar