بسم الله الرحمن الرحيم
Aqidah Islam (16)
Kritik Terhadap
Sekularisme
Dr. Nashir Al ‘Aql berkata dalam bukunya Mujmal Ushul
Ahlissunnah Fil ‘Aqidah:
32.
تقسيم الدين الى حقيقة يتميز بها الخاصة وشريعة تلزم العامة دون الخاصة وفصل
السياسة أو غيرها عن الدين باطل, بل كل ما خالف الشريعة من حقيقة أو سياسة أو
غيرها فهو إما كفر وإما ضلال بحسب درجته.
32. Pembagian
agama kepada hakikat yang dikhususkan untuk orang-orang tertentu dan syariat
yang hanya wajib diikuti orang-orang awam saja serta memisahkan urusan politik
atau urusan lainnya dari agama adalah tindakan batil (tidak benar). Apa pun
yang bertentangan dengan syari’at, baik hakikat, politik maupun perkara lainnya
maka hukumnya bisa kufur dan bisa pula sesat, sesuai dengan tingkatannya. (Mujmal Ushul Ahlissunah karya Dr. Nashir Al
‘Aql).
Penjelasan:
Pembagian istiah
hakekat, syari’at dan ma’rifat adalah istilah yang diada-adakan oleh orang
Shufi. Yang dimaksud hakekat menurut mereka adalah orang tertentu yang sudah
mencapai maqam (kedudukan) tertentu, sehingga dengan itu gugur kewajiban
syari’at. Syari’at adalah istilah untuk orang awam yang masih melaksanakan
kewajiban syari’at. Istilah ini pada hakekatnya dapat membatalkan dan
menggugurkan ajaran agama Islam sehingga dapat mengeluarkan orang itu dari
Islam dengan keyakinannya.
Demikian pula termasuk hal yang batil memisahkan
urusan politik dari agama. Bahkan menjauhkan politik dari agama akan membuahkan
politik yang semena-mena dan tindak kezaliman terhadap orang lain.
Kritik terhadap sekularisme (paham memisahkan agama
dengan negara)
Perlu diketahui, bahwa Islam mencakup agama dan daulah
(negara), ibadah dan kepemimpinan. Namun sangat disayangkan ada sebagian orang
yang hendak memisahkan agama ini dari negara, dia mengira bahwa agama ini tidak
campur tangan dalam mengatur negara. Oleh karenanya, dalam risalah yang singkat
ini, akan disebutkan sedikit dalil bahwa agama ini mengatur pula urusan
kenegaraan.
Negara atau dalam bahasa Arab disebut dengan Daulah,
adalah bagian dari bumi yang ditempati oleh sejumlah besar masyarakat, diatur
oleh kekuasaan dan di atas undang-undang tertentu.
Agama Islam pada periode Mekah berada dalam keadaan
yang begitu berat; tidak memungkinkan untuk dapat mewujudkan ajaran Islam
secara kaffah (sempurna), hingga apabila telah ada unsur-unsur masyarakat yang
baru, maka dilepasnya genggaman jahiliyyah tersebut, Allah pun memberikan
tempat dan menguatkan mereka dengan kota Madinah, maka tegaklah di sana negara
Islam di bawah pimpinan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan turunlah
berbagai syari’at secara rinci, sehingga lengkaplah ketika itu apa yang disebut
dengan Negara Islam, karena ada tempat, masyarakat, undang-undang dan
pemerintah. Tempatnya di Madinah, masyarakatnya terdiri dari kaum muslimin dan
non muslim, undang-undangnya wahyu, dan pemerintahnya adalah Nabi Muhammad shallallahu
'alaihi wa sallam.
Yang demikian adalah karena agama ini adalah agama
yang lengkap. Allah menurunkannya agar dikedepankan oleh individu dan
masyarakat, dijadikan pedoman oleh mereka dalam menjalani hidup di dunia. Dari
sinilah diketahui bahwa agama ini mengakui tegaknya negara, kekuasaan yang
mengatur urusannya, bahkan hal itu adalah wajib untuk menjaga agama dan dunia
secara bersamaan, dan lagi ajaran Islam tidaklah dapat tegak secara kaffah
melainkan dengan adanya Negara dan kekuasaan.
Dalil Pertama, perintah-perintah dalam Al Qur’an.
Kita dapat melihat perintah-perintah
dalam Al Qur’an yang memerintahkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selaku
pemimpin kaum mukmin untuk mengatur pemerintahan dan melakukan siasah
(politik), seperti menyiapkan pasukan (lihat. Al Anfal: 60), mengadakan
perjanjian damai dan genjatan senjata (lihat At Taubah: 4), pembatalan perjanjian
(lihat Al Anfal: 58), mengumumkan perang (lihat Al Anfal: 57), pemungutan zakat
dan penyalurannya (lihat At Taubah: 60 dan 103), penegakkan hudud (lihat Al
Maa’idah: 38, An Nuur: 2 dan 4, dll.), qishas (lihat Al Baqarah: 178),
menyikapi para tawanan perang (lihat surat Muhammad: 4), menaati ulil amri/pemerintah
(lihat An Nisaa’: 59), syura/musyawarah (Ali Imran: 159)…dll.” Hal ini tidak
hanya sebatas teori, bahkan menghendaki untuk diwujudkan dan dijadikan acuan
dalam berpolitik oleh pemerintah Islam.
Dalil kedua, praktek
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam selaku pemerintah mempraktekkan perintah-perintah tersebut dan
melakukan semua yang memang menjadi tugas negara. Beliau mengirim utusan,
membentuk pasukan, menerima utusan, menjabat sebagai hakim, mengangkat panglima
dan para pemungut zakat, mengirim surat
kepada para kepala negara, dsb.
Dalil ketiga, sunnah
para khulafa raasyidin.
Termasuk hal yang
sangat penting juga untuk diperhatikan adalah banyaknya perintah yang ditujukan
kepada kaum mukmin, tidak hanya kepada diri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Hal ini menunjukkan bahwa masalah daulah dan pemerintahan terkait dengan kaum
mukmin di setiap zaman, dan tidak hanya di zaman Beliau saja. Oleh karenanya, saat
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam wafat para sahabat memilih orang yang
mengurus jenazah Beliau, dan Abu Bakar berkata, “Tidak dapat tidak untuk
masalah ini (yang melanjutkan tugas Beliau) harus ada orang yang
menegakkannya.”
Demikian juga pada ucapan
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu ketika ia mengingkari orang-orang
khawarij tentang pentingnya khilafah, ia berkata, “Manusia harus dipimpin baik
oleh orang yang baik atau buruk!” Lalu ada yang berkata, “Wahai Amirul
Mukminin! Orang yang baik telah kami ketahui, lalu bagaimana dengan orang yang
buruk? Ia menjawab, “Dengannya ditegakkan hudud, jalan-jalan menjadi aman,
musuh dapat diperangi, dan fai’ dapat dibagi.”
Atas dasar inilah
tegak daulah para khulafa raasyidin setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam wafat yang berjalan di atas ajaran Islam. Imam Al Mawardiy berkata,
“Kepemimpinan dibangun untuk menggantikan kenabian dalam menjaga agama dan
mengatur dunia.”
Al Ghazaliy berkata,
“Agama adalah asal (pokok), kekuasaan adalah penjaga. Jika sesuau tidak ada
asalnya, maka akan roboh, dan jika tidak ada penjaganya, maka akan hilang.”
Di antara tugas
penting negara
Tugas penting bagi negara
adalah menjaga agama, menyebarkan dakwah Islam, menyelesaikan permasalahan
manusia dengan adil, menyingkirkan berbagai kemungkaran di tengah masyarakat,
menjaga akhlak masyarakat, menjaga perbatasan dan wilayah serta memelihara
daerah yang dihormati agama (seperti tanah suci), menegakkan hudud, berjihad
membela orang yang dizalimi dan melawan orang yang menetang Islam setelah
didakwahi agar ia masuk Islam atau berada di bawah jaminan Islam dengan
membayar jizyah agar hak Alah tegak (yaitu tingginya Islam di atas semua agama),
memungut zakat dan membagikan fai’ (harta yang diperoleh tanpa melalui
peperangan), mengatur keuangan Baitulmal dan memberikan yang berhak mendapat
jatah darinya, mengangkat orang-orang yang amanah untuk diserahi mengerjakan
tugas atau memegang harta, menangani masalah secara langsung dan tidak terlalu
sering bersandar kepada wakil karena mementingkan bersenang-senang atau
beribadah, memperhatikan kaum fakir-miskin dalam seluruh sisi kehidupan,
seperti memerdekakan budak, membantu orang yang berhutang, mewalikan ‘akad bagi
yang tidak memiliki wali, dan sebagainya. Bahkan tidak pernah ada dalam sejarah
sebuah negara melakukan peperangan hanya karena kepentingan kaum fakir-miskin sebagaimana
yang dilakukan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq dan para sahabat lainnya yang
memerangi orang yang enggan membayar zakat. Abu Bakar Ash Shiddiq berkata, “Demi
Allah! Aku akan memerangi orang yang memisahkan antara shalat dengan zakat.”
Aturan yang demikian indah
di zaman kebodohan merata di mana-mana tidak lain merupakan hidayah dan rahmat dari
Tuhan Yang Maha Mengetahui lagi Mahateliti, berbeda dengan negara-negara lain
yang baru membentuk aturan setelah mereka terjatuh dan tertindas.
Syari’at tersebut saking
hebatnya sampai menjadikan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam siap mengurus
rakyatnya yang kesusahan yang belum pernah dicapai oleh negara mana pun sampai
sekarang. Beliau bersabda, “Tidak ada seorang mukmin pun kecuali saya lebih
utama baginya
di dunia dan akhirat. Bacalah kalau kalian mau ayat, “Nabi itu (hendaknya)
lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.” (terj. Al
Ahzab: 6) oleh karena itu, siapa saja mukmin yang wafat dan meninggalkan harta,
maka hendaknya diwarisi oleh ‘ashabahnya siapa pun mereka, dan barang siapa
yang meninggalkan hutang atau ada kehilangan, maka datanglah kepadaku, karena
aku adalah walinya.” (HR. Bukhari)
Keistimewaan Negara Islam
Daulah yang diwajibkan Allah untuk ditegakkan ini memiliki
keistimewaan, di antaranya:
- Daulah
‘Aqidah yang tegak di atas iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan beriman kepada qadha’ dan qadar.
- Agama
Allah (Islam) menjadi jalan hidup negara tersebut, hakim maupun rakyatnya wajib
memegangnya.
- Yang
membuat syari’at adalah Allah Rabbul ‘alamin, dan setiap syari’at yang bertentangan
dengannya dianggap tidak berlaku dan batal.
- Tidak
ada dalam daulah Islam pendirian tempat pembuatan undang-undang, yang ada
adalah tempat ijtihad dalam lingkup syari’at dengan berpegang kepada nash,
ushul, dan kaedah umum.
- Aturan
politik dan kemasyarakatan tegak di atas prinsip syura, persaudaraan dan
tolong-menolong.
- Menaati
ulil amri wajib dalam hal yang ma’ruf, dan haram taat kepadanya dalam hal maksiat.
- Umat
(terutama ulamanya) dituntut memperhatikan pemerintahan, menasehatinya dengan
cara yang baik kekeliruan pemerintah (tidak dengan demonstrasi) agar
pemerintahan berjalan dengan baik.
- Tugas
utamanya adalah menguatkan syari’at Allah di bumi, membelanya, mendakwahkannya
dan menyebarkannya di tengah-tengah manusia.”
Catatan:
Syari’at Islam mencakup ‘Aqidah, ibadah, akhlak,
mu’amalah, jinayat, dsb. Di antara syari’at itu ada yang ditujukan kepada
masing-masing orang (seperti Aqidah, ibadah, mu’amalah, akhlak, dsb), dan ada
pula yang diserahkan pelaksanaannya kepada pemerintah Islam seperti penegakkan
hudud, pembagian fai’ (harta yang didapat tanpa melalui peperangan), dsb. Al Hasan Al Basri berkata, “Mereka
(pemerintah) memegang lima
urusan, yaitu: shalat Jum’at, shalat jama’ah, hari raya, menjaga perbatasan dan
menegakkan hudud.”
Syubhat dan jawaban
Ada
yang mengatakan bahwa syari’at Islam tidak datang seperti model undang-undang?
Jawab: Islam
memang tidak menyebutkan syari’at dalam bentuk seperti halnya undang-undang,
akan tetapi ia menyebutkan prinsip-prinsip, kaidah, dan penopang asasi untuk
memerintah dan dalam bernegara, sehingga ia berada antara tetapnya ushul dan
lenturnya cara dan bentuknya. Hal ini merupakan karunia Allah dan sempurnanya
hidayah-Nya kepada kaum muslimin karena Dia telah mencukupkan mereka dan menyebutkan
hal yang memang harus tetap (tidak berubah)_ seperti syura, keadilan, menetapkan
sumber hukum, manhaj yang sempurna yang
diletakkan di hadapan mereka agar menjadi hakim terhadap setiap masalah dan
penyelesai ketika terjadi perselisihan. Di samping itu, Islam membiarkan kepada
mereka cara dan sarana dalam mempraktekkannya agar mereka berijtihad dan
bersegera mengambil semua yang baik dari berbagai cara dan contoh dalam ruang
lingkup kaedah dan prinsip yang sudah ditanam, karena hikmah (cara tepat)
merupakan barang hilang milik seorang mukmin, di mana saja ia menemukannya,
maka ia leih berhak terhadapnya. Hal ini pun menunjukkan keluesan syari’at
Islam dan cocoknya di setiap zaman, setiap tempat dan setiap umat wal
hamdulillah. Berbeda jika aturannya demikian ketat sehingga bagi suatu
tempat dan suatu umat tidak dapat dipraktekkan. Wallahu a’lam.
Marwan bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar