Ringkasan Musthalah Hadits (4)


بسم الله الرحمن الرحيم
علوم الحديث (@bder_alenezi) | Twitter
Ringkasan Musthalah Hadits (4)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan ringkasan Musthalah Hadits merujuk kepada kitab At Ta’liqaat Al Atsariyyah ‘alal Manzhuumah Al Baiquuniyyah oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali Abdul Hamid dan lain-lain, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Hadits Maqlub
Maqlub artinya terbalik. Maqlub terbagi dua:
1. Terbaliknya lafaz dengan yang lain,
Hal ini bisa terjadi dalam sanad hadits dari sisi para perawinya. Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Ka’ab bin Murrah, lalu rawi terbalik sehingga mengatakan dari Murrah bin Ka’ab.
Demikian pula bisa terjadi dalam matan hadits dari sisi lafaz. Contohnya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu tentang tujuh golongan orang yang mendapatkan naungan Allah di bawah naungan ‘Arsyi-Nya pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, di sana disebutkan:
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ يَمِيْنُهُ مَا تُنْفِقُ شِمَالُهُ
“Dan seorang yang yang menyedekahkan suatu sedekah, lalu ia sembunyikan sehingga tangan kanannya tidak mengetahui apa yang diinfakkan tangan kirinya.”
Hal ini termasuk maqlub yang terjadi oleh sebagian rawi, karena yang sahih adalah,
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ
“Dan seorang yang yang menyedekahkan suatu sedekah, lalu ia sembunyikan sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.”
2. Terbaliknya isnad matan dengan isnad matan yang lain, dan digantinya isnad matan ini dengan isnad pertama dengan tujuan menguji atau lainnya.
Contohnya adalah apa yang dilakukan oleh ulama Baghdad terhadap Imam Bukhari rahimahullah, ketika mereka merubah seratus hadits kepadanya dan mereka bertanya tentangnya untuk menguji hafalannya, lalu ia mengembalikkannya seperti ketika sebelum diganti dan tidak keliru satu pun. Hal ini menunjukkan kuatnya hafalan Imam Bukhari, encer akalnya, teliti, dan dalamnya pandangan beliau.
Hadits Fard
Fard artinya sendiri. Fard terbagi dua:
1. Fard Mutlak, yaitu hadits yang diriwayatkan sendiri oleh orang yang tsiqah, yakni tidak ada orang tsiqah yang meriwayatkan selain dia. Contohnya adalah hadits Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu, bahwa ia bertanya kepada Abu Waqid Al Laitsi tentang surat yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam baca dalam shalat Idul Adh-ha dan Idul Fitri? Maka ia menjawab,
كَانَ يَقْرَأُ فِيهِمَا بِـ ( ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ ) وَ ( اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ ) 
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam kedua shalat itu membaca Qaaf wal Qur’aanil Majiid (surat Qaaf) dan Iqtarabatis saa’atu wan syaqqal qamar (surat Al Qamar). (Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I, dan Ibnu Majah)
Al Hafizh Al ‘Iraqiy (At Tabshirah wat Tadzkirah 1/220) berkata, “Hadits ini datang dari riwayat Dhamrah bin Sa’id Al Maazinniy dari Abdullah bin Abdullah bin Abi Waqid Al Laitsi dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Hadits ini tidak ada rawi tsiqah yang meriwayatkannya selain Dhamrah, dan telah diriwayatkan dari jalan-jalan yang lain yang dha’if.”
2. Fard Muqayyad. Ia terbagi dua:
a. Apabila penduduk suatu negeri yang meriwayatkannya, yakni tidak ada yang meriwayatkannya selain penduduk negeri ini atau itu.
Contoh: Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya dari Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata:
وَاللَّهِ لَقَدْ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى ابْنَىْ بَيْضَاءَ فِى الْمَسْجِدِ سُهَيْلٍ وَأَخِيهِ .
“Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyalatkan dua anak Baidha’ di Masjid, yaitu Suhail dan saudaranya.”
Hakim dalam Ma’rifatu Ulumil Hadits hal. 97 berkata, “Penduduk Madinah meriwayatkannya sendiri, para perawinya semuanya adalah Madaniyyun (orang-orang Madinah), dan telah diriwayatkan dengan isnad yang lain dari Musa bin ‘Uqbah dari Abdul Wahid bin Hamzah dari Abdullah bin Az Zubair dari Aisyah, dan semuanya adalah Madaniyyun, tanpa ada orang lain yang ikut serta (di luar penduduk Madinah).”
b. Apabila seorang rawi tertentu meriwayatkannya, yakni tidak ada yang meriwayatkan dari fulan selain fulan, meskipun hadits itu diriwayatkan dari beberapa jalan dari selainnya.
Contoh: Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sunannya (1059), Abu Dawud dalam Sunannya (3744) dari jalan Sufyan bin Uyaynah dari Wa’il bin Dawud dari anaknya Bakr bin Wa’il dari Az Zuhriy dari Anas:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلَمَ عَلَى صَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ بِسَوِيقٍ وَتَمْرٍ 
“Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengadakan walimah terhadap Shafiyyah binti Huyay dengan sawiq (tepung) dan kurma.”
Tirmidzi berkata, “Hadits ini gharib.”
Ibnu Thahir dalam Athraful Gharaa’ib berkata, “Gharib dari hadits Bakr bin Wa’il, Wa’il bin Dawud meriwayatkan secara sendiri, dan tidak ada yang meriwayatkan darinya selain Sufyan bin ‘Uyaynah.”
Hadits Mu’allal
Hadits Mu’allal adalah hadits yang tampak dalam sanadnya atau matannya ‘illat (cacat) yang mencemarkan kesahihannya, padahal di luarnya tampak tidak ada cacat.
Imam Hakim dalam Ma’rifatu ‘Ulumil Hadits hal. 119 menyebutkan sepuluh jenis ‘illat dan memberikan contohnya, di akhir ia berkata, “Kami telah menyebutkan beberapa ‘illat hadits dengan sepuluh jenisnya, dan masih ada jenis-jenis lainnya yang belum kami sebutkan.”
Di sini akan diterangkan dua jenis saja, yaitu; illat pada sanad berikut contohnya, dan illat pada matan berikut contohnya.
Faedah/Catatan:
Cara mengetahui hadits Mu’allal adalah dengan mengumpulkan semua jalan hadits tersebut serta memperhatikan perbedaan perawinya, menimbang dhabit dan itqan (kuatnya), lalu menghukumi riwayat yang ma’lul tersebut.
Contoh Hadits Mu’allal pada sanad:
Hadits Ya’la bin ‘Ubaid dari Ats Tsauriy dari ‘Amr bin Dinar dari Ibnu Umar secara marfu’, “Al Bayyi’aani bil khiyar…dst[i].” (Dua orang penjual dan pembeli berhak khiyar…dst). Ya’la keliru dalam mengira (wahm) terhadap Sufyan Ats Tsauriy pada perkataannya, “Amr bin Dinar,” padahal sebenarnya Abdullah bin Dinar. Maka sanad hadits ini mu’allal (ber’illat) meskipun matannya shahih[ii].
Contoh Hadits Mu’allal pada matan adalah penafian membaca basmalah dalam shalat, yang diriwayatkan dari Anas, yaitu pada riwayat dimana Muslim meriwayatkannya secara sendiri dalam Shahihnya dari jalan Al Walid bin Muslim. Banyak para imam seperti Syafi’i, Daruquthni, Baihaqi dan lainnya yang mencacatkan riwayat ini, yang di sana ditegaskan penafian basmalah, bahwa rawi di antara para perawi hadits tersebut ketika mendengar perkataan Anas radhiyallahu 'anhu:
صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَكَانُوا يَسْتَفْتِحُونَ بِ{ الْحَمْد لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ }
“Aku shalat di belakang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman, mereka memulai dengan Al Hamdulillahi Rabbil ‘aalamiin.”
Maka rawi ini mengira tidak membaca basmalah, sehingga ia meriwayatkan hadits sesuai yang ia pahami tetapi keliru, akibatnya ia berkata di akhir hadits, “Mereka tidak menyebutkan Bismillahirrahmaanirrahiim di awal bacaan maupun di akhirnya.” Padahal riwayat yang banyak yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim adalah tidak adanya penegasan ini. Ini adalah ‘illat yang tersembunyi yang diketahui para ulama besar yang berpandangan dalam dan teliti.
Hadits Mudhtharib
Hadits Mudhtharib adalah hadits yang diriwayatkan dari arah seorang rawi atau beberapa orang rawi dengan keadaan yang berbeda-beda padahal sama kuatnya, dan tidak mungkin ditarjih (dikuatkan salah satunya) maupun digabungkan.
Perbedaan yang terjadi ini menunjukkan tidak dhabit (kuat ingatan) rawi maupun beberapa orang rawi, sedangkan untuk diterimanya hadits disyaratkan rawi tersebut harus dhabit sebagaimana telah diterangkan sebelumnya.
Pada umumnya mudhtharib terjadi pada sanad, namun terkadang terjadi pada matan.
Contoh mudtharib pada sanad adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ عَصًا فَلْيَخْطُطْ خَطًّا ثُمَّ لَا يَضُرُّهُ مَا مَرَّ أَمَامَهُ
“Apabila salah seorang di antara kamu shalat, maka hendaknya ia adakan di depannya sesuatu. Jika ia tidak mendapatkan, maka hendaknya ia tegakkan tongkat, dan jika tidak ada tongkat, maka hendaknya ia buat sebuah garis, selanjutnya tidak mengapa baginya ketika ada yang lewat di depannya[iii].”
Hadits ini diperselisihkan terhadap rawinya, yaitu Isma’il bin Umayyah dengan perselisihan yang banyak:
Disebutkan, darinya (Isma’il bin Umayyah), dari Abu ‘Amr bin Muhammad bin Huraits dari kakeknya Huraits dari Abu Hurairah.
Disebutkan pula, darinya, dari Abu ‘Amr bin Muhammad bin ‘Amr bin Huraits dari kakeknya Huraits bin Sulaim dari Abu Hurairah.
Disebutkan pula dari ini, itu, dst. sampai lebih dari sepuluh jalan. Oleh karena itulah, lebih dari seorang hafizh seperti An Nawawi dalam Al Khulashah, Ibnu ‘Abdil Hadiy dan lainnya dari kalangan ulama mutaakhirin menghukumi mudhthraibnya sanad ini[iv].
Contoh mudhtarib pada matan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi[v] dari Syarik dari Abu Hamzah dari Asy Sya’biy dari Fathimah binti Qais  radhiyallahu 'anha ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang zakat, maka Beliau menjawab,
إِنَّ فِي الْمَالِ لَحَقًّا سِوَى الزَّكَاةِ
“Sesungguhnya pada harta ada hak selain zakat.”
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah[vi]  dari jalan ini pula dengan lafaz,
لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ
“Tidak ada hak dalam harta selain zakat.”
Al Hafizh Al ‘Iraqiy berkata: Ini adalah mudhtharib yang tidak mengandung (butuh) ta’wil…dst.”
Bersambung….
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, At Ta’liqaat Al Atsariyyah  ‘alal Manzhuumah Al Baiquuniyyah (Ali bin Hasan bin ‘Ali Abdul Hamid Al Atsari), Silsilatul Ahadits Ash Shahihah (M. Nashiruddin Al Albani), Musthalah Hadits Muyassar (Dr. Imad Ali Jum’ah) dll.


[i] Matan hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari (2108), Muslim (1531), Abu Dawud (3454), Nasa’i (7/248), Tirmidzi (1245), Ibnu Majah (2181) dan Ahmad (2/73) dari beberapa jalan dari Nafi’ dari Ibnu Umar. Demikian pula diriwayatkan oleh Bukhari (2113), Muslim (1531) (46), Nasa’i (7/220), Al Humaidiy (655), ‘Abdurrazzaq (14265), Baihaqi (5/269) dari beberapa jalan dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar.
[ii] Tadriburrawi (1/254), Irsyad Thullabil Haqaa’iq (1/243), dan lihat Irwaa’ul Ghalil (no. 1310/1).
Catatan: Dalam Sunan Nasa’i (4477) disebutkan dari jalan Makhlad dari Sufyan dari ‘Amr bin Dinar dari Umar, ini adalah tahrif (terjadi perubahan), yang benar adalah dari Abdullah bin Dinar sebagaimana dalam As Sunanul Kubra (6069) dan Tuhfatul Asyraf (7155).
[iii] Hadits riwayat Ahmad (2/249), Abu Dawud (690), Ibnu Majah (923), Ibnu Khuzaimah (811), Baihaqi (2/271), Ibnu Hibban (2361) dari jalan Sufyan bin ‘Uyaynah dari Isma’il bin Umayyah dari Abu Muhammad bin ‘Amr bin Huraits dari kakeknya dari Abu Hurairah. Hadits ini juga memiliki jalan-jalan lagi yang lain dalam jumlah banyak yang berbenturan, terlebih Abu Muhammad bin ‘Amr dan kakeknya adalah majhul. Lihat At Talkhishul Habir (1/286), Syarhul Musnad (7386), Nashburraayah (2/80) dan ‘Ilal Ibni Abi Hatim (534). Adapun hadits-hadits yang memerintahkan sutrah, maka ada dari jalan-jalan yang lain yang shahih, lihat Misykaatul Mashaabih (1/241) dan Shifat Shalatin Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hal. 72 oleh Syaikh Al Albani.
Yang tidak shahih dari riwayat di atas adalah perintah membuat garis, wallallahu  a’lam (lihat At Ta’liqqat Al Atsariyyah oleh Syaikh Ali bin Hasan hal. 62).
[iv] Lihat Fat-hul Mughits bisyarh Alfiyyatil Hadits (1/222) oleh Al Hafizh As Sakhawiy.
[v] No. 659, Daruquthni (2/125), Thabari (2/57), Darimiy (1/385), Ibnu ‘Addi (4/1328), dan Thabrani dalam Al Kabir (32024). Syarik adalah seorang yang buruk hapalannya, sedangkan Abu Hamzah adalah seorang yang dha’if.
[vi] No. 1789. Hadits ini juga dha’if seperti sebelumnya, karena sanadnya sama, lihat At Talkhishul Habir 2/160, dan Ithafussaadatil Muttaqiin 4/105.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger