Beberapa Larangan Dalam Aqidah

Selasa, 27 November 2012

بسم الله الرحمن الرحيم
Beberapa Larangan Dalam Aqidah
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini beberapa larangan dalam Aqidah, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Perintah menjauhi larangan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ .
"Apa yang aku larang hendaklah kalian menjauhinya, dan apa yang aku perintahkan maka lakukanlah semampu kalian. Sesungguhnya binasanya orang-orang sebelum kalian adalah karena mereka banyak bertanya dan karena penentangan mereka terhadap nabi-nabi mereka.  (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa setiap yang dilarang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam wajib ditinggalkan seluruhnya kecuali ada uzur yang membolehkannya seperti memakan bangkai karena darurat atau terpaksa, berbeda dengan perintah maka disesuaikan dengan kemampuan. Oleh karena itu ada kaidah,
لاَ وَاجِبَ مَعَ الْعَجْزِ
“Tidak ada kewajiban ketika tidak mampu.”
Mungkin rahasia mengapa yang dilarang Beliau itu wajib ditinggalkan segera, karena hal itu mudah yakni hanya dengan berhenti dari melakukannya, berbeda dengan perintah; di mana ada yang bisa dikerjakan oleh seseorang dan ada yang tidak, dan lagi mengerjakan itu mengadakan suatu perbuatan yang butuh adanya kemampuan.
Keutamaan menjauhi dosa besar
Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman,
إِن تَجْتَنِبُواْ كَبَآئِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُم مُّدْخَلاً كَرِيمًا
"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang atas kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapuskan kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga)." (QS. An Nisaa': 31)
Dalam ayat ini, Allah Subhaanahu wa Ta'ala menjamin bagi orang yang menjauhi dosa-dosa besar, bahwa Dia akan memasukkannya ke surga dengan izin dan karunia-Nya. Hal itu, karena dosa-dosa kecil dapat terhapuskan dengan shalat yang lima waktu, shalat Jum'at, dan puasa Ramadhan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ
"Shalat yang lima waktu, shalat Jum'at yang satu kepada shalat Jum'at berikutnya, dan puasa Ramadhan yang satu ke puasa Ramadhan selanjutnya akan menghapuskan dosa-dosa antara keduanya jika ia menjauhi dosa besar." (HR. Muslim dan lainnya)

Beberapa Larangan dalam Aqidah
Berikut ini beberapa larangan dalam Aqidah agar kita ketahui dan kita jauhi.
1.     Larangan berbuat syirk (menyekutukan Allah Subhaanahu wa Ta'ala) secara mutlak, baik syirk besar maupun syirk kecil. Contoh: menyembah atau mengarahkan ibadah kepada selain Allah, berdoa kepada selain Allah, menganggap bahwa di samping Allah ada juga yang ikut serta mengatur alam semesta, berbuat riya', beramal saleh dengan niat memperoleh dunia, dsb.
2.     Larangan mendatangi dukun, paranormal, peramal dan membenarkan perkataan mereka.
3.     Larangan  menyembelih atau berkurban untuk selain Allah Subhaanahu wa Ta'ala.
4.     Larangan berbicara tentang Allah tanpa ilmu.
5.     Larangan memakai jimat dan penangkal.
6.     Larangan melakukan sihir, tenung, pelet, dan santet.
7.     Larangan meyakini bahwa bintang memiliki pengaruh terhadap peristiwa di bumi dan terhadap keadaan pribadi seseorang.
8.     Larangan meyakini bahwa barang-barang tertentu memiliki kemampuan memberikan manfaat dan menolak madharat (bahaya).
9.     Larangan memikirkan Dzat Allah, padahal seharusnya yang dipikirkan adalah ciptaan Allah Azza wa Jalla.
10. Larangan bersangka buruk kepada Allah Azza wa Jalla.
11. Larangan menyatakan seseorang sebagai penghuni neraka tanpa dasar dalil.
12. Larangan mengkafirkan seorang muslim tanpa hujjah syar'i.
13. Larangan meminta dengan Wajah Allah untuk urusan dunia.
14. Larangan menolak orang yang meminta dengan wajah Allah, bahkan harus diberikan selama tidak mengandung dosa. Hal ini untuk mengagungkan hak Allah Ta'ala.
15. Larangan mencaci-maki masa.
16. Larangan tinggal di tengah-tengah kaum musyrik.
17. Larangan menjadikan orang-orang kafir sebagai wali (pemimpin, pemegang jabatan, dan teman akrab); meninggalkan kaum mukmin.
18. Larangan bersafar untuk beribadah selain kepada tiga masjid; Masjidilharam, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha.
19. Larangan membuat bangunan di atas kubur dan menjadikannya sebagai masjid (tempat ibadah).
20. Larangan mencaci-maki para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan membicarakan secara mendalam tentang perselisihan yang terjadi antara mereka.
21. Larangan berbicara secara mendalam tentang masalah taqdir agar tidak tergelincir.
22. Larangan berdebat tentang Al Qur'an tanpa ilmu.
23. Larangan duduk bersama orang-orang yang mengolok-olok ayat Al Qur'an.
24. Larangan mengolok-olok Allah, Rasul, dan Al Qur'an meskipun bercanda.
25. Larangan mencaci-maki sesembahan orang-orang kafir jika mengakibatkan mereka mencaci-maki Allah Subhaanahu wa Ta'ala.
26. Larangan berpecah-belah dalam agama.
27. Larangan berbuat bid'ah dalam agama.
28. Larangan menghalalkan apa yang Allah haramkan atau mengharamkan apa yang Allah halalkan.
29. Larangan bersujud kepada selain Allah Azza wa Jalla.
30. Larangan duduk bercengkerama dengan orang-orang munafik atau orang-orang fasik.
31. Larangan berpisah dari jamaah. Jamaah di sini adalah orang-orang yang berada di atas kebenaran.
32. Larangan menyerupai orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Majusi. Contohnya: membiarkan kumis dan memotong janggut. Bahkan seharusnya, kita biarkan janggut dan kita potong kumis.
33. Larangan memulai mengucapkan salam kepada orang-orang kafir.
34. Larangan membenarkan atau mendustakan berita yang disampaikan orang-orang Ahli Kitab yang mereka riwayatkan dari kitab-kitab mereka, dimana kita tidak mengetahui kebenaran atau kedustaannya.
35. Larangan bertanya kepada Ahli Kitab dalam urusan agama (dengan maksud mencari ilmu atau mengambil faedah).
36. Larangan bersumpah dengan nama selain Allah Subhaanahu wa Ta'ala.
37. Larangan mengatakan, "Maasyaa Allah wa syi'ta," (artinya: Atas kehendak Allah dan kehendakmu).
38. Larangan bagi budak atau pembantu mengatakan, "Rabbi atau Rabbati" (artinya: Gusti) kepada majikannya. Bahkan harus diganti dengan 'maulaya, sayyidiy, atau sayyidati' (artinya: majikanku, tuanku).
39. Larangan bagi seorang majikan berkata kepada budak atau pembantu, "Abdi atau Amati" (artinya: hambaku). Bahkan harus diganti dengan 'fataya, fatatiy, atau ghulami' (artinya: De', Mba' atau Nak).
40. Larangan mengatakan, "Celaka masa."
41. Larangan saling melaknat dengan laknat Allah, kemurkaan-Nya, atau neraka.
42. Larangan berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya.
43. Larangan berputus asa dari rahmat Allah Azza wa Jalla.
44. Larangan merasa aman dari azab Allah.
45. Larangan menyebut 'sayyid' (tuan) untuk orang munafik.
46. Larangan membuat patung, dan menggambar makhluk bernyawa, serta memajangnya.
47. Larangan mengucapkan, "Saya berlepas diri dari Islam."
48. Larangan mengingkari Qadar.
49. Larangan menjenguk orang yang mengingkari qadar dan menghadiri jenazahnya.
50. Larangan belajar untuk mendapatkan dunia, dan larangan menyembunyikan ilmu.
51. Larangan berhukum dengan hukum selain Allah Subhaanahu wa Ta'ala.
52. Larangan bersumpah palsu dengan nama Allah.
53. Larangan thiyarah (merasa sial dengan sesuatu).
54. Larangan bertabarruk (cari berkah) kepada sesuatu yang tidak dijadikan Allah sebagai tempat keberkahan.
55. Larangan bernadzar untuk selain Allah Aza wa Jalla.
56. Larangan bersikap ghuluw (berlebihan) kepada orang-orang saleh.
57. Larangan menyembuhkan sihir dengan sihir.
58. Larangan menisbatkan turunnya hujan kepada selain Allah Azza wa Jalla.
59. Larangan tidak bersabar dengan taqdir Allah yang buruk.
60. Larangan kufur nikmat.
61. Larangan menamai seseorang atau anak dengan nama Qadhil Qudhat (artinya: hakimnya para hakim).
62. Larangan menamai seseorang atau anak dengan nama yang menghambakan kepada selain Allah Subhaanahu wa Ta'ala.
63. Larangan mengatakan, "Assalaamu 'alallah," (artinya: semoga salam terlimpah kepada Allah).
64. Larangan bersumpah mendahului Allah Azza wa Jalla, seperti bersumpah bahwa seseorang tidak akan diampuni dosanya oleh Allah Azza wa Jalla.
65. Larangan mencaci-maki angin.
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa Nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Maktabah Syamilah versi 3.35, Al Manhiyyat Asy Syar'iyyah (M. Bin Shalih Al Munajjid), Mukhtashar Al Kaba'ir, Kitabut Tauhid  (M. Bin Abdul Wahhab), Untaian Mutiara Hadits (Marwan bin Musa), dll.

Adab Makan dan Minum

Minggu, 25 November 2012

بسم الله الرحمن الرحيم
Adab Makan dan Minum
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan tentang adab makan dan minum, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Umar bin Abi Salamah radhiyallahu 'anhu, bahwa ia adalah seorang anak yang berada di bawah asuhan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Suatu hari, ia duduk makan bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, namun dalam makannya, tangannya melintang kesana-kemari dan tidak memperhatikan adab makan, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya,
يَا غُلاَمُ، سَمِّ اللَّهَ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ
"Wahai anak! Sebutlah nama Allah (bismillah), makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari yang dekat denganmu."
Umar bin Abi Salamah berkata, "Kemudian cara makanku selanjutnya senantiasa seperti itu." (HR. Bukhari dan Muslim)
Salamah bin Al Akwa' menceritakan, bahwa ada seorang yang makan di dekat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan tangan kiri, lalu Beliau bersabda, "Makanlah dengan tangan kananmu," ia menjawab, "Saya tidak bisa," Beliau pun bersabda, "Engkau tidak akan bisa," tidak ada yang menghalangi orang itu melakukannya selain kesombongan, Salamah berkata, "Maka ia tidak sanggup mengangkat tangannya ke mulut." (HR. Muslim)

Fenomena Memakmurkan Masjid Yang Perlu Diperbaiki

Minggu, 18 November 2012

بسم الله الرحمن الرحيم
Fenomena Memakmurkan Masjid Yang Perlu Diperbaiki
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan memakmurkan masjid, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Membangun masjid
Terkadang kita temukan di suatu kampung yang mayoritasnya muslim, namun tidak ada masjid di sana; masing-masing penduduknya sibuk mengurus dunia lupa dengan akhirat, padahal membangun masjid di suatu kampung hukumnya fardhu kifayah. Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan dibangun masjid-masjid di kampung-kampung, dan agar dibersihkan, serta diberikan wewangian.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Namun, jangan membangun masjid berdampingan karena yang demikian akan memecah belah kaum muslim.
Membersihkan dan mewangikan masjid
Di sebagian tempat, kita temukan masjid-masjid tidak dirawat, yakni kotor dan agak bau. Ini merupakan sikap kurang peduli terhadap rumah Allah; Tuhan yang mengaruniakan kepada mereka rezeki yang banyak yang tidak terhitung jumlahnya. Padahal, kalau pun mereka sibuk, mereka bisa mengangkat seorang marbot untuk merawat masjid, lalu mereka bayar orang tersebut, atau memanfaatkan dari kotak amal yang ada untuk menggajinya.

Fiqh Nikah (9)


بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Nikah (9)
[Adab di Malam Pertama (2)]
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang pernikahan dan hal-hal yang terkait dengannya, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Adab di malam pertama[1]
6.     Haram bagi suami menggauli istri ketika haidh, dan menggaulinya di duburnya, Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَتَى حَائِضًا، أَوِ امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا، أَوْ كَاهِنًا، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
      “Barang siapa yang menggauli istrinya ketika haidh atau di duburnya, atau mendatangi dukun dan membenarkan kata-katanya, maka sungguh ia telah kufur kepada Al Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.”(HR. Pemilik kitab Sunan selain Nasa’i).
      Imam Nawawi berkata, “Kalau seorang muslim meyakini halal menjima’i wanita yang haidh di farjinya maka ia menjadi kafir murtad. Dan kalau seseorang melakukannya namun tidak beranggapan bahwa hal itu halal (maka ada beberapa hukum): Kalau ia lupa atau tidak tahu adanya haidh atau tidak tahu tentang keharamannya atau dipaksa maka ia tidak berdosa dan tidak kena kaffarat, namun jika ia menjima’i dengan sengaja sedangkan ia mengetahui adanya haidh dan mengetahui hukumnya tetapi tetap melakukannya maka ia telah melakukan dosa besar, Imam Syaafi’i menjelaskan bahwa itu dosa besar, ia wajib bertobat …dst."

Fiqh Nikah (8)


بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Nikah (8)
[Adab di Malam Pertama (1)]
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang pernikahan dan hal-hal yang terkait dengannya, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Adab di malam pertama[i]
1.     Dianjurkan suami bersikap lembut kepada istrinya dan merayunya, misalnya dengan menghidangkan minuman atau semisalnya, berdasarkan hadits Asma’ binti Yazid, ia berkata:
إِنِّي قَيَّنْتُ عَائِشَةَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ جِئْتُهُ، فَدَعَوْتُهُ لِجِلْوَتِهَا، فَجَاءَ، فَجَلَسَ إِلَى جَنْبِهَا، فَأُتِيَ بِعُسِّ لَبَنٍ، فَشَرِبَ ثُمَّ نَاوَلَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَخَفَضَتْ رَأْسَهَا وَاسْتَحْيَت قَالَتْ أَسْمَاءُ: فَانْتَهَرْتُهَا وَقُلْتُ لَهَا: خُذِي مِنْ يَدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ: فَأَخَذَتْ، فَشَرِبَتْ شَيْئًا، ثُمَّ قَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَعْطِي تِرْبَكِ " قَالَتْ أَسْمَاءُ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، بَلْ خُذْهُ، فَاشْرَبْ مِنْهُ، ثُمَّ نَاوِلْنِيهِ مِنْ يَدِكَ، فَأَخَذَهُ، فَشَرِبَ مِنْهُ، ثُمَّ نَاوَلَنِيهِ، قَالَتْ: فَجَلَسْتُ، ثُمَّ وَضَعْتُهُ عَلَى رُكْبَتِي ، ثُمَّ طَفِقْتُ أُدِيرُهُ، وَأَتْبَعُهُ بِشَفَتَيَّ لِأُصِيبَ مِنْهُ مَشْرَبَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قَالَ لِنِسْوَةٍ عِنْدِي: " نَاوِلِيهِنَّ " فَقُلْنَ: لَا نَشْتَهِيهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَا تَجْمَعْنَ جُوعًا وَكَذِبًا "
      “Aku menghias Aisyah untuk Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu aku datang kepada Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengundangnya untuk melihat lebih jelas. Beliau pun datang dan duduk di sampingnya, lalu dibawakanlah gelas besar berisi susu, Beliau pun meminumnya kemudian memberikan kepada Aisyah, namun Aisyah menundukkan kepalanya karena malu. Asma' berkata, "Maka aku pun membentaknya dan mengatakan, “Ambillah dari tangan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,” maka ia pun mengambilnya dan meminumnya sedikit, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Berikanlah kepada temanmu”, aku (Asma’) balik menjawab, “Wahai Rasulullah, ambillah dan minumlah lalu berikanlah kepadaku dari tanganmu,” maka Beliau mengambilnya dan meminumnya kemudian memberikannya kepadaku." Asma’ berkata, “Lalu aku duduk, kemudian menaruh gelas tersebut di lututku, setelah itu aku balik dan menundukkan mulutku agar aku dapat meminum bekas Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian Beliau berkata kepada kaum wanita yang berada di dekatku, “Ambillah”, mereka menjawab, “Tidak, kami tidak suka”, maka Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian gabung antara lapar dan dusta.” (HR. Ahmad dengan dua isnad yang salah satunya menguatkan yang lain, juga diriwayatkan oleh Al Humaidiy dalam Musnadnya, dan hadits ini memiliki syahid dalam riwayat Thabrani)

Fiqh Nikah (7)


بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Nikah (7)
[Doa Untuk Pengantin, Mengumumkan Pernikahan, Nyanyian Dalam Pernikahan, Pesan Kepada Pengantin]
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang pernikahan dan hal-hal yang terkait dengannya, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Doa setelah akad  berlangsung
Dianjurkan mendoakan kedua mempelai dengan doa yang ma’tsur (disebutkan dalam riwayat) berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَفَّأَ الْإِنْسَانَ إِذَا تَزَوَّجَ، قَالَ: «بَارَكَ اللَّهُ لَكَ، وَبَارَكَ عَلَيْكَ، وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ»
Dari Abu Hurairah: Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam apabila mengucapkan selamat dan doa jika ada orang yang menikah, Beliau mengucapkan, “Baarakallahu….(artinya: “Semoga Allah memberkahi untukmu, atasmu dan menghimpun kamu berdua dalam kebaikan”). (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: " تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَتَتْنِي أُمِّي فَأَدْخَلَتْنِي الدَّارَ، فَإِذَا نِسْوَةٌ مِنَ الأَنْصَارِ فِي البَيْتِ، فَقُلْنَ: عَلَى الخَيْرِ وَالبَرَكَةِ، وَعَلَى خَيْرِ طَائِرٍ "
Dari Aisyah ia berkata: “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menikahiku, lalu ibuku datang dan memasukkanku ke dalam rumah. Tiba-tiba di rumah ada sekumpulan wanita Anshar. Mereka pun berkata, “Alal khair…(artinya, “Engkau berada di atas kebaikan dan keberkahan. Engkau berada di atas kebaikan yang besar"). (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)

Fiqh Nikah (6)


بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Nikah (6)
[Akad Nikah, Rukun dan Syaratnya]
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang pernikahan dan hal-hal yang terkait dengannya, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Anjuran diadakan khutbah nikah
Dianjurkan sebelum melangsungkan akad nikah didahului dengan khutbah, baik dilakukan oleh orang yang akad maupun oleh orang lain yang hadir di situ, lafaz pendeknya adalah dengan mengucapkan, “Al Hamdulillah wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasuulillah,” dan ditambah dengan kalimat syahadatain di sana. Dalilnya adalah hadits berikut:
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
«كُلُّ خُطْبَةٍ لَيْسَ فِيهَا تَشَهُّدٌ، فَهِيَ كَالْيَدِ الْجَذْمَاءِ»
 “Setiap khutbah yang tidak ada syahadatnya, maka seperti tangan yang berkusta.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
«كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ، لَا يُبْدَأُ فِيهِ بِالْحَمْدِ، أَقْطَعُ»
“Semua perkara yang bernilai, namun tidak diawali dengan hamdalah (ucapan Al Hamdulillah), maka ia terputus.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadits ini dihasankan oleh Ibnush Shalah dan Imam Nawawi, dan diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya dan Hakim dalam Mustadraknya. Namun menurut Al Albani, hadits ini dha'if, wallahu alam).

Fiqh Nikah (5)


بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Nikah (5)
[Hal-Hal Yang Berkaitan Dengan Khitbah (Melamar), Bagian Yang Boleh Dilihat Oleh Pelamar, Jika Akad Nikah Tidak Jadi Setelah Melamar, dll.]
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang pernikahan dan hal-hal yang terkait dengannya, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Hal-hal yang berkaitan dengan khitbah (melamar)[i]
Islam menganjurkan agar seseorang yang hendak menikah melihat calon isterinya. Yang demikian agar seseorang mengenali pasangan hidupnya, sehingga menikah dilakukan di atas pengetahuan, dan hal ini dapat membantu melanggengkan pernikahan. Al A'masy berkata, "Setiap pernikahan yang terjadi tanpa melihat dahulu (pasangannya), maka akhirnya adalah kesedihan dan kedukaan."
Dari Jabir radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ , فَإِنْ اِسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا , فَلْيَفْعَلْ
“Apabila salah seorang di antara kamu hendak melamar wanita. Jika ia mampu  melihat sesuatu yang mendorongnya untuk menikahinya, maka hendaklah ia lakukan.”
Jabir berkata, “Aku pun kemudian melamar wanita dari Bani Salamah, aku bersembunyi (untuk melihatnya), sehingga aku dapat melihat beberapa hal yang mendorong untuk menikahinya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dihasankan oleh Al Albani)
Hadits ini membolehkan seseorang yang hendak melamar untuk melihat bagian yang tampak dari si wanita secara ghalib(biasa)nya, dan boleh baginya melihat tanpa sepengetahuan si wanita itu, namun tidak boleh berkhalwat (berdua-duan) dengannya.
عَنِ الْمُغِيْرَةَ بْنِ شُعْبَةَ : أَنَّهُ خَطَبَ امْرَأَةً ، فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا ؟ ) قَالَ : لاَ ، قَالَ : ( أُنْظُرْ إِلَيْهَا ، فَاِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
Dari Mughirah bin Syu’bah bahwa ia pernah melamar seorang wanita, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Apakah kamu sudah melihatnya?” Ia menjawab, “Belum,” Beliau bersabda, “Lihatlah wanita itu, karena hal itu lebih dapat melanggengkan hubungan antara kamu berdua.” (HR. Nasa’i, Ibnu Majah dan Tirmidzi, ia menghasankannya, dan dishahihkan oleh Al Albani)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّ رَجُلاً خَطَبَ امْرَأَةً مِنَ الْاَنْصَارِ ، فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا ) ؟ قَالَ : لاَ ، قَالَ : ( فَاذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا ، فَاِنَّ فِي أَعْيُنِ الْاَنْصَارِ شَيْئًا
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa ada seseorang yang melamar seorang wanita Anshar, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Apakah kamu sudah melihatnya?” Orang itu menjawab, “Belum,”  Beliau bersabda, “Pergilah, lihatlah wanita itu, karena pada mata orang-orang Anshar ada sesuatu[ii].”
Muhammad bin Maslamah berkata, “Aku (hendak) melamar seorang wanita, untuk itu aku pun bersembunyi di balik pohon kurma,” lalu ada yang mengatakan kepadanya, “Apakah anda melakukan hal ini, padahal anda sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam?”
Ia menjawab, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اِذَا اَلْقَى اللهُ فِي قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ فَلاَ بَأْسَ اَنْ يَنْظُرَ اِلَيْهَا
“Apabila Allah menanamkan dalam hati seseorang keinginan melamar seorang wanita, maka tidak mengapa melihatnya terlebih dahulu.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al Albani)
Bagian yang boleh dilihat
Menurut jumhur ulama, yang boleh dilihat adalah wajah dan telapak telapak tangan; karena wajah menunjukkan kecantikannya dan tangan menunjukkan kesuburannya. Namun menurut Dawud Azh Zhahiri, boleh melihat semua badannya. Menurut Al Auzaa’iy yang boleh dilihat adalah bagian-bagian dagingnya.
Akan tetapi hadits-hadits yang datang tidak menentukan bagian mana yang boleh dilihat, bahkan memutlakkan untuk melihat bagian yang jika dilihat tercapai maksud dan tujuan, wallahu a’lam.
Jika setelah melihat wanita itu kemudian ia tidak tertarik, maka hendaknya ia diam dan tidak berkata apa-apa agar si wanita tidak tersinggung, dan mungkin saja orang lain tertarik.
Hal di atas berkaitan dengan cantik dan tidaknya, adapun yang berkaitan dengan akhlaknya, maka ia bisa bertanya kepada orang yang biasa bergaul atau bertetangga dengannya. Jika ada seseorang yang mengetahui lebih jelas tentang wanita itu dimintai penjelasannya, maka wajib baginya menjelaskan apa adanya baik atau buruk akhlaknya dsb. Dan hal ini tidak termasuk ghiibah.
Wanita melihat laki-laki
Sebagaimana laki-laki boleh melihat wanita yang hendak dilamar, wanita pun sama boleh melihat laki-laki yang melamar. Umar berkata, “Janganlah kalian menikahkan puteri kalian dengan laki-laki jelek, karena mereka suka sebagaimana yang disukai laki-laki.”
Bahaya berkhalwat (berdua-duaan) dengan wanita yang dilamar
Haram hukumnya berdua-duaan dengan wanita yang dilamar, karena wanita tersebut masih belum halal sampai dilangsungkannya akad nikah. Namun jika ada mahramnya boleh berkhalwat, karena tidak mungkinnya terjadi maksiat di hadapannya.
Dari Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْاَخِرِ فَلاَ يَخْلُوَنَّ بِامْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ مِنْهَا ، فَاِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka janganlah berdua-duaan dengan wanita tanpa mahramnya, karena yang ketiganya adalah setan.” (HR. Ahmad dan dinyatakan hasan lighairih oleh Pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah)
Daari ‘Amir bin Rabii’ah radhiyallahu 'anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَاِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ إِلاَّ لِمَحْرَمٍ
“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya, karena yang ketiganya adalah setan.” (HR. Ahmad, dan dinyatakan shahih lighairih oleh Pentahqiq Musnad Ahmad)
Bahaya meremehkan masalah khalwat (berdua-duaan)
Syaikh Sayyid Saabiq berkata, “Banyak orang-orang yang meremehkan masalah ini, sampai ia membolehkan puterinya atau kerabatnya untuk bergaul bersama laki-laki yang melamarnya dan berduaan tanpa pengawasan. Puterinya pergi bersama laki-laki yang meminangnya ke mana laki-laki itu suka tanpa dipantau. Akibatnya wanita tersebut ada yang kehilangan kehormatannya, ‘iffah dan kemuliannya, bahkan terkadang pernikahan tidak jadi di samping gagalnya pernikahan dengannya. Ada juga yang terbalik, sebagian orang yang kolot tidak memberikan kesempatan kepada pelamar untuk melihat puterinya ketika dilamar, mereka menekan pelamar agar ridha menerimanya dan melakukan ‘akad terhadapnya tanpa perlu melihatnya, demikian juga puterinya tidak melihat laki-laki yang melamarnya kecuali pada malam pengantin. Bahkan terkadang melihatnya juga tiba-tiba tanpa ditentukan, akibatnya terjadi pertengkaran dan perselisihan yang tidak diduga-duga sebelumnya. Ada juga orang yang merasa cukup dengan melihat foto, padahal foto itu secara kenyataan tidak menunjukkan sesuatu yang membuat hati tenteram, dan tidak menjamin sama persis dengan keadaan sebenarnya. Oleh karena itu, yang terbaik adalah yang dibawa oleh Islam, di sana hak masing-masing pasangan diperhatikan dengan bolehnya masing-masing melihat yang lain, dan dengan menghindari khlawat untuk menjaga kemuliaan dan memelihara kehormatan.”
Tidak jadi melamar dan pengaruhnya
Khitbah (melamar) adalah pendahuluan sebelum akad nikah. Setelah itu biasanya disiapkan mahar (mas kawin) penuh atau sebagiannya, juga disiapkan hadiah dan hibah (pemberian) untuk memperkuat hubungan dan ikatan. Terkadang pelamar atau yang dilamar bisa saja tidak jadi atau kedua-duanya sama-sama tidak jadi, lalu bolehkah hal itu? Dan apakah barang yang telah diberikan kepada wanita yang dilamar harus dikembalikan atau tidak?
Jawab: Perlu diketahui, bahwa khitbah hanyalah semata-mata perjanjian untuk menikah, bukan akad yang mesti terlaksana, tidak jadi melanjutkan pernikahan adalah hak masing-masing yang mengikat perjanjian. Syara’ tidaklah menetapkan hukuman atau kaffarat jika perjanjian itu dibatalkan, meskipun hal itu termasuk akhlak tercela, dan menyebut sifat itu yakni ”ingkar janji” sebagai sifat orang-orang munafik, kecuali jika di sana ada darurat dan desakan yang menghendaki untuk tidak dilanjutkan atau tidak dipenuhi janji itu.
Disebutkan dalam hadits shahih bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اَيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: اِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَاِذَا وَعَدَ اَخْلَفَ وَاِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik itu tiga; apabila bicara berdusta, apabila berjanji mengingkari dan apabila dipercaya mengkhianati.”
Dalam Tadzkiratul Huffaazh disebutkan, bahwa ketika Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma hendak wafat, ia berkata, “Lihatlah si fulan –maksudnya seorang laki-laki dari Quraisy-, sesungguhnya saya pernah berkata kepadanya perkataan yang mirip dengan janji dalam hal puteriku, aku tidak ingin menghadap Allah dengan membawa sepertiga nifak. Aku pun menjadikan kalian saksi bahwa aku menikahkan dia dengannya.”
Oleh karena itu, mahar yang telah diberikan pelamar berhak diambil pelamar, karena ia menyerahkan untuk tujuan menikahinya. Jika pernikahan tidak jadi, maka mahar kembali kepada pemberinya (pelamar). Sedangkan hadiah, maka ia masuk ke dalam hibah, sedangkan hibah tidak boleh ditarik kembali jika sebagai pemberian semata tidak ada niat untuk diganti. Di samping itu, orang yang diberi hibah pada saat menerimanya, barang tersebut menjadi miliknya, ia berhak menggunakannya. Jika yang memberinya menarik kembali, maka sama saja menarik barang milik orang yang diberi itu tanpa keridhaan, ini jelas batil secara syara’ dan ‘akal[iii].
Berbeda jika pemberi memberikan hibah agar diberi ganti dan dibalas, lalu ternyata yang diberi tidak membalas, maka pemberi berhak menarik hibahnya. Sehingga jika pelamar memberikan hibah kepada pihak yang dilamar agar diganti, lalu ternyata pernikahan tidak jadi, maka pelamar berhak menarik kembali pemberiannya. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُعْطِيَ عَطِيَّةً ، أَوْ يَهَبَ هِبَةً فَيَرْجِعَ فِيْهَا ، إِلاَّ الْوَالِدُ فِيْمَا يُعْطِيْ وَلَدَهُ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tidak halal bagi seseorang yang memberikan suatu pemberian atau suatu hibah lalu menarik lagi, kecuali pemberian ayah kepada anaknya.” (HR. Para pemilik kitab sunan, dan dishahihkan oleh Al Albani)
اَلْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْعَائِدِ فِي قَيْئِهِ
“Orang yang menarik kembali hibahnya seperti orang yang menarik kembali muntahnya.” (HR. Para pemilik kitab sunan, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Cara menggabung hadits-hadits di atas adalah seperti yang disebutkan dalam I’laamul Muwaqqi’iin sbb.:
“Pemberi yang tidak halal menarik kembali pemberiannya adalah pemberi yang memberikan dengan tujuan semata-mata memberi, tidak agar diganti (pemberiannya), sedangkan pemberian yang berhak ditarik adalah pemberian dengan tujuan agar diganti (dibalas pemberiannya), jika ternyata yang diberi tidak melakukannya. Demikianlah sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam diberlakukan semuanya, sebagiannya tidak bertentangan dengan yang lain.”
Pendapat para fuqaha (ahli fiqh)
Ulama madzhab Hanafi berpendapat, bahwa yang diberikan pelamar kepada wanita yang dilamarnya berhak ditarik jika barang tersebut belum berubah. Oleh karena itu, gelang, cincin, jam dan sebagainya dikembalikan kepada pelamar jika masih ada. Namun jika tidak tetap seperti sebelumnya –yakni berubah- seperti karena hilang, terjual, berubah menjadi bertambah atau berupa makanan ternyata sudah dimakan atau berupa kain ternyata sudah dibuat pakaian, maka pelamar tidak berhak menarik pemberian atau hadiah itu dan tidak berhak meminta ganti terhadapnya.
Madzhab Hanafi ini dipakai oleh Mahkamah Syar’i (Pengadilan agama) Tingkat I Thantha yang menetapkan beberapa ketetapan berikut pada tanggal 13 Juli 1933 M:
1.     Yang diberikan pelamar kepada wanita yang dilamar, yang bukan untuk akad, maka dianggap hadiah.
2.     Hadiah seperti hibah, secara hukum maupun makna.
3.     Hibah adalah akad kepemilikan, yang menjadi milik penerima ketika menerimanya. Bagi yang menerima berhak menggunakan barang tersebut baik dengan menjual, membeli dsb. Dan tindakannya ini diberlakukan.
4.     Hilangnya barang atau rusaknya menghendaki untuk tidak boleh menarik kembali barang itu.
5.     Pemberi berhak meminta dikembalikan barang yang diberikan jika masih utuh.
Namun menurut ulama madzhab Maliki bahwa dalam hal ini ada perincian, yakni sebab tidak jadi melanjutkan akad nikah itu dari pihak siapa; laki-laki atau wanita. Jika dari pihak laki-laki, maka tidak berhak menarik kembali hadiah yang diberikan, namun jika dari pihak wanita, maka laki-laki berhak menarik kembali hadiahnya baik masih utuh maupun tidak utuh. Jika tidak utuh, diganti kecuali jika ‘urufnya (kebiasaan yang berlaku) tidak demikian atau sebelumnya telah membuat syarat, maka sesuai ‘uruf atau syarat tersebut.
Sedangkan menurut ulama madzhab Syafi’i, bahwa hadiah itu tetap dikembalikan baik masih utuh atau tidak, jika masih utuh dikembalikan barangnya, namun jika sudah tidak utuh, maka diganti dengan yang senilainya.
Di antara pendapat-pendapat di atas, kami lebih memilih pendapat yang diterangkan oleh Ibnul Qayyim di atas dalam I’laamul Muwaqqi’innya. Wallahu a’lam.
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Al Wajiz (Abdul 'Azhim bin Badawi), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), dll.


[i] Khitbah artinya permintaan untuk menikahi wanita dengan sarana yang sudah dikenal di masyarakat. Jika sudah terjadi kecocokan maka hal ini berarti tinggal menentukan kapan akad nikah dilangsungkan, dan si wanita masih tetap ajnabiy (bukan mahram) sampai dilakukan ‘akad nikah, bagi laki-laki lain tidak boleh melamar wanita itu karena sudah dilamarnya.
[ii] Ada yang mengatakan bahwa mata orang-orang Anshar itu kecil (sipit), dan ada yang mengatakan bahwa pandangan mereka lemah mudah mengalirkan air mata.
[iii] Lihat I’laamul Muwaqqi’iin Juz. 2 hal. 50
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger