Fiqih Darurat

Selasa, 23 April 2019
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫الضرورات تبيح المحظورات‬‎
Fiqih Darurat
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang fiqih darurat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Ta’rif (definisi) Darurat
Para fuqaha (Ahli Fiqih) terdahulu memberikan beberapa definisi terkait tentang darurat, intinya bahwa darurat adalah kondisi terpaksa yang jika seseorang tidak melakukan yang diharamkan, maka dirinya akan binasa atau hampir binasa. Binasa atau hampir binasa ini didasari oleh hal yang yakin atau perkiraan kuat.
Dalam kondisi darurat, ada kaidah fiqih yang masyhur, yaitu:
اَلضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
“Kondisi darurat membolehkan yang diharamkan.”
Kaidah ini didasari oleh firman Allah Ta’ala,
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah, tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedangkan dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al Baqarah: 173)
Allah membolehkan mengkonsumsi yang haram karena darurat, karena Dia menginginkan kemudahan dan tidak menginginkan kesulitan bagi kita (lihat Qs. Al Baqarah: 185 dan Qs. Al Maidah: 6), bahkan Dia hendak memberikan keringanan kepada kita (lihat Qs. An Nisaa: 28), Dia juga Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya sehingga menetapkan syariat ini.
Contoh Kondisi Darurat
Para fuqaha (Ahli Fiqih) sepakat, bahwa orang yang kelaparan yang berada dalam kondisi darurat yang tidak memperoleh makanan yang halal untuk menghindarkan kebinasaan dari dirinya, maka tidak mengapa mengkonsumsi yang haram apabila tidak mendapati selainnya. Orang tersebut boleh memakan yang haram namun seukuran yang dapat menghilangkan kondisi darurat (tanpa berlebihan), karena Allah Ta’ala berfirman,
فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al Maidah: 3)
Dalam ayat lain, Allah Ta’ala juga berfirman,
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barang siapa yang kafir kepada Allah setelah dia beriman (maka dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (maka dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (Qs. An Nahl: 106)
Oleh karena itu, apabila seorang muslim diancam akan disiksa dengan sebenarnya sampai ia mau mengucapkan kata-kata kufur, namun hatinya tetap tenang dengan keimanan, maka dia tidak kafir karena kata-kata itu.
Termasuk juga tidak mengapa menolak gangguan orang yang menganiayanya meskipun sampai membuat penganiaya itu terbunuh.
Akan tetapi, dalam keadaan bagaimanakah suatu keadaan dianggap sebagai darurat? Dan apa maksud darurat? Apakah setiap kesulitan yang dirasakan dianggap sebagai darurat?
Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, bahwa darurat adalah kondisi dimana jika tidak dilakukan perkara haram itu maka dirinya akan binasa atau mendapatkan bahaya berat yang menimpa salah satu dari yang lima ini; agama, jiwa, akal, harta, dan kehormatan. Ketika inilah tidak mengapa bagi seseorang mendatangi yang haram karena darurat.
Perhatikan pernyataan ini ‘maka dirinya akan binasa atau mendapatkan bahaya yang berat’ seperti akan hilangnya anggota badannya, maka dalam kondisi ini ia boleh melakukan yang haram itu karena darurat.
Pernyataan ini juga butuh perincian. Oleh karenanya, kita tidak boleh meninggalkan jihad fi sabilillah karena untuk menjaga jiwa sambil mengatakan, “Meninggalkan jihad adalah darurat, karena jihad menyebabkan nyawa terbunuh.” Bahkan tidak demikian, karena menjaga agama jauh lebih tinggi, sedangkan jihad sesuatu yang mesti untuk menjaga agama.
Di samping itu, dalam hal darurat ada perkara yang didahulukan dan diakhirkan. Misalnya kerongkongan seseorang tersumbat suatu makanan, dimana ia tidak memperoleh untuk memasukkan makanan itu kecuali khamr (arak) agar dapat menelan makana itu, karena jika tidak maka ia akan meninggal dunia, maka ia diperbolehkan mengkonsumsi khamr sekedar untuk memasukkan sumbatan makanan itu dan menyelamatkan dirinya dari kebinasaan sekalipun mengakibatkan bahaya pada akalnya.
Batasan Darurat
Menggunakan kaedah “Adh Dharuratu tubihul mahzhuraat” (kondisi darurat menghalalkan yang haram) ada batasannya, yaitu:
Pertama, seseorang tidak boleh menjatuhkan dirinya dalam kondisi darurat.
Oleh karena itu, tidak boleh bagi seseorang membinasakan hartanya dan makanannya yang halal, dimana dirinya mengetahui bahwa setelahnya ia terpaksa mengkonsumsi yang haram, maka orang ini berdosa karena menjatuhkan dirinya ke dalam kondisi darurat.
Kedua, adanya kondisi darurat dan  tidak ada sarana untuk menyingkirkan darurat kecuali dengan yang haram, dan perkara haram ini secara pasti dapat menghilangkan darurat itu; bukan didasari perkiraan yang tidak kuat (ragu-ragu).
Ketiga, darurat disesuaikan dengan ukuran atau kadarnya.
Oleh karena itu, jika seseorang terpaksa harus berdusta padahal ia masih bisa melakukan tauriyah (pernyataan yang mengandung beberapa kemungkinan yang bisa masuk ke dusta atau benar), maka tidak boleh baginya berdusta.
Jika seseorang dipaksa mengucapkan kata-kata kufur, maka hatinya tidak boleh ikut kufur.
Jika seseorang boleh tayammum karena darurat, maka setelah mampu menggunakan air, ia tidak boleh lagi bertayammum.
Termasuk juga tidak boleh bagi seorang dokter laki-laki menyingkap bagian yang sakit dari aurat wanita, kecuali sesuai ukuran bagian yang sakit; tidak melebihinya, tentunya setelah sebelumnya wanita atau mahramnya mencarikan dokter wanita terlebih dahulu. Di samping itu, harus didampingi mahramnya, dan jika cukup dengan dilihat, maka tidak boleh disentuh, dan jika bisa memakai penghalang, maka tidak boleh menyentuh langsung. Demikian juga jika untuk pemeriksaan hanya cukup sebentar, maka tidak boleh lama-lama disingkap.
Keempat, bahaya tidak boleh disingkirkan dengan yang semisalnya atau yang lebih berbahaya lagi daripadanya.
Oleh karena itu, jika seseorang berkata kepadanya, “Bunuhlah si fulan! Jika tidak, maka aku akan rampas hartamu,” maka tidak baginya membunuh orang itu. Bahkan kalau pun seseorang berkata kepadanya, “Bunuhlah si fulan! Jika tidak, maka kami akan membunuhmu.” Padahal si fulan itu seorang muslim yang terpelihara darahnya, maka tidak boleh menurutinya dengan membunuhnya, karena jiwa yang satu dengan yang lain adalah sama terpelihara, maka bagaimana diperbolehkan membunuh muslim yang lain demi menyelamatkan dirinya? Oleh karena itu, para ulama berkata, “Tidak boleh bagi tentara muslim memerangi tentara muslim tanpa alasan yang benar meskipun mereka dipaksa (akan dibunuh).”
Demikian pula apabila seorang tentara muslim dipaksa memberitahukan musuh jalan untuk menembus negeri muslim agar mereka dapat menguasainya, maka tidak boleh baginya menunjukkannya kepada musuh.
Kelima, waktu kebolehan mendatangi yang haram dibatasi selama masih dalam kondisi darurat.
Faedah:
1. Apa batasan paksaan yang jika menimpa seseorang, maka diperbolehkan melakukan yang haram? Yakni apakah ketika seseorang diancam akan dicambuk sekali atau dua kali cukup membuat seseorang melakukan yang diharamkan?
Para Ahli fiqih berkata, “Cambukan yang dianggap ikrah (terpaksa dan darurat) adalah cambukan atau pukulan yang dapat mengakibatkan nyawa melayang, atau salah satu anggota badan binasa, atau menerima rasa sakit yang tidak sanggup dipikulnya.”
2. Paksaan yang menjadikan kondisi darurat juga syaratnya adalah: (a)  orang yang memaksa mampu melakukan ancaman itu, (b) orang yang dipaksa tahu atau memiliki perkiraan kuat bahwa pemaksa mampu menjalankan ancaman itu, (c) orang yang dipaksa tidak mampu menyingkirkan hal itu dari dirinya baik dengan melawan atau melarikan diri, (d) ancaman yang ditimpakan kepadanya menggunakan sesuatu yang membuat binasa dirinya atau menimbulkan bahaya besar seperti membuatnya terbunuh atau binasa salah satu anggota badannya, atau penyiksaan yang meninggalkan bekas, atau penjara yang lama, (e) paksaan dilakukan segera, misalnya diancam akan segera dibunuh, sehingga jika ancamannya masih lama diberlakukan seperti besok, atau lusa, maka tidak dianggap sebagai ikrah (paksaan).
 3. Seorang muslim juga harus berusaha sekuat tenaga untuk menyingkirkan kondisi darurat yang menimpa dirinya.
Para ulama berkata, “Ketika diperbolehkan bagi kaum muslim pada suatu masa mengadakan perdamaian dengan musuh karena darurat setelah terpenuhi syarat syar’i, maka kaum muslim harus berusaha keluar dari kondisi darurat itu yang membuat mereka terpaksa berdamai dengan musuh.”
Maksud terpenuhi syarat syar’i adalah ketika yang melakukan shulh (damai) adalah khalifah kaum muslim yang diangkat mereka atau wakilnya yang diangkat oleh khalifah, dan bahwa shulh itu lebih baik bagi kaum muslim dan tidak menimbulkan bahaya yang lebih besar, dan tentunya waktunya dibatasi sebagaimana yang diterangkan para Ahli Fiqih, dimana batas maksimalnya adalah 10 tahun berdasarkan Shulhul Hudaibiyah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Meskipun begitu, kaum muslim harus berusaha menyingkirkan kelemahan dari diri mereka, dan berusaha memperkuat diri dan melakukan persiapan untuk menghadapi musuh.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: At Tasahul fil ihtijaj bidh dharurah (Khutbah Syaikh M. Bin Shalih Al Munajjid), https://islamqa.info , https://www.alukah.net/sharia/0/122270/ dll.

Fiqih Shalat Ied/Hari Raya (3)

Minggu, 07 April 2019
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫صلاة العيدين‬‎
Fiqih Shalat Ied/Hari Raya (3)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut pembahasan lanjutan tentang fiqih shalat ‘Ied (Hari Raya) yang banyak kami rujuk kepada kitab Fiqhus sunnah karya Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah, semoga Allah Subhaanahu wa Ta'aala menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
15. Anjuran mengucapkan selamat
Dari Jubair bin Nufair ia berkata, “Para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam saat berjumpa pada hari raya, maka sebagian mereka berkata kepada yang lain,
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ
“Semoga Allah menerima amal kami dan kamu.” (Al Hafizh As Suyuthiy dalam Wushulul Amani fi Ushulit Tahani berkata, “Isnadnya hasan,”)
Ibnut Turkumani dalam Al Jauharun Naqi 3/320 menyebutkan riwayat Muhammad bin Ziyad, ia berkata, “Aku bersama Abu Umamah Al Bahiliy dan lainnya dari kalangan para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Mereka apabila pulang, maka sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Taqabbalallahu minna wa minka.” (Imam Ahmad bin hanbal berkata, “Isnadnya jayyid.”)
16. Takbir pada hari raya
Takbir pada dua hari raya adalah sunnah.
Dalil takbir pada saat Idul Fitri, Allah Ta’ala berfirman,
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (Qs. Al Baqarah: 185)
Sedangkan dalil takbir pada saat Idul Adh-ha, Allah Ta’ala berfirman,
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (Qs. Al Baqarah: 203)
Ibnu Abbas berkata, “Maksudnya adalah hari-hari tasyriq.” (Diriwayatkan oleh Bukhari)
Allah Ta’ala juga berfirman,
كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
“Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. Al Hajj: 37)
Menurut jumhur (mayoritas) para ulama, bahwa takbir pada saat Idul Fitri dari sejak keluar menuju lapangan shalat Ied sampai dimulai khutbah. Mengenai hal ini ada riwayat-riwayat namun dhaif, tetapi ada riwayat yang shahih dari Ibnu Umar dan sahabat lainnya. Hakim berkata, “Ini adalah Sunnah yang berlaku di kalangan Ahli hadits.” Bahkan ini pula yang dipegang oleh Imam Malik, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur.
Namun sebagian ulama berpendapat, bahwa takbir pada saat Idul Fitri dimulai dari sejak melihat hilal (bulan sabit tanda awal bulan Syawwal) sampai berangkat ke lapangan dan sampai imam hadir.
Sedangkan untuk Idul Adh-ha waktunya dari subuh hari Arafah sampai Ashar hari tasyriq, yakni 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.
Telah shahih praktek hal ini dari Ali, Ibnu Abbas, dan Ibnu Mas’ud.
Al Hafizh dalam Al Fath berkata, “Tidak ada satu pun hadits yang shahih tentang hal itu dari Nabi  shallallahu alaihi wa sallam, namun yang paling shahih adalah riwayat dari para sahabat, dari pernyataan Ali dan Ibnu mas’ud, bahwa waktunya dari Subuh hari Arafah sampai akhir hari-hari Mina.” (Diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dan lainnya).
Bahkan ini pula yang dipegang oleh Imam Syafi’i, Ahmad, Abu Yusuf, Muhammad, dan menjadi madzhab Umar dan Ibnu Abbas.
Dan takbir pada hari-hari tasyriq tidak pada waktu tertentu, bahkan dianjurkan di setiap waktu pada hari-hari itu.
Imam Bukhari berkata, “Umar radhiyallahu anhu bertakbir di kemahnya di Mina, lalu penghuni masjid mendengar takbirnya, maka mereka pun bertakbir dan penghuni pasar juga bertakbir hingga Mina bergemuruh suara takbir.”
Ibnu Umar bertakbir di Mina pada hari-hari tersebut, setelah shalat, ketika di tempat pembaringan, di kemah, di majlis, dan saat berjalan pada hari-hari itu.
Adapun Maimunah, maka ia bertakbir pada hari nahar. Kaum wanita juga bertakbir di belakang Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz pada malam hari tasyriq bersama kaum pria di masjid.
Al Hafizh berkata, “Atsar-atsar (riwayat dari para sahabat) tersebut menunjukkan adanya takbir pada hari-hari itu setelah shalat dan dalam keadaan lainnya, hanyasaja ada khilaf di kalangan ulama tentang waktunya. Di antara mereka ada yang hanya melakukan takbiran pada saat selesai shalat, ada pula yang hanya melakukan seusai shalat fardhu, tidak seusai shalat sunah. Ada pula yang mengkhususkan untuk kaum laki-laki, tidak bagi kaum wanita. Demikian pula ada yang mengkhususkan dalam keadaan berjamaah, tidak sendiri. Demikian pula ada yang mengkhususkan untuk shalat yang dilakukan pada waktunya, bukan shalat yang diqadha, atau untuk orang yang mukim bukan untuk orang yang sedang safar, atau untuk penduduk suatu kota, bukan yang tinggal di pelosok kampung. Namun yang tampak dari pendapat pilihan Imam Bukhari adalah bahwa takbiran itu untuk semuanya, dan atsa-atsar yang disebutkannya menguatkan hal itu.”
Riwayat paling shahih terkait lafaz takbir adalah riwayat yang disebutkan Abdurrazzaq dari Salman, ia berkata, “Ucapkanlah takbir:
اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ ، اَللهُ أَكْبَرُ كَيِرْاً
“Allah Mahabesar. Allah Mahabesar. Allah Mahabesar-sungguh Mahabesar.”
Telah ada pula riwayat dari Umar dan Ibnu Mas’ud, bahwa mereka bertakbir:
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَِللهِ الْحَمْدُ
“Allah mahabesar. Allah mahabesar. Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia. Allah mahabesar, dan milik Allah segala pujian.”
Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, yakni dengan menyebutkan lafaz Allahu akbar 2 x, sedangkan dalam riwayat lain milik Ibnu Abi Syaibah juga dengan menyebutkan tiga kali lafaz Allahu akbar, meskipun yang lebih terkenal adalah yang menyebutkan 2 x (Lihat Al Irwa 3/125-126).
Imam Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ucapan takbirnya,
اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ وَ ِللهِ اْلحَمْدُ اَللهُ اَكْبَرُ وَاَجَلُّ اَللهُ اَكْبَرُ عَلىَ مَاهَدَانَا
“Allah mahabesar. Allah mahabesar. Allah mahabesar, dan untuk Allah segala puji. Allah Mahabesar dan Mahaagung. Allah Mahabesar atas petunjuk-Nya kepada kami.”
Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam walhamdulillahi Rabbil alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Tamamul Minnah (M. Nashiruddin Al Albani), Subulus Salam (Imam Ash Shan'ani), dll.

Fiqih Shalat Ied/Hari Raya (2)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫صلاة العيدين‬‎
Fiqih Shalat Ied/Hari Raya (2)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut pembahasan lanjutan tentang fiqih shalat ‘Ied (Hari Raya) yang banyak kami rujuk kepada kitab Fiqhus sunnah karya Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah, semoga Allah Subhaanahu wa Ta'aala menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
10. Orang yang sah melakukan shalat Ied
Shalat Ied sah dilakukan oleh laki-laki dan wanita baik mereka sedang safar maupun mukim, baik secara berjamaah maupun masing-masing, di rumah, masjid, atau di lapangan.
Barang siapa yang tertinggal dari shalat Ied berjamaah, maka hendaknya ia mengerjakan shalat Ied dua rakaat. Imam Bukhari berkata, “Bab: Apabila tertinggal shalat Ied, maka ia kerjakan dua rakaat.”
Demikian pula bagi kaum wanita, mereka yang berada di rumah, atau di dusun-dusun. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
هَذَا عِيْدُنَا أَهْلُ الْاِسْلاَمِ
“Ini adalah hari raya kita kaum muslim.”
Anas bin Malik pernah menyuruh maula (budak yang dimerdekakann)nya, yaitu Ibnu Abi Utbah agar mengumpulkan orang-orang di sudut rumahnya, lalu Anas mengumpulkan istri dan anaknya lalu shalat sebagaimana penduduk suatu kota shalat dan melakukan takbir seperti mereka.
Ikrimah berkata, “Penduduk As Sawad pernah berkumpul untuk shalat Ied, mereka melakukan shalat Ied dua rakaat sebagaimana yang dilakukan imam.”
Atha berkata, “Apabila seseorang tertinggal shalat Ied, maka ia kerjakan shalat dua rakaat,”
11. Khutbah Ied
Dari Abu Sa’id ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam keluar pada hari Idul Fitri dan Idul Adh-ha ke lapangan[i], dan yang pertama kali Beliau lakukan adalah shalat, kemudian Beliau salam lalu berdiri menghadap manusia, sedangkan manusia duduk di shaf mereka. Ketika itu, Beliau menasihati, mewasiatkan, dan memerintahkan mereka. Jika Beliau hendak mengirim pasukan dan hendak memerintahkan mereka, maka Beliau melakukannya saat itu. Setelah itu, pulang.”
Abu Sa’id juga berkata, “Manusia tetap keadaannya demikian sehingga aku keluar bersama Marwan dalam shalat Idul Fitri atau Idul Adh-ha yang ketika itu ia menjabat sebagai gubernur Madinah. Ketika kami tiba di lapangan, ternyata mimbarnya dibuat oleh Katsir bin Ash Shalt. Saat itu Marwan hendak menaiknya sebelum shalat, maka aku menarik bajunya, tetapi ia membalas tarikan itu dan naik ke atas mimbar, lalu ia berkhutbah sebelum shalat, maka aku berkata kepadanya, “Demi Allah, kamu telah merubah!” Marwan menjawab, “Wahai Abu Sa’id, apa yang engkau ketahui sekarang sudah hilang.” Abu Sa’id berkata, “Demi Allah, yang aku ketahui lebih baik daripada yang aku tidak ketahui.” Ia menjawab, “Sesungguhnya manusia tidak mau duduk kepada kami jika (khutbah) setelah shalat, maka aku jadikan sebelum shalat.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Dari Abdullah bin As Saib ia berkata, “Aku pernah hadir shalat Ied bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Setelah selesai shalat, Beliau bersabda,
«إِنَّا نَخْطُبُ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ»
“Kami akan berkhutbah. Barang siapa yang ingin duduk mendengarkan khutbah, silahkan duduk. Dan barang siapa yang ingin pergi, silahkan pergi.” (Hr. Nasa’i, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
Syaikh Sayyid Sabiq berkata, “Riwayat yang menyebutkan, bahwa pada pelaksanaan Ied ada dua kali khutbah yang disela-selanya imam duduk adalah dha’if.”
Imam Nawawi berkata, “Tidak sahih sama sekali adanya beberapa kali khutbah.”
Dianjurkan mengawali khutbah dengan hamdalah (ucapan Alhamdulillah), dan tidak dihafal dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selain itu. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengawali semua khutbahnya dengan hamdalah, dan tidak dihafal dari Beliau dalam satu hadits pun yang menyebutkan bahwa Beliau mengawali kedua khutbah Ied dengan takbir, namun Ibnu Majah meriwayatkan dalam Sunannya dari Sa’id muazin Nabi shallallahu alaihi sallam, bahwa Beliau bertakbir di sela-sela khutbah dan memperbanyak takbir pada khutbah Ied[ii]. Meskipun demikian, hal ini tidak menunjukkan, bahwa khutbah Ied diawali dengan takbir.
Para ulama berbeda pendapat tentang mengawali khutbah Ied dan khutbah shalat Istisqa (minta kepada Allah agar diturunkan hujan). Ada yang mengatakan, bahwa kedua khutbah itu diawali dengan takbir, ada pula yang mengatakan, bahwa khutbah istisqa diawali istighfar, dan ada pula yang mengatakan, bahwa kedua khutbah itu diawali hamdalah.
Syaikhul Islam Taqiyyuddin berkata, “Inilah yang benar, karena Nabi shallallahu alahi wa sallam bersabda,
كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لاَ يُبْدَأُ فِيْهِ بِالْحَمْدِ فَهُوَ أَجْذَمُ
“Setiap perkara yang tidak diawali hamdalah, maka perkara itu kurang.” [iii]
Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa mengawali semua khutbahnya dengan hamdalah. Adapun pernyataan banyak para Ahli Fiqih, bahwa untuk khutbah shalat istisqa diawali dengan istighfar dan khutbah dua hari raya diawali dengan takbir, maka tidak ada di sana sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sama sekali, bahkan dalam As Sunnah menyelisihi hal itu, yaitu mengawali semua khutbah dengan hamdalah.”
2. Mengqadha shalat Ied
Abu Umair bin Anas berkata, “Para pamanku dari kalangan Anshar sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan kepadaku, bahwa suatu ketika hilal (bulan sabit) bulan Syawwal tertutup bagi mereka, dan pada pagi harinya mereka masih berpuasa, lalu datang rombongan di akhir siang dan bersaksi di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa mereka melihat hilal kemarin, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyuruh para sahabat berbuka dan keluar untuk shalat Ied keesokan harinya.” (Hr. Ahmad, Nasa’I, dan Ibnu Majah dengan sanad yang shahih)
Dalam hadits ini terdapat hujjah bagi mereka yang berpendapat bahwa sekumpulan orang apabila tertinggal shalat Ied karena ada uzur, maka mereka keluar untuk shalat Ied pada keesokan harinya.
13. Bermain, bersuka ria,  bersenandung, dan makan-makan pada hari raya
Permainan yang mubah, bersuka ria, bersenandung yang baik dan bersenang-senang pada hari raya termasuk syiar agama yang Allah syariatkan pada hari raya sebagai hiburan bagi jasmani dan penyegaran jiwa.
Anas radhiyallahu anhu berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam datang ke Madinah, sedangkan penduduknya memiliki dua hari dimana mereka bersuka ria pada kedua hari itu, maka Beliau bersabda,
كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الْفِطْرِ، وَيَوْمَ الْأَضْحَى
“Sebelumnya kalian memiliki dua hari, dimana kalian bersuka ria pada keduanya, namun Allah telah mengganti dengan yang lebih baik daripada keduanya, yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adh-ha.” (Hr. Nasa’i dan Ibnu Hibban, dishahihkan oleh Al Albani)
Aisyah radhiyallahu anha berkata, “Kaum Habasyah pernah bermain pada hari raya di dekat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lalu aku melihatnya dari balik pundak Beliau, kemudian Beliau merendahkan pundaknya, sehingga aku dapat melihat mereka dari pundaknya hingga aku puas, lalu aku berpaling.” (Hr. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Para periwayat hadits di atas juga meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata, “Abu Bakar pernah menemui kami pada hari raya sedangkan kami memiliki dua gadis kecil yang bersenandung menyebutkan peristiwa Bu’ats[iv], peristiwa dimana pada hari itu terbunuh para pahlawan Aus dan Khazraj, lalu Abu Bakar berkata, “Wahai hamba-hamba Allah, bukankah itu nyanyian setan?!” Ia mengucapkan kata-kata itu tiga kali, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْدًا وَإِنَّ الْيَوْمَ عيدنا
“Wahai Abu Bakar, sesungguhnya masing-masing kaum memiliki hari raya, dan hari ini adalah hari raya kita.”
Sedangkan dalam lafaz Bukhari disebutkan, bahwa Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah masuk menemuiku, sedangkan di dekatku ada dua gadis kecil yang bernyanyi dengan nyanyian Bu’ats, lalu Beliau berbaring di atas tempat tidurnya dan memalingkan mukanya, kemudian Abu Bakar masuk dan membentakku serta berkata, “Apakah nyanyian setan ada di dekat Nabi shallallahu alaihi wa sallam?” Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam mendatangi Abu Bakar dan berkata, “Biarkanlah kedua gadis kecil itu.” Saat Beliau lengah, maka aku berisyarat kepada keduanya lalu mereka berdua keluar. Pada hari  raya orang-orang berkulit hitam memainkan perisai dan tombak, terkadang aku meminta Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk melihat dan terkadang Beliau bertanya, “Kamu ingin melihat?” Aku menjawab, “Ya,” maka Beliau menegakkanku di belakangnya, pipiku di pipinya sedangkan Beliau bersabda, “Lanjutkanlah wahai Bani Arfadah (panggilan untuk orang-orang Habasyah),” sehingga ketika aku telah bosan, Beliau bertanya, “Apakah sudah cukup?” Aku menjawab, “Ya.” Beliau pun bersabda, “Kalau begitu pergilah,”
Al Hafizh dalam Al Fat-h berkata, “As Siraj meriwayatkan dari jalan Abuz Zanad dari Urwah dari Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika itu bersabda,
لِتَعْلَمَ يَهُوْدُ الْمَدِيْنَةِ أَنَّ فِي دِيْنِنَا فُسْحَةٌ، إِنِّي بُعِثْتُ بِحَنِيْفِيَّةٍ سَمْحَةٍ
“Agar orang-orang Yahudi Madinah tahu bahwa dalam agama kita ada kelonggaran. Sesungguhnya aku diutus membawa agama yang lurus dan mudah.”
Dalam riwayat Ahmad dan Muslim dari Nubaisyah, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَيَّامُ التَّشْرِيْقِ أَياَّمُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ، وَذِكْرٍ ِللهِ عَزَّوَجَلَّ
“Hari tasyriq adalah hari makan, minum, dan berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla.”
14. Keutamaan beramal saleh pada 10 pertama bulan Dzulhijjah
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ»
“Tidak ada hari dimana beramal saleh pada hari-hari itu lebih dicintai Allah daripada hari-hari ini,” maksudnya 10 hari pertama bulan Dzulhijjah.
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, sekalipun jihad fi sabillah?”
Beliau bersabda,
«وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ»
“Sekalipun jihad fi sabilillah, kecuali seorang yang keluar dengan jiwa-raga dan hartanya kemudian tidak bersisa lagi.” (Hr. Jamaah Ahli Hadits selain Muslim dan Nasa’i)
Ibnu Umar dan Abu Hurairah pada sepuluh pertama bulan Dzulhijjah keluar ke pasar sambil bertakbir dan manusia pun bertakbir mengikutinya (Hr. Bukhari)
Sa’id bin Jubair saat memasuki sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah sangat bersungguh-sungguh sekali beribadah sehingga hampir saja tidak ada yang mampu menandinginya.
Al Auza’i berkata, “Sampai berita kepadaku, bahwa beramal saleh pada salah satu hari di antara sepuluh pertama bulan Dzulhijjah seperti berperang di jalan Allah yang siangnya dia berpuasa dan malamnya berjaga kecuali jika seseorang sampai mati syahid.” Ia berkata, “Seorang dari Bani Makhzum menyampaikan hadits ini kepadaku dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.”
Bersambung...
Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam walhamdulillahi Rabbil alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Tamamul Minnah (M. Nashiruddin Al Albani), Subulus Salam (Imam Ash Shan'ani), dll.


[i] Jaraknya dengan masjid Madinah kira-kira 1.000 hasta.
[ii] Menurut Syaikh Al Albani bahwa isnad hadits ini dhaif, karena ada seorang yang dhaif di samping ada seorang yang majhul, sehingga tidak bisa dipakai alasan untuk mengatakan disunnahkan bertakbir di sela-sela khutbah.
[iii] Imam Abu Dawud meriwayatkan hadits di atas namun dengan lafaz kullu kalaamin laa yubda’u…dst. Namun hadits ini dinyatakan dhaif oleh Syaikh Al Albani rahimahullah.
[iv] Bu’ats adalah nama benteng milik suku Aus. Peristiwa Bu’ats adalah peristiwa yang masyhur di kalangan bangsa Arab, dimana pada saat itu terjadi peperangan besar antara Aus dan Khazraj.

Fiqih Shalat Ied/Hari Raya (1)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫صلاة العيدين‬‎
Fiqih Shalat Ied/Hari Raya (1)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut pembahasan tentang fiqih shalat ‘Ied (Hari Raya) yang banyak kami rujuk kepada kitab Fiqhus sunnah karya Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah, semoga Allah Subhaanahu wa Ta'aala menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Pengantar
Shalat Iedain (dua hari raya) disyariatkan pada tahun pertama hijriah. Hukumnya sunnah mu’akkadah (sangat ditekankan), dimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam senantiasa melakukannya dan memerintahkan kaum pria dan wanita menghadirinya.
Ada beberapa pembahasan terkait shalat Iedain seperti yang akan kami sebutkan di bawah ini:
1. Anjuran mandi, mengenakan wewangian, dan memakai pakaian yang paling bagus pada hari raya
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengenakan kain burdah berwarna merah pada hari raya. (Hr. Thabrani dalam Al Awsath, dishahihkan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 1279)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengenakan pakaian yang paling bagus, dan Beliau memiliki pakaian (khusus) yang Beliau pakai untuk hari raya dan shalat Jumat.”
2. Makan dulu sebelum berangkat shalat Idul Fitri, tidak pada shalat Idul Adh-ha
Disunahkan makan beberapa butir kurma dalam jumlah ganjil sebelum berangkat shalat Idul Fitri, dan menunda makan pada shalat Idul Adh-ha hingga setelah pulang dari lapangan shalat Ied, lalu makan dari daging hewan kurbannya jika ia berkurban.
Dari Anas, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak berangkat pada hari raya Idul Fitri sampai makan beberapa butir kurma, dan Beliau makan dalam jumlah ganjil. (Hr. Ahmad dan Bukhari)
Dari Buraidah ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasanya tidak berangkat pada hari raya Idul Fitri hingga Beliau makan, dan tidak makan pada hari raya Idul Adh-ha hingga Beliau pulang.” (Hr. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani. Ahmad menambahkan, “Lalu Beliau makan dari daging hewan kurbannya.”)
Dalam Al Muwaththa dari Sa’id bin Al Musayyib disebutkan, bahwa manusia diperintahkan makan sebelum berangkat shalat Idul Fitri.
Ibnu Qudamah berkata, “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan tentang anjuran makan dulu sebelum berangkat shalat Idul Fitri.”
3. Keluar menuju lapangan shalat Ied
Shalat Ied boleh dilakukan di masjid, namun melakukannya di lapangan di luar kampung lebih utama[i], tentunya ketika tidak ada uzur seperti hujan dan sebagainya. Hal itu, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan shalat Ied di lapangan[ii], dan tidak melakukan shalat Ied di masjidnya selain sekali saja karena uzur hujan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa para sahabat terkena guyuran hujan pada hari raya, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat Ied dengan mereka di masjid. (Hr. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Hakim. Dalam isnadnya ada seorang yang majhul. Al Hafizh dalam At Talkhish berkata, “Isnadnya dha’if.” Adz Dzahabi berkata, “Hadits ini munkar.”)
4. Ikut sertanya kaum wanita dan anak-anak ke lapangan shalat Ied
Disyariatkan kaum wanita dan anak-anak keluar ke lapangan untuk shalat Ied, baik gadis, janda, wanita muda maupun wanita tua, bahkan sekalipun wanita haidh. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Athiyyah ia berkata, “Kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita gadis dan wanita haidh pada hari raya, agar mereka menyaksikan kebaikan dan doa kaum muslimin, namun wanita haidh menjauhi lapangan shalat Ied.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata, “Aku pernah keluar bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada hari Idul Fitri atau Idul Adh-ha, lalu Beliau shalat, setelah itu berkhutbah, kemudian mendatangi kaum wanita, menasihati mereka, mengingatkan, dan memerintahkan mereka bersedekah.” (Hr. Bukhari)
5. Melewati jalan yang berbeda (antara berangkat dan pulang)
Kebanyakan Ahli Ilmu berpendapat tentang sunnahnya menuju lapangan shalat Ied melalui jalan yang berbeda dengan pulangnya, baik ia sebagai imam maupun makmum.
Dari Jabir radhiyallahu anhu ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada hari raya melewati jalan yang berbeda (antara berangkat dan pulangnya).” (Hr. Bukhari)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasanya ketika hari raya pulang melewati jalan yang berbeda ketika berangkatnya.” (Hr. Ahmad, Muslim, dan Tirmidzi)
6. Waktu shalat Ied
Waktu shalat Ied dimulai dari naiknya matahari setinggi satu tombak (kurang lebih tiga meter) sampai matahari tergelincir.
Jundab berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam  shalat Idul Fitri bersama kami ketika matahari setinggi dua tombak, dan melakukan shalat Idul Adh-ha ketika matahari setinggi satu tombak.”
Imam Syaukani berkata, “Hadits ini merupakan hadits terbaik terkait penentuan waktu shalat Ied.”
Syaikh Al Albani berkata, “Ya, jika hadits itu shahih.” Dalam Al Irwa ia berkata, “Akan tetapi Al Mu’alla bin Hilal yang merupakan salah satu rawi dalam isnadnya adalah seorang yang disepakati para kritikus tentang kedustaannya sebagaimana dikatakan Al Hafizh dalam Taqribnya.”
Hanyasaja ada hadits shahih terkait hal ini dari Abdullah bin Busr, bahwa ia pernah keluar bersama manusia untuk shalat Idul Fitri atau Idul Adh-ha, namun ia mengingkari keterlambatan imam, ia berkata, “Kami ketika bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam sudah selesai di waktu ini. Hal itu terjadi ketika waktu tasbih (shalat Dhuha).” (Lihat Tamamul Minnah)
Ibnu Qudamah berkata, “Disunahkah memajukkan pelaksanaan shalat Idul Adh-ha agar waktu berkurban semakin lapang, dan disunahkan menunda pelaksanaan shalat Idul Adh-ha agar waktu pengeluaran zakat Fitri semakin longgar, dan aku tidak mengetahui adanya khilaf dalam hal ini.”
7. Azan dan Iqamat untuk shalat Ied
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam apabila sampai di lapangan segera memulai shalat tanpa azan dan iqamat, dan tanpa ucapan “Ash Shalatu Jaami’ah.” Bahkan sunnahnya adalah tidak melakukan semua itu.”
Dari Ibnu Abbas dan Jabir radhiyallahu anhum, bahwa keduanya berkata, “Tidak dikumandangkan azan pada hari raya Idul Fitri maupun hari raya Idul Adh-ha.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Muslim dari Atha, ia berkata, “Jabir memberitahukan kepadaku, bahwa tidak ada azan untuk shalat Idul Fitri saat imam belum hadir maupun setelah hadir, demikian pula tidak dikumandangkan iqamat dan panggilan apa pun. Dengan demikian, ketika itu tidak ada azan maupun iqamat.”
8. Takbir pada shalat Ied
Shalat Ied terdiri dari dua rakaat, dimana pada rakaat pertama disunnahkan seseorang bertakbir sebelum membaca Al Fatihah sebanyak tujuh kali takbir setelah takbiratul ihram, sedangkan para rakaat kedua disunahkan bertakbir lima kali di luar takbir bangkit dari sujud untuk berdiri, sambil mengangkat kedua tangan di setiap kali takbir[iii].
Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertakbir pada shalat Ied dua belas kali takbir; tujuh takbir pada rakaat pertama, dan lima takbir pada rakaat kedua. Beliau juga tidak melakukan shalat sebelum dan setelahnya.” (Hr. Ahmad dan Ibnu Majah, dinyatakan shahih lighairih oleh Syaikh Al Albani)
Imam Ahmad berkata, “Saya berpegang kepada hadits ini.”
Dalam riwayat Abu Dawud dan Daruquthni disebutkan, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
اَلتَّكْبِيْرُ فِي الْفِطْرِ سَبْعٌ فِي الْأُوْلَى وَخَمْسٌ فِي الْآخِرَةِ، وَالْقِرَاءَةُ بَعْدَهُمَا كِلْتَيْهِمَا
“Takbir dalam shalat Idul Fitri tujuh kali pada rakaat pertama dan lima kali pada rakaat kedua. Bacaan Al Qur’an dilakukan setelah takbir itu.”
Inilah pendapat yang paling kuat, dan menjadi madzhab mayoritas Ahli Ilmu dari kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
Ibnu Abdil Bar berkata, “Telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam dari jalur-jalur yang hasan, bahwa Beliau bertakbir pada shalat Iedain tujuh kali pada rakaat pertama dan lima kali pada rakaat kedua berasal dari hadits Abdullah bin Amr, Ibnu Umar, Jabir, Aisyah, Abu Waqid, dan Amr bin Auf Al Muzzanniy.”
Bahkan tidak ada riwayat yang shahih maupun dhaif yang menyelisihi hal ini, dan hal ini juga yang pertama kali dilakukan[iv].
Nabi shallallahu alaihi wa sallam diam sejenak antara masing-masing takbir, namun tidak dihafal dari Beliau dzikir tertentu antara takbir-takbir itu, akan tetapi Thabrani dan Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang kuat[v] dari ucapan dan praktek Ibnu Mas’ud, bahwa ia memuji Allah dan menyanjung-Nya serta bershalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam[vi].
Dan telah diriwayatkan demikian dari Hudzaifah dan Abu Musa.
Namun perlu diketahui, bahwa takbir ini sunah, yang jika ditinggalkan baik sengaja atau lupa tidak membuat shalat Ied batal.
Ibnu Qudamah berkata, “Aku tidak mengetahui adanya khilaf dalam hal ini.”
Imam Syaukani bahkan menguatkan, bahwa apabila takbir ini ditinggalkan karena lupa, maka tidak perlu sujud sahwi.
9. Shalat sunah sebelum shalat Ied dan setelahnya  
Tidak ada riwayat yang shahih bahwa shalat Ied ada shalat sunnah qabliyyah maupun ba’diyyah. Tidak ada riwayat bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya saat tiba di lapangan melakukan shalat baik sebelumnya maupun setelahnya.
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam keluar pada hari raya lalu shalat dua rakaat (shalat Ied), dan tidak melakukan shalat sebelumnya maupun setelahnya.” (Hr. Jamaah Ahli Hadits)
Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, bahwa ia pernah keluar pada hari raya, namun ia tidak melakukan shalat sebelumnya maupun setelahnya, dan ia sebutkan, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan seperti yang dilakukannya.
Imam Bukhari menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas, bahwa ia (Ibnu Abbas) membenci shalat sebelum shalat Ied.
Adapun shalat sunah mutlak, maka Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Al Fat-h berkata, “Tidak ada dalil khusus yang melarang, kecuali jika dilakukan pada waktu yang makruh seperti pada hari-hari lainnya.”
Bersambung...
Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam walhamdulillahi Rabbil alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Tamamul Minnah (M. Nashiruddin Al Albani), Subulus Salam (Imam Ash Shan'ani), dll.


[i] Dalam Fiqhus Sunnah disebutkan, bahwa lapangan di luar kampung lebih utama selain Mekkah, karena shalat Ied di Masjidil Haram lebih utama.
[ii] Yakni lapangan di pintu timur kota Madinah.
[iii] Diriwayatkan demikian dari Umar dan anaknya. Menurut Syaikh Al Albani, bahwa riwayat dari Umar ini sanadnya dha’if, adapun dari anaknya, maka ia tidak mengetahui riwayat itu sampai saat ini.
[iv] Menurut ulama madzhab Hanafi, bahwa takbir pada rakaat pertama tiga kali setelah takbiratul ihram dan sebelum membaca Al Qur’an, sedangkan pada rakaat kedua juga tiga kali setelah membaca Al Qur’an.
[v]  Namun menurut Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah, bahwa pada sanad Thabrani terdapat keterputusan sebagaimana yang dinyatakan Haitsami dalam Al Majma,  adapun isnad Baihaqi, maka dianggap cacat oleh Ibnu Turkumani dalam Al Jauharun Naqiy, bahwa dalam sanadnya terdapat seorang yang perlu dikaji keadaannya. Syaikh Al Albani berkata, “Mungkin orang yang diisyaratkan itu adalah Muhammad bin Ayyub, namun aku tidak mengenalinya. Dalam lingkup para perawi ada sekumpulan orang yang memiliki nama ini, bahkan Ibnul Qayyim telah mengisyaratkan dalam Zadul Ma’ad tentang kelemahan atsar dari Ibnu Mas’ud ini, dan itulah yang lebih rajah (kuat). Ibnut Turkumani juga menguatkan dengan mengatakan, “Baihaqi telah menyebutkan perkataan Ibnu Mas’ud pada bab sebelumnya dari beberapa jalan, sedangkan Ibnu Abi Syaibah menyebutkannya dari jalan yang lebih banyak dari itu, dan disebutkan pula oleh selain keduanya, namun tidak disebutkan dzikir antara masing-masing takbir. Menurut kami, tidak ada riwayat demikian dalam hadits yang bersanad dan dari salah seorang kaum salaf kecuali pada jalur yang lemah ini, sedangkan dalam hadits Jabir yang disebutkan setelah ini dan dalam sanadnya juga terdapat seorang yang masih butuh perlu disingkap keadaannya, di samping terdapat Ali bin Ashim, dimana Yazid bin Harun berkata tentangnya, “Kami senantiasa mengenalinya dengan suka berdusta.” Ia juga berkata, “Kalau hal itu disyariatkan, tentu dinukilkan kepada kita dan tentu kaum salaf radhiyallahu anhum tidak akan melalaikannya.”
Syaikh Al Albani berkata, “Lalu aku menemukan jalur lain untuk atsar Ibnu Mas’ud ini saat aku mentahqiq kitab Fadhlush Shalati alan Nabi shallallahu alaihi wa sallam karya Ismail Al Qadhiy, dan aku sebtutkan di sana bahwa isnadnya hasan, dan dishahihkan oleh Al Hafizh As Sakhawi dalam Al Qaulul Badi fish Shalati alal Habibisy Syafi hal. 151 cet. Hindiyyah, lihat Fadhlush Shalah 37/38 cet. Al Maktab Al Islami, juga lihat Al Irwa no. 642.”
[vi] Imam Ahmad dan Syafi’i menganjurkan untuk memisah antara masing-masing takbir dengan dzikrullah, seperti mengucapkan ‘Subhaanallah wal hamdulillah wa Laailaahaillallah wallahu akbar’. Akan tetapi menurut Abu Hanifah dan Malik, bahwa takbir diucapkan secara berurutan tanpa diselahi dzikir.
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger