Fiqih Jual-Beli (2)

Selasa, 09 Oktober 2018

بسم الله الرحمن الرحيم
نتيجة بحث الصور عن فقه البيوع
Fiqih Jual-Beli (2)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang fiqih jual-beli, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Syarat-Syarat Dalam Jual-Beli
1. Sesuatu (barang) yang diakadkan diketahui, baik dengan dilihat atau disifatkan, yakni diketahui oleh penjual dan pembeli.
Dalil syarat ini adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang jual-beli gharar (tidak jelas) (Hr. Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Dawud, dan lain-lain). Dan setiap jual beli yang tidak jelas adalah gharar. Misalnya seseorang berkata, “Saya jual kepadamu kambing yang ada dalam perut ini,” maka jual-beli ini tidak boleh karena tidak diketahui.
Agar menjadi jelas, maka bisa dengan dilihat, yakni dengan melihat yang bisa dilihat, atau dengan disifati, misalnya seseorang berkata, “Saya jual kepadamu mobil saya yang sifatnya begini dan begitu,” dimana engkau butuh terhadap sifat itu baik mereknya, speed(kecepatan)nya, dan sifat-sifat lainnya yang membedakan mobil tersebut. Ini sekedar contoh, karena untuk mengetahui barang bisa juga dengan dicium seperti wewangian, atau dengan dirasakan seperti makanan yang beraneka macam rasanya, dan dengan mendengarkan seperti pada radio yang hendak dibeli.
Di samping itu, jual beli yang tidak jelas dapat mengakibatkan penyesalan bagi pembeli, kebencian terhadap penjual, dan permusuhan.
2. Barangnya dapat diserahkan saat tiba waktu wajib menyerahkan.
Hal itu karena jika barangnya tidak mampu diserahkan pada waktu penyerahan maka tergolong jual-beli gharar. Contoh: Seorang memiliki unta yang hilang, lalu ada seorang yang datang kepadanya hendak membeli unta yang hilang itu, maka jual beli ini tidak diperbolehkan. Meskipun si pembeli membayarnya dengan harga murah, dan boleh jadi ia memperolehnya sehingga ia beruntung, sedangkan si penjual rugi, atau mungkin si pembeli telah mengeluarkan uang yang banyak, tetapi ternyata tidak menemukan unta itu, sehingga si pembeli rugi, sedangkan si penjual untung.
Catatan:
Hukum menjual harta yang dirampas dari pemiliknya
Contoh: Seseorang dicuri jamnya oleh pencuri, dimana si pencuri lebih kuat daripadanya. Pemiliknya melihat jam itu tetapi tidak mampu mengambilnya, lalu ada seseorang yang mendatangi pemilik jam dan berkata, “Saya akan beli jam darimu dan saya mampu mengambilnya dari pencuri.” Terhadap jual-beli ini terdapat rincian, yaitu jika si pembeli mampu mengambil barang itu, maka berarti syarat jual-beli no. 2 ini terpenuhi dan boleh jual beli itu apabila terpenuhi syarat lainnya, tetapi jika si pembeli tidak sanggup mengambil barang itu, maka jual-beli ini tidak diperbolehkan.
3. Barang yang dijual-belikan mengandung maksud (tujuan) yang mubah
Jika tidak terdapat tujuan yang mubah, seperti seseorang membeli sesuatu yang tidak ada faedahnya baik pada agama maupun dunia, maka akad ini haram dan jual beli tidak sah. Contoh: membeli bebatuan yang tidak berguna untuk pembangunan atau tidak untuk suatu pekerjaan. Hal itu, karena yang demikian termasuk menyia-nyiakan harta, sedangkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang menyia-nyiakan harta (sebagaimana dalam hadits Mughirah bin Syu’bah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).
Maksud ‘mubah’ di sini adalah bukan yang haram. Jika yang haram, maka akad itu batal. Contoh: membeli khamr (arak), bangkai, babi, dan patung. Karena Nabi  shallallahu alaihi wa sallam pernah berkhutbah pada saat penaklukan Mekkah,
«إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الخَمْرِ، وَالمَيْتَةِ وَالخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ»
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual-beli khamr, bangkai, babi, dan patung.”
Lalu ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan lemak bangkai, karena digunakan untuk meminyaki kapal dan meminyaki kulit, serta dipakai lampu oleh manusia?” Beliau bersabda, “Tidak boleh. Itu haram. (Hr. Bukhari dan Muslim)
Tetapi jika bangkainya halal, seperti bangkai ikan dan belalang, maka boleh dijual-belikan karena maksudnya adalah sesuatu yang mubah.
Demikian pula kulit bangkai sah dijual-belikan ketika telah disamak menurut pendapat yang sahih, karena di dalamnya terdapat manfaat mubah. Namun jika belum disamak, maka ada yang berpendapat boleh karena bisa dibersihkan seperti halnya membeli pakaian yang bernajis, sehingga membeli kulit yang belum disamak seperti membeli pakaian yang bernajis yang bisa dibersihkan. Oleh karenanya, boleh dijual-belikan. Akan tetapi mereka yang berpendapat tidak boleh menjual kulit sebelum disamak beralasan karena pada saat itu masih sebagai bangkai, sedangkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengharamkan jual beli bangkai. Oleh karena itu, sikap yang lebih hati-hati adalah tidak dijualnya kulit kecuali setelah disamak.
4. Jika jual-belinya mubah, tetapi tujuan/arahnya kepada yang haram
Contoh no. 4 ini adalah membeli senjata tetapi untuk memerangi kaum muslimin, maka jual-beli ini tidak sah, karena untuk tujuan yang haram.
Demikian pula membeli radio untuk mendengarkan musik, maka jual-belinya haram, karena tujuannya untuk yang haram.
Dalil terhadap syarat ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan jangan tolong-menolong atas dasar dosa dan pelanggaran.” (Qs. Al Maidah: 2)
Sedangkan menjual sesuatu untuk yang haram sama saja tolong-menolong atas dasar dosa dan pelanggaran.
Adapun dalil dalam As Sunnah adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual-beli khamr (arak), bangkai, babi, dan patung.”
Diqiaskan dengan khamr adalah semua yang merusak akal lainnya seperti narkoba, dan diqiaskan dengan bangkai adalah semua yang dapat membahayakan badan, karena bangkai diharamkan disebabkan tertahannya darah yang rusak di sana. Darah ini membahayakan badan, sehingga semua yang membahayakan badan diharamkan untuk dijual-belikan seperti halnya rokok. Adapun patung diharamkan karena membahayakan agama, dan diqiaskan dengannya semua yang membahayakan agama lainnya seperti buku-buku sesat dan menyesatkan.
Menggabung dua akad dalam satu akad
Menggabung dua akad dalam satu akad ada dua keadaan:
Pertama, tanpa syarat. Hal ini hukumnya boleh. Hal itu, karena hukum asal muamalah adalah halal kecuali ada larangan dalam syariat. Oleh karena itu, ketika digabungkan dua akad dalam satu akad tanpa syarat dalam satu ucapan, maka hukumnya boleh. Contoh seseorang berkata, “Saya sewakan kepadamu rumah ini setahun dan saya jual kepadamu mobil dengan harga 10.000 riyal.”
Kedua, menggabung dua akad dengan adanya syarat. Contoh: Engkau mengatakan, “Saya jual kepadamu rumahku ini dengan harga 100.000 riyal namun dengan syarat engkau menjual kepadaku rumahmu 50.000 riyal, atau mengatakan, “Aku jual kepadamu rumahku 100.000 riyal dengan syarat engkau menyewakan kepadaku rumahmu dengan bayaran 10.000 riyal.”
Dalam masalah kedua ini para ulama berbeda pendapat.
Sebagian ulama membolehkannya dengan alasan karena hukum asalnya adalah halal. Di samping itu, mereka berdalih dengan dalil-dalil umum seperti sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
المُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ، إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
“Kaum muslim sesuai syarat yang mereka adakan kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (Hr. Tirmidzi dan Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Albani)
Sedangkan ulama yang lain berpendapat, bahwa menggabung dua akad dengan adanya syarat adalah tidak sah dan kedua akad itu menjadi batal. Mereka berdalih dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
«مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ، فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوِ الرِّبَا»
“Barang siapa yang menjual dua penjualan dalam satu penjualan[i], maka silahkan ia ambil bagian yang kurang atau jatuh ke dalam riba.” (Hr. Abu Dawud, dihasankan oleh Al Albani)
Mereka tafsirkan dua penjualan dalam satu penjualan dengan tafsir di atas.
Demikian juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ، وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ، وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ، وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Tidak halal menjual dengan syarat meminta pinjaman, dua syarat dalam jual beli[ii], mengambil keuntungan terhadap sesuatu yang tidak ditanggungnya[iii], dan menjual sesuatu yang tidak ada pada dirimu.” (Hr. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i, dinyatakan ‘hasan shahih’ oleh Al Albani)
Hadits-hadits di atas menunjukkan dilarangnya menggabung dua akad dengan adanya syarat. Dan inilah yang didahulukan.
Menggabung antara akad yang sah dan akad yang tidak sah
Terkadang transaksinya satu, tetapi yang diakadkan ada beberapa akad, dimana salah satunya sah dan yang lain tidak sah, maka bagaimanakah hukum masalah ini?
Sebagian ulama berpendapat, bahwa akad itu seluruhnya batal, karena satu transaksi tidak dapat terbagi-bagi; jika salah satu bagiannya batal, maka selebihnya juga batal.
Namun yang lain berpendapat, bahwa akad sah pada bagian yang sah dan batal pada bagian yang tidak sah. Contoh: Seseorang menjual dua guci, yang satu berisi khamr (arak), sedangkan yang kedua berisi susu. Dalam kondisi ini berkumpul dua akad; dimana yang satu sah, dan yang satu lagi haram dan tidak sah.
Menurut pendapat yang sahih, bahwa transaksi itu terbagi-bagi, karena hukum berjalan mengikuti illat (sebab), sehingga akad jual-beli pada air susu adalah sah, dan akad jual-beli pada khamr adalah haram.
Bersambung…
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa

Maraji’: Mudzakkiratul Fiqh (M. bin Shalih Al Utsaimin), ‘Aunul Ma’bud (M. Asyraf Al Azhim Abadi), Minhajul Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.





[i] Sebagian ulama menafsirkan hadits ini bahwa maksudnya seseorang mengatakan, “Saya jual kepadamu buku ini dengan harga 50 riyal dalam tempo waktu setahun, lalu ia kembali membelinya secara tunai dengan harga 40 riyal,” yakni sebagaimana jual-beli ‘Ienah. Yang lain berpendapat, bahwa maksudnya mengatakan, “Saya jual kepadamu pakaian ini dengan cara tunai dengan harga 10 dirham, dan jika dicicil dengan harga 20 dirham,” lalu penjual dan pembeli berpisah tanpa menentukan salah satunya, tetapi jika ditentukan salah satunya, maka jual-beli sah. Sedangkan yang lain berpendapat, bahwa maksudnya mengatakan, “Saya jual kepadamu rumahku ini dengan harga sekian, dengan syarat engkau jual kepadaku budakmu dengan harga sekian,” Yakni seperti di atas; menggabung dua akad dengan adanya syarat.
[ii]  Contoh dua syarat dalam jual beli adalah seseorang berkata, “Saya jual kepadamu pakaian ini dengan syarat saya yang memendekkan dan menjahitnya.” Hal ini tidak sah karena ada dua syarat, namun jika hanya satu syarat, seperti seseorang berkata, “Saya jual kepadamu pakaian ini dengan syarat saya yang menjahitnya,” maka sah. Contoh lainnya, seorang pembeli kayu bakar mensyaratkan agar kayu bakarnya dipatah-patahkan dan dibawakan kepadanya.
[iii] Seperti membeli barang dan menjualnya kepada yang lain sebelum barang itu diterima dari penjual. Jual-beli ini adalah batil dan keuntungannya tidak diperbolehkan, karena barang itu masih dalam jaminan penjual pertama, bukan pada pembeli karena belum diterimanya (Lihat Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud pada syarah hadits di atas).

Fiqih Jual-Beli (1)

بسم الله الرحمن الرحيم
نتيجة بحث الصور عن كتاب البيوع
Fiqih Jual-Beli (1)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang fiqih jual-beli, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Pengantar
Para ulama dalam menyusun kitab fiqih mengawali dengan fiqih ibadah, karena memang ibadah merupakan perkara paling penting. Oleh karena itu, mereka awali dengan shalat, zakat, puasa, haji sesuai urutan rukun Islam yang disampaikan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam sabdanya,
«بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسَةٍ، عَلَى أَنْ يُوَحَّدَ اللهُ ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصِيَامِ رَمَضَانَ، وَالْحَجِّ»
"Islam dibangun di atas lima dasar, yaitu seorang mentauhidkan Allah (bersyahadat), mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji." (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar, namun lafaz ini milik Muslim).
Mereka mengawali dengan bab thaharah (bersuci), karena ia adalah kunci masuk ke dalam ibadah shalat. Setelah fiqih ibadah, maka para ulama melanjutkan dengan fiqih muamalah, karena secara kebutuhan dan kepentingan mendesak, muamalah lebih didahulukan daripada ahwal syakhshiyyah (masalah rumah tangga dan pribadi), yakni pernikahan serta yang terkait dengannya. Selanjutnya mereka membahas tentang jinayat dan mengakhirinya dengan qadha (peradilan). (Lihat Mudzakkiratul Fiqh hal. 171)
Di antara materi muamalah adalah materi jual beli yang akan kita bahas pada kesempatan ini.
Definisi Jual-Beli
Jual beli secara bahasa artinya mengambil sesuatu dan memberikan sesuatu. Secara istilah, jual beli adalah tukar menukar harta tertentu, dzimmah (tanggungan), atau manfaat dengan salah satu di antara tiga macam itu yang berlaku selamanya tanpa adanya riba dan bukan berupa pinjaman.
Contoh tukar-menukar harta tertentu: seorang berkata, “Saya beli rumah ini dengan mobil ini.”
Contoh tukar-menukar tanggungan (nilai): Seorang berkata, “Saya beli radio ini dengan harga 100 riyal,”
Sedangkan contoh tukar-menukar manfaat adalah seseorang memiliki rumah, dimana antara rumahnya dengan jalan dihalangi rumah orang lain, lalu pemilik rumah yang di berada di belakang berkata, “Saya ingin membeli jalanmu ke jalan raya, lalu dijuallah jalan itu kepadanya dengan bayaran yang disepakati.” Ini disebut dengan jual-beli manfaat. Hal itu, karena pembeli hanya membeli manfaat saja dan tidak membeli tanah, sehingga pemilik tanah berhak membuat atap di atas jalan atau menggali parit dari bawah bumi, akan tetapi dengan syarat tidak menghilangkan manfaat bagi pembeli.
Maksud ‘berlaku lama’ adalah agar tidak masuk ke dalam bab ijarah (sewa-menyewa), karena itu bukan jual-beli bahkan ada tempo waktunya.
Maksud ‘tanpa adanya riba’ yakni bukan riba seperti seseorang menjual satu dirham dengan bayaran dua dirham.
Dan maksud ‘bukan berupa pinjaman’ yakni bahwa ini bukan pinjaman meskipun di sana terdapat tukar-menukar, akan tetapi maksud pinjaman bukan itu, tetapi maksudnya berbuat baik dan berbuat ihsan.
Hukum Jual Beli
Jual beli hukumnya boleh berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma (kesepakatan para ulama).
Dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (Qs. Al Baqarah: 275)
Dalam As Sunnah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا
“Dua orang; penjual dan pembeli berhak khiyar (melanjutkan/membatalkan jual beli) sebelum keduanya berpisah.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits ini terdapat persetujuan terhadap jual-beli.
Para ulama juga sepakat tentang kebolehan jual-beli. Di samping itu, pandangan yang benar juga menghendaki untuk membolehkannya karena manusia membutuhkannya.
Syarat Umum Dalam Berbagai Akad (Jual Beli dan lainnya)
Syaratnya adalah:
1. Pelaku akad memiliki kekuasaan melakukan akad, yakni ia sebagai pemiliknya, atau menduduki posisi pemilik seperti wali, wakil, washi (mendapatkan wasiat) atau nazhir (menjadi penanggung jawab/pengawas).
Wali maksudnya orang yang mendapatkan hak bertindak karena jalur syariat. Contoh: anak yatim yang berada di bawah asuhan seseorang, maka pengasuhnya itulah wali, dan yang menjadikannya wali adalah syariat.
Wakil maksudnya orang yang mendapatkan hak bertindak karena perwakilan yang diangkat dari orang yang hidup.
Washi maksudnya orang yang mendapatkan hak bertindak karena diangkat sebagai wakil dari orang yang telah meninggal yang sebelumnya berwasiat.
Nazhir maksudnya orang yang mendapatkan hak bertindak dalam waqaf, misalnya ada seorang yang mewaqafkan rumah untuk kebaikan, maka seorang yang bertanggung jawab dan menjadi pengawasnya disebut nazhir.
Dalil terhadap syarat ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil.” (Qs. Al Baqarah: 188)
Dan berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ، وَأَمْوَالَكُمْ، وَأَعْرَاضَكُمْ، بَيْنَكُمْ حَرَامٌ
“Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatanmu adalah terpelihara.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
2. Pelaku akad boleh bertindak, yakni keadaannya sebagai orang merdeka, baligh, berakal, dan cerdas.
Maksud ‘merdeka’ adalah bukan sebagai budak, karena budak tidak berhak bertindak, karena ia tidak memiliki harta. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ بَاعَ عَبْدًا، وَلَهُ مَالٌ فَمَالُهُ لِلْبَائِعِ، إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ
“Barang siapa yang menjual budak dan ia (budak itu) memiliki harta, maka hartanya untuk penjual kecuali jika pembeli mensyaratkan (hartanya untuknya).” (Hr. Tirmidzi, Abu Dawud, dan  Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani)
Di samping itu, budak juga tidak memiliki kekuasaan, karena ia tidak memiliki.
Maksud ‘baligh’ adalah sudah dewasa atau bukan anak-anak, dan baligh terwujud karena salah satu keadaan ini: (a) tumbuhnya bulu kemaluan, (b) berusia lima belas tahun, (c) keluar mani, dan bagi wanita ditambah dengan datangnya haidh.
Jika belum baligh, maka tindakannya tidak sah berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (Qs. An Nisaa: 6)
Dalam ayat ini terdapat dua syarat, yaitu cukup umur untuk menikah dan telah dirasakan cerdas.
Maksud ‘berakal’ adalah bukan orang gila atau dungu. Gila adalah orang yang tindakannya buruk, sedangkan dungu memang tidak muncul tindakan yang buruk namun tidak baik bertindak.
Maksud ‘cerdas’ adalah yang keadaannya sesuai dengan kondisinya. Ketika berkaitan dengan agama ‘cerdas’ adalah orang yang saleh. Ketika berkaitan dengan ‘harta’ cerdas adalah orang yang pandai bertindak terhadap hartanya. Jika tidak cerdas, maka tindakannya tidak sah. Cerdas adalah sifat yang sulit digambarkan karena tidak tampak tandanya, namun intinya orang yang cerdas dalam muamalah adalah orang yang baik bertindak dengan tidak mengeluarkan untuk hal yang berbahaya atau terdapat mafsadat, bahkan mengeluarkan untuk hal yang bermaslahat.
Mungkin timbul pertanyaan bagi kita ‘bagaimana dengan perokok?’ Bukankah ia mengeluarkan harta untuk hal yang membahayakan, apakah kita katakan bahwa tindakannya tidak sah? Jawab: Sikap cerdas dapat terbagi-bagi, terkadang ada seorang yang pandai mengelola hartanya, namun ia sengaja membeli yang haram, maka ia masih dianggap cerdas, namun dalam perkara yang ia tidak cerdas di sana, maka tindakannya batil.
Dalil tentang syarat ‘cerdas’ adalah firman Allah Ta’ala,
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.” (Qs. An Nisaa’: 5)
Maksud ‘kurang akal’ di ayat ini adalah yang tidak baik dalam bertindak terhadap hartanya. Jika kita tidak memberikan harta kepadanya, maka tindakan terhadap hartanya tidak sah, karena kalau seandainya sah, tentu kita wajib memberikan hartanya kepadanya, juga berdasarkan surah An Nisaa ayat 6 yang telah disebutkan dalilnya.
3. Akad muncul atas dasar keridhaan kecuali jika dipaksa karena alasan yang hak (benar)
Jika akal muncul karena paksaan, maka tidak boleh. Tetapi jika dipaksa karena alasan yang benar, maka tidak mengapa dan akad itu sah. Contoh: seseorang dipaksa menjual sebagian hartanya seperti mobil, maka jual beli ini tidak sah kecuali dengan alasan yang benar seperti orang ini sedang bangkrut dan memiliki banyak utang, lalu ia dihajr (dicegah dalam bertindak terhadap hartanya), kemudian (dipaksa) menjual mobilnya untuk melunasi utang-utangnya, maka hal ini boleh, karena memaksa di sini dengan alasan yang benar. Termasuk di dalamnya mobil-mobil yang disita dengan alasan yang benar, ketika polisi menyita, maka ketika dijual adalah boleh atau dibeli juga boleh, karena diambil melalui jalur syar’i, yaitu adanya sanksi dan ta’zir (hukuman berdasarkan pandangan hakim) terhadap para pelaku keburukan atau aniaya sesuai yang dipandang pemerintah dapat membuatnya jera. Hal ini termasuk hak syar’i.
Dalil terhadap syarat ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, agar kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Qs. Al Baqarah: 188)
Dan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
“Sesunggunya jual-beli itu atas dasar saling ridha.” (Hr. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ، وَأَمْوَالَكُمْ، وَأَعْرَاضَكُمْ، بَيْنَكُمْ حَرَامٌ
“Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatanmu adalah terpelihara.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Makna ayat dan hadits di atas menghendaki akad muncul atas dasar keridhaan, karena kalau kita diperbolehkan memaksa manusia menjual harta mereka dengan tanpa alasan yang benar, tentu akan meninmbulkan kekacauan dan permusuhan.
4. Akad tidak mengandung perkara yang diharamkan.
Jika akad mengandung perkara yang diharamkan, maka akadnya tidak sah. Allah Ta’ala berfirman,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Tolong-menolonglah atas dasar kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong atas dasar dosa dan pelanggaran.” (Qs. Al Maidah: 2)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengerjakan perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka amalan itu tertolak.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
فَأَيُّمَا شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ، فَهُوَ بَاطِلٌ، وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Setiap syarat yang tidak disebutkan dalam kitabullah (bertetangan dengan kitabullah) adalah batil meskipun berjumlah seratus syarat.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Makna ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa akad tidak boleh terhadap perkara yang diharamkan. Hal itu, karena jika kita sahkan akad yang haram, tentu sama saja menentang ketetapan Allah Azza wa Jalla.
Contoh akad yang mengandung perkara yang diharamkan adalah membeli telur untuk dipakai perjudian, atau membeli alat-alat untuk hal yang sia-sia seperti radio untuk mendengarkan musik. (Lihat Mudzakkiratul Fiqh hal. 173-175)
Bersambung…
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Mudzakkiratul Fiqh (Syaikh M. bin Shalih Al Utsaimin), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.

Kisah Isra’ dan Mi’raj

Senin, 01 Oktober 2018
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫الإسراء والمعراج‬‎
Kisah Isra’ dan Mi’raj
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang kisah Isra’ dan Mi’raj, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Definisi Isra dan Mi’raj
Isra artinya Allah memperjalankan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsha pada malam hari, sedangkan Mi’raj artinya Allah menaikkan Beliau dari Baitul Maqdis ke langit ketujuh, dan melebihinya, untuk menerima perintah shalat yang lima waktu.
Dalil Isra dan Mi’raj
Dalil Isra dan Mi’raj disebutkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Dalam Al Qur’an Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al Israa: 1)
Adapun tentang Mi’raj Beliau ke langit tujuh, maka diisyaratkan di surah An Najm: 13-18.
Hikmah Isra dan Mi’raj
Di saat-saat menghadapi ujian yang sangat berat dan tingkat perjuangan sudah sampai puncaknya, gangguan dan hinaan, aniaya, serta siksaan yang dialami Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dan para pengikutnya semakin hebat, di samping telah wafatnya orang yang Beliau cintai, yaitu Abu Thalib dan Khadijah radhiyallahu anha, Beliau juga mendapatkan penolakan keras dari penduduk Thaif, maka di antara rahmat Allah Ta’ala kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah memperjalankan Beliau dari Makkah ke Baitul Maqdis di Palestina, kemudian naik ke langit ketujuh.
Para ulama berbeda pendapat tentang kapan terjadinya Isra dan Mi’raj. Ada yang berpendapat, bahwa terjadinya tanggal 22 Rabi’ul Awwal, ada pula yang berpendapat setahun sebelum hijrah, ada yang berpendapat enam belas bulan sebelum hijrah (sehingga terjadi pada bulan Dzulqa’dah), dan ada pula yang berpendapat tiga atau lima tahun sebelum hijrah, wallahu a’lam.
Ibnu Hajar menyebutkan –dari Ibnu Dihyah-, ia berkata, "Sebagian tukang cerita menyebutkan bahwa kejadian Israa' itu pada bulan Rajab," lalu ia mengomentari dengan mengatakan, "Itu adalah dusta." (Tabyiinul 'Ajab hal.6)
Isra’ dan Mi’raj ini memberikan kekuatan batin kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dalam menegakkan agama Allah, sekaligus menjadi ujian bagi kaum muslimin sendiri, apakah mereka beriman kepada kejadian yang menakjubkan dan di luar jangkauan manusia, yaitu perjalanan beratus-ratus mil serta menembus tujuh langit dan hanya ditempuh dalam satu malam saja.
Isra dan Mi’raj dengan ruh dan jasad
Jumhur (mayoritas) para ulama berpendapat, bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam berisra-mi’raj dengan ruh dan jasad, dan dalam keadaan jaga (tidak tidur). Ibnu Hajar berkata, ”Isra-mi’raj terjadi dalam semalaman saja di saat Beliau jaga dengan ruh dan jasadnya. Inilah pendapat jumhur ulama dari kalangan Ahli Hadits, Ahli Fiqih, dan kaum Mutakallimin, di samping zhahir hadits-hadits yang shahih datang menunjukkan demikian. Bahkan tidak patut berpaling darinya, karena akal tidak menolaknya sehingga harus ditakwil.”
Sejalannya peristiwa isra dan mi’raj dengan akal sehat manusia
Sebagian orang yang kurang akalnya mengatakan bahwa isra’ dan mi’raj bertentangan dengan akal sehat manusia. Kita menjawab, “Tidak, bahkan sama sekali tidak bertentangan dengan akal manusia, karena yang memperjalankan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa kemudian ke langit adalah Allah Subhaanahu wa Ta'aala sebagaimana disebutkan dalam surah Al Israa ayat 1, bukan diri Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri. Sedangkan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu dan semuanya mudah bagi-Nya. Untuk lebih jelasnya, kami akan membuatkan permisalan dengan pertanyaan berikut, “Mungkinkah seekor semut tiba dari Jakarta ke Bogor dalam waktu dua jam?” Jawab, “Mungkin, karena bisa saja semut tersebut berada dalam buah rambutan, lalu buah rambutan tersebut diangkut ke dalam sebuah mobil yang hendak berangkat dari Jakarta ke Bogor, ternyata sampai di Bogor hanya memakan waktu dua jam, sehingga semut pun sampai di sana dalam waktu dua jam. Sampainya semut ke Bogor dalam waktu yang cukup singkat itu, karena yang memperjalankan adalah mobil yang memiliki kecepatan dan kekuatan, bukan semut itu sendiri. Perhatikanlah permisalan ini! (Hidayatul Insan oleh penulis bagian tafsir surah Al Israa)
Kisah Isra dan Mi’raj
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «أُتِيتُ بِالْبُرَاقِ، وَهُوَ دَابَّةٌ أَبْيَضُ طَوِيلٌ فَوْقَ الْحِمَارِ، وَدُونَ الْبَغْلِ، يَضَعُ حَافِرَهُ عِنْدَ مُنْتَهَى طَرْفِهِ» ، قَالَ: «فَرَكِبْتُهُ حَتَّى أَتَيْتُ بَيْتَ الْمَقْدِسِ» ، قَالَ: «فَرَبَطْتُهُ بِالْحَلْقَةِ الَّتِي يَرْبِطُ بِهِ الْأَنْبِيَاءُ» ، قَالَ " ثُمَّ دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ، فَصَلَّيْتُ فِيهِ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ خَرَجْتُ فَجَاءَنِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ بِإِنَاءٍ مِنْ خَمْرٍ، وَإِنَاءٍ مِنْ لَبَنٍ، فَاخْتَرْتُ اللَّبَنَ، فَقَالَ جِبْرِيلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اخْتَرْتَ الْفِطْرَةَ، ثُمَّ عُرِجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ ، فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ، فَقِيلَ: مَنَ أَنْتَ؟ قَالَ: جِبْرِيلُ، قِيلَ: وَمَنْ مَعَكَ؟ قَالَ: مُحَمَّدٌ، قِيلَ: وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ؟ قَالَ: َ قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ، فَفُتِحَ لَنَا، فَإِذَا أَنَا بِآدَمَ، فَرَحَّبَ بِي، وَدَعَا لِي بِخَيْرٍ، ثُمَّ عُرِجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ الثَّانِيَةِ، فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَقِيلَ: مَنَ أَنْتَ؟ قَالَ: جِبْرِيلُ، قِيلَ: وَمَنْ مَعَكَ؟ قَالَ: مُحَمَّدٌ، قِيلَ: وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ؟ قَالَ: قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ، فَفُتِحَ لَنَا، فَإِذَا أَنَا بِابْنَيْ الْخَالَةِ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ، وَيَحْيَى بْنِ زَكَرِيَّاءَ، صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِمَا، فَرَحَّبَا وَدَعَوَا لِي بِخَيْرٍ، ثُمَّ عَرَجَ بِي إِلَى السَّمَاءِ الثَّالِثَةِ، فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ، فَقِيلَ: مَنَ أَنْتَ؟ قَالَ: جِبْرِيلُ، قِيلَ: وَمَنْ مَعَكَ؟ قَالَ: مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قِيلَ: وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ؟ قَالَ: قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ، فَفُتِحَ لَنَا، فَإِذَا أَنَا بِيُوسُفَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا هُوَ قَدِ اُعْطِيَ شَطْرَ الْحُسْنِ، فَرَحَّبَ وَدَعَا لِي بِخَيْرٍ، ثُمَّ عُرِجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ الرَّابِعَةِ، فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ، قِيلَ: مَنْ هَذَا؟ قَالَ: جِبْرِيلُ، قِيلَ: وَمَنْ مَعَكَ؟ قَالَ: مُحَمَّدٌ، قَالَ: وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ؟ قَالَ: قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ، فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِإِدْرِيسَ، فَرَحَّبَ وَدَعَا لِي بِخَيْرٍ، قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: {وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًّا} [مريم: 57] ، ثُمَّ عُرِجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ الْخَامِسَةِ، فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ، قِيلَ: مَنْ هَذَا؟ فَقَالَ: جِبْرِيلُ، قِيلَ: وَمَنْ مَعَكَ؟ قَالَ: مُحَمَّدٌ، قِيلَ: وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ؟ قَالَ: قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ، فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِهَارُونَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَرَحَّبَ، وَدَعَا لِي بِخَيْرٍ، ثُمَّ عُرِجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ السَّادِسَةِ، فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ، قِيلَ: مَنْ هَذَا؟ قَالَ: جِبْرِيلُ، قِيلَ: وَمَنْ مَعَكَ؟ قَالَ: مُحَمَّدٌ، قِيلَ: وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ؟ قَالَ: قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ، فَفُتِحَ لَنَا، فَإِذَا أَنَا بِمُوسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَرَحَّبَ وَدَعَا لِي بِخَيْرٍ، ثُمَّ عُرِجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ السَّابِعَةِ، فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ، فَقِيلَ: مَنْ هَذَا؟ قَالَ: جِبْرِيلُ، قِيلَ: وَمَنْ مَعَكَ؟ قَالَ: مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قِيلَ: وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ؟ قَالَ: قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ، فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِإِبْرَاهِيمَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسْنِدًا ظَهْرَهُ إِلَى الْبَيْتِ الْمَعْمُورِ، وَإِذَا هُوَ يَدْخُلُهُ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ لَا يَعُودُونَ إِلَيْهِ، ثُمَّ ذَهَبَ بِي إِلَى السِّدْرَةِ الْمُنْتَهَى، وَإِذَا وَرَقُهَا كَآذَانِ الْفِيَلَةِ، وَإِذَا ثَمَرُهَا كَالْقِلَالِ "، قَالَ: " فَلَمَّا غَشِيَهَا مِنْ أَمْرِ اللهِ مَا غَشِيَ تَغَيَّرَتْ، فَمَا أَحَدٌ مِنْ خَلْقِ اللهِ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَنْعَتَهَا مِنْ حُسْنِهَا، فَأَوْحَى اللهُ إِلَيَّ مَا أَوْحَى، فَفَرَضَ عَلَيَّ خَمْسِينَ صَلَاةً فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَنَزَلْتُ إِلَى مُوسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: مَا فَرَضَ رَبُّكَ عَلَى أُمَّتِكَ؟ قُلْتُ: خَمْسِينَ صَلَاةً، قَالَ: ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ، فَإِنَّ أُمَّتَكَ لَا يُطِيقُونَ ذَلِكَ، فَإِنِّي قَدْ بَلَوْتُ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَخَبَرْتُهُمْ "، قَالَ: " فَرَجَعْتُ إِلَى رَبِّي، فَقُلْتُ: يَا رَبِّ، خَفِّفْ عَلَى أُمَّتِي، فَحَطَّ عَنِّي خَمْسًا، فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى، فَقُلْتُ: حَطَّ عَنِّي خَمْسًا، قَالَ: إِنَّ أُمَّتَكَ لَا يُطِيقُونَ ذَلِكَ، فَارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ "، قَالَ: " فَلَمْ أَزَلْ أَرْجِعُ بَيْنَ رَبِّي تَبَارَكَ وَتَعَالَى، وَبَيْنَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ حَتَّى قَالَ: يَا مُحَمَّدُ، إِنَّهُنَّ خَمْسُ صَلَوَاتٍ كُلَّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، لِكُلِّ صَلَاةٍ عَشْرٌ، فَذَلِكَ خَمْسُونَ صَلَاةً، وَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةً، فَإِنْ عَمِلَهَا كُتِبَتْ لَهُ عَشْرًا، وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا لَمْ تُكْتَبْ شَيْئًا، فَإِنْ عَمِلَهَا كُتِبَتْ سَيِّئَةً وَاحِدَةً "، قَالَ: " فَنَزَلْتُ حَتَّى انْتَهَيْتُ إِلَى مُوسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ: ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ "، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " فَقُلْتُ: قَدْ رَجَعْتُ إِلَى رَبِّي حَتَّى اسْتَحْيَيْتُ مِنْهُ
Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Didatangkan kepadaku binatang buraq, yaitu binatang putih yang tinggi melebihi keledai namun di bawah bighal (binatang hasil perkawinan kuda dan keledai), ia meletakkan kakinya di ufuk batas jangkauan penglihatannya. Aku pun menaikinya, dan Jibril membawaku sampai ke Baitulmaqdis, lalu aku menambatkan hewan ini di lingkaran (pintu Baitulmaqdis) tempat para nabi biasa menambatkan hewan tunggangannya. Kemudian aku masuk ke masjid dan shalat di dalamnya dua rakaat, lalu aku keluar, kemudian Jibril membawakan sebuah wadah berisikan khamr (arak) dan wadah berisikan susu, lalu aku memilih susu, maka Jibril 'alaihis salam berkata, "Engkau telah memilih fitrah." Kemudian kami dinaikkan ke langit, lalu Jibril meminta dibukakan, kemudian ia ditanya, "Siapa engkau?" Jibril menjawab, "Jibril." Lalu ia ditanya lagi, "Siapa yang bersamamu?" Ia menjawab, "Muhammad." Kemudian ia ditanya, "Apakah ia dikirim untuk menghadap-Nya?" Jibril menjawab, "Ia dikirim untuk menghadap-Nya." Maka dibukakan untuk kami pintu itu, dan ternyata aku bertemu dengan Adam. Ia menyambut hangat kedatanganku dan mendoakan kebaikan untukku. Lalu kami dinaikkan lagi ke langit kedua. Kemudian Jibril 'alaihis salam meminta dibukakan, lalu ia ditanya, "Siapa engkau?" Jibril menjawab, "Jibril." Kemudian ia ditanya kembali, "Siapa yang bersamamu?" Ia menjawab, "Muhammad." Kemudian ia ditanya, "Apakah ia dikirim untuk menghadap-Nya?" Jibril menjawab, "Ia dikirim untuk menghadap-Nya." Maka dibukakan untuk kami pintu itu, dan ternyata aku bertemu dengan dua putera bibi, yaitu Isa putera Maryam dan Yahya bin Zakariya semoga Allah memberikan shalawat kepada keduanya. Maka keduanya pun menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Lalu Jibril membawaku ke langit ketiga. Kemudian Jibril 'alaihis salam meminta dibukakan, lalu ia ditanya, "Siapa engkau?" Jibril menjawab, "Jibril." Kemudian ia ditanya kembali, "Siapa yang bersamamu?" Ia menjawab, "Muhammad." Kemudian ia ditanya, "Apakah ia dikirim untuk menghadap-Nya?" Jibril menjawab, "Ia dikirim untuk menghadap-Nya." Maka dibukakan untuk kami pintu itu, dan ternyata aku bertemu dengan Yusuf, dan ia diberikan separuh ketampanan. Maka ia menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Lalu kami dinaikkan lagi ke langit keempat. Kemudian Jibril 'alaihis salam meminta dibukakan, lalu ia ditanya, "Siapa engkau?" Jibril menjawab, "Jibril." Kemudian ia ditanya kembali, "Siapa yang bersamamu?" Ia menjawab, "Muhammad." Kemudian ia ditanya, "Apakah ia dikirim menghadap-Nya?" Jibril menjawab, "Ia dikirim untuk menghadap-Nya." Maka dibukakan untuk kami pintu itu, dan ternyata aku bertemu dengan Idris, maka ia menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Allah 'Azza wa Jallan berfirman, "Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi." (Terj. QS. Maryam: 57). Lalu kami dinaikkan lagi ke langit kelima. Kemudian Jibril 'alaihis salam meminta dibukakan, lalu ia ditanya, "Siapa engkau?" Jibril menjawab, "Jibril." Kemudian ia ditanya kembali, "Siapa yang bersamamu?" Ia menjawab, "Muhammad." Kemudian ia ditanya, "Apakah ia dikirim untuk menghadap-Nya?" Jibril menjawab, "Ia dikirim untuk menghadap-Nya." Maka dibukakan untuk kami pintu itu, dan ternyata aku bertemu dengan Harun 'alaihis salam, maka ia menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Lalu kami dinaikkan lagi ke langit keenam. Kemudian Jibril 'alaihis salam meminta dibukakan, lalu ia ditanya, "Siapa engkau?" Jibril menjawab, "Jibril." Kemudian ia ditanya kembali, "Siapa yang bersamamu?" Ia menjawab, "Muhammad." Kemudian ia ditanya, "Apakah ia dikirim untuk menghadap-Nya?" Jibril menjawab, "Ia dikirim untuk menghadap-Nya." Maka dibukakan untuk kami pintu itu, dan ternyata aku bertemu dengan Musa, maka ia menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Lalu kami dinaikkan lagi ke langit ketujuh, kemudian Jibril 'alaihis salam meminta dibukakan, lalu ia ditanya, "Siapa engkau?" Jibril menjawab, "Jibril." Kemudian ia ditanya kembali, "Siapa yang bersamamu?" Ia menjawab, "Muhammad." Kemudian ia ditanya, "Apakah ia dikirim untuk menghadap-Nya?" Jibril menjawab, "Ia dikirim untuk menghadap-Nya." Maka dibukakan untuk kami pintu itu, dan ternyata aku bertemu dengan Ibrahim yang sedang menyandarkan punggungnya ke Baitul Ma'mur, dimana tempat itu setiap harinya dimasuki tujuh puluh ribu malaikat yang selanjutnya mereka tidak kembali lagi. Kemudian ia membawaku ke Sidratul Muntaha, tiba-tiba daun-daunnya seperti telinga gajah dan buah-buahnya seperti gentong besar, maka ketika Sidratul Muntaha diliputi sesuatu atas perintah Allah, maka keadaan pun berubah, sehingga tidak ada seorang pun yang sanggup menggambarkan sifatnya karena begitu indahnya, lalu Allah mewahyukan kepadaku apa yang Dia wahyukan dan mewajibkan kepadaku lima puluh kali shalat sehari-semalam, maka aku turun menemui Musa 'alaihis salam, lalu ia bertanya, "Apa yang diwajibkan Tuhanmu untuk umatmu?" Aku menjawab, "Lima puluh kali shalat." Musa berkata, "Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan kepada-Nya, karena umatmu tidak akan sanggup memikulnya. Karena sesungguhnya aku pernah mencoba Bani Israil dan menguji mereka." Maka aku kembali kepada Tuhanku dan berkata, "Wahai Tuhanku, berikanlah keringanan untuk umatku." Maka akhirnya diturunkan untukku menjadi lima kali, lalu aku kembali kepada Musa, dan ia berkata, "Sesungguhnya umatmu tidak akan sanggup melakukannya. Maka kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan kepada-Nya." Maka aku senantiasa kembali antara kepada Tuhanku Tabaaraka wa Ta'ala dan kepada Musa 'alaihis salam, sehingga Allah berfirman, "Wahai Muhammad, sesungguhnya shalat itu tetap lima kali sehari-semalam. Setiap kali shalat dianggap sepuluh, sehingga menjadi lima puluh. Dan barang siapa yang berniat mengerjakan kebaikan, tetapi tidak ia kerjakan, maka akan dicatat untuknya satu kebaikan. Jika dia mengerjakannya, maka akan dicatat sepuluh kebaikan. Dan barang siapa yang berniat mengerjakan keburukan, tetapi tidak ia lakukan, maka tidak dicatat apa-apa, tetapi jika ia mengerjakannya, maka akan dicatat satu keburukan." Beliau melanjutkan sabdanya, "Maka aku turun sampai tiba ke hadapan Musa 'alaihis salam dan memberitahukan hal itu, lalu ia berkata, "Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan kepada-Nya." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Aku telah kembali kepada Tuhanku sehingga aku merasa malu kepadanya." (HR. Muslim)
Perlukah kita memperingati Isra dan Mi’raj?
Ketua majlis ulama Saudi Arabia Syaikh Abdul 'Aziz bin Abdillah bin Baaz berkata,
وهذه الليلة التي حصل فيها الإسراء والمعراج لم يأتِ في الأحاديث الصحيحة تعيينها، لا في رجب ولا في غيره، وكلُّ ما ورد في تعيينها فهو غير ثابت عن النبي صلى الله عليه وسلم عند أهل العلم بالحديث ولله الحكمة البالغة في إنساء الناس لها، ولو ثبت تعيينها لم يجزْ للمسلمين أن يخصُّوها بشيء من العبادات، ولم يجزْ لهم أن يحتفلوا بها؛ لأنَّ النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه رضي الله عنهم لم يحتفلوا بها ولم يخصُّوها بشيء، ولو كان الاحتفال بها أمراً مشروعاً لبيَّنه الرَّسول صلى الله عليه وسلم للأُمّة، إما بالقول، وإما بالفعل، ولو وقع شيء من ذلك لعُرفَ واشتهر، ولَنَقَلهُ الصحابة رضي الله عنهم إلينا، فقد نقلوا عن نبيِّهم صلى الله عليه وسلم كلَّ شيء تحتاجه الأُمّة، ولم يُفرِّطوا في شيء من الدين، بل هم السابقون إلى كلِّ خير، ولو كان الاحتفال بهذه الليلة مشروعاً لكانوا أسبق إليه …
"Malam yang terjadi Isra' dan Mi'raj sama sekali tidak disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih kapan terjadinya, apakah bulan Rajab ataukah bulan lainnya, semua riwayat yang menjelaskan tentang kapannya tidak sahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menurut Ahli Hadits. Allah memiiki hikmah yang dalam mengapa Dia menjadikan manusia lupa terhadap waktu terjadinya. Kalaupun ada riwayat yang sah tentang kapan terjadinya, namun tetap tidak diperbolehkan bagi kaum muslimin mengkhususkannya dengan salah satu ibadah, juga tidak diperbolehkan memperingatinya, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu 'anhum tidak memperingatinya, juga tidak mengkhususkannya dengan satupun (ibadah). Sekiranya memperingati hal itu masyru' (disyari'atkan), tentu Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskannya kepada umat, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan. Dan jika memang demikian, tentu hal tersebut akan dikenal dan masyhur, juga akan diriwayatkan oleh para sahabat radhiyallahu 'anhum kepada kita. Bukankah mereka telah menukilkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam semua yang dibutuhkan umat, dan tidak meremehkan sedikit pun hal yang berkaitan dengan agama? Bahkan mereka terdepan dalam kebaikan, sehingga jika memperingati malam ini (malam Israa' Mi'raaj) masyru' (disyari'atkan), tentu mereka sudah mendahului mengerjakannya…dst."
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’:  Maktabah Syamilah versi 3.45, http://www.saaid.net/Doat/yahia/43.htm, http://articles.islamweb.net/media/index.php?page=article&lang=A&id=196726, Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an (Penulis), dll.
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger