Khutbah Idul Fitri 1443 H/2022 M (Pelajaran Berharga dari Puasa Ramadhan)

Jumat, 29 April 2022

 بسم الله الرحمن الرحيم

Khutbah Idul Fitri

1443 H/2022 M



Pelajaran Berharga Dari Puasa Ramadhan

Oleh: Marwan Hadidi, M.Pd.I

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ اَللَّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ :  

Allahu akbar, Allahu akbar. Laailaahaillallahu wallahu akbar. Allahu akbar walillahil hamd.

Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat

Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!

Pertama-tama kita panjatkan puja dan puji syukur ke hadirat Allah Azza wa Jalla atas segala nikmat yang Dia anugrahkan kepada kita, terutama adalah nikmat Islam dan nikmat taufik; dimudahkan kita oleh Allah Azza wa Jalla untuk dapat menjalankan ajaran-ajaran agama-Nya seperti puasa di bulan Ramadhan yang kemarin kita telah jalankan, qiyam Ramadhan yang kita lakukan, tilawah Al Qur’an yang kita rutinkan, sedekah yang kita keluarkan, dan amal-amal saleh lainnya yang kita laksanakan. Kita meminta kepada Allah Azza wa Jalla agar Dia menerima amal ibadah yang kita lakukan, aamin.

Shalawat dan salam tidak lupa kita sampaikan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam kepada keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat.

Khatib berwasiat, baik kepada diri khatib sendiri maupun kepada para jamaah, ‘Marilah kita terus dan tingkatkan takwa kita kepada Allah Azza wa Jalla’ karena orang-orang yang bertakwalah yang akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat

Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!

Puasa Ramadhan dan amal-amal saleh lainnya yang kita lakukan di bulan Ramadhan memberikan isyarat kepada kita bahwa sebenarnya kita mampu mengisi hidup ini dengan beribadah, sebenarnya kita mampu berpuasa sunah, sebenarnya kita mampu melakukan qiyamullail, sebenarnya kita mampu mengkhatamkan Al Qur’an, dan beramal saleh lainnya, maka jadikan bulan Ramadhan sebagai cermin dalam beribadah pada bulan-bulan yang lain. Oleh karena itu, ketika engkau lemah dan kurang semangat dalam beribadah, maka tengoklah bulan Ramadhan kemarin, bahwa sebenarnya engkau bisa, maka mintalah kepada Allah taufik-Nya, pertolongan-Nya, dan bantuan-Nya agar Dia memudahkan dirimu beribadah, serta beristighfarlah dari perbuatan maksiat karena hal itu yang membuat seseorang kurang mendapatkan taufik-Nya. Al Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, "Banyaknya dosa menjadi sebab kurangnya mendapatkan Taufik." (Syu'abul Iman no. 6532)

Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat

Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!

Bulan Ramadhan adalah bulan tarbiyah, bulan dimana Allah mendidik hamba-hamba-Nya melalui puasa agar mereka mampu, terlatih dan terbiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, sehingga dengan begitu jadilah mereka sebagai orang-orang yang bertakwa. Oleh karena itu, orang yang berpuasa adalah orang yang siap menerima pendidikan dari Allah sehingga lebih dekat kepada ketakwaan, sedangkan orang yang tidak berpuasa adalah orang yang tidak mau menerima pendidikan dari Allah Azza wa Jalla. Siapakah yang lebih buruk daripada orang yang Rabbnya menginginkan kebaikan dan kebahagiaan untuknya dengan syariat puasa, tetapi dia menolaknya dengan tidak mau menjalankannya?!

Demikian pula Allah mensyariatkan mereka berpuasa agar mereka memiliki pengendalian diri.

Kalau kita melihat ada pencuri, pemabuk, pezina, pemain judi, dan pelaku kejahatan lainnya itu semua karena tidak mempunyai pengendalian diri disebabkan mereka tidak mampu berpuasa di bulan Ramadhan yang sebenarnya melatih mereka agar memiliki pengendalian diri dan agar mereka terlatih menahan hawa nafsu yang cenderung mengajaknya berbuat maksiat sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي

“Karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (Qs. Yusuf: 53)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ، وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ»

“Surga dikelilingi dengan perkara yang tidak disukai, sedangkan neraka dikelilingi dengan perkara yang disukai oleh hawa nafsu.” (Hr. Muslim)

Oleh karena hikmah disyariatkan puasa adalah agar kita menjadi orang-orang yang bertakwa, maka jangan sampai setelah kita menjalankan ibadah puasa, kita kembali lagi meninggalkan perintah Allah dan berbuat maksiat; kita kembali lagi meninggalkan shalat, kita kembali lagi durhaka kepada kedua orang tua, kita kembali lagi bergaul dengan orang lain menggunakan akhlak tercela, dan wanita-wanita kita kembali lagi melepas jilbab dan memamerkan aurat.

Ketahuilah, bahwa tanda diterimanya amal seseorang adalah diberikan taufiq oleh Allah untuk beramal saleh selanjutnya.

Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat

Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!

Puasa Ramadhan dan amal-amal saleh lainnya yang kita lakukan di bulan Ramadhan maksudnya adalah agar kita terbiasa mengisi hidup di dunia dengan beribadah, karena untuk inilah kita diciptakan di dunia. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia, kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Qs. Adz Dzariyat: 56)

Inilah amanah atau tugas yang dibebankan kepada kita selama hidup di dunia, sehingga ketika kita telah menjalankan amanah ini, maka kita berhak memperoleh surga-Nya. Sebaliknya jika kita tidak menjalankannya, maka jangan salahkan Allah jika Dia tidak memberikan kepada kita surga-Nya, Dia berfirman,

فَأَمَّا مَنْ طَغَى (37) وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (38) فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى (39)

“Adapun orang yang melampaui batas,--Dan lebih mengutamakan kehidupan dunia,--Maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).” (Qs. An Nazi’at: 37-39)

Orang yang melampaui batas’ di sini adalah orang yang melewati batas yang ditetapkan untuknya, yang seharusnya ia beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi dia malah beribadah dan menyembah kepada selain-Nya, dan yang seharusnya dia isi hidupnya dengan beribadah, tetapi tidak dia isi dengan beribadah.

Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat

Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!

Surga yang penuh dengan kenikmatan adalah mahal. Penghuninya akan kekal dan tidak akan mati, akan senang dan tidak akan sedih, akan bahagia dan tidak akan sengsara, akan sehat dan tidak akan sakit, akan muda terus dan tidak akan tua, dan apa yang diinginkan ada di hadapan tanpa perlu bekerja dan berusaha. Namun, apakah kenikmatan ini diberikan kepada orang-orang yang malas beribadah atau enggan melakukannya; ketika ada seruan yang memanggilnya untuk beribadah (seperti seruan untuk shalat), lalu ia tidak mau menyambutnya, bahkan memilih bersenang-senang dengan dunia dan berleha-leha? Tentu tidak.

Fikirkanlah wahai saudaraku, untuk memperoleh dunia saja, seperti harta, kekayaan, rumah, kendaraan, dan semisalnya seseorang tidak mungkin memperolehnya dengan santai, tiduran, dan bermalas-malasan. Akankah kesenangan itu diperoleh dengan bermalas-malasan, tidur, dan bersantai sambil menunggu rezeki turun dari langit? Tidak wahai saudaraku, ini semua harus dikejar dengan berusaha dan bekerja. Lalu bagaimana dengan kenikmatan surga, akankan diperoleh dengan bermalas-malasan? Ini pun sama, engkau harus mengejarnya dengan beribadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta'ala, menyambut seruan-Nya, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, tidak cukup hanya keinginan di hati dan ucapan di lisan.

Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat

Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!

Puasa Ramadhan dan amal-amal saleh lainnya yang kita lakukan di bulan Ramadhan maksudnya adalah agar kita mengawali kembali lembaran kehidupan kita dengan kebaikan, ketaatan, dan ibadah; tidak dengan keburukan dan kemaksiatan.

Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat

Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!

Allah Ta’ala berfirman,

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

“Sembahlah Tuhanmu sampai datang kematian kepadamu.” (Qs. Al Hijr: 99)

Ayat ini  menerangkan kepada kita, bahwa ibadah itu tidak hanya pada bulan Ramadhan, bahkan terus berlanjut sampai kita meninggalkan dunia ini.

Ada seorang yang berkata kepada Bisyr Al Hafiy, “Ada orang-orang yang beribadah di bulan Ramdhan dan bersungguh-sungguh beribadah di bulan itu. Tetapi setelah Ramadhan berlalu, mereka meninggalkan ibadahnya, maka Bisyr berkata, “Seburuk-buruk orang adalah mereka yang tidak mengenal Allah selain di bulan Ramadhan.” (Miftahul Afkar Lit Ta’ahhub Lidaril Qarar 2/283).

Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat

Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!

Di antara hikmah memperbanyak ibadah pada bulan Ramadhan adalah agar bekal kita menghadapi kematian semakin banyak. Bukankah setelah kematian terdapat safar yang panjang?

Abu Darda rahimahullah berkata, “Kalau sekiranya salah seorang di antara kamu hendak safar, bukankah ia perlu menyiapkan bekal yang bermanfaat baginya?” Kawan-kawannya berkata, “Ya.” Abu Darda berkata, “Safar pada hari Kiamat lebih panjang, maka bawalah bekal yang bermanfaat bagimu. Berhajilah untuk menghadapi perkara-perkara besar, berpuasalah di siang hari yang panas untuk menghadapi panasnya hari kebangkitan, shalatlah di kegelapan malam untuk menghadapi kegelapan kubur, dan bersedekahlah secara sembunyi-sembunyi untuk menghadapi hari yang sulit.”

Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat

Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!

Sebagian manusia ketika diajak menaati Allah dan Rasul-Nya masih berat melakukannya, padahal itu pertanda bahwa dirinya tidak mendapatkan taufiq dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala, Dia berfirman,

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ

“Barang siapa yang Allah kehendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (menjalankan agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit.” (QS. Al An’aam: 125)

Ada pula yang belum siap menaati Allah dan Rasul-Nya karena menyangka dirinya masih jauh dari kematian; dirinya masih muda dan sehat, di samping ingin memanfaatkan masa muda dengan bersenang-senang.

Kita katakan kepadanya, “Saudaraku, sesungguhnya kematian jika datang tidak memperhatikan orang yang dijemput, baik muda atau tua, masih sehat atau sedang sakit, ia bisa mendatanginya. Dan jika kematian telah datang kepadanya sedangkan masa mudanya hanya ia isi dengan bersenang-senang dan hal yang sia-sia, maka dia akan menyesal sekali; saat itu ia pun sadar. Padahal ketika kematian telah datang, maka penyesalan dan sikap sadar tidak berguna lagi, Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,

يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ الْإِنْسَانُ وَأَنَّى لَهُ الذِّكْرَى - يَقُولُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي

“Dan pada hari itu sadarlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi kesadaran itu baginya.--Dia mengatakan, "Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.” (QS. Al Fajr: 23-24)

Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat

Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!

Di antara kebiasaan manusia pada hari raya adalah satu sama lain saling mengucapkan selamat apa pun bentuk ungkapannya seperti Ied Mubarak, Taqabbalallahu minna wa minkum atau ungkapan selamat lainnya yang mubah, dan hal ini dilakukan pula oleh kaum salaf. Dari Jubair bin Nufair ia berkata, “Para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika bertemu pada hari raya, maka yang satu dengan yang lain saling mengucapkan, “Taqabballallahu minnaa wa minkum," (artinya: Semoga Allah menerima amal ibadah kami dan kamu). (Dinyatakan isnadnya hasan oleh Ibnu Hajar dalam Al Fath). Tidak diragukan lagi, bahwa ucapan selamat ini termasuk akhlak yang mulia dan sikap sosial yang baik antara kaum muslimin.

Namun perlu diingat, tidak diperbolehkan seorang laki-laki ketika bertemu yang lain lalu berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahramnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«لَأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأةً لاَ تَحِلُّ لَهُ»

“Sungguh, ditusuknya kepala salah seorang di antara kamu dengan paku besi (pasak) lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”” (Hr. Thabrani dari Ma’qil bin Yasar, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami no. 5045 dan Ash Shahihah no. 226)

Dan tidak mengapa sebagian kita mengunjungi sebagian yang lain untuk mengucapkan selamat. Adapun mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya ini, maka tidak ada tuntunannya dalam sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Pada hari raya juga disunnahkan berangkat dari jalan yang satu dan pulang dari jalan yang lain. Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada hari raya, melalui jalan yang berbeda (antara berangkat dan pulangnya).” (Hr. Bukhari)

Ada yang mengatakan, bahwa hikmahnya adalah agar kedua jalan menjadi saksi baginya di sisi Allah pada hari Kiamat, karena bumi akan berbicara pada hari Kiamat menceritakan kebaikan dan keburukan yang terjadi di atasnya. Ada juga yang berpendapat, bahwa hikmahnya adalah untuk menampakkan dzikrullah dan syiar-syiar Islam, dan ada pula yang berpendapat, bahwa karena para malaikat berdiri di jalan yang berbeda; mencatat setiap orang yang lewat sini dan lewat situ, dan ada pula yang berpendapat lain, wallahu a’lam.

Demikian pula pada hari raya diperbolehkan bersenang-senang dengan keluarga dan kerabat tanpa berlebihan. Allah Ta’ala berfirman,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Qs. Al A’raaf: 31)

Demikian pula disyariatkan saling berbagi kepada kaum fakir dan miskin untuk menggembirakan mereka sehingga disyariatkan zakat fitri sebelum berangkat shalat Ied. Ini semua adalah nilai-nilai Islami yang di dalam terdapat kebaikan dan ihsan, saling tolong-menolong, saling mengasihi dan menyayangi, maka alangkah mulianya agama ini.

Ya Allah, jadikanlah amalan terbaik kami adalah pada bagian akhirnya, umur terbaik kami adalah pada bagian akhirnya, hari terbaik kami adalah hari ketika kami bertemu dengan-Mu, aamiin.

هَذَا وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا عَلَى النَّبِيِّ الْمُصْطَفَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ خَيْرِ الْوَرَى ، فَقَدْ أَمَرَكُمُ اللهُ بِذَلِكَ فَقَالَ سُبْحَانَهُ : إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا " ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَّمَدٍ ، وَعَلَى آلِ بَيْتِهِ ، وَعَلَى الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ ، وخُصَّ مِنْهُمُ الْخُلَفَاءَ الْأَرْبَعَةَ الرَّاشِدِيْنَ ، أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ ، وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ ، وَاجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِناً مُطْمَئِناًّ وَسَائِرَ بِلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلاَةَ أُمُوْرِنَا ، وَاجْعَلْ وِلاَيَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ ، وَنَعُوْذُ بِكَ مِنَ النَّارِ ، اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِيْنَ غَيْرَ ضَالِّيْنَ وَلاَ مُضِلِّيْنَ ، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

Marwan bin Musa

Blog: http://wawasankeislaman.blogspot.com/

Telegram: http://t.me/wawasan_muslim

Kisah Abu Ubaidah ibnul Jarrah

Rabu, 27 April 2022

 بسم الله الرحمن الرحيم



Kisah Abu Ubaidah ibnul Jarrah

radhiyallahu 'anhu

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Berikut kisah Abu Ubaidah ibnul Jarrah radhiyallahu 'anhu, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.

Mengenal Abu Ubaidah ibnul Jarrah radhiyallahu anhu

Beliau termasuk As Sabiqunal Awwalun (orang-orang yang pertama masuk Islam), ia masuk Islam sehari setelah Abu Bakar masuk Islam.

Beliau juga termasuk sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk surga.

Beliau seorang yang digelari dengan Amirul Umara (pemimpin para komandan).

Beliau seorang yang nasabnya bertemu dengan nasab Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada nenek moyang Beliau bernama Fihr.

Beliau seorang yang terpercaya umat ini.

Beliau pemimpin di berbagai penaklukan wilayah.

Beliau itulah Amir bin Abdullah bin Jarrah, yang panggilannya adalah Abu Ubaidah ibnul Jarrah radhiyallahu anhu.

Masuk Islamnya Abu Ubaidah ibnul Jarrah

Ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam diutus, lalu Abu Bakar didakwahi Beliau, maka ia segera menerimanya tanpa menunggu nanti. Kemudian tampillah Abu Bakar sebagai da’i yang mengajak manusia kepada Allah Azza wa Jalla, sehingga melalui beliau masuk ke dalam Islam beberapa orang, yang di antaranya adalah Abu Ubaidah ibnul Jarrah yang masuk Islam sehari setelah Abu Bakar masuk Islam. Ketika itu, Abu Ubaidah pun pergi berangkat untuk melihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan merasakan kebahagiaan menjadi sahabat Beliau shallallahu alaihi wa sallam.

Kesabarannya menerima cobaan

Sebagaimana para sahabat yang lain, Abu Ubaidah juga menerima gangguan yang sama, namun ia tetap bersabar dan teguh di atas Islam, sehingga siksaan dan gangguan yang ditimpakan kepadanya hanya menambah keteguhannya di atas kebenaran serta merasa yakin bahwa kemenangan akan diperoleh di kemudian hari insya Allah.

Dia juga mengetahui, bahwa surga butuh kesabaran dan pengorbanan. Di samping itu, yang ia inginkan adalah berhasil memperoleh keridhaan Allah, rahmat-Nya, dan ampunan-Nya, dan ia yakin bahwa itu tidak diraih kecuali dengan tetap teguh di atas agama-Nya dan berkorban untuk membela agama-Nya.

Hijrah ke Habasyah

Saat Nabi shallallahu alaihi wa sallam melihat para sahabatnya mendapatkan gangguan dan penyiksaan, maka Beliau menyuruh para sahabatnya untuk berhijrah ke Habasyah, maka para sahabat hijrah ke sana selain Abu Ubaidah ibnul Jarrah. Namun ketika kaum muslimin kembali dari hijrah yang pertama karena mendengar kabar kaum Quraisy masuk Islam, namun ternyata berita ini bohong, maka kaum muslimin pun melakukan hijrah yang kedua ke sana, ketika itulah Abu Ubaidah juga ikut hijrah bersama mereka untuk menyelamatkan agamanya.

Meskipun kaum muslimin mendapatkan penghormatan dari Najasyi raja Habasyah, namun Abu Ubaidah tidak kuat tinggal jauh dari orang yang dicintainya, yaitu Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Baginya, melihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, duduk bersamanya, belajar petunjuk dan akhlak Beliau tidak dapat diimbangi oleh kenikmatan apa pun.

Akan tetapi, kaum Quraisy terus meningkatkan gangguan dan penyiksaannya terhadap para sahabat radhiyallahu anhum, namun Abu Ubaidah mampu memikul cobaan ini selama bisa menemani Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Di samping itu, tinggal di Mekkah juga tidak selamanya, sampai Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengizinkan Abu Ubaidah dan para sahabat yang lain hijrah ke Yatsrib (Madinah) agar Madinah menjadi kota yang diberkahi; menjadi negara Islam yang melahirkan orang-orang besar yang menjadi contoh bagi umat manusia karena mereka dibimbing langsung oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam pendidik terbaik.

Contoh dalam wala (cinta) dan bara (benci)

Pedang Abu Ubaidah telah diakui di jazirah Arab, sehingga orang-orang berusaha menghindar darinya, dimana tidak ada seorang pun yang berani mendekatinya kecuali orang yang siap mengakhiri hidupnya.

Ayah Abu Ubaidah, yaitu Abdullah bin Jarrah adalah seorang yang kafir dan sering mengganggu kaum muslimin.

Ketika tiba perang Badar, Abu Ubaidah berada dalam barisan kaum muslimin, sedangkan ayahnya berada dalam barisan kaum musyrik.

Peperangan pun berlangsung, lalu Abu Ubaidah berperang dengan gagah berani. Ketika itu, kaum musyrik menjauh dari tempat dimana ia berperang. Akan tetapi ada seorang ksatria musuh yang telah menimpakan serangan kepada sebagian para sahabat yang mendekati Abu Ubaidah, namun Abu Ubaidah menjauh darinya. Ketika ksatria ini terus menyerang Abu Ubaidah, maka terpaksa Abu Ubaidah pun menyerangnya dan berhasil membunuhnya. Siapakah ksatria ini? Itulah ayahnya sendiri.

Berkenaan peristiwa ini turun firman Allah Ta’ala,

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah (golongan Allah) itu adalah golongan yang beruntung.” (Qs. Al Mujadilah: 22)

Lihatlah bagaimana Abu Ubaidah mengajarkan, bahwa wala itu hanyalah untuk Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukmin, dan bahwa bara harus diberikan kepada musuh-musuh Allah sekalipun sebagai orang yang dekat dengannya.

Pembelaannya terhadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam perang Uhud

Dalam perang Uhud, ketika regu pemanah mendurhakai perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam sehingga kaum muslimin mengalami kekalahan dan ditambah serangan bertubi-tubi dari kaum musyrik, sehingga banyak di antara para sahabat yang gugur, dimana hari itu merupakan hari ujian dan pembersihan. Allah memuliakan sebagian kaum muslimin memperoleh kedudukan syuhada, namun ketika itu kaum musyrik sampai berhasil mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan hendak membunuh Beliau.

Ketika itu, suasana menegangkan terjadi, orang-orang musyrik merasa memiliki kesempatan emas, sehingga mereka tidak menunggu lagi untuk memperolehnya. Serangan pun mereka arahkan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan mereka ingin membunuh Beliau.

Saat itu, ada seorang musyrik bernama ibnu Qam’ah yang datang dan menyerang Nabi shallallahu alaih wa sallam dengan pedangnya, sehingga karena serangan itu, Beliau merasakan sakit lebih dari sebulan. Ia juga menyerang bagian atas pipi Nabi shallallahu alahi wa sallam dengan serangan yang lebih keras lagi sehingga ada dua pecahan topi besi Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menembus masuk ke pipi Beliau.

Maka Abu Bakar hendak mencabut dua pecahan itu dari wajah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, namun Abu Ubaidah berkata kepadanya, “Aku bersumpah atas nama Allah terhadap dirimu, hendaknya engkau membiarkan aku yang mencabut pecahan itu dari wajah Nabi shallallahu alaihi wa sallam.”

Maka Abu Ubaidah pun mencabut pecahan itu dari wajah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan giginya hingga dua giginya tanggal. Abu Ubaidah mencabut pecahan itu tidak dengan tangannya agar tidak menyakiti Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bahkan ia mencabut dengan mulutnya sehingga tanggal gigi serinya.

Abu Ubaidah terus hadir dalam semua peperangan bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan kokoh melawan musuh bagaikan gunung seraya membawa iman yang tidak dapat digoyahkan oleh angin puting beliung.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam sangat mencintainya dan berbangga dengannya.

Dari Abdullah ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Aisyah, “Siapakah sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang paling dicintai Beliau?” Aisyah menjawab, “Abu Bakar, Umar, kemudian Abu Ubaidah ibnul Jarrah.” (Diriwayatkan oleh Tirmidzi, Hakim, dan ia menshahihkannya, serta disepakati oleh Dzahabi. Imam Bukhari menyebutkan dalam Fadhailush shahabah bab sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam ‘Kalau aku boleh menjadikan seorang kekasih’, dan dalam Al Maghazi bab Ghazwah Dzatus Salasil dari hadits Amr bin Ash, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah mengirimnya dalam perang Dzatus salasil, ia (Amr bin Ash) berkata, “Aku pun mendatangi Beliau dan bertanya, “Siapakah orang yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab, “Aisyah.” Aku bertanya, “Dari kalangan laki-laki?” Beliau menjawab, “Ayahnya.” Aku bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Umar bin Khaththab.” Kemudian menyebutkan beberapa orang sahabat.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda,

«نِعْمَ الرَّجُلُ أَبُو بَكْرٍ، نِعْمَ الرَّجُلُ عُمَرُ، نِعْمَ الرَّجُلُ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الجَرَّاحِ، نِعْمَ الرَّجُلُ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ،  نِعْمَ الرَّجُلُ ثَابِتُ بْنُ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ، نِعْمَ الرَّجُلُ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ، نِعْمَ الرَّجُلُ مُعَاذُ بْنُ عَمْرِو بْنِ الجَمُوحِ»

“Sebaik-baik laki-laki adalah Abu Bakar. Sebaik-baik laki-laki adalah Umar. Sebaik-baik laki-laki adalah Abu Ubaidah ibnul Jarrah. Sebaik-baik laki-laki adalah Usaid bin Hudhair. Sebaik-baik laki-laki adalah Tsabit bin Qais bin Syammas. Sebaik-baik laki-laki adalah Mu’adz bin Jabal. Sebaik-baik laki-laki adalah Mu’adz bin Amr bin Jamuh.” (Hr. Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)

Sariyyah (pasukan kecil) yang dipimpin Abu Ubaidah ke daerah Saifulbahr

Suatu hari, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengirimkan sariyyah dengan jumlah 300 orang dan mengangkat Abu Ubaidah sebagai komandannya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyuruhnya berangkat ke sebuah tempat bernama Saiful Bahri untuk menghadang kafilah Quraisy, maka Abu Ubaidah berangkat bersama pasukannya dan membawa sekantong kurma, lalu ia memberi makan pasukannya dengan kurma itu. Ketika stok kurma berkurang, maka Abu Ubaidah memberi kepada seorang dari mereka satu hari satu kurma sebagai makannya. Tidak lama kemudian mereka merasakan kelaparan yang sangat, maka Abu Ubaidah berdoa kepada Allah agar Dia segera menghilangkan penderitaan mereka, maka Allah mengabulkan doanya. Allah menghadirkan kepada mereka seekor ikan paus yang disebut paus Anbar, mereka pun makan ikan itu untuk 20 hari ke depan sehingga badan mereka gemuk.

Ketika mereka pulang menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan memberitahukan kejadian yang mereka alami, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Itu adalah rezeki yang Allah antarkan kepada kalian.”   

Orang terpercaya umat ini

Ketika datang delegasi dari Najran kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam di Madinah, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepada mereka dan mereka juga bertanya kepada Beliau. Selanjutnya Beliau mengajak mereka kepada Islam dan membacakan Al Qur’an kepada mereka, namun mereka menolak masuk Islam, kemudian mereka menerima keputusan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terhadap mereka, mereka berkata, “Kami akan berikan kepadamu apa yang engkau minta dari kami,” maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menerima jizyah mereka, Beliau mengadakan kesepakatan dengan mereka, bahwa mereka harus memberikan jizyah berupa 2.000 pakaian; 1.000 di bulan Rajab, sedangkan 1.000 lagi di bulan Shafar, dan untuk setiap pakaiannya ditambah 1 uqiyyah (12 dirham). Mereka juga diberikan jaminan dari Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam serta diberikan kebebasan beragama. Beliau juga menulis suatu surat untuk mereka dan mereka meminta dikirimkan kepada mereka seorang yang amanah, maka Beliau bersabda, “Aku akan kirim kepada kalian seorang yang terpercaya dengan sebenar-benarnya.” Ketika itu, para sahabat saling penasaran, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Bangunlah wahai Abu Ubaidah ibnul Jarrah.” Ketika ia bangun, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«هَذَا أَمِينُ هَذِهِ الأُمَّةِ»

“Ini adalah orang terperaya umat ini.” (Hr. Bukhari dan Muslim) 

Jihad Abu Ubaidah ibnul Jarrah

Abu Ubaidah senantiasa melazimi ibadah, melakukan ketaatan, dan berdakwah mengajak manusia kepada Allah Ta’ala, bahkan ia hadir dalam semua peperangan yang dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam hingga Beliau wafat sedangkan beliau ridha kepada Abu Ubaidah radhiyallahu anhu.

Sebagaimana Abu Ubaidah sebagai seorang yang terpercaya di masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, ia juga sebagai orang terpercaya sepeninggal Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Kalau sekiranya ia tidak memiliki sikap selain sikapnya di Saqifah Bani Sa’idah tentu sudah cukup. Hal itu ketika kaum Muhajirin dan Anshar berselisih terkait siapa yang akan menjabat sebagai khalifah setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka Abu Ubaidah menjadi sebab kaum muslimin bersatu memilih Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu anhu.

Abu Ubaidah berjalan di bawah panji Islam; berkhidmat terhadap agamanya baik sebagai tentara maupun sebagai komandan.

Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu anhu pernah mengangkatnya sebagai komandan tertinggi di negeri Syam, namun Abu Ubaidah meminta agar dirinya tidak sebagai komandan tertinggi, akan tetapi Abu Bakar tetap di atas pandangannya mengangkatnya sebagai komandan tertinggi. Saat keadaan kaum muslimin di negeri Syam terhimpit dan mereka berkumpul di Yarmuk, maka Abu Bakar mengangkat Khalid sebagai komandan tertinggi di Syam sebagai ganti dari Abu Ubaidah yang menjadi tentara di Himsh, akan tetapi Umar bin Khaththab mengangkat kembali sebagai komandan tertinggi sepeninggal Abu Bakar Ash Shiddiq, ia sampai berkata, “Tidak ada komandan di atas Abu Ubaidah.”

Ketika itu Abu Ubaidah menyembunyikan berita itu dari Khalid sampai peperangan berakhir, lalu Khalid tahu bahwa Amirul Mukminin Umar telah menurunkannya, sehingga Khalid masuk ke dalam barisan Abu Ubaidah dan berkata kepadanya, “Semoga Allah mengampunimu, telah datang surat dari Amirul Mukminin terkait kepemimpinan yang baru, namun engkau tidak memberitahukanku, engkau tetap shalat di belakangku, padahal kepemimpinan telah berada di tanganmu?” Abu Ubaidah menjawab, “Semoga Allah mengampunimu, aku tidak memberitahukannya kepadamu sampai engkau tahu dari selainku. Aku tidak ingin mematahkan penyeranganmu sampai semuanya selesai, kemudian aku akan memberitahukannya kepadamu insya Allah. Aku tidak menginginkan kekusaan di dunia, dan bukan karena dunia aku beramal, dan bahwa yang engkau lihat akan sirna dan terputus. Kita hanya saudara dalam menjalankan perintah Allah Azza wa Jalla.”

Demikianlah, Abu Ubaidah menjadi komandan tertinggi pasukan kaum muslimin dalam menaklukkan Syam meskipun ketenaran Khalid bin Walid dalam strategi perang lebih tinggi di kalangan orang-orang yang murtad, di kalangan penduduk Irak dan Syam sehingga dibicarakan oleh lawan maupun kawan, akan tetapi Abu Ubaidah terkenal dengan santun dan lembutnya, dada yang lapang, amanah dan jujur serta menginginkan keselamatan hingga dicintai di kalangan penduduk Syam. Oleh karenanya mereka mencintainya dan memudahkan tugasnya, dimana hasilnya banyak kota-kota di Syam yang tunduk mau melakukan shulh (damai), sehingga banyak darah-darah yang terjaga, dan banyak jiwa-jiwa yang tenang.

Demikianlah Abu Ubaidah berusaha menghilangkan keberadaan Romawi di Syam dan berusaha dengan karunia Allah Ta’ala mengembalikan Baitul Maqdis ke tangan kaum muslimin.

Umar mengangkatnya sebagai gubernur sehingga ia sebagai gubernur Syam.

Umar menguji Abu Ubaidah ibnul Jarrah

Inilah Abu Ubaidah, ia tidak mau jika dunia masuk ke dalam hatinya meskipun ia hidup di dunia dengan jasadnya, akan tetapi ruhnya telah melayang ke surga Ar Rahman; dimana perhatiannya tertuju kepadanya.

Suatu ketika Umar bin Khaththab pernah mengirimkan uang sebanyak 4.000 dirham dan 400 dinar, lalu ia berkata kepada utusannya, “Lihatlah apa yang dilakukannya!” Ketika itu Abu Ubaidah membagi-bagikan uang itu. Saat utusan Umar menyampaikan kepada Umar apa yang dilakukan Abu Ubaidah dengan harta itu, maka Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan dalam Islam orang yang melakukan seperti ini.” (Ath Thabaqat karya Ibnu Sa’ad 3/413)

Ketika Umar tiba di Syam, lalu beliau disambut oleh para komandan pasukan dan para bangsawan, maka Umar berkata, “Di mana saudaraku?” Mereka berkata, “Siapa?” Ia menjawab, “Abu Ubaidah.” Mereka berkata, “Sekarang ia akan datang kepadamu.” Lalu Abu Ubaidah datang di atas unta yang dipasang tali kekangnya, kemudian ia mengucapkan salam kepadanya, lalu Umar berkata kepada orang-orang yang hadir, “Tinggalkanlah kami.”

Selanjutnya Umar berkata kepada Abu Ubaidah, “Antarkan kami ke rumahmu wahai Abu Ubaidah.” Abu Ubaidah berkata, “Apa yang akan engkau lakukan di rumahku wahai Amirul Mukminin? Engkau hanya akan menangisiku saja!”

Maka Umar pun masuk ke rumah Abu Ubaidah, namun ternyata tidak dilihat apa-apa di rumahnya, Umar berkata, “Di mana barang-barangmu? Apakah engkau punya makanan?” Maka Abu Ubaidah bangkit menuju keranjang dan mengambil potongan roti darinya, lalu Umar menangis, maka Abu Ubaidah berkata, “Aku sudah katakan kepadamu, bahwa engkau hanya akan menangisiku wahai Amirul Mukminin. Bukankah cukup bagimu bekal yang menyampaikanmu ke tempat peristirahatanmu!” Umar menjawab, “Engkau telah merubah dunia kepada kami wahai Abu Ubaidah.”

Mendahulukan orang lain daripada diri sendiri

Malik Ad Dar berkata, “Sesungguhnya Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu mengambil 400 dinar dan menaruhnya dalam sebuah kantong, lalu ia berkata kepada pelayannya, “Bawalah ia ke Abu Ubaidah dan tunggulah sejenak di rumahnya untuk engkau lihat apa yang dilakukannya.”

Maka pelayan ini membawa harta itu kepada Abu Ubaidah sambil berkata, “Amirul Mukminin berkata kepadamu, “Gunakanlah untuk sebagian kebutuhanmu,” Abu Ubaidah berkata, “Semoga Allah sambung hubungannya dan merahmatinya.” Lalu Abu Ubaidah berkata kepada pelayannya, “Bawalah tujuh bagian ini ke si fulan, lima bagian ini ke si fulan,…dst.” Sehingga habis.

Maka pelayan ini pulang ke Umar dan menyampaikan kejadian itu, ternyata Umar juga sudah menyiapkan harta semisal itu untuk Mu’adz bin Jabal, “Bawalah ia ke Mu’adz bin Jabal dan tunggulah sejenak di rumahnya untuk engkau lihat apa yang dilakukannya.”

Maka pelayan ini membawa harta itu kepada Mu’adz sambil berkata, “Amirul Mukminin berkata kepadamu, “Gunakanlah untuk sebagian kebutuhanmu,” Mu’adz berkata, “Semoga Allah sambung hubungannya dan merahmatinya.” Lalu Mu’adz berkata kepada pelayannya, “Bawalah ke rumah fulan sekian, ke rumah fulan sekian…dst.”

Lalu istri Mu’adz menengok dan berkata, “Kita juga demi Allah adalah orang-orang miskin, maka berikan juga bagian. Ketika itu tidak tersisa di kain selain dua dinar, lalu diberikan kepadanya.

Maka pelayan ini pulang ke Umar dan menyampaikan kejadian itu, maka Umar pun bergembira sambil berkata, “Mereka adalah bersaudara satu sama lain.”

Saatnya meninggalkan dunia

Abu Ubaidah tinggal di Syam dari sejak ia menaklukannya sampai akhir hayatnya.

Di akhir hayatnya, kaum muslimin yang berada di Syam tertimpa wabah thaun yang dikenal dengan Tha’un Amwas, sehingga merenggut banyak nyawa kaum muslimin. Ketika itu Umar bin Khaththab mengkhawatirkan keadaan kaum muslimin, dan terutama sekali terhadap diri Abu Ubaidah, maka dikirimnya surat agar ia kembali ke Madinah sesegera mungkin, lalu Abu Ubaidah memahami isi surat itu dan berkata kepada kawan-kawannya, “Sesungguhnya Amirul mukminin ingin tetap kekal sesuatu yang tidak kekal,” yakni ia ingin aku selamat dari thaun dan tetap hidup padahal ia tahu bahwa kita akan mati semuanya baik karena tha’un atau lainnya.

Abu Ubaidah kemudian menyampaikan uzurnya tidak bisa mendatangi Umar bin Khaththab dan mengirimkan surat kepadanya, “Aku berada dalam tentara kaum muslimin, dan aku tidak membenci mereka.” Ketika surat itu sampai kepada Umar, maka ia menangis.

Setelah itu Abu Ubaidah meninggal dunia dan wabah tha’un pun hilang.

Suatu ketika sampai berita wafatnya Abu Ubaidah ke telinga Umar, lalu Umar menangis dan mendoakan rahmat dan ampunan untuknya.

Demikianlah Abu Ubaidah, ia wafat setelah hidupnya diisi dengan kezuhudan, kewaraan, pengorbanan, dan jihad di jalan Allah Azza wa Jalla.

Angan-angan Umar bin Khaththab

Umar sangat bersedih atas wafatnya Abu Ubaidah ibnul Jarrah. Suatu hari ia berkata kepada kawan-kawannya, “Silahkan sampaikan harapan!” maka sebagian mereka berkata, “Aku ingin kalau sekiranya dunia ini dipenuhi emas, lalu aku infakkan di jalan Allah.” Umar berkata, “Silahkan yang lain!” Lalu ada seorang yang berkata, “Aku ingin kalau dunia ini dipenuhi mutiara atau permata, lalu aku infakkan di jalan Allah dan aku sedekahkan.” Lalu Umar berkata, “Silahkan yang lain lagi!” Orang-orang pun berkata, “Kami tidak tahu lagi wahai Umar.” Umar menjawab, “Aku ingin, kalau sekiranya dunia dipenuhi orang-orang semisal Abu Ubaidah ibnul Jarrah.” (Diriwayatkan oleh Hakim, ia menshahihkannya dan disepakati oleh Dzahabi)

Ketika Umar akan wafat ia berkata, “Kalau saja Abu Ubaidah masih hidup, tentu aku angkat ia sebagai khalifah, sehingga jika Allah bertanya kepadaku ‘Mengapa engkau angkat dia sebagai khalifah?” Aku menjawab, “Aku mengangkat untuk mereka orang terpercaya umat ini.”

Semoga Allah meridhai Abu Ubaidah ibnul Jarraj dan mengumpulkan kita bersamanya di surga Firdaus.

Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam

Marwan bin Musa

Maraji: Maktabah Syamilah versi 3.45, Ashabul Rasul Lil Athfal (Mahmud Al Mishri), dll.

Kisah Sa’id bin Zaid

Minggu, 24 April 2022

 بسم الله الرحمن الرحيم



Kisah Sa’id bin Zaid

radhiyallahu 'anhu

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Berikut kisah Sa’id bin Zaid radhiyallahu 'anhu, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.

Mengenal Sa’id bin Zaid radhiyallahu anhu

Beliau termasuk As Sabiqunal Awwalun (orang-orang yang pertama masuk Islam)

Beliau juga termasuk sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk surga.

Beliau hadir dalam semua peperangan bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam selain dalam perang Badar, karena ketika itu ia mendapatkan tugas lain dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Beliau hadir dalam pengepungan Damaskus dan berhasil menaklukannya, lalu Abu Ubaidah ibnul Jarrah mengangkatnya sebagai gubernurnya.

Beliau itulah Sa’id bin Zaid radhiyallahu anhu.

Tanah yang baik akan mengeluarkan tanaman yang baik (Mengenal ayah Sa’id)

Ayah Sa’id, yaitu Zaid bin Amr bin Nufail adalah seorang yang berbeda sendiri di zamannya. Ketika orang-orang menyembah patung, namun ia hanya menyembah Allah Yang Mahaesa. Dari tulang shulbinya terlahirlah sosok anak yang mulia, yaitu Sa’id bin Zaid yang menjadi salah seorang yang dijamin masuk surga oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Zaid bin Amr adalah seorang yang mencegah dikuburnya bayi perempuan hidup-hidup, ia pernah berkata kepada seorang laki-laki yang hendak mengubur bayinya yang perempuan, “Jangan engkau bunuh dia! Biarkan aku yang menanggung biaya hidupnya!” Lalu ia mengambilnya. Jika bayi ini telah besar, maka ia berkata kepada ayahnya, “Jika engkau mau, aku akan serahkan dia kepadamu. Jika engkau mau, aku juga siap menanggung biaya hidupnya.” (Disebutkan oleh Bukhari secara mu’allaq no. 3838 dalam Al Manaqib, dan Hakim, ia memaushulkannya dan menshahihkannya, serta disepakati oleh Dzahabi)

Zaid juga mencela keadaan kaum Quraisy, ia mengatakan, “Kambing adalah ciptaan Allah. Allah yang menurunkan air untuknya, menumbuhkan tanaman untuknya, namun mengapa kalian menyembelihnya atas nama selain Allah?!”

Suatu hari kaum Quraisy berkumpul dalam acara hari raya mereka di hadapan patung yang mereka agungkan, mereka menghadiahkan korban untuknya, dan beritikaf di dekatnya.

Kemudian ada empat orang dari kalangan mereka yang berkumpul namun berada jauh dari mereka (kaum Quraisy). Empat orang ini adalah Zaid bin Amr bin Nufail, Waqarah bin Naufal, Ubaidullah bin Jahsy, dan Utsman bin Huwairits, lalu yang satu berkata kepada yang lain, “Kalian tahu bahwa kaum kita tidak berada di atas kebenaran. Mereka salah dalam menjalankan agama nenek moyang mereka Nabi Ibrahim; bagaimana kita akan berthawaf di batu yang tidak memberikan manfaat dan tidak bisa menimpakan madharat (bahaya), tidak bisa mendengar dan tidak bisa melihat? Ayo kita keliling ke beberapa negeri untuk mencari agama yang benar.”

Ketika itu Waqarah bin Naufal memeluk agama Nasrani.

Ubaidullah bin Jahsy tetap berada dalam kesamaran sampai kemudian ia masuk Islam, lalu berhijrah bersama kaum muslimin ke Habasyah bersama istrinya yaitu Ummu Habibah binti Abi Sufyan. Namun ketika Ubaidullah tiba di Habasyah, maka ia berpindah agama menjadi Nasrani hingga wafat di sana, wal iyadz billah.

Sedangkan Utsman bin Huwairits, maka ia mendatangi Kaisar raja Romawi dan masuk Nasrani sehingga kedudukannya di sana sangat dihormati.

Adapun Zaid bin Amr bin Nufail, maka ia berdiam; tidak masuk agama Yahudi maupun Nasrani serta meninggalkan agama kaumnya. Ia pun menjauhi patung, bangkai, darah, hewan yang disembelih untuk patung atau berhala, serta ia melarang mengubur hidup-hidup bayi perempuan, ia berkata, “Aku tetap menyembah Tuhan Nabi Ibrahim.”

Dari Asma binti Abu Bakar radhiyallahu anha ia berkata, “Aku melihat Zaid bin Amr bin Nufai sebagai seorang yang sangat tua yang menyandarkan punggungnya ke ka’bah sambil berkata, “Wahai kaum Quraisy! Demi Allah yang nyawa Zaid bin Amr di Tangan-Nya. Tidak ada di antara kalian yang berada di atas agama Nabi Ibrahim selain aku,” lalu ia berkata, “Ya Allah, kalau aku tahu cara ibadah yang Engkau cintai, tentu aku melakukannya, akan tetapi aku tidak tahu,” maka  ia pun sujud di atas telapak tangannya.”

Zaid bin Amr bin Nufail juga putera paman Umar bin Khaththab, dimana ia hidup di masa sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Ia berada di atas agama yang hanif, yaitu ajaran Nabi Ibrahim alaihis salam. Ketika itu Khaththab ayah Umar sering menyakitinya dan menyiksanya, karena ia tidak mau menyembah patung seperti yang dilakukan orang-orang. Khaththab juga mencelanya karena tidak di atas agama kaumnya.

Suatu hari Khaththab mengirimkan beberapa pemuda di antara para pemuda Quraisy dan berkata kepada mereka, “Jangan biarkan dia masuk ke Makkah!” Maka Zaid pun masuk ke Mekkah secara sembunyi-sembunyi.

Pernah suatu ketika Zaid keluar untuk mencari agama yang benar. Ia berkeliling ke berbagai negeri sampai tiba di wilayah Syam, lalu ia bertemu dengan seorang rahib yang paling pandai tentang agama Nasrani dan bertanya tentang hanifiyyah agama Nabi Ibrahim, maka rahib itu menjawab, “Sesungguhnya engkau mencari agama yang tidak engkau temukan seorang pun yang membawamu kepadanya saat ini. Akan tetapi, telah tiba zaman seorang nabi akan keluar di negeri tempat asalmu, dimana ia akan diutus membawa agama Nabi Ibrahim yang hanif, maka bergabunglah bersamanya, karena dia akan diutus sekarang. Inilah zamannya.”

Ketika Zaid di perjalanan menuju Mekkah, dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah diutus, namun ia masih belum tahu Beliau padahal ia ingin bertanya tentang Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dimana jika ia tahu bahwa Beliau telah diutus, maka ia ingin masuk Islam mengikutinya. Akan tetapi takdir mendahului, saat ia menuju Mekkah ternyata sebagian orang Badui membunuhnya.

Menjelang kematiannya, ia hadapkan pandangannya ke langit sambil berkata, “Ya Allah, jika Engkau halangi aku dari kebaikan ini, maka jangan Engkau halangi anakku dari kebaikan ini.”

Allah Ta’ala pun mengabulkan doanya sehingga anaknya yaitu Sa’id termasuk orang-orang yang segera masuk Islam (As Sabiqunal Awwalun). Ia telah masuk Islam sebelum Nabi shallallahu alaihi wa sallam mendatangi rumah Al Arqam.

Masuk Islam pula bersama Sa’id istriya, yaitu Fatimah binti Khaththab saudari Umar bin Khaththab.

Ketika itu Sa’id dan istrinya menyembunyikan keislaman karena khawatir terhadap tindakan kaum Quraisy dan khawatir terhadap tindakan Umar bin Khaththab. Namun akhirnya Umar tahu bahwa adiknya masuk Islam, maka ia menyakiti adiknya dan suaminya hingga kemudian Umar menyesal dan menjadi sebab Umar masuk ke dalam Islam, meskipun sebab utama masuk Islamnya Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu adalah doa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

«اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ بِأَحَبِّ هَذَيْنِ الرَّجُلَيْنِ إِلَيْكَ بِأَبِي جَهْلٍ أَوْ بِعُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ» قَالَ: وَكَانَ أَحَبَّهُمَا إِلَيْهِ عُمَرُ

“Ya Allah, muliakanlah Islam dengan orang yang lebih Engkau cintai dari dua orang ini, yaitu Abu Jahl atau Umar bin Khaththab.”

Ketika itu orang yang lebih dicintai Allah adalah Umar. (Hr. Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)

Suatu hari Sa’id bin Zaid bin Amr bin Nufail dan Umar bin Khaththab pergi mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sambil berkata kepada Beliau, “Apakah kita perlu memohonkan ampun untuk Zaid bin Amr?” Beliau menjawab, “Ya. Sesungguhnya ia akan dibangkitkan sebagai satu umat sendiri.” (Hr. Ahmad, dinyatakan isnadnya shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir)

Hari pun berlalu, Sa’id bersama istrinya pun berhijrah ke Madinah dan berbahagia karena dapat tinggal di dekat Nabi shallallahu alaihi wa sallam sehingga dapat mengambil kebaikan dari Beliau.

Keutamaan yang besar

Suatu hari Sa’id bin Zaid naik ke atas gunung Hira bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan sebagian para sahabat, lalu gunung Hira pun bergetar, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada gunung Hira, “Tenanglah engkau wahai Hira!” karena tidak ada di atasmu selain Nabi, orang yang shiddiq, atau seorang yang akan mati syahid.” Ketika itu, di atas gunung Hira ada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad, Abdurrahman, dan Sa’id bin Zaid.” (Hr. Abu Dawud, Ahmad, dan dishahihkan oleh Al Albani)

Jihad yang dilakukan Sa’id bin Zaid radhiyallahu anhu

Sa’id bin Zaid radhiyallahu anhu hadir dalam semua peperangan selain dalam perang Badar. Hal itu karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberinya tugas lain. Ketika kembali, ia menemui Nabi shallallahu alaihi wa sallam baru pulang dari perang Badar, lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberikan bagian ghanimah dari perang Badar sehingga ia seperti hadir dalam perang itu.

Sa’id juga hadir dalam perang-perang yang terjadi sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mencari kesyahidan di jalan Allah. Ia berangkat berjihad di berbagai negeri Persia sampai kaum muslimin meraih kemenangan terhadap Persia dan api Majusi pun padam dengan karunia Allah Azza wa Jalla.

Ketika berbagai penaklukan di negeri Persia selesai, Sa’id terus melanjutkan jihadnya dan berangkat ke negeri Syam untuk melawan Romawi.

Pahlawan perang Ajnadin

Sa’id bin Zaid menjadi komandan pasukan berkuda pada perang Ajnadin. Beliaulah yang mengusulkan kepada Khalid bin Walid untuk memulai peperangan pada perang Ajnadin karena pasukan Romawi telah melepaskan panahnya kepada kaum muslimin. Ketika itu Sa’id bin Zaid berteriak kepada Khalid bin Walid, “Mengapa kita jadikan diri kita sebagai sasaran panah pasukan Romawi?!” Maka Khalid pun menyeru pasukan kaum muslimin, “Seranglah mereka dengan menyebut nama Allah!” Ketika itu pasukan kaum muslimin menyerang dengan kuatnya dan bersabar terhadap panah musuh sehingga pasukan Romawi terkejut dan terpukul mundur, lalu mereka dihabisi oleh pasukan kaum muslimin dan pasukan kaum muslimin berhasil menguasai kamp tentara Romawi.

Singa di perang Yarmuk

Dalam perang Yarmuk yang menjadi jantung pertahanan Romawi, namun mereka juga kalah sehingga seluruh wilayah Syam berhasil dikuasai kaum muslimin. Ketika itu, jumlah kaum muslimin hanya 24.000 personil, sedangkan pasukan Romawi 120.000 personil, namun mereka menghadapi kaum muslimin seperti gunung yang kokoh. Pasukan Romawi diiringi oleh para uskup, para komandan pasukan, dan para pendeta sambil membawa salib seraya mengeraskan lagu-lagu ibadah mereka dan didengungkan oleh pasukan di belakangnya sehingga suara mereka seperti suara guruh.

Ketika kaum muslimin menyaksikan hal itu, mereka merasakan sedikit kekhawatiran dan ketakutan. Ketika itulah bangkit Abu Ubaidah Ibnul Jarrah mendorong kaum muslimin untuk berperang, ia berkata, “Wahai hamba-hamba Allah! Tolonglah agama Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan meneguhkan pendirian kalian. Wahai hamba-hamba Allah! bersabarlah, karena sabar menyelamatkan dari kekafiran dan membuat Allah ridha. Tetaplah diam selain Dzikrullah pada diri kalian sampai aku memerintahkan kalian insya Allah.”

Sa’id berkata, “Ketika itulah keluar seseorang dari barisan kaum muslimin dan berkata kepada Abu Ubaidah, “Sesungguhnya saya telah berazam untuk mati syahid, lalu apakah engkau punya pesan yang ingin engkau sampaikan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam?” Abu Ubaidah menjawab, “Ya, engkau sampaikan salam dariku dan dari kaum muslimin, dan engkau sampaikan kepada Beliau, “Wahai Rasulullah, kami telah memperoleh apa yang dijanjikan Rabb kami.” Sa’id menjawab, “Aku belum mendengar kalimatnya secara sempurna, ternyata ia langsung mengambil pedangnya dan mendatangi musuh-musuh Allah, sehingga aku juga melempar diriku dengan keras ke tanah, aku bertekuk lutut, dan memegang tombakku. Ketika pasukan Romawi datang dan mendekat, aku segera menyerang mereka sambil menusuk dengan tombakku setiap tentara Romawi yang menghampiriku sehingga aku berhasil membunuh mereka dalam jumlah besar. Ketika itu, Allah  mencabut dariku rasa takut, dan kami terus berperang melawan pasukan Romawi sampai Allah memberikan kemenangan kepada pasukan kaum muslimin.”

Saat itu Abu Ubaidah ibnul Jarrah sangat bergembira sekali karena kemenangan itu dan bertambah gembira lagi dengan sikap Sa’id bin Zaid ketika itu, sehingga untuk penaklukan Damaskus, ia menyerahkan kepada Sa’id bin Zaid dan mengangkatnya sebagai gubernurnya sampai pada pemerintahan Bani Umayyah.

Allah mengabulkan doanya

Pada masa Daulah Umawiyyah Sa’id bersedih karena telah berpisah dengan banyak para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang telah wafat mendahuluinya. Kesedihannya bertambah ketika terjadi fitnah di negeri kaum muslimin sehingga ia ingin pulang ke Madinah untuk tinggal di sana yang ketika itu gubernurnya adalah Marwan bin Hakam.

Suatu hari ada seorang wanita bernama Arwa binti Uwais yang menuduh Sa’id bin Zaid mencuri sebagian tanahnya dan menggabungkan tanah miliknya kepada tanah Sa’id.

Wanita ini pun mengadukan kepada Marwan bin Hakam, maka Sa’id berkata, “Apakah aku akan mengambil tanah itu padahal aku telah mendengar hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam?” Marwan berkata, “Hadits apa yang engkau dengar dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam?” Sa’id berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الْأَرْضِ ظُلْمًا، طُوِّقَهُ إِلَى سَبْعِ أَرَضِينَ»

“Barang siapa yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka akan dikalungkan tujuh bumi kepadanya (pada hari Kiamat).”

Marwan pun berkata kepadanya, “Saya tidak butuh lagi bukti setelah ini.”

Sa’id pun berkata, “Ya Allah, jika wanita ini berdusta, maka butakanlah matanya dan matikanlah di tanahnya.”

Maka wanita ini sebelum matinya matanya buta, lalu ketika ia berjalan di tanahnya, tiba-tiba ia jatuh ke dalam lobang dan meninggal dunia. (Hr. Muslim)

Saatnya meninggalkan dunia

Setelah hidupnya dipenuhi oleh jihad dan pengorbanan maka tiba saatnya Sa’id meninggalkan dunia ini menghadap Allah Azza wa Jalla untuk menjadi penghuni surga-Nya.

Sa’id wafat di ‘Aqiq, lalu dibawa ke Madinah, dimandikan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash. Saat itu Sa’ad dan Ibnu Umar turun ke dalam kuburnya, ia wafat pada tahun 50 atau 51 H dengan usia tujuh puluh tahun lebih, semoga Allah meridhainya dan mengumpulkan kita bersamanya di surga Firdaus.

Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam

Marwan bin Musa

Maraji: Maktabah Syamilah versi 3.45, Ashabul Rasul Lil Athfal (Mahmud Al Mishri), dll.
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger