Kaum Salaf dalam Beramar Ma’ruf dan Bernahi Munkar

Kamis, 29 Januari 2015
بسم الله الرحمن الرحيم
Kaum Salaf dalam Beramar Ma’ruf dan Bernahi Munkar
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini contoh keteladanan kaum Salaf dalam beramar ma’ruf dan bernahi munkar yang kami ambil dari kitab Aina Nahnu Min Akhlaqis Salaf karya Abdul Aziz Al Julail dan Bahauddin Aqil, semoga Allah menjadikan penerjemahan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Keteladanan kaum salaf dalam beramar ma’ruf dan bernahi munkar
Ubadah bin Al Walid berkata, “Ubadah bin Ash Shamit pernah bersama Mu’awiyah. Pada suatu saat, azan Jum’at dikumandangkan, lalu khatib bangkit dan memuji Mu’awiyah serta menyanjungnya, lalu Ubadah berdiri dengan menggenggam tanah di tangannya dan melemparkannya ke mulut khatib. Melihat hal itu, Mu’awiyah pun marah, Ubadah berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau tidak bersama kami ketika kami membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Aqabah, yaitu berbaiat untuk mendengar dan taat baik ketika kami semangat maupun malas, agar kami mengalah, tidak menentang orang yang memegang kendali suatu urusan, dan selalu menegakkan kebenaran di mana saja kami berada tanpa takut celaan orang yang mencela demi membela agama Allah. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمُ الْمَدَّاحِيْنَ فَاحْثُوْا فِي أَفْوَاهِهِمُ التُّرَابَ
“Jika kalian melihat orang-orang yang suka memuji-muji, maka lemparkanlah tanah ke mulutnya.”
(Siyar A’lamin Nubala 2/7. Hadits Ubadah tentang bai’at disebutkan dalam Shahih Bukhari pada kitab Al Ahkam, bab kaifa yubayi’ul imam annas hadits no. 7199, 2000. Sedangkan hadits perintah melemparkan tanah disebutkan dengan lafaz yang mirip dengannya dalam Shahih Muslim dari hadits Miqdad pada pembahasan Az Zuhd war Raqa’iq bab An Nahyu ‘anil mad-h).
*****
Abdullah bin Ma’qil berkata, “Ibnu Ummi Maktum pernah singgah di rumah seorang wanita Yahudi di kota Madinah yang biasa menemaninya. Tetapi ia mencaci Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di depannya, maka Ibnu Ummi Maktum menarik wanita itu, lalu memukul dan membunuhnya. Ia menyampaikan masalah itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil berkata, “Demi Allah, wanita itu meskipun biasa menemaniku, tetapi ia mencaci-maki Allah dan Rasul-Nya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semoga Allah menjauhkan wanita itu (dari rahmat-Nya). Sungguh aku telah menyatakan darahnya sia-sia.”
(Siyar A’lamin Nubala 1/363. Para perawi hadits ini tsiqah (terpercaya). Hadits ini disebutkan pula oleh Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqat (4/158). Hadits ini memiliki syahid dalam riwayat Abu Dawud dari Ali radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan, bahwa ada seorang wanita Yahudi yang mencaci-maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memfitnah Beliau, kemudian ada seorang laki-laki yang mencekiknya hingga mati, maka Rasulullah menyatakan sia-sia darahnya. Hadits ini ada di no. 4362 dalam Al Hudud, juga pada hadits no. 4361 dari Ibnu Abbas. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits kedua dalam Shahih Abi Dawud no. 3665. Namun Beliau memiliki dua pendapat yang berbeda pada hadits yang pertama. Dalam Irwa’ul Ghalil no. 1251 beliau menshahihkan isnadnya, namun dalam Dha’if Abi Dawud no. 937, beliau mendhaifkannya, wallahu a’lam). 
*****
Al Auza’iy berkata, “Telah menceritakan kepadaku Abu Katsir dari ayahnya, ia berkata, “Aku pernah mendatangi Abu Dzar saat ia sedang duduk di Jamratul Wustha. Orang-orang berkumpul di sekeliling Beliau untuk meminta fatwa, lalu ada seseorang yang mendatanginya dan berdiri di hadapannya sambil berkata, “Bukankah Amirul Mukminin telah melarang Anda untuk berfatwa!” Maka Abu Dzar mengangkat kepalanya dan berkata, “Apakah engkau hendak menjadi pengawas bagiku?” Kalau sekiranya engkau letakkan pedang di sini –Beliau berisyarat ke tengkuknya-, lalu aku yakin dapat menyampaikan sabda yang kudengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum engkau menebas leherku, maka aku akan menyampaikan sabda Beliau itu.” (Siyar A’lamin Nubala 2/64)
*****
Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Imam Muhammad bin Al Hubula Hakim kota Barqah, ia pernah didatangi gubernur Barqah dan berkata, “Besok kita berhari raya.” Ibnul Hubula menjawab, “Sampai kita melihat hilal. Aku tidak mau menyuruh mereka berbuka dan menanggung dosa-dosa mereka.” Gubernur berkata, “Tapi itulah titah Khalifah Al Manshur –ketetapan ini berdasarkan pendapat Bani Ubaidiyyah yang berbuka menggunakan hisab; tidak dengan hilal-.” Ibnul Hubula berkata, “Aku tidak akan keluar dan tidak akan ikut shalat.” Maka gubernur memerintahkan seseorang untuk (mengimami) dan berkhutbah, ia juga melaporkan hal yang terjadi kepada Khalifah Al Manshur. Kemudian Khalifah meminta agar Hakim kota Barqah dibawa ke hadapannya, lalu Khalifah berkata kepadanya, “Lepaskanlah diri dari urusan ini, dan aku akan memaafkanmu.” Namun Beliau menolak, maka Khalifah memerintahkannya dijemur di terik matahari sampai mati,” saat ia meminta minum, maka tidak diberi, kemudian mereka menyalibnya di atas sebuah kayu. Semoga laknat Allah menimpa orang-orang yang zalim.” (Siyar A’lamin Nubala 15/374).
*****
Dari Al Hasan, bahwa Ziyad pernah mengirim Al Hakam bin Amr untuk menaklukkan Khurasan. akhirnya Allah menaklukkan Khurasan untuk mereka dan mereka memperoleh harta yang banyak, lalu Ziyad menuliskan surat kepadanya, “Amma ba’du, sesungguhnya Amirul Mukminin menuliskan surat kepadaku agar aku menyisihkan yang kuning (emas) dengan yang putih (perak), dan agar engkau tidak membagikan kepada manusia emas dan perak.” Maka ia pun menjawab surat itu, “Salamun ‘alaik. Ammma ba’du, sesungguhnya engkau menulis dan menyebut-nyebut surat dari Amirul Mukminin. Dan sesungguhnya aku mendapatkan kitab Allah mendahului surat Amirul Mukminin. Demi Allah, seandainya langit dan bumi runtuh menimpa seorang hamba, lalu ia bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla, tentu Allah akan memberikan solusi dan jalan keluar dari musibah itu, wassalamu alaik.” (Shifatush Shofwah 1/672).
*****
Dari Abul Mundzir Ismail bin Umar ia berkata, “Aku mendengar Abu Abdurrahman Al Umari berkata, “Sesungguhnya termasuk kelalaianmu adalah berpalingnya dirimu dari Allah, yaitu ketika engkau melihat sesuatu yang membuat-Nya murka, lalu engkau biarkan. Engkau tidak menyuruh yang ma’ruf dan tidak mencegah yang munkar karena takut kepada manusia yang tidak berkuasa menimpakan bahaya maupun memberikan manfaat.”
Abu Abdurrahman Al Umariy juga berkata, “Barang siapa yang meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar karena takut kepada makhluk, maka Allah Ta’ala akan mencabut darinya sifat kewibawaan. Kalau ia menyuruh sebagian anaknya atau sebagian budaknya, maka perintahnya akan diremehkan.” (Shifatush Shofwah 2/181)       .
*****
Abdurrahman Rustah berkata, “Aku pernah bertanya kepada Ibnu Mahdiy tentang seseorang yang berbulan madu dengan istrinya; bolehkah ia meninggalkan shalat berjamaah beberapa hari?” Beliau menjawab, “Tidak boleh, meskipun hanya satu shalat.”
Abdurrahman Rustah berkata, “Pada pagi hari aku pernah mendatangi Ibnu Mahdi saat puterinya berbulan madu, ia keluar dan mengumandangkan azan, lalu berjalan mendatangi pintu kamar pasangan suami-istri baru itu. Ibnu Mahdiy berkata kepada pelayannya, “Katakan kepada keduanya, “Hendaknya mereka berdua keluar untuk shalat,” lalu kaum wanita dan para budak wanita keluar sambil berkata, “Subhaanallah. Ada apa ini?” Ibnu Mahdi berkata, “Aku tetap akan berada di sini sampai keduanya keluar untuk shalat.” Maka keduanya pun keluar setelah Beliau shalat, lalu Beliau memerintahkan keduanya digiring ke masjid  di luar kampung tersebut. (Siyar A’lamin Nubala 9/204).
*****
Imam Al Auza’iy berkata, “Abdullah bin Ali (seorang raja yang kejam) pernah mengutus seseorang kepadaku. Hal itu sangat menyusahkanku. Maka aku pun datang dan menemuinya. Waktu itu, manusia terbagi menjadi dua kelompok.
Abdullah bin Ali berkata, “Apa pendapatmu tentang jalan keluar dan persoalan yang kami hadapi?”
Al Auza’i menjawab, “Semoga Allah memperbaiki keadaan baginda. Antaraku dan antara Dawud bin Ali pernah terjalin hubungan kasih sayang.”
Abdullah berkata, “Kamu harus beritahukan kepadaku.”
Aku (Al Auza’i) berpikir sejenak, lalu aku berkata, “Aku harus bersikap jujur kepadanya. Ketika aku mengingat-ingat akan mati, aku pun meriwayatkan hadits dari Yahya bin Sa’id tentang masalah niat. Ketika itu di tangan Abdullah ada sebatang kayu yang ia ketuk-ketukkan ke tanah. Kemudian Beliau bertanya lagi, “Wahai Abdurrahman! Apa pendapatmu tentang membunuh penghuni rumah ini?” Aku menjawab, “Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Marwan dari Mutharrif bin Asy Syikhkhir, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihiwa sallam, Beliau bersabda,
“Tidak  halal membunuh seorang muslim kecuali karena tiga;...dst.” (yakni karena sudah menikah lalu berzina, karena membunuh sesama muslim, dan meninggalkan agamanya/murtad).
Abdullah berkata, “Beritahukanlah kepadaku tentang kekhalifahan, apakah hal itu adalah pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami?” 
Al Auza’i menjawab, “Jika memang ada pesan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu Beliau tidak akan memberikan kepada yang lain mendahului Ali radhiyallahu ‘anhu.”
Abdullah bertanya lagi, “Apa pendapatmu tentang harta Bani Umayyah?”
Al Auza’i menjawab, “Jika harta itu halal bagi mereka, maka harta itu haram bagimu. Jika bagi mereka haram, maka bagimu lebih haram lagi.”
Maka Abdullah memerintahkan untuk mengusirku. (Siyar A’lamin Nubala 7/124-125).
*****
Dari Sa’id bin Sulaiman ia berkata, “Di Mekkah, aku dahulu tinggal di lorong Syathwa. Di samping rumahku, tinggallah Abdullah bin Abdul Aziz Al Umariy. Suatu hari Harun Ar Rasyid pergi haji, lalu ada seorang yang berkata kepada Abdullah Al Umariy, “Wahai Abu Abdurrahman! Lihat itu Amirul Mukminin, ketika ia hendak bersa’i, tempat sa’inya telah disiapkan.”
Abdullah Al Umariy pun berkata kepada orang itu, “Semoga Allah tidak memberikan pahala kepadamu atas apa yang engkau ucapkan kepadaku. Engkau telah memberikan kepadaku persoalan yang tidak aku butuhkan. Lalu Beliau melepaskan sandalnya dan berdiri. Aku segera mengikutinya. Kemudian Harun hendak beranjak dari Marwah menuju Shafa, maka Abdullah Al Umariy segera berteriak, “Wahai Harun!” Saat Harun melihatnya, maka Harun berkata, “Labbaik, wahai pamanku.” Beliau berkata, “Naiklah ke Shafa.” Saat Harun menaikinya, Beliau berkata, “Arahkanlah pandanganmu ke Baitullah.” Harun berkata, “Sudah aku lakukan.” Beliau berkata, “Berapa jumlah mereka?” Khalifah Harun balik bertanya, “Siapa yang bisa menghitung jumlah mereka?” Beliau kembali bertanya, “Berapa banyak lagi orang yang seperti mereka?” Khalifah menjawab, “Sejumlah orang yang hanya bisa dihitung oleh Allah.” Maka Abdullah Al Umariy berkata, “Ketahuilah wahai laki-laki! Masing-masing mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya sendiri, sementara engkau sendiri akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka semuanya. Coba perhatikan, bagaimana jadinya dirimu nanti?” Maka Khalifah Harun pun menangis dan duduk, lalu mereka memberikan kepadanya sapu tangan untuk menyeka air matanya.
Abdullah Al Umariy berkata, “Aku bisa menuturkan lagi yang lain.” Harun berkata, “Katakanlah wahai pamanku!” Abdullah Al Umari berkata, “Demi Allah, sesungguhnya seorang laki-laki benar-benar menghambur-hamburkan hartanya, maka pantas jika hartanya dibekukan. Lantas, bagaimana hukum orang yang menghambur-hamburkan harta kaum muslimin?” Abdullah Al Umariy pun pergi, sedangkan Khalifah Harun menangis.” (Shifatush Shafwah 2/182)
*****
Muqatil bin Shalih Al Khurasaniy berkata, “Aku pernah masuk menemui Hammad bin Salamah. Ternyata di rumahnya hanya ada tikar yang biasa didudukinya, mushaf Al Qur’an yang biasa dibacanya, kantong yang terdapat ilmu, dan wadah untuk ia berwudhu. Ketika aku duduk di sampingnya, tiba-tiba ada seorang yang mengetuk pintu, lalu Beliau berkata, “Wahai puteriku! Keluarlah dan lihat siapa yang datang.” Puterinya berkata, “Utusan Muhammad bin Sulaiman.” Hammad berkata, “Katakan kepadanya, “Masuklah sendiri saja.” Maka ia pun masuk dan menyerahkan surat yang isinya,
Bismillahirrahmanirrahim, dari Muhammad bin Sulaiman kepada Hammad bin Salamah. Amma ba’du, semoga pada pagi harimu ini Allah memberikan keadaan seperti keadaan para wali-Nya dan orang-orang yang taat kepada-Nya. Sesungguhnya kami punya masalah, maka datanglah kepada kami. Kami ingin bertanya kepadamu, wassalam.”
Hammad berkata, “Wahai puteriku! Ambilkan tinta.” Lalu ia berkata, “Baliklah surat itu dan tulislah di sana, “Amma ba’du, engkau juga semoga pada pagi harimu ini Allah memberikan keadaan seperti keadaan para wali-Nya dan orang-orang yang taat kepada-Nya. Sesungguhnya kami mendapati para ulama tidak mendatangi seorang pun. Jika ada masalah, maka datanglah kepada kami dan silahkan tanya kepada kami tentang masalah yang engkau hadapi. Jika engkau mendatangi kami, maka janganlah kamu datang kepadaku selain sendiri saja, dan jangan kamu datang dengan membawa pasukan berkuda dan pejalan kaki sehingga aku tidak jadi memberimu nasihat dan tidak tidak juga memberi nasihat kepada diriku sendiri, wassalam.”
Muqatil berkata, “Saat aku bersama Beliau, tiba-tiba ada yang mengetuk pintunya, lalu Hammad berkata, “Wahai puteriku! Keluarlah, lihat siapa orang ini?” Puterinya menjawab, “Dia adalah Muhammad bin Sulaiman.” Hammad berkata, “Katakan kepadanya agar masuk sendiri saja.” Ia pun masuk dan mengucapkan salam, lalu duduk di hadapannya. Kemudian Muhammad berkata, “Mengapa setiap kali aku memandangmu, hatiku dipenuhi rasa takut?” Hammad berkata, “Aku mendengar Tsabit Al Bannani berkata, “Aku mendengar Anas bin Malik berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْعَالِمَ إِذَا أَرَادَ بِعِلْمِهِ وَجْهَ اللهِ عَزَّ وَجَلَ هَابَهُ كُلُّ شَيْءٍ، وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَكْتَنِزَ بِهِ الْكُنُوْزَ هَابَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ
“Sesungguhnya seorang ulama, jika dalam ilmunya mencari keridhaan Allah Azza wa Jalla, maka segala sesuatu akan segan kepadanya. Tetapi jika maksudnya dalam ilmunya itu adalah menyimpan harta benda dunia, maka ia akan takut kepada segala sesuatu.”
(Kanzul Ummal 16/630 hadits no. 46131, ia menisbatkannya kepada Ibnu Asakir dan Ibnun Najjar. Az Zubaidiy berkata, “Al Mundziri berkata, “Dalam hal ini ada riwayat dari Ali dan lainnya, dimana satu sama lain saling menguatkan.” Lihat Takhrij Ihya Ulumiddin 2/1087)
Kemudian Muhammad bin Sulaiman berkata, “Ini uang 40.000 dirham, silahkan Anda ambil untuk memenuhi kebutuhan Anda.” Hammad berkata, “Kembalikanlah kepada orang yang pernah engkau zalimi.” Muhammad berkata, “Demi Allah, aku tidaklah memberikannya kepadamu melainkan dari hasil warisanku.” Hammad berkata, “Aku tidak membutuhkannya. Singkirkanlah uang itu dariku. Semoga Allah menyingkirkan dosa-dosamu.” Muhammad berkata, “Kalau begitu bagi-bagikanlah.” Hammad berkata, “Boleh jadi jika aku membagikannya secara adil, lalu ada sebagian orang yang tidak memperoleh jatah berkata, “Sesungguhnya dia (Hammad) tidak adil,” singkirkanlah harta itu dariku, semoga Allah menyingkirkan dosa-dosamu.” (Shifatush Shofwah 3/361).
Wallahu a’lam shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahabihi wa sallam.
Disarikan dari kitab  Aina Nahnu min Akhlaqis salaf  oleh Marwan bin Musa

Akhlak Rifq (Lembut)

Minggu, 25 Januari 2015
بسم الله الرحمن الرحيم
Akhlak Rifq (Lembut)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan tentang akhlak Rifq (lembut). Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Ada seorang Arab baduwi yang telah masuk Islam, ia pernah datang untuk shalat di masjid bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu ia berdiri di pojok masjid dan buang air kecil (di sana), para sahabat pun bangkit dan hendak memukulnya, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada mereka,
دَعُوْهُ، وَأَرِيْقُوْا عَلَى بَوْلِهِ ذَنُوْبًا مِنْ مَاءٍ -أَوْ سِجِلاَّ (دَلْوًا) مِنْ مَاءٍ- فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِيْنَ، وَلَمْ تُبْعَثُوْا مُعَسِّرِيْنَ
Biarkanlah dia! Tuangkanlah kepada kencingnya seember air atau setimba air, karena kalian diutus untuk memudahkan, bukan diutus untuk menyusahkan.” (HR. Bukhari)
Hakikat Kelembutan
Kelembutan adalah bersikap lembut dalam berbagai perkara dan jauh dari sikap keras dan kasar. Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan menghiasi diri dengan akhlak lembut dalam semua perkara, Dia berfirman,
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Jadilah kamu pemaaf, suruhlah orang lain mengerjakan yang ma’ruf, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al A’raaf: 199)
Dia juga berfirman,
وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushshilat: 34)
Lembutnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling lembut dan paling halus. Dari Anas bin Malik dia berkata, "Saya berjalan bersama Rasulullah Shallallahu'alaihi wa Sallam, ketika itu beliau mengenakan kain  Najran yang kasar ujungnya, lalu ada seorang Arab badui (dusun) yang menemui Beliau. Langsung ditariknya selendang Beliau dengan kuat hingga saya melihat permukaan bahu beliau membekas oleh ujung kain yang ditarik oleh orang Arab badui itu. Orang Arab badui tersebut lalu berkata, "Wahai Muhammad berikan kepadaku harta yang diberikan Allah padamu,” maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menoleh kepadanya diiringi senyum serta menyuruh salah seorang sahabat untuk memberikan sesuatu kepadanya." (HR. Bukhari)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bercanda dengan Al Hasan dan Al Husain serta mencium keduanya, dan menggendong keduanya di atas pundak Beliau.
Aisyah radhiyallahu 'anha juga pernah menceritakan tentang lembutnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah diberikan dua pilihan kecuali mengambil yang paling ringannya selama tidak ada dosa. Jika di sana terdapat dosa, maka Beliau adalah orang yang paling jauh darinya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga tidak pernah membalas karena dirinya disakiti, kecuali jika larangan Allah dilanggar, maka Beliau pun membalasnya karena Allah Subhaanahu wa Ta'aala. (Muttafaq ‘alaih)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,
يَسِّرُوا ولاَ تُعَسِّرُوا، وبَشِّرُوا ولاَ تُنَفِّرُوْا
“Mudahkanlah dan jangan menyusahkan. Berikanlah kabar gembira dan jangan membuat orang lari.” (Muttafaq ‘alaih)
Macam-macam kelembutan
Kelembutan adalah akhlak yang agung. Tidak ada kelembutan pada sesuatu kecuali kelembutan akan membuatnya bagus dan indah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ
Sesungguhnya kelembutan tidak ada pada sesuatu kecuali akan menghiasnya dan tidaklah dicabut dari sesuatu kecuali akan menjelekkannya. “ (HR. Muslim)
Di antara bentuk sikap lembut yang wajib dimiliki seorang muslim adalah:
1. Lembut kepada manusia
Seorang muslim tidaklah bergaul dengan manusia secara keras, kasar, dan kaku. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah seorang sosok yang paling jauh dari sikap kasar dan keras. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran: 159)
Seorang muslim juga tidak mencaci maki orang lain dan tidak mencela mereka, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah memperingatkan untuk menjauhi perbuatan itu, Beliau bersabda,
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencaci maki seorang muslim adalah suatu kefasikan dan memeranginya adalah suatu kekufuran.” (Muttafaq ‘alaih)
2. Sikap lembut kepada pembantu/pelayan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah seorang yang lembut kepada pembantu, Beliau memerintahkan orang yang memiliki pembantu agar memberinya makan seperti yang ia makan, memakai sesuatu seperti yang ia pakai, dan tidak membebaninya di luar kesanggupannya. Jika ia sampai membebani dengan sesuatu yang tidak disanggupinya, maka ia harus membantunya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang hak pembantu,
مَنْ لَطَمَ مَمْلُوكَهُ أَوْ ضَرَبَهُ فَكَفَّارَتُهُ أَنْ يُعْتِقَهُ
Barang siapa yang menampar budaknya atau memukulnya, maka kaffaratnya adalah dengan memerdekakannya.” (HR. Muslim)
Namun hukumnya sunah.
3. Sikap lembut kepada hewan
Islam melarang menyiksa hewan, burung, dan segala sesuatu yang memiliki ruh. Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu pernah lewat kepada sekumpulan orang yang yang meletakkan ayam di depan mereka dan menjadikannya sebagai sasaran lemparan. Mereka pun mulai melempari ayam itu dengan batu, maka Anas berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang hewan ditahan.” (HR. Muslim)
Maksudnya ditahan, disiksa, diikat dan dilempari batu sampai mati. Dari sini kita mengetahui, bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengutus Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi alam semesta.
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah melewati para pemuda kaum Quraisy yang meletakkan burung di depan mereka, lalu mereka memanahnya. Saat Ibnu Umar melihat mereka, maka mereka pun pergi, lalu Ibnu Umar berkata, “Siapa yang melakukan hal ini? Allah akan melakanat orang yang melakukan hal ini. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menjadikan sesuatu yang memiliki ruh sebagai sasaran.” (HR. Muslim)
Termasuk bersikap lembut kepada hewan adalah menyembelihnya dengan pisau yang tajam agar ia tidak tersiksa. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ
Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat ihsan terhadap segala sesuatu. Jika kalian membunuh (dalam perang), maka perbaguslah cara membunuh, dan jika kalian menyembelih, maka perbaguslah cara menyembelih, dan hendaknya salah seorang di antara kalian menajamkan pisaunya dan menyegarkan hewan sembelihannya.” (Muttafaq ‘alaih)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga menjelaskan, bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengampuni seseorang karena ia memberi minum anjing yang hampir mati karena kehausan. Beliau juga menjelaskan, bahwa ada seorang wanita yang masuk neraka, karena ia mengurung seekor kucing, dimana ia tidak memberinya makan dan minum sampai akhirnya kucing itu mati.
4. Sikap lembut kepada benda mati
Seorang muslim juga bersikap lembut kepada seala sesuatu sampai kepada benda mati, ia pun menjaga alat-alat miliknya dan menyikapi barang yang ada di sekelilingnya dengan lunak dan lembut serta tidak menyiapkannya untuk menjadi rusak karena salah menggunakan dan meremehkannya.
Keutamaan sikap lembut
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendorong bersikap lembut, Beliau bersabda,
إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ
“Sesungguhnya Allah Mahalembut; Dia suka kelembutan pada segala urusan.” (Muttafaq ‘alaih)
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لَا يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لَا يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ
”Sesungguhnya Allah Mahalembut, Dia menyukai kelembutan serta memberikan kepada kelembutan sesuatu yang tidak Dia berikan kepada sikap keras dan memberikan untuk kelembutan sesuatu yang tidak Dia berikan kepada selainnya.” (HR. Muslim)
Seorang muslim dengan kelembutan dan kehalusannya, maka ia menjadi seorang yang jauh dari neraka dan termasuk penghuni surga. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِمَنْ يَحْرُمُ عَلَى النَّارِ أَوْ بِمَنْ تَحْرُمُ عَلَيْهِ النَّارُ عَلَى كُلِّ قَرِيبٍ هَيِّنٍ سَهْلٍ
“Maukah kamu aku beritahukan orang yang haram atas neraka atau neraka diharamkan baginya? Neraka itu diharamkan atas setiap orang yang dekat (dengan manusia), rendah hati, lembut, dan halus akhlaknya.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 2609)
Jika seorang muslim sudah menjadi lembut dengan manusia, maka Allah akan bersikap lembut kepadanya pada hari Kiamat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berdoa,
اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ
“Ya Allah, barang siapa yang memimpin suatu urusan umatku, lalu ia menyusahkannya, maka berikanlah kesusahan kepadanya. Ya Allah, barang siapa yang memimpin suatu urusan umatku, lalu ia bersikap lembut di dalamnya, maka berikanlah kelembutan-Mu kepadanya.” (HR. Muslim)
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': http://islam.aljayyash.net/, Maktabah Syamilah versi 3.45, Modul Akhlak kelas 8 (Penulis), dll.

Mengqadha Shalat Sunah

Jumat, 23 Januari 2015
بسم الله الرحمن الرحيم
Mengqadha Shalat Sunah
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan tentang mengqadha shalat sunah. Semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Mengqadha shalat sunah rawatib sebelum Subuh
Disyariatkan bagi orang yang tertinggal dari dua rakaat sebelum shalat Subuh untuk melakukan shalat sunah tersebut setelah shalat Subuh atau setelah terbit matahari. Namun lebih utama dilakukan setelah terbit matahari. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يُصَلِّ رَكْعَتَيِ الفَجْرِ فَلْيُصَلِّهِمَا بَعْدَ مَا تَطْلُعُ الشَّمْسُ
“Barang siapa yang belum shalat (sunah) dua rakaat fajar, maka hendaklah ia kerjakan setelah matahari terbit.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan dishahihkan oleh Hakim dan Al Albani)
Menurut Syaikh Ibnu Bazmul, bahwa zhahir hadits ini menunjukkan wajibnya melakukan shalat sunah rawatib sebelum fajar ketika tertinggal pada saat matahari telah terbit. Akan tetapi perintah ini dialihkan menjadi sunah berdasarkan hadits berikut,
Dari Qais radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia pernah shalat Subuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ia belum melakukan shalat sunah dua rakaat fajar. Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai salam, ia ikut salam bersama Beliau, kemudian ia bangun lalu mengerjakan shalat sunah dua rakaat fajar, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya namun tidak mengingkarinya. (HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah,  dan dishahihkan oleh Ahmad Syakir dan Al Albani).
Hadits ini menunjukkan bolehnya mengqadha shalat sunah rawatib sebelum Subuh setelah shalat Subuh bagi orang yang belum sempat melakukannya.
Mengqadha shalat sunah rawatib sebelum Zhuhur
Telah ada riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau ketika tertinggal shalat sunah sebelum Zhuhur 4 rakaat, maka Beliau melakukannya setelah shalat Zhuhur.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika belum shalat sunah empat rakaat sebelum Zhuhur, maka Beliau melakukannya setelah Zhuhur.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani)
Hadits tersebut menunjukkan, bahwa barang siapa yang tertinggal shalat sunah empat rakaat sebelum Zhuhur, maka ia melakukannya setelah shalat Zhuhur secara mutlak.
Ada riwayat dalam Sunan Ibnu Majah yang artinya, “Jika Beliau tertinggal empat rakaat sebelum Zhuhur, maka Beliau melakukannya setelah shalat sunah dua rakaat ba’da (setelah) Zhuhur,” namun lafaz ini munkar. Oleh karena itu, mengqadha’ shalat sunah empat rakaat sebelum Zhuhur yang tertinggal disyariatkan setelah shalat Zhuhur secara mutlak sebagaimana diterangkan oleh Al Albani dalam Tamamul Minnah hal. 241.
Mengqadha shalat sunah rawatib dua rakaat setelah Zhuhur
Dari Kuraib, bahwa Ibnu Abbas, Miswar bin Makhramah, dan Abdurrahman bin Azhar radhiyallahu ‘anhum pernah mengutusnya menemui Aisyah radhiyallahu ‘anha, mereka berpesan, “Sampaikan salam dari kami kepadanya! Dan tanyakanlah kepadanya tentang dua rakaat yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah Ashar, demikian juga katakan kepadanya, bahwa kami mendapat kabar bahwa engkau melakukannya, sedangkan berita yang sampai kepada kami adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hal tersebut.” Ibnu Abbas berkata, “Aku dan Umar bin Khaththab sempat memukul orang yang melakukan shalat setelah Ashar.” Kuraib berkata, “Maka aku masuk menemui Aisyah radhiyallahu ‘anha dan aku sampaikan kepadanya pesan mereka.” Lalu Aisyah berkata, “Bertanyalah kepada Ummu Salamah!” Maka aku keluar menemui mereka yang mengutusku dan menyampaikan perkataan Aisyah tadi, lalu mereka menyuruhku mendatangi Ummu Salamah dan berpesan kepadaku seperti pesan mereka saat aku menemui Aisyah, lalu Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, lalu aku pernah melihat Beliau melakukan shalat sunah setelah shalat Ashar, kemudian Beliau masuk menemuiku, sedangkan di dekatku tedapat kaum wanita Anshar dari kalangan Bani Haram, lalu aku kirim seorang budak wanita kepada Beliau dan aku berpesan kepadanya, “Berdirilah di sampingnya dan katakan kepada Beliau, “Ummu Salamah berkata kepada engkau, “Wahai Rasulullah, aku mendengar engkau melarang melakukan shalat setelah shalat Ashar, namun aku melihat engkau melakukannya.” Jika ia berisyarat dengan tangannya, maka mundurlah darinya.” Kemudian budak wanita ini melakukan pesan Ummu Salamah, lalu Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan tangannya, maka budak wanita ini mundur dari Beliau. Setelah Beliau selesai shalat, Beliau bersabda,
يَا بِنْتَ أَبِي أُمَيَّةَ، سَأَلْتِ عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ العَصْرِ، وَإِنَّهُ أَتَانِي نَاسٌ مِنْ عَبْدِ القَيْسِ، فَشَغَلُونِي عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ فَهُمَا هَاتَانِ
“Wahai puteri Abu Umayyah, apakah engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Ashar? Sesungguhnya saya kedatangan orang dari Bani Abdul Qais, lalu mereka membuatku sibuk tidak sempat melakukan dua rakaat setelah Zhuhur, maka itulah shalat sunah itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut Syaikh M. Bin Umar Bazmul, bahwa hadits ini menunjukkan disyariatkannya mengqadha shalat sunah ba’diyah Zhuhur yang tertinggal.
Jika seorang bertanya, “Disebutkan dalam hadits di atas, bahwa Ummu Salamah berkata, “Wahai Rasulullah, aku mendengar engkau melarang melakukan shalat setelah shalat Ashar, namun aku melihat engkau melakukannya,” bukankah hal ini menunjukkan dilarangnya dua rakaat setelah Ashar?” Maka jawabannya adalah, zhahir hadits tersebut menunjukkan bahwa larangan melakukan dua rakaat setelah Ashar tertuju kepada orang yang merutinkannya karena mengira itu Sunnah. [[Adapun rutinnya Beliau melakukan hal itu, maka karena itu termasuk yang khusus bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, dimana Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Beliau ketika melakukan shalat, maka merutinkannya.” (HR. Muslim)]]
Tidakkah engkau perhatikan, bahwa dalam hadits tersebut Aisyah radhiyallahu ‘anha melakukannya, lalu Aisyah menyuruh untuk bertanya kepada Ummu Salamah, maka kalau seandainya maksud larangan shalat dua rakaat setelah Ashar itu mutlak, tentu Aisyah tidak akan melakukannya, wallahu a’lam.
Namun ada alasan lain, yaitu bahwa larangan melakukan shalat dua rakaat setelah Ashar adalah bagi mereka yang melakukannya saat matahari sudah tidak putih bersih, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat setelah Ashar kecuali ketika matahari masih tinggi. Oleh karenanya, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab pertanyaan Ummu Salamah, Beliau menerangkan sebab melakukannya, yaitu bahwa yang Beliau lakukan adalah dua rakaat setelah Zhuhur, maka hadits tersebut menunjukkan bolehnya mengqadha shalat sunah rawatib ba’diyah (setelah) Zhuhur pada waktu terlarang.
Dan telah ada riwayat yang menunjukkan demikian, karena Ibnu Abbas saat menyatakan bahwa dirinya bersama Umar memukul manusia yang shalat setelah Ashar secara mutlak, zhahirnya bahwa Aisyah mengetahuinya, lalu ia mengatakan, “Umar keliru. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya melarang memperhatikan waktu terbitnya matahari dan waktu terbenamnya. Dalam sebuah riwayat dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak meninggalkan dua rakaat setelah Ashar.” Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَتَحَرَّوْا طُلُوعَ الشَّمْسِ، وَلَا غُرُوبَهَا فَتُصَلُّوا عِنْدَ ذَلِكَ
“Janganlah kalian melihat kepada terbitnya matahari dan tenggelamnya, lalu kalian shalat mengikutinya.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan dilarangnya shalat saat matahari akan tenggelam, mafhum (yang dapat dipahami) darinya adalah bahwa shalat setelah Ashar ketika matahari masih putih bersih tidak masuk ke dalam larangan itu. Mafhum ini disebutkan secara tekstual dalam hadits Ali bin Abi Thalib secara marfu’,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْعَصْرِ، إِلَّا وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ
“Bahwa Beliau melarang shalat setelah Ashar kecuali saat matahari masih meninggi.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i, dan dishahihkan oleh Al Albani) sedangkan dalam riwayat Ahmad disebutkan,
لَا تُصَلُّوا بَعْدَ الْعَصْرِ، إِلَّا أَنْ تُصَلُّوا وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ
“Janganlah kamu melakukan shalat setelah Ashar kecuali ketika matahari masih meninggi.” (Hadits ini dinyatakan isnadnya hasan oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah).
Mengqadha shalat Ied (Hari Raya) yang tertinggal
Dari Ubaidullah bin Abi Bakr bin Anas bin Malik, ia berkata, “Anas apabila tertinggal shalat Ied bersama imam, maka ia mengumpulkan keluarganya dan shalat bersama mereka seperti shalat yang dilakukan imam pada hari raya.” (Diriwayatkan oleh Baihaqi, dan dinyatakan hasan lighairih oleh Syaikh M. Bin Umar Bazmul).
Ibnul Mundzir berkata, “Barang siapa yang tertinggal shalat Ied, maka hendaknya ia shalat dua rakaat seperti yang dilakukan oleh Imam.”
Imam Bukhari membuat bab dalam kitab Shahihnya, “Bab ketika ia tertinggal shalat Ied, ia kerjakan shalat dua rakaat.
Catatan:
Jika tidak diketahui tibanya hari raya kecuali setelah zawal (waktu Zhuhur), maka shalat Ied dilakukan esoknya. Hal ini berdasarkan hadits Abu Umair bin Anas dari paman-pamannya yang menjadi sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa sebuah kafilah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersaksi bahwa mereka melihat hilal (tanggal 1 Syawwal) kemarin, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh para sahabat berbuka, dan menyuruh mereka menuju tempat shalat (lapangan) esok paginya.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Khaththabi dan Al Albani).
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam, wa akhiru da’wana anil hamdulillahi Rabbil ’alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Bughyatul Mutathawwi’ (Dr. M. Bin Umar Bazmul), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.

Belajar Mudah Ilmu Tauhid (13)

Selasa, 20 Januari 2015
بسم الله الرحمن الرحيم

Belajar Mudah Ilmu Tauhid (13)

(Riya’ dan Keinginan Mencari Dunia Dalam Ibadahnya)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut ini pembahasan tentang riya’ dan pembahasan tentang keinginan mencari dunia dalam ibadahnya yang kami terjemahkan dari kitab At Tauhid Al Muyassar karya Syaikh Abdullah Al Huwail, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin,
Ta’rif (definisi) Riya
Riya’ secara bahasa artinya menampakkan sesuatu kepada orang lain agar dilihatnya. Adapun secara syara’, Riya adalah menampakkan ketaatan kepada orang lain agar dilihat mereka dan dipujinya.
Hukum Riya
Pertama, riya yang ringan. Hukumnya adalah syirk asghar (kecil).
Kedua, jika semua amalnya atau sebagian besar amalnya adalah riya. Hukumnya adalah syirk akbar (besar), dan hal ini tidak mungkin muncul dari seorang mukmin, karena ia merupakan ciri khas orang-orang munafik.
Bahaya Riya
1.     Sebagai syirk asghar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَخْوَفُ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ " فَسُئِلَ عَنْهُ فَقَالَ: " الرِّيَاءُ،
“Sesuatu yang paling aku takuti menimpa kalian adalah syirk asghar.” Lalu Beliau ditanya tentangnya, maka Beliau menjawab, “Yaitu Riya.” (HR. Ahmad, hadits ini dinyatakan hasan oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah).
2.     Allah tidak mengampuni dosa itu jika pelakunya tidak bertobat darinya.
Hal ini berdasarkan firman Alah Ta’ala,
إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisaa’: 48)
Ayat ini umum mencakup syirk akbar dan syirk asghar.
3.     Menghapus amal yang tercampur olehnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي، تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
Allah Ta’ala berfirman, “Aku adalah Tuhan yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barang siapa yang mengerjakan suatu amal yang ia adakan sekutu padanya di samping-Ku, maka Aku tinggalkan dia dan syirknya.” (HR. Muslim)
4.     Syirk kecil lebih berbahaya daripada fitnah Al Masih Ad Dajjal
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِي مِنَ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ " قَالُوْا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: " الشِّرْكُ الْخَفِيُّ: يَقُومُ الرَّجُلُ فَيُصَلِّي فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ الرَّجُلٍ
“Maukah kamu aku beritahukan sesuatu yang lebih aku takuti daripada Al Masih Ad Dajjal?” Para sahabat menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Yaitu syirk yang tersembunyi; seseorang berdiri shalat, ia perbagus shalatnya karena merasa diperhatikan orang lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 2607).
Ketika amal tercampur riya
Hal ini ada tiga keadaan:
Pertama, jika pendorong asalnya adalah riya kepada manusia. Ini merupakan kesyirkkan dan ibadah yang dilakukan menjadi sia-sia.
Kedua, niatnya karena Allah, namun tiba-tiba muncul riya. Hal ini ada dua keadaan, yaitu:
1.     Ia melawan hawa nafsunya dan tidak terbawa oleh riya serta tidak merasa tenteram olehnya. Maka dalam hal ini riya yang muncul tidak berpengaruh apa-apa terhadap amalnya.
2.     Ia merasa tenteram oleh riya, ikut bersamanya, dan tidak dilawannya.
Hukum terhadap keadaan yang kedua  adalah:
a.     Jika bagian akhir amalnya tidak didasari (terpisah) dengan yang awalnya, maka bagian awalnya adalah sah, sedangkan bagian yang kemasukan riya adalah sia-sia. Contoh: seseorang bersedekah 100 riyal dalam keadaan ikhlas, lalu dirasakan ada orang lain yang melihatnya, kemudian ia keluarkan sedekah lagi 100 riyal karena riya, maka sedekah yang pertama sah, sedangkan sedekah yang kedua sia-sia.
b.     Jika bagian akhir amalnya didasari (termasuk) dengan bagian awalnya, maka dalam hal ini semua ibadahnya sia-sia. Contoh: seseorang berdiri shalat dua rakaat karena Allah, tiba-tiba muncul riya pada rakaat kedua, ia tidak melawannya, bahkan malah hanyut terbawa oleh riya, maka dalam hal ini shalat tersebut sia-sia.
Ketiga, munculnya perasaan riya setelah selesai ibadah.
Dalam hal ini, perasaan itu tidak berpengaruh apa-apa.
***
Masalah: Bagaimana jika seseorang mendengar ada orang yang memujinya, lalu ia bergembira karenanya? Jawab: Dalam hal ini, sikap bergembiranya itu tidak berpengaruh apa-apa terhadap amalnya, bahkan yang demikian termasuk kabar gembira bagi seorang mukmin yang disegerakan (sebagaimana dalam riwayat Muslim).
Masalah: Bagaimana jika seseorang meninggalkan sebuah amal karena manusia? Jawab: Meninggalkan sebuah amal karena manusia juga riya.
***
Perbedaan antara riya dan sum’ah
Riya terkait dengan penglihatan, yakni beramal agar dilihat manusia kemudian mereka memujinya.
Tasmi’ (sum’ah) terkait dengan pendengaran, yakni beramal agar didengar manusia kemudian mereka memujinya.
Obat penyakit riya
1.     Mengingat keutamaan ikhlas.
2.     Mengingat bahayanya riya dan bahwa ia menghapuskan amal.
3.     Mengingat akhirat.
4.     Mengetahui, bahwa manusia tidak berkuasa memberikan manfaat dan menghindarkan bahaya.
5.     Berdoa, misalnya dengan berdoa:
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ شَيْئاً أَعْلَمُهُ وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ أَعْلَمُهُ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu dengan sesuatu sedangkan aku mengetahui, dan aku meminta ampun kepada-Mu terhadap sesuatu yang tidak aku ketahui.” (HR. Ahmad, dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam Shahih Al Adabul Mufrad).
Kesimpulan amal ketika bercampur riya
Amal jika bercampur riya ada tiga keadaan, yaitu:
1.     Jika pendorong asalnya adalah riya karena manusia, maka hukumnya syirk dan ibadahnya sia-sia.
2.     Niat awalnya karena Allah, lalu tiba-tiba muncul riya, maka dalam hal ini ada dua keadaan:
a.     Ia melawan hawa nafsunya dan tidak hanyut terbawa oleh riya
b.     Ia merasa tenteram oleh riya, hanyut terbawa oleh riya, dan tidak dilawannya. Dalam hal ini ada dua keadaan:
Pertama, jika ibadah tersebut bagian yang akhirnya terpisah dengan bagian awalnya, maka yang awalnya sah, sedangkan amal yang kemasukan riya sia-sia.
Kedua, jika ibadah itu bagian akhir dengan bagian awalnya sama (tidak terpisah), maka  ibadah itu sia-sia semuanya.
Keinginan mencari dunia dalam ibadahnya
Maksud pembahasan ini adalah seseorang melakukan amalan yang murni ibadah, namun dengan tujuan memperoleh keuntungan duniawi secara langsung. Contoh: seorang yang berhaji agar memperoleh harta, seorang yang berperang untuk memperoleh ghanimah, seorang yang menjadi muazin agar memperoleh gaji, dan seorang yang menuntut ilmu syar’i untuk memperoleh ijazah dan kerja saja.
Hukum masalah di atas
Hukumnya terbagi dua, yaitu:
1.     Jika sebagian besar amalnya atau seluruhnya tujuannya adalah dunia.
      Hal ini adalah syirk akbar (besar).
2.     Jika pada amal tertentu saja ia berkeinginan memperoleh dunia.
      Hal ini adalah syirk asghar (kecil) yang hanya menghapuskan amal itu saja.
Ancaman berkeinginan mencari dunia dalam ibadahnya
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ-- أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.--Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Huud: 15-16)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
“Barang siapa yang mencari ilmu yang seharusnya dicari karena mengharap keridhaan Allah Azza wa Jalla, tetapi ia tidak mencarinya melainkan untuk memperoleh perhiasan dunia, maka dia tidak akan memperoleh wanginya surga pada hari Kiamat.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Bersambung...
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.
Diterjemahkan dari kitab At Tauhid Al Muyassar oleh Marwan bin Musa
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger