Fiqih Zakat (14)

Selasa, 30 Juni 2020
بسم الله الرحمن الرحيم
100) ظهور كتابي فقه الزكاة | موقع الشيخ يوسف القرضاوي
Fiqih Zakat (14)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang fiqih zakat yang banyak merujuk kepada kitab Fiqhussunnah karya Syaikh Sayyid Sabiq, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Al Malul Mustafad (Harta Yang Baru Diperoleh)
Barang siapa yang memperoleh harta yang berlaku haul (waktu setahun hijriyah) – namun ia tidak memiliki harta selain itu – dan harta itu telah mencapai nishab, atau ia memiliki harta yang sejenis yang tidak mencapai nishab, dan ketika digabungkan dengan harta yang baru diperoleh itu ternyata mencapai nishab, maka ketika ini dimulai haulnya. Saat sudah sempurna haulnya, maka harus dikeluarkan zakatnya.
Jika seseorang memiliki harta senilai nishab, maka harta yang baru diperoleh tidak lepas dari tiga keadaan ini:
1. Harta yang baru diperoleh itu termasuk pertumbuhannya, seperti keuntungan dari perdagangan dan hewan betina melahirkan, maka hal ini mengikuti barang asalnya dalam haul dan zakatnya.
Oleh karena itu, siapa saja yang memiliki barang-barang perdagangan  atau hewan yang mencapai nishab, lalu barang dagangan itu menghasilkan keuntungan, dan hewan itu melahirkan saat menjalani haul, maka wajib dikeluarkan zakatnya dari keseluruhannya, yakni harta asal dan harta yang baru diperoleh. Dalam hal ini tidak ada khilaf.
2. Harta yang baru diperoleh termasuk jenis harta sebelumnya yang sudah mencapai nishab –namun bukan turunan atau terlahir dari harta asal-, yakni ia memperolehnya misalnya melalui jual-beli, mendapatkan hibah, atau warisan.
Dalam hal ini Abu Hanifah berpendapat, bahwa harta yang baru diperoleh digabungkan dengan harta yang telah mencapai nishab, sehingga mengikutinya dalam hal haul dan zakat, dan harta yang baru diperoleh dikeluarkan zakatnya bersama harta asalnya.
Menurut Syafi’i dan Ahmad, harta yang baru diperoleh itu mengikuti harta asalnya dalam hal nishab dan memulai lagi dengan haul yang baru, baik harta asalnya berupa mata uang maupun hewan. Misalnya seseorang memiliki 200 dirham, lalu di sela-sela menjalani haul ia memperoleh harta yang lain, maka ia keluarkan zakatnya dari keduanya saat sempurna haulnya.
Adapun Imam Malik, maka ia sependapat dengan Abu Hanifah dalam hal hewan, dan sependapat dengan Syafi’i dan Ahmad dalam hal mata uang.
3. Harta yang baru diperoleh tidak sejenis dengan harta yang ada padanya.
Dalam hal ini tidak digabungkan baik dalam hal haul maupun nishab. Bahkan apabila harta yang baru ini telah mencapai nishab, maka harta ini menjalani haulnya sendiri. Selanjutnya di akhir tahun ia keluarkan zakatnya. Jika tidak mencapai nishab, maka tidak dikenakan apa-apa. Demikianlah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.
Wajibnya zakat pada dzimmah (tanggungan); bukan tertuju pada harta itu
Madzhab ulama Hanafi, Malik, dan salah satu riwayat dari Syafi’i dan Ahmad, bahwa kewajiban zakat tertuju kepada harta itu.
Namun dalam riwayat lain dari Syafi’i dan Ahmad, bahwa kewajiban zakat tertuju kepada tanggungan (dzimmah) pemilik harta; bukan tertuju kepada harta yang kena zakat itu.
Buah dari perbedaan ini tampak jelas, misalnya seseorang memiliki 200 dirham dan telah berlalu dua kali haul tanpa dikeluarkan zakatnya, yakni:
Ulama yang berpendapat bahwa kewajiban zakat tertuju kepada harta, maka ia mengatakan, bahwa harta itu dikeluarkan zakatnya untuk setahun saja, karena setelah tahun pertama hartanya telah berkurang dari nishab karena dikeluarkan 5 dirham.
Tetapi ulama yang berpendapat, bahwa kewajiban zakat berupa dzimmah (tanggungan), maka ia mengatakan bahwa orang itu harus mengeluarkan zakat dua kali, dimana setiap tahunnya ada zakat yang harus dikeluarkan, karena kewajiban zakat terrtuju kepada tanggungan, dan tidak ada pengaruhnya saat berkurang dari nishab.
Ibnu Hazm menguatkan pendapat wajibnya tertuju kepada dzimmah (tanggungan), ia berkata, “Tidak ada perbedaan di antara seorang pun dari umat ini dari zaman kita ke belakang sampai zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa barang siapa yang terkena kewajiban zakat gandum, sya’ir, kurma, emas, unta, sapi, atau kambing, lalu ia keluarkan zakatnya dari selain tanaman itu, atau selain kurma itu, atau selain emas dan perak itu, atau selain unta, sapi, atau kambing itu, maka tidak terlarang dan tidak dimakruhkan, bahkan sama saja baginya baik ia mengeluarkan dari harta itu, atau yang ada padanya dari selain itu, atau dari yang ia beli, atau dari hibah, atau dari pinjaman, sehingga semakin yakinlah bahwa zakat tertuju kepada dzimmah; bukan kepada ‘ain (harta itu), karena kalau tertuju kepada harta itu, maka tidak halal baginya untuk menyerahkan dari selainnya, bahkan harus dicegah melakukan hal itu sebagaimana dicegah orang yang memiliki sekutu terhadap sesuatu memberikannya kepada sekutunya bukan berupa harta itu, dimana mereka bersekutu padanya kecuali dengan keridhaan keduanya dan dihukumi jual beli.
Demikian juga kalau sekiranya zakat tertuju kepada harta itu, maka tidak lepas dari dua kemungkinan saja tanpa ada yang ketiga, yaitu zakat pada setiap bagian-bagiannya dari harta itu, atau zakat pada barang itu, namun bisa dibayarkan dengan selain barang itu.
Jika pada setiap bagian dari barang itu, tentu haram baginya menjual pokoknya, benih atau di atasnya, karena orang yang menerima zakat bersektu dalam bagian itu, dan tentu haram baginya memakan sesuatu daripadanya karena alasan yang telah kami sebutkan. Hal ini tentu batil tanpa ada khilaf lagi. Demikian juga menjadikan seseorang tidak mengeluarkan zakat kambing kecuali dengan nilai yang telah diperbaiki dengan apa yang ada atau sisanya sebagaimana yang dilakukan pada sesuatu yang disekutui, dan jika zakat harus pada pada suatu barang namun tidak dengan barang itu, maka menjadi batal. Hal ini mengharuskan hal itu secara sama. Karena ia tidak tahu, boleh jadi ia menjual atau memakan sesuatu yang merupakan hak orang yang menerima zakat, sehingga menjadi tampak benar secara yakin pendapat kami (Ibnu Hazm) sebelumnya (yakni zakat tertuju kepada dzimmah/tanggungan).
Ketika harta binasa setelah wajibnya zakat namun belum dibayarkan
Apabila telah tetap wajibnya zakat pada sebuah harta, yaitu telah berlau setahun atau telah tiba waktu  memanennya pada tanaman, namun harta binasa sebelum dibayarkan atau sebagiannya, maka semua zakatnya ditanggung oleh pemilik harta, baik harta itu binasa karena keteledorennya atau tidak.
Ini juga maksud bahwa zakat wajib pada dzimmah (tanggungan) yang merupakan pendapat Ibnu Hazm dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.
Menurut Abu Hanifah, bahwa jika semua harta binasa tanpa ada keteledoran dari pemiliknya, maka gugurlah kewajiban zakat, namun jika sebagiannya saja yang binasa, maka gugurlah bagian itu, karena didasari dikaitkannya zakat dengan harta itu sendiri. Tetapi jika harta binasa karena keteledorannya, maka zakat tidak gugur.
Menurut Syafi’i, Al Hasan bin Shalih, Ishaq, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir, bahwa jika harta yang mencapai nishab binasa sebelum bisa dibayarkan, maka gugurlah zakat itu, namun jika binasa setelahnya (setelah bisa dibayarkan), maka tidak gugur. Ibnu Qudamah merajihkan (menguatkan) pendapat ini, ia berkata, “Yang shahih insya Allah, bahwa zakat gugur karena harta binasa apabila ia tidak meremehkan dalam membayarkan, karena zakat wajib untuk membantu, tidak wajib yang sifatnya tetap meskipun tidak ada harta dan miskinnya orang yang terkena kewajiban ini.
Maksud ‘meremehkan’ adalah ketika seseorang sanggup mengeluarkannya, namun tidak ia keluarkan. Jika kenyataannya tidak mampu mengeluarkan, maka tidak dianggap ‘meremehkan’, baik karena tidak ada mustahik, jauhnya harta darinya, atau karena yang ditentukan tidak ada pada harta, atau butuh membeli, namun ia tidak mendapatkan untuk membelinya, atau berada dalam tuntutan untuk membeli, dsb.
Jika kita katakan wajib zakat meskipun harta telah binasa, apabila pemiliknya bisa membayarkannya, maka ia bayarkan. Jika tidak, maka diberi tangguh sampai mudah dan mampu membayarnya tanpa menyusahkannya, karena sebagaimana wajib memberi tangguh hutang manusia, maka karena zakat adalah hak Allah, tentu lebih berhak lagi untuk diberi tangguh.
Hilangnya zakat setelah dipisahkan
Jika harta zakat sudah dipisahkan untuk diserahkan kepada mustahiknya, lalu hilang seluruhnya atau sebagiannya, maka ia harus mengulanginya, karena zakat itu dalam tanggungannya sampai ia berikan kepada orang yang diperintahkan Allah untuk diberikan.
Ibnu Hazm berkata, “Telah diriwayatkan kepada kami dari jalur Ibnu Abi Syaibah dari Hafsh bin Ghiyats, Jarir, Mu’tamir bin Sulaiman At Taimi, Zaid bin Habbab, dan Abdul Wahhab bin Atha.
Hafsh berkata, “Dari Hisyam bin Hassan, dari Al Hasan Al Bashri.”
Jarir berkata, “Dari Mughirah, dari kawan-kawannya.”
Mu’tamir berkata, “Dari Ma’mar dari Hammad,”
Zaid berkata, “Dari Syu’bah dari Al Hakam.”
Abdul Wahhab berkata, “Dari Ibnu Abi Arubah, dari Hammad, dari Ibrahim An Nakha’i.”
Selanjutnya mereka sepakat terkait orang yang mengeluarkan zakat hartanya, lalu hilang, bahwa zakat itu belum gugur darinya. Oleh karena itu, ia harus mengeluarkan untuk yang kedua kalinya.”
Ibnu Hazm berkata, “Namun kami juga meriwayatkan dari Atha, bahwa zakat (yang hilang) itu sudah cukup.”
Menunda Zakat tidak membuat zakat itu gugur
Barang siapa yang berkewajiban zakat dan telah berlalu bertahun-tahun, namun ia belum mengeluarkan zakatnya, maka ia harus mengeluarkan zakat dari semuanya, baik ia mengetahui wajibnya zakat atau pun tidak, dan baik dalam wilayah Islam maupun wilayah perang. Ini adalah madzhab Syafi’i.
Ibnul Mundzir berkata, “Kalau sekiranya orang-orang zalim menguasai suatu negeri, dan penduduk negeri itu tidak mengeluarkan zakat bertahun-tahun, lalu imam (pemerintah) menguasai mereka, maka ia ambil dari mereka zakat yang telah lalu. Demikian menurut Imam Malik, Syafi’i, dan Abu Tsaur.”
Bersambung...
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Tamamul Minnah (Syaikh M. Nashiruddin Al Albani), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.

200 Tanya-Jawab Akidah (4)

Jumat, 26 Juni 2020
بسم الله الرحمن الرحيم
مفهوم العقيدة الصحيحة - موضوع
200 Tanya-Jawab Akidah (4)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan 200 tanya jawab akidah berdasarkan Al Qur’an dan As Sunah yang merujuk kepada kitab A’lamus Sunnah Al Mansyurah Li’tiqad Ath Thaifah An Najiyah Al Manshurah karya Syaikh Hafizh bin Ahmad Alu Hakami rahimahullah, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
200 Tanya-Jawab Akidah Islam
31. Pertanyaan: Apa dalil shalat dan zakat?
Jawab: firman Allah Ta’ala,
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ
“Jika mereka bertobat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan.” (Qs. At Taubah: 5)
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali agar menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan agar mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat.” (Qs. Al Bayyinah: 5)
Dan dalil-dalil lainnya.
32. Pertanyaan: Apa dalil puasa?
Jawab: Firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu.” (Qs. Al Baqarah: 183)
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (Qs. Al Baqarah: 185)
Dalam hadits orang Arab badui, ia berkata, “Beritahukanlah kepadaku puasa yang diwajibkan Allah kepadaku?” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab,
«شَهْرَ رَمَضَانَ إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا»
“Yaitu puasa Ramadhan, kecuali jika engkau mau melakukan amalan sunah.” (Hr. Bukhari)
33. Pertanyaan: Apa dalil haji?
Jawab: firman Allah Ta’ala,
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.” (Qs. Al Baqarah: 196)
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (Qs. Ali Imran: 97)
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«إِنَّ اللهَ تَعَالَى كَتَبَ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ»
“Sesungguhnya Allah mewajibkan kamu haji.” (Hr. Ahmad dan Muslim)
Hadits tersebut ada dalam Shahih Bukhari dan Muslim, dan telah disampaikan sebelumnya hadits Jibril dan hadits yang berbunyi:
«بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ»
“Islam dibangun di atas lima dasar...dst.”
Dan dalil-dalil lainnya.
34. Pertanyaan: Apa hukum orang yang mengingkari salah satu rukun Islam, atau mengakuinya tetapi bersikap sombong terhadapnya?
Jawab: Dibunuh sebagai kafir seperti orang-orang kafir lainnya dari kalangan mereka yang mendustakan dan sombong seperti Iblis dan Firaun.
35. Pertanyaan: Apa hukum orang yang mengakui lima rukun itu, lalu meninggalkannya karena malas atau salah takwil?
Jawab: Adapun shalat, maka barang siapa yang menundanya sampai lewat waktunya, maka ia diminta untuk bertobat. Jika mau bertobat, maka dibiarkan, tetapi jika tidak mau maka dibunuh sebagai hadnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ
“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan.” (Qs. At Taubah: 5)
Dan berdasarkan hadits yang menyebutkan ‘Aku diperintahkan memerangi manusia sampai mereka…dst.”
Adapun zakat, jika orang yang enggan sebagai orang yang tidak memiliki kekuatan, maka imam (pemerintah) mengambilnya secara paksa dan memberinya hukuman dengan mengambil sebagian hartanya berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
وَمَنْ مَنَعَهَا فَإِنَّا آخِذُوهَا وَشَطْرَ مَالِهِ مَعَهَا
“Barang siapa yang enggan membayar zakat, maka kami akan mengambil zakatnya berikut separuh hartanya.” (Hr. Abu Dawud dan Nasa’i, dihasankan oleh Al Albani)
Jika mereka berjumlah banyak dan memiliki kekuatan, maka wajib bagi imam memerangi mereka sampai mereka membayarnya berdasarkan ayat dan hadits-hadits yang disebutkan sebelumnya, demikian pula berdasarkan praktek Abu Bakar dan para sahabat radhiyallahu anhum.
Adapun puasa, belum ada riwayat tentang hukuman (had) terhadapnya, akan tetapi bagi imam atau wakilnya memberikan sanksi yang membuatnya jera (seperti dengan memenjarakan-pent).
Sedangkan haji, maka usia seseorang merupakan waktunya, dimana kewajibannya tidak hilang kecuali dengan wafatnya. Haji ini wajib segera, dan telah ada ancaman di akhirat bagi orang yang meremehkannya, namun tidak ada riwayat tentang hukuman khusus terhadapnya di dunia.
36. Pertanyaan: Apa yang dimaksud iman?
Jawab: Iman adalah ucapan dan perbuatan. Ucapan hati dan lisan, serta amalan hati dan lisan serta anggota badan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Pemiliknya berbeda-beda tingkatan di dalamnya.
37. Pertanyaan: Apa dalil yang menunjukkan, bahwa iman itu ucapan dan perbuatan?
Jawab: Allah Ta’ala berfirman,
وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ
“Tetapi Allah menjadikan kamu 'cinta' kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu.” (Qs. Al Hujurat: 7)
فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
“Maka berimanlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Qs. Al A’raaf: 158)
Maksud ayat tersebut adalah dua kalimat syahadat yang seorang hamba tidak masuk ke dalam Islam kecuali dengan keduanya. Di dalamnya memuat amalan hati, yaitu dengan meyakini, dan memuat amalan lisan, yaitu dengan mengucapkan, dimana persaksian ini tidak bermanfaat kecuali dengan selarasnya keduanya. Allah Ta’ala juga berfirman,
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ
“Allah sekali-kali tidak akan menyia-nyiakan imanmu.” (Qs. Al Baqarah: 143)
Yakni shalatmu terdahulu ketika menghadap Baitul Maqdis sebelum dipindahkan kiblat. Di sini shalat disebut iman yang di dalamnya memadukan antara amalan hati, lisan, dan anggota badan. Bahkan Nabi shallalahu alaihi wa sallam juga menjadikan jihad, qiyamullail pada malam lailatul Qadr, puasa Ramadhan dan qiyamullail di bulan itu serta menunaikan khumus (seperlima dari ghanimah) dan perkara lainnya bagian dari iman. Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga pernah ditanya, “Amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab,
«إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ»
 “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
38. Pertanyaan: Apa dalil iman bisa bertambah dan bisa berkurang?
Jawab: Firman Allah Ta’ala,
لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ
“Supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” (Qs. Al Fath: 4)
وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
“Dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.” (Qs. Al Kahfi: 13)
وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى
“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk.” (Qs. Maryam: 76)
وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى
“Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka.” (Qs. Muhammad: 17)
وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آمَنُوا إِيمَانًا
“Dan supaya orang yang beriman bertambah imannya.” (Qs. Al Muddatstsir: 31)
فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا
“Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya.” (Qs. At Taubah: 124)
فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا
“Karena itu takutlah kepada mereka!" Maka Perkataan itu menambah keimanan mereka.” (Qs. Ali Imran: 173)
وَمَا زَادَهُمْ إِلَّا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا
“Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (Qs. Al Ahzab: 22)
serta ayat-ayat lainnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda, “Kalau kalian dalam setiap keadaan seperti keadaan kalian di dekatku, tentu para malaikat akan menjabat tangan kalian.” (Hr. Muslim dan Ibnu Majah) atau seperti lafaz yang disabdakan Beliau shallallahu alaihi wa sallam.
Bersambung...
Wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Marwan bin Musa
Maraaji’: Maktabah Syamilah, A’lamus Sunnah Al Manyurah Li’tiqad Ath Thaifah An Najiyah Al Manshurah (Syaikh Hafizh bin Ahmad Alu Hakami, takhrij Abu Shuhaib Usamah bin Abdullah Alu Athwah), dll.

Tanya-Jawab Akidah Islam Untuk Anak

Rabu, 24 Juni 2020

بسم الله الرحمن الرحيم
مفهوم العقيدة الصحيحة والعقيدة الفاسدة - موضوع
Tanya-Jawab Akidah Islam Untuk Anak
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut tanya jawab akidah Islam untuk anak, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
1. Dari mana kita mengambil akidah kita?
Jawab: Dari Al Qur’an dan As Sunnah.
2. Di mana Allah?
Jawab: Di atas langit; bersemayam di atas Arsyi-Nya.
3. Apa dalil dalam Al Qur’an yang menerangkan bahwa Allah bersemayam di atas Arsyi?
Jawab: Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
"Allah Yang Maha Pemurah bersemayam di atas Arsyi.” (Qs. Thaahaa: 5)
4. Apa arti “اسْتَوَى ” (bersemayam)?
Jawab: Artinya “ على وارتفع ” , yakni tinggi dan di atas.
5. Untuk apa Allah menciptakan manusia dan jin?
Jawab: Untuk beribadah hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu.
6. Apa dalil dalam Al Qur’an yang menerangkan bahwa Allah menciptakan manusia dan jin untuk beribadah hanya kepada-Nya?
Jawab: Firman Allah Ta’ala,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
"Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka mengabdi kepada-Ku.” (Qs. Adz Dzaariyaat: 56)
7. Apa maksud “agar mereka mengabdi kepada-Ku. ”?
Jawab: Agar mereka mentauhidkan Allah (beribadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla).
8. Apa arti Laailaahaillallah?
Jawab: Tidak ada yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah.
9. Apa ibadah yang paling utama?
Jawab: Tauhid.
10. Apa maksiat yang paling besar?
Jawab: Syirik.
11. Apa arti Tauhid?
Jawab: Mengesakan Allah dalam beribadah.
12. Apa arti syirik?
Jawab: Beribadah kepada selain Allah.
13. Ada berapa pembagian tauhid?
Jawab: Ada tiga.
14. Apa saja pembagian tauhid itu?
Jawab: Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah, dan Tauhid Asma wa Shifat.
15. Apa maksud tauhid Rububiyyah?
Jawab: Mengesakan Allah dalam perbuatan-Nya, seperti menciptakan dan memberikan rezeki.
16. Apa maksud tauhid Uluhiyyah?
Jawab: Mengesakan Allah dalam perbuatan hamba, seperti berdoa, berkurban, dan bersujud.
17. Apakah Allah mempunyai nama dan sifat?
Jawab: Ya.
18. Dari mana kita menetapkan nama-nama Allah dan sifat-Nya ?
Jawab: Dari Al Qur’an dan As Sunnah.
19. Apakah sifat Allah sama seperti sifat kita?
Jawab: Tidak.
20. Apa dalil dalam Al Qur’an, bahwa sifat Allah tidak sama dengan sifat makhluk-Nya?
Jawab: Firman Allah Ta’ala,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (Qs. Asy Syuuraa: 11)
21. Firman siapakah Al Qur’an itu?
Jawab: Firman Allah Ta’ala.
22. Apakah Al Qur’an itu diturunkan atau sebagai makhluk?
Jawab: Diturunkan (dan bukan sebagai makhluk), sebagai firman-Nya secara hakiki baik huruf maupun suaranya.
23. Apa itu kebangkitan?
Jawab: Menghidupkan kembali manusia setelah mati.
24. Apa dalil dalam Al Qur’an bahwa orang yang mengingkari kebangkitan adalah kafir?
Jawab: Firman Allah Ta’ala,
زَعَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ لَنْ يُبْعَثُوا
“Orang-orang kafir menyangka, bahwa mereka tidak akan dibangkitkan.” (Qs. At Taghabun: 7)
25. Apa dalil dalam Al Qur’an yang menerangkan bahwa Allah akan membangkitkan kita?
Jawab: Firman Allah Ta’ala,
قُلْ بَلَى وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ
Katakanlah, "Ya, demi Tuhanku, kamu benar-benar akan dibangkitkan.” (Qs. At Taghabun: 7)
26. Ada berapa rukun Islam?
Jawab: Ada lima.
27. Ada berapa rukun Iman?
Jawab: Ada enam.
28. Ada berapa rukun Ihsan?
Jawab: Ada satu (yaitu engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak merasa begitu, maka ketahuilah bahwa Dia melihatmu).
29. Apa arti Islam?
Jawab: Menyerahkan diri kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, tunduk kepada-Nya dengan menaati-Nya, dan berlepas diri dari syirik dan para pelakunya. [Rukunnya adalah bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah jika mampu).
30. Apa itu iman?
Jawab: Iman artinya meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggota badan, bertambah karena ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan. Rukunnya adalah beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari Akhir, dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk.
31. Kepada siapa kita berkurban dan bersujud?
Jawab: Kepada Allah saja; tidak ada sekutu bagi-Nya.
32. Bolehkah berkurban dan bersujud kepada selain Allah?
Jawab: Tidak boleh.
33. Apa hukum menyembelih dan bersujud kepada selain Allah?
Jawab: Syirik akbar (besar).
Wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Marwan bin Musa

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger