Fiqih Zakat (14)

بسم الله الرحمن الرحيم
100) ظهور كتابي فقه الزكاة | موقع الشيخ يوسف القرضاوي
Fiqih Zakat (14)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang fiqih zakat yang banyak merujuk kepada kitab Fiqhussunnah karya Syaikh Sayyid Sabiq, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Al Malul Mustafad (Harta Yang Baru Diperoleh)
Barang siapa yang memperoleh harta yang berlaku haul (waktu setahun hijriyah) – namun ia tidak memiliki harta selain itu – dan harta itu telah mencapai nishab, atau ia memiliki harta yang sejenis yang tidak mencapai nishab, dan ketika digabungkan dengan harta yang baru diperoleh itu ternyata mencapai nishab, maka ketika ini dimulai haulnya. Saat sudah sempurna haulnya, maka harus dikeluarkan zakatnya.
Jika seseorang memiliki harta senilai nishab, maka harta yang baru diperoleh tidak lepas dari tiga keadaan ini:
1. Harta yang baru diperoleh itu termasuk pertumbuhannya, seperti keuntungan dari perdagangan dan hewan betina melahirkan, maka hal ini mengikuti barang asalnya dalam haul dan zakatnya.
Oleh karena itu, siapa saja yang memiliki barang-barang perdagangan  atau hewan yang mencapai nishab, lalu barang dagangan itu menghasilkan keuntungan, dan hewan itu melahirkan saat menjalani haul, maka wajib dikeluarkan zakatnya dari keseluruhannya, yakni harta asal dan harta yang baru diperoleh. Dalam hal ini tidak ada khilaf.
2. Harta yang baru diperoleh termasuk jenis harta sebelumnya yang sudah mencapai nishab –namun bukan turunan atau terlahir dari harta asal-, yakni ia memperolehnya misalnya melalui jual-beli, mendapatkan hibah, atau warisan.
Dalam hal ini Abu Hanifah berpendapat, bahwa harta yang baru diperoleh digabungkan dengan harta yang telah mencapai nishab, sehingga mengikutinya dalam hal haul dan zakat, dan harta yang baru diperoleh dikeluarkan zakatnya bersama harta asalnya.
Menurut Syafi’i dan Ahmad, harta yang baru diperoleh itu mengikuti harta asalnya dalam hal nishab dan memulai lagi dengan haul yang baru, baik harta asalnya berupa mata uang maupun hewan. Misalnya seseorang memiliki 200 dirham, lalu di sela-sela menjalani haul ia memperoleh harta yang lain, maka ia keluarkan zakatnya dari keduanya saat sempurna haulnya.
Adapun Imam Malik, maka ia sependapat dengan Abu Hanifah dalam hal hewan, dan sependapat dengan Syafi’i dan Ahmad dalam hal mata uang.
3. Harta yang baru diperoleh tidak sejenis dengan harta yang ada padanya.
Dalam hal ini tidak digabungkan baik dalam hal haul maupun nishab. Bahkan apabila harta yang baru ini telah mencapai nishab, maka harta ini menjalani haulnya sendiri. Selanjutnya di akhir tahun ia keluarkan zakatnya. Jika tidak mencapai nishab, maka tidak dikenakan apa-apa. Demikianlah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.
Wajibnya zakat pada dzimmah (tanggungan); bukan tertuju pada harta itu
Madzhab ulama Hanafi, Malik, dan salah satu riwayat dari Syafi’i dan Ahmad, bahwa kewajiban zakat tertuju kepada harta itu.
Namun dalam riwayat lain dari Syafi’i dan Ahmad, bahwa kewajiban zakat tertuju kepada tanggungan (dzimmah) pemilik harta; bukan tertuju kepada harta yang kena zakat itu.
Buah dari perbedaan ini tampak jelas, misalnya seseorang memiliki 200 dirham dan telah berlalu dua kali haul tanpa dikeluarkan zakatnya, yakni:
Ulama yang berpendapat bahwa kewajiban zakat tertuju kepada harta, maka ia mengatakan, bahwa harta itu dikeluarkan zakatnya untuk setahun saja, karena setelah tahun pertama hartanya telah berkurang dari nishab karena dikeluarkan 5 dirham.
Tetapi ulama yang berpendapat, bahwa kewajiban zakat berupa dzimmah (tanggungan), maka ia mengatakan bahwa orang itu harus mengeluarkan zakat dua kali, dimana setiap tahunnya ada zakat yang harus dikeluarkan, karena kewajiban zakat terrtuju kepada tanggungan, dan tidak ada pengaruhnya saat berkurang dari nishab.
Ibnu Hazm menguatkan pendapat wajibnya tertuju kepada dzimmah (tanggungan), ia berkata, “Tidak ada perbedaan di antara seorang pun dari umat ini dari zaman kita ke belakang sampai zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa barang siapa yang terkena kewajiban zakat gandum, sya’ir, kurma, emas, unta, sapi, atau kambing, lalu ia keluarkan zakatnya dari selain tanaman itu, atau selain kurma itu, atau selain emas dan perak itu, atau selain unta, sapi, atau kambing itu, maka tidak terlarang dan tidak dimakruhkan, bahkan sama saja baginya baik ia mengeluarkan dari harta itu, atau yang ada padanya dari selain itu, atau dari yang ia beli, atau dari hibah, atau dari pinjaman, sehingga semakin yakinlah bahwa zakat tertuju kepada dzimmah; bukan kepada ‘ain (harta itu), karena kalau tertuju kepada harta itu, maka tidak halal baginya untuk menyerahkan dari selainnya, bahkan harus dicegah melakukan hal itu sebagaimana dicegah orang yang memiliki sekutu terhadap sesuatu memberikannya kepada sekutunya bukan berupa harta itu, dimana mereka bersekutu padanya kecuali dengan keridhaan keduanya dan dihukumi jual beli.
Demikian juga kalau sekiranya zakat tertuju kepada harta itu, maka tidak lepas dari dua kemungkinan saja tanpa ada yang ketiga, yaitu zakat pada setiap bagian-bagiannya dari harta itu, atau zakat pada barang itu, namun bisa dibayarkan dengan selain barang itu.
Jika pada setiap bagian dari barang itu, tentu haram baginya menjual pokoknya, benih atau di atasnya, karena orang yang menerima zakat bersektu dalam bagian itu, dan tentu haram baginya memakan sesuatu daripadanya karena alasan yang telah kami sebutkan. Hal ini tentu batil tanpa ada khilaf lagi. Demikian juga menjadikan seseorang tidak mengeluarkan zakat kambing kecuali dengan nilai yang telah diperbaiki dengan apa yang ada atau sisanya sebagaimana yang dilakukan pada sesuatu yang disekutui, dan jika zakat harus pada pada suatu barang namun tidak dengan barang itu, maka menjadi batal. Hal ini mengharuskan hal itu secara sama. Karena ia tidak tahu, boleh jadi ia menjual atau memakan sesuatu yang merupakan hak orang yang menerima zakat, sehingga menjadi tampak benar secara yakin pendapat kami (Ibnu Hazm) sebelumnya (yakni zakat tertuju kepada dzimmah/tanggungan).
Ketika harta binasa setelah wajibnya zakat namun belum dibayarkan
Apabila telah tetap wajibnya zakat pada sebuah harta, yaitu telah berlau setahun atau telah tiba waktu  memanennya pada tanaman, namun harta binasa sebelum dibayarkan atau sebagiannya, maka semua zakatnya ditanggung oleh pemilik harta, baik harta itu binasa karena keteledorennya atau tidak.
Ini juga maksud bahwa zakat wajib pada dzimmah (tanggungan) yang merupakan pendapat Ibnu Hazm dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.
Menurut Abu Hanifah, bahwa jika semua harta binasa tanpa ada keteledoran dari pemiliknya, maka gugurlah kewajiban zakat, namun jika sebagiannya saja yang binasa, maka gugurlah bagian itu, karena didasari dikaitkannya zakat dengan harta itu sendiri. Tetapi jika harta binasa karena keteledorannya, maka zakat tidak gugur.
Menurut Syafi’i, Al Hasan bin Shalih, Ishaq, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir, bahwa jika harta yang mencapai nishab binasa sebelum bisa dibayarkan, maka gugurlah zakat itu, namun jika binasa setelahnya (setelah bisa dibayarkan), maka tidak gugur. Ibnu Qudamah merajihkan (menguatkan) pendapat ini, ia berkata, “Yang shahih insya Allah, bahwa zakat gugur karena harta binasa apabila ia tidak meremehkan dalam membayarkan, karena zakat wajib untuk membantu, tidak wajib yang sifatnya tetap meskipun tidak ada harta dan miskinnya orang yang terkena kewajiban ini.
Maksud ‘meremehkan’ adalah ketika seseorang sanggup mengeluarkannya, namun tidak ia keluarkan. Jika kenyataannya tidak mampu mengeluarkan, maka tidak dianggap ‘meremehkan’, baik karena tidak ada mustahik, jauhnya harta darinya, atau karena yang ditentukan tidak ada pada harta, atau butuh membeli, namun ia tidak mendapatkan untuk membelinya, atau berada dalam tuntutan untuk membeli, dsb.
Jika kita katakan wajib zakat meskipun harta telah binasa, apabila pemiliknya bisa membayarkannya, maka ia bayarkan. Jika tidak, maka diberi tangguh sampai mudah dan mampu membayarnya tanpa menyusahkannya, karena sebagaimana wajib memberi tangguh hutang manusia, maka karena zakat adalah hak Allah, tentu lebih berhak lagi untuk diberi tangguh.
Hilangnya zakat setelah dipisahkan
Jika harta zakat sudah dipisahkan untuk diserahkan kepada mustahiknya, lalu hilang seluruhnya atau sebagiannya, maka ia harus mengulanginya, karena zakat itu dalam tanggungannya sampai ia berikan kepada orang yang diperintahkan Allah untuk diberikan.
Ibnu Hazm berkata, “Telah diriwayatkan kepada kami dari jalur Ibnu Abi Syaibah dari Hafsh bin Ghiyats, Jarir, Mu’tamir bin Sulaiman At Taimi, Zaid bin Habbab, dan Abdul Wahhab bin Atha.
Hafsh berkata, “Dari Hisyam bin Hassan, dari Al Hasan Al Bashri.”
Jarir berkata, “Dari Mughirah, dari kawan-kawannya.”
Mu’tamir berkata, “Dari Ma’mar dari Hammad,”
Zaid berkata, “Dari Syu’bah dari Al Hakam.”
Abdul Wahhab berkata, “Dari Ibnu Abi Arubah, dari Hammad, dari Ibrahim An Nakha’i.”
Selanjutnya mereka sepakat terkait orang yang mengeluarkan zakat hartanya, lalu hilang, bahwa zakat itu belum gugur darinya. Oleh karena itu, ia harus mengeluarkan untuk yang kedua kalinya.”
Ibnu Hazm berkata, “Namun kami juga meriwayatkan dari Atha, bahwa zakat (yang hilang) itu sudah cukup.”
Menunda Zakat tidak membuat zakat itu gugur
Barang siapa yang berkewajiban zakat dan telah berlalu bertahun-tahun, namun ia belum mengeluarkan zakatnya, maka ia harus mengeluarkan zakat dari semuanya, baik ia mengetahui wajibnya zakat atau pun tidak, dan baik dalam wilayah Islam maupun wilayah perang. Ini adalah madzhab Syafi’i.
Ibnul Mundzir berkata, “Kalau sekiranya orang-orang zalim menguasai suatu negeri, dan penduduk negeri itu tidak mengeluarkan zakat bertahun-tahun, lalu imam (pemerintah) menguasai mereka, maka ia ambil dari mereka zakat yang telah lalu. Demikian menurut Imam Malik, Syafi’i, dan Abu Tsaur.”
Bersambung...
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Tamamul Minnah (Syaikh M. Nashiruddin Al Albani), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger