Fawaid Riyadhush Shalihin (27)

Rabu, 24 Agustus 2016
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫خير الناس من طال عمره وحسن عمله‬‎
Fawaid Riyadhush Shalihin (27)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut Fawaid (Kandungan Hadits) Riyadhush Shalihin yang banyak kami rujuk dari kitab Bahjatun Nazhirin karya Syaikh Salim bin Ied Al Hilaliy,  Syarh Riyadhush Shalihin karya Syaikh Faishal bin Abdul Aziz An Najdiy, dan lainnya. Hadits-hadits di dalamnya merujuk kepada kitab Riyadhush Shalihin, akan tetapi kami mengambil matannya dari kitab-kitab hadits induk. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ، أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ خَيْرُ النَّاسِ؟ قَالَ: «مَنْ طَالَ عُمُرُهُ، وَحَسُنَ عَمَلُهُ»
(108) Dari Abdullah bin Busr, bahwa seorang Arab badui pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling baik?” Beliau menjawab, “Seorang yang panjang umurnya dan baik amalnya.” (HR. Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Fawaid:
1. Keutamaan umur yang panjang ketika amalnya tetap baik.
2. Buruknya seorang yang panjang umur tetapi amalnya tidak baik.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: غَابَ عَمِّي أَنَسُ بْنُ النَّضْرِ عَنْ قِتَالِ بَدْرٍ، فَقَالَ: «يَا رَسُولَ اللَّهِ غِبْتُ عَنْ أَوَّلِ قِتَالٍ قَاتَلْتَ المُشْرِكِينَ، لَئِنِ اللَّهُ أَشْهَدَنِي قِتَالَ المُشْرِكِينَ لَيَرَيَنَّ اللَّهُ مَا أَصْنَعُ» ، فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ أُحُدٍ، وَانْكَشَفَ المُسْلِمُونَ، قَالَ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَعْتَذِرُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ هَؤُلاَءِ - يَعْنِي أَصْحَابَهُ - وَأَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ هَؤُلاَءِ، - يَعْنِي المُشْرِكِينَ - ثُمَّ تَقَدَّمَ» ، فَاسْتَقْبَلَهُ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ، فَقَالَ: «يَا سَعْدُ بْنَ مُعَاذٍ، الجَنَّةَ وَرَبِّ النَّضْرِ إِنِّي أَجِدُ رِيحَهَا مِنْ دُونِ أُحُدٍ» ، قَالَ سَعْدٌ: فَمَا اسْتَطَعْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا صَنَعَ، قَالَ أَنَسٌ: فَوَجَدْنَا بِهِ بِضْعًا وَثَمَانِينَ ضَرْبَةً بِالسَّيْفِ أَوْ طَعْنَةً بِرُمْحٍ، أَوْ رَمْيَةً بِسَهْمٍ وَوَجَدْنَاهُ قَدْ قُتِلَ وَقَدْ مَثَّلَ بِهِ المُشْرِكُونَ، فَمَا عَرَفَهُ أَحَدٌ إِلَّا أُخْتُهُ بِبَنَانِهِ قَالَ أَنَسٌ: " كُنَّا نُرَى أَوْ نَظُنُّ أَنَّ هَذِهِ الآيَةَ نَزَلَتْ فِيهِ وَفِي أَشْبَاهِهِ: {مِنَ المُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ} [الأحزاب: 23] إِلَى آخِرِ الآيَةِ
(109) Dari Anas radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Pamanku Anas bin Nadhr tidak hadir dalam perang Badar, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah absen pada peperangan pertama kali yang engkau lakukan terhadap kaum musyrik. Jika Allah menghadirkanku dalam peperangan melawan kaum musyrik, maka Allah akan memperlihatkan apa yang akan aku lakukan.” Maka pada perang Uhud, saat kaum muslim terpukul mundur, Anas berkata, “Ya Allah, aku meminta uzur kepada-Mu dari tindakan yang dilakukan mereka ini –maksudnya para sahabatnya karena mundur-, dan aku berlepas diri dari tindakan yang dilakukan mereka itu – maksudnya kaum musyrik-,” ia pun maju, lalu ia bertemu Sa’ad bin Mu’adz dan berkata, “Wahai Sa’ad bin Mu’adz, demi Tuhan Nadhr, sesunguhnya aku mencium surga di balik bukit Uhud.” Sa’ad berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak sanggup melakukan seperti yang dilakukannya.” Anas berkata, “Lalu kami temukan ada delapan puluh lebih sayatan pedang, tusukan tombak, atau lemparan panah. Kami temukan dirinya telah terbunuh dan telah dicincang kaum musyrik, sehingga tidak ada yang mengenalinya selain saudarinya melalui jari-jemarinya.” Anas berkata, “Kami mengira, bahwa ayat ini turun berkenaan dirinya dan orang-orang yang semisalnya, yaitu, “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah…dst. (QS. Al Ahzab: 23).(HR. Bukhari dan Muslim)
Fawaid:
1. Keutamaan mengorbankan jiwa dan raga dalam berjihad fi sabilillah.
2. Seorang mukmin menepati janjinya meskipun berat.
3. Tingginya keimanan Anas bin Nadhr
4. Seorang mujahid sejati terkadang sempat mencim wangnya surga, sehingga hal itu mendorongnya untuk melanjutnya jihadnya fi sabilillah. Hal ini merupakan bentuk peneguhan Allah Azza wa Jalla kepadanya.
5. Bolehnya menghukumi berdasarkan tanda-tandanya.
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: " لَمَّا نَزَلَتْ آيَةُ الصَّدَقَةِ، كُنَّا نُحَامِلُ، فَجَاءَ رَجُلٌ فَتَصَدَّقَ بِشَيْءٍ كَثِيرٍ، فَقَالُوا: مُرَائِي، وَجَاءَ رَجُلٌ فَتَصَدَّقَ بِصَاعٍ، فَقَالُوا: إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنْ صَاعِ هَذَا، فَنَزَلَتْ: {الَّذِينَ يَلْمِزُونَ المُطَّوِّعِينَ مِنَ المُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ} [التوبة: 79] " الآيَةَ
(110) Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Ketika turun ayat untuk bersedekah, maka kami menjadi pengangkut barang dengan menerima upah, lalu ada seorang yang bersedekah dalam jumlah banyak, kemudian orang-orang (munafik) berkata, “Dia riya,” dan ada pula seorang yang datang bersedekah membawa satu sha’, lalu orang-orang (munafik) berkata, “Sesungguhnya Allah tidak butuh terhadap satu sha’ ini,” maka turunlah ayat (yang artinya), “(Orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, …dst.” (QS. At Taubah: 79)
Fawaid:
1. Ketakwaan para sahabat, dan segeranya mereka mengerjakan kebaikan.
2.  Mengerjakan ketaatan sesuai kemampuan.
3. Tidak perlu memperhatikan celaan kaum munafik.
4. Di antara sifat kaum munafik adalah mencela orang yang berbuat baik.
5. Dorongan bersedekah meskipun sedikit.
6. Tidak meremehkan perkara ma’ruf meskipun ringan.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ : يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلىَ نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّماً، فَلاَ تَظَالَمُوا . يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ  ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ، فَاسْتَهْدُوْنِي أَهْدِكُمْ . يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ فَاسْتَطْعِمُوْنِي أَطْعِمْكُمْ . يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُوْنِي أَكْسُكُمْ . يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَناَ أَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعاً، فَاسْتَغْفِرُوْنِي أَغْفِرْ لَكُمْ، يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضُرِّي فَتَضُرُّوْنِي، وَلَنْ تَبْلُغُوا نَفْعِي فَتَنْفَعُوْنِي . يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِي مُلْكِي شَيْئاً . يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئاً . يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِي صَعِيْدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُوْنِي فَأَعْطَيْتُ كُلَّ وَاحِدٍ مَسْأَلَتَهُ   مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِي إِلاَّ كَمَا يَنْقُصُ الْمَخِيْطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ .   يَا عِبَادِي إِنَّمَا هِيَ أَعَمَالُكُمْ أُحْصِيْهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوْفِيْكُمْ إِيَّاهَا فَمَنْ    وَجَدَ خَيْراً فَلْيَحْمَدِ اللهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ .
(111) Dari Abu Dzar Al Ghifari radhiyallahu anhu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam riwayatnya yang berasal dari Tuhannya ‘Azza wa Jalla; bahwa Dia berfirman, “Wahai hamba-Ku! Sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan menjadikan perbuatan itu haram dilakukan antara sesama kamu, maka janganlah kamu saling berlaku zalim. Wahai hamba-Ku! Kamu semua tersesat selain orang yang Aku berikan hidayah, maka mintalah hidayah kepada-Ku niscaya Aku akan memberikan hidayah kepadamu. Wahai hamba-Ku! Kamu semuanya kelaparan selain orang yang Aku berikan kepadanya makanan, maka mintalah makan kepada-Ku niscaya Aku akan memberikan kamu makanan. Wahai hamba-Ku! Kamu semuanya tidak berpakaian selain orang yang Aku berikan kepadanya pakaian, maka mintalah pakaian kepada-Ku niscaya Aku akan berikan kamu pakaian. Wahai hamba-Ku! Kamu semuanya melakukan kesalahan di malam dan siang hari dan Aku mengampuni dosa semuanya, maka mintalah ampun kepada-Ku niscaya Aku akan ampuni. Wahai hamba-Ku! Sesungguhnya tidak ada bahaya yang dapat kamu lakukan kepada-Ku sebagaimana tidak adanya manfaat yang dapat kamu berikan kepada-Ku. Wahai hamba-Ku! Seandainya orang yang pertama di antara kamu sampai orang yang terakhir, dari kalangan manusia dan jinnya semuanya berada dalam keadaan paling bertakwa di antara kamu, niscaya hal tersebut tidak menambah kerajaan-Ku sedikitpun.  Wahai hamba-Ku, seandainya orang yang pertama di antara kamu sampai orang yang terakhir, dari kalangan manusia dan jinnya, semuanya berhati jahat seperti jahatnya salah seorang di antara kamu, niscaya hal itu tidak akan mengurangi kerajaan-Ku sedikitpun juga. Wahai hamba-Ku! Seandainya  orang yang pertama di antara kamu sampai orang yang terakhir semuanya berdiri di sebuah bukit lalu meminta kepada-Ku, kemudian setiap orang yang meminta Aku penuhi, niscaya hal itu tidak mengurangi apa yang ada pada-Ku selain bagaikan sebuah jarum yang dicelupkan ke dalam lautan. Wahai hamba-Ku! Sesungguhnya semua perbuatan kamu akan Aku jumlahkan untuk kamu kemudian Aku berikan balasan. Barang siapa yang mendapatkan kebaikan maka hendaklah dia memuji Allah dan barang siapa yang mendapatkan selainnya, maka janganlah ada yang dicela selain dirinya.” Sa’id berkata, “Abu Idris apabila menyampaikan hadits ini, maka ia bertekuk lutut.” (HR. Muslim)
Imam Nawawi berkata, “Kami riwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, ia berkata, “Penduduk Syam tidak memiliki hadits yang lebih mulia daripada hadits ini.”
Fawaid:
1. Allah Mahaadil dan tidak pernah berbuat zalim.
2. Haramnya berbuat zalim dan wajibnya berlaku adil dalam semua perkara.
3. Disyariatkannya mencari hidayah sambil memohon kepada Allah Azza wa Jalla.
4. Rezeki di Tangan Allah, maka harus dicari dengan cara-cara yang halal sambil memohon kepada Allah kemudahannya.
5. Seorang hamba butuh kepada Allah dalam segala urusannya, maka hendaknya terus meminta kepada-Nya agar dipenuhi kebutuhannya baik besar maupun kecil.
6. Allah Mahakaya tidak membutuhkan alam semesta. Ketaatan tidak bermanfaat apa-apa bagi-Nya, dan kemaksiatan sama sekali tidak merugikan-Nya, akan tetapi Dia mencintai keimanan dan ketaatan bagi hamba-hamba-Nya, dan membenci kekufuran dan kemaksiatn bagi mereka.
7. Luasnya rahmat Allah, kalau sekiranya setiap dosa langsung diberikan hukuman, tentu tidak ada satu pun makhluk yang masih tersisa, akan tetapi Dia tunda sampai waktu tertentu untuk dijumlahkan dan diberikan balasan.
8. Allah senang diminta.
9. Kemurahan Allah dan ihsan-Nya, dimana Dia tetap mengajak hamba-hamba-Nya -meskipun mereka berbuat zalim dengan berbuat maksiat dan dosa- agar meminta maaf dan memohon ampunan-Nya.
10. Manusia diberikan pilihan dalam tindakannya, sehingga ia dihisab karenanya dan dicela saat meremehkan hak Allah Ta’ala.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji': Tathriz Riyadh Ash Shalihin (Syaikh Faishal bin Abdul Aziz An Najdiy), Syarh Riyadh Ash Shalihin (Muhammad bin Shalih Al Utsaimin),  Bahjatun Nazhirin (Salim bin ’Ied Al Hilaliy), Al Maktabatusy Syamilah versi 3.45, dll.

Mengenal Syirik, Bid’ah, dan Maksiat

Senin, 22 Agustus 2016
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫أياكم ومحدثات الأمور‬‎
Mengenal Syirik, Bid’ah, dan Maksiat
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang mengenal syirik, bid’ah, dan maksiat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Syirik
Syirik adalah dosa yang paling besar, dan termasuk tujuh dosa besar yang membinasakan seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ » . قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَمَا هُنَّ ؟ قَالَ :« الشِّرْكُ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ، وَأَكْلُ الرِّبَا ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ ، وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ » .
"Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan!" Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apa saja itu?" Beliau menjawab, "Syirik kepada Allah, melakukan sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah untuk dibunuh kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri dari peperangan, dan menuduh berzina wanita yang suci, mukminah yang tidak tahu-menahu." (HR. Bukhari-Muslim)
Di samping itu, Allah mengharamkan surga bagi orang yang meninggal di atas perbuatan syirk dan mengekalkan orang itu di neraka, Dia berfirman,
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya adalah neraka, tidak ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS. Al Maa’idah : 72).
Syirk terbagi dua:
1. Syirk Akbar (besar),
Syirk ini bisa terjadi dalam Rububiyyah maupun dalam Uluhiyyah. Syirik dalam Rububiyyah misalnya menganggap bahwa di samping Allah Ta’ala ada juga yang ikut serta menguasai dan mengatur alam semesta. Sedangkan syirik dalam Uluhiyyah adalah dengan mengarahkan ibadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala (baik selain Allah itu para malaikat, para nabi, orang-orang yang telah mati, kuburan, batu, keris, matahari, bulan, jin, hewan, maupun lainnya). Misalnya berdoa dan meminta kepada selain Allah, ruku dan sujud kepada selain Allah, berkurban untuk selain Allah (seperti membuat sesaji untuk jin atau penghuni kubur), bertawakkal kepada selain Allah, dan segala bentuk penyembahan/ibadah yang ditujukan kepada selain Allah Ta’ala.
2. Syirik Ashghar (kecil),
Syirik kecil adalah niat, ucapan, dan perbuatan yang dihukumi syirik oleh Islam, karena bisa mengarah kepada Syirik Akbar dan mengurangi kesempurnaan tauhid seseorang. Contoh: riya, bersumpah dengan nama selain Allah, merasa sial dengan sesuatu, menisbatkan turunnya hujan karena bintang ini atau itu, tahun ini dan tahun itu.
Contoh syirik lainnya adalah meyakini ramalan bintang (zodiak), melakukan pelet, sihir atau santet, mencari (ngalap) berkah pada benda-benda yang dikeramatkan, memakai jimat, dan membaca jampi-jampi syirik. Demikian pula mengatakan “Hanya Allah dan kamu saja harapanku”, “Aku dalam lindungan Allah dan kamu”, “Dengan nama Allah dan nama fulan” dan kalimat lain yang terkesan menyamakan dengan Allah Ta’ala. Ini semua adalah syirk. Termasuk pula menaati ulama atau umara (pemerintah) ketika mengharamkan apa yang Allah halalkan atau menghalalkan apa yang Allah haramkan.
Bid’ah
Bid’ah adalah salah satu jenis maksiat yang samar. Disebut sebagai maksiat, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berbuat bid’ah dalam agama, Beliau bersabda,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Jauhilah oleh kalian perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena semua perkara bid’ah adalah sesat.“ (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 2549).
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ، فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengadakan dalam agama kami ini sesuatu yang bukan daripadanya, maka hal itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Semua bid’ah adalah sesat meskipun manusia menganggapnya baik.”
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sedikit namun di atas Sunnah, lebih baik daripada banyak namun di atas bid’ah.”
Bid’ah dikatakan “maksiat yang samar” karena orang awam mengira, bahwa perbuatan itu benar, sedangkan para ulama mengetahui bahwa perbuatan itu adalah salah. Oleh karena itulah, perbuatan bid’ah lebih disukai oleh Iblis daripada maksiat karena seseorang menyangkanya benar, sehingga seseorang tidak bertaubat daripadanya, sedangkan maksiat lebih mudah bagi seseorang untuk bertaubat karena ia mengetahui salahnya. Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata,
اَلْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيْسَ مِنَ الْمَعْصِيَةِ, اَلْمَعْصِيَةُ يُتَابُ مِنْهَا وَالْبِدْعَةُ لاَ يُتَابُ مِنْهَا
“Bid’ah lebih disukai oleh Iblis daripada maksat. Maksiat itu seseorang mudah bertaubat daripadanya, sedangkan bid’ah seseorang biasanya tidak mau bertaubat daripadanya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berbuat bid’ah dalam agama adalah karena perkara bid’ah membuat agama menjadi rusak. Alhamdulillah, di setiap zaman di kalangan umat Beliau ada yang tampil memurnikan agama ini meskipun biasanya mereka dibenci dan dijauhi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ، لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ، حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
“Akan senantiasa ada sekelompok umatku yang tetap tampil di atas kebenaran, dimana orang yang menyelisihi mereka tidaklah merugikan mereka sampai datang ketetapan Allah, sedangkan mereka di atas itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bid’ah bisa terjadi dalam akidah dan ibadah. Bid’ah dalam akidah lebih berbahaya daripada bid’ah dalam ibadah, meskipun kedua-duanya adalah menyimpang.
Bid’ah dalam akidah misalnya bid’ah kaum Jahmiyyah, Mu’tazilah, Khawarij, Murji’ah, Qadariyyah, Jabriyyah, dan berbagai aliran sesat lainnya.
Bid’ah dalam ibadah, yaitu beribadah kepada Allah namun tidak mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini ada beberapa macamnya:
Pertama, bid’ah dalam ashlul ibadah, dalam arti mengadakan ibadah yang tidak ada dasarnya sama sekali dalam Islam, seperti mengadakan shalat tertentu atau puasa tertentu yang tidak ada dasar dalilnya sama sekali. Contohnya melakukan shalat Raghaib dan puasa mutih.
Kedua, bid’ah dengan memberikan tambahan pada ibadah yang ada dasarnya. Misalnya mengucapkan kalimat tertentu sebelum shalat selain takbiratul ihram, menambahkan jumlah rakaat shalat, seperti shalat Zhuhur menjadi lima rakaat, dsb.
Ketiga, bid’ah dalam pelaksanaan suatu ibadah, misalnya melakukan suatu ibadah dengan caranya sendiri; tidak mengikuti petunjuk Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti berdzikir sambil menggoyang-goyang kepala dan sambil menarik nafas.
Keempat, mengkhususkan waktu tertentu untuk beribadah padahal syariat tidak mengkhususkannya, seperti mengkhususkan malam Nishfu Sya’bah dengan qiyamullail, atau siang harinya dengan berpuasa. Praktek qiyamullail dan puasa ada dasarnya, tetapi mengkhususkan pada Nishfu Sya’ban butuh dalil lagi.
Di antara sebab munculnya bid’ah adalah tidak mengetahui hukum-hukum agama, mengikuti hawa nafsu, fanatik terhadap pendapat dan para tokoh, menyerupai orang-orang kafir, bersandar kepada hadits-hadits yang maudhu (palsu) yang tidak ada asalnya, adat-istiadat serta khurafat yang tidak ditunjukkan syara’ dan tidak didukung akal.
Maksiat
Maksiat artinya sikap durhaka, yaitu dengan meninggalkan perintah Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengerjakan larangan-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam mereka yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dengan neraka, Dia berfirman,
وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا
“Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka.” (QS. An Nisaa’: 14)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى» ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: «مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى»
“Setiap umatku akan masuk surga selain orang yang enggan (masuk surga).” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang enggan itu?” Beliau menjawab, “Orang yang taat kepadaku akan masuk surga dan orang yang durhaka kepadaku dialah orang yang enggan (masuk surga).” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)
Perbuatan maksiat terbagi dua: Maksiat (dosa) besar dan maksiat kecil. Maksiat besar atau dosa besar adalah perbuatan yang dilarang Allah dan Rasul-Nya, di mana perbuatan tersebut ada hadnya (hukumannya) di dunia, atau adanya ancaman berupa azab, dan kemurkaan di akhirat, atau adanya laknat terhadap pelakunya. Misalnya tujuh dosa besar yang telah disebutkan sebelumnya, meninggalkan shalat, enggan membayar zakat, tidak berpuasa Ramadhan, berzina, mencuri, durhaka kepada orang tua, memutuskan tali silaturrahim, bermain judi, bersikap sombong, meminum minuman keras, dsb.
Pembagian maksiat atau dosa yang disebutkan di atas tidak boleh menjadikan seseorang meremehkan dosa kecil, karena dosa kecil juga bisa berubah menjadi dosa besar ketika pelakunya meremehkannya, senantiasa melakukannya, bangga dalam mengerjakannya, atau terang-terangan melakukannya.  
Oleh karena itu, sikap seorang muslim terhadap maksiat adalah tidak melihat dosa itu; besar atau kecil, tetapi ia lihat kepada siapa dia bermaksiat?
Di samping itu, sikap meremehkan dosa adalah sikap orang fasik. Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu berkata, “Sesungguhnya seorang mukmin memandang dosa-dosanya seakan-akan ia sedang duduk di bawah sebuah bukit, ia takut kalau bukit itu runtuh menimpanya. Sedangkan orang fajir (fasik) memandang dosa-dosanya seakan-akan ada lalat yang menempel di hidungnya, lalu ia berbuat seperti ini –yakni dengan tangannya- ia menyingkirkan lalat itu.” (Diriwayatkan oleh Bukhari)
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Aqidatut Tauhid (Dr. Shalih Al Fauzan), Maktabah Syamilah versi 3.45, Untaian Mutiara Hadits (Penulis), dll.

Adab Berhias dan Berpakaian

Jumat, 19 Agustus 2016
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫إن الله جميل يحب الجمال‬‎
Adab Berhias dan Berpakaian
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang adab berhias dan berpakaian, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Pengantar
Dahulu, sebelum kedatangan Islam, orang-orang Arab berthawaf di sekitar Ka’bah dalam keadaan telanjang, dimana maksud mereka melakukannya adalah untuk melepas semua pakaian yang mereka gunakan untuk maksiat kepada Allah Ta’ala, maka setelah datang Islam perbuatan demikian dihapus, dan diganti dengan pandangan Islami, bahwa yang terpenting adalah kebersihan hati dan berhias diri dengan pakaian yang menutupi aurat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Wahai anak Adam! Pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid.” (QS. Al A’raaf: 31)
Seorang muslim memahami, bahwa pakaian merupakan salah satu nikmat di antara nikmat-nikmat Allah Azza wa Jalla kepada hamba-hamba-Nya, dimana dengan pakaian mereka dapat menutup aurat mereka, dan dengannya pula mereka dapat memelihara diri mereka dari panas dan dingin. Allah Ta’ala berfirman,
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
“Wahai anak Adam! Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah agar mereka selalu ingat.” (QS. Al A’raaf: 31)
وَجَعَلَ لَكُمْ سَرَابِيلَ تَقِيكُمُ الْحَرَّ
“Dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas.” (QS. An Nahl: 81)
Ayat di atas menerangkan kepada kita tentang tujuan berpakaian, yaitu untuk menutupi aurat kita dan untuk menjaga diri kita dari panas dan dingin. Demikian pula menerangkan, bahwa sebaik-baik yang digunakan untuk menutupi diri adalah takwa, karena takwa dapat menjaga diri seseorang dari azab Allah dan kemurkaan-Nya, sebagaimana pakaian dapat menjaga diri dari panas dan dingin.
Adab Berhias dan Berpakaian
Sebagai tanda syukur atas nikmat yang besar ini, maka seorang muslim memperhatikan adab-adab Islami ketika berpakaian, yaitu sebagai berikut:
1. Menutupi aurat
Aurat laki-laki adalah dari pusar sampai lutut. Akan tetapi, ketika shalat, ia wajib pula menutupi pundaknya di samping tertutup auratnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يُصَلِّي أَحَدُكُمْ فِي الثَّوْبِ الوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى عَاتِقَيْهِ شَيْءٌ
“Janganlah salah seorang di antara kamu shalat mengenakan satu kain, dimana pundaknya tidak ditutupi sesuatu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sedangkan aurat wanita adalah seluruh tubuhnya selain muka dan telapak tangan. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya.” (Terj. QS. An Nuur: 31)
Ibnu Abbas berkata, "Yaitu mukanya, kedua telapak tangannya, dan cincin.”
Jika ditutup mukanya (seperti memakai cadar) dan tangannya maka lebih utama. Ibnu Khuwaiz Mandad berkata, “Wanita itu jika cantik dan dikhawatirkan timbul fitnah dari muka dan telapak tangannya hendaknya menutupnya, dan jika wanita itu sudah tua atau tidak cantik maka tidak mengapa membuka wajah dan telapak tangannya.”
2. Wajibnya memakai jilbab bagi wanita
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ
Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan menjaga kehormatannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka…dst.” (QS. An Nuur: 31)
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang beriman, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzaab: 59)
Jilbab adalah baju kurung yang lebar yang dapat menutup kepala,  leher, dan dada.
Dalam memakai jilbab tidak dibenarkan memakai pakaian yang sempit atau ketat, tipis, membentuk lekuk tubuh, tembus pandang, menyerupai laki-laki, dan diberi wewangian.
3. Tidak berbangga dan sombong dengan pakaian yang dipakainya.
Hal itu, karena Allah tidak meyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri (Lihat QS. Luqman: 18 dan Al Hadid: 23).
Akan tetapi, tidaklah termasuk sombong, apabila seseorang senang berpenampilan indah.
Dari Abdullah bin Mas'ud dari Nabi shallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
«لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ»
"Tidak masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat kesombongan meskipun sebesar debu."
Kemudian ada seorang yang berkata, "Sesungguhnya seseorang suka jika pakaiannya indah dan sandalnya bagus," maka Beliau bersabda,
«إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ، وَغَمْطُ النَّاسِ»
"Sesungguhnya Allah indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia." (HR. Muslim)
4. Berdoa ketika mengenakan pakaian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَكَلَ طَعَامًا ثُمَّ قَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هَذَا الطَّعَامَ، وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّي وَلَا قُوَّةٍ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ قَالَ: وَمَنْ لَبِسَ ثَوْبًا فَقَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي كَسَانِي هَذَا الثَّوْبَ وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّي، وَلَا قُوَّةٍ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang memakan suatu makanan, kemudian mengucapkan, “Alhamdulillahilladziy ath’amaniy haadzaath tha’aam…sampai walaa quwwah,” (artinya: segala puji bagi Allah yang memberiku makanan ini dan mengaruniakan kepadaku makanan ini tanpa susah payah dariku), maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan barang siapa yang memakai sebuah pakaian, kemudian mengucapkan, “Alhamdulillahilladziy kasaanii haadzats tsauba…sampai walaa quwwah,” (artinya: segala puji bagi Allah yang memberiku pakaian ini dan mengaruniakan kepadaku pakaian ini tanpa susah payah dariku), maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Abu Dawud, dan dinyatakan hasan oleh Al Albani, tanpa tambahan “wamaa ta’akhkhar” (artinya: maupun dosanya yang akan datang.”)
5. Berdoa ketika mengenakan pakaian baru
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا اسْتَجَدَّ ثَوْبًا سَمَّاهُ بِاسْمِهِ إِمَّا قَمِيصًا، أَوْ عِمَامَةً ثُمَّ يَقُولُ: «اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ كَسَوْتَنِيهِ أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهِ وَخَيْرِ مَا صُنِعَ لَهُ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهِ، وَشَرِّ مَا صُنِعَ لَهُ» قَالَ أَبُو نَضْرَةَ: " فَكَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صلّى الله عليه وسلم إِذَا لَبِسَ أَحَدُهُمْ ثَوْبًا جَدِيدًا قِيلَ لَهُ: تُبْلَى وَيُخْلِفُ اللَّهُ تَعَالَى "
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memakai baju baru, maka Beliau menandainya dengan namanya[i], baik berupa gamis maupun sorban, selanjutnya Beliau mengucapkan, “Allahumma…sampai maa shuni’a lahu.” (artinya: Ya Allah, segala puji bagi-Mu. Engkaulah yang memberikan pakaian ini kepadaku, maka aku memohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan yang ditimbulkannya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan yang ditimbulkannya). Abu Nadhrah berkata, “Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ada yang mengenakan pakaian baru, maka didoakan kepadanya, “Tublaa wa yukhlifullahu Ta’ala,” (artinya: semoga bajunya awet hingga usang, dan semoga Allah Ta’ala menggantinya).” (HR. Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al Albani)
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى عَلَى عُمَرَ قَمِيصًا أَبْيَضَ فَقَالَ ثَوْبُكَ هَذَا غَسِيلٌ أَمْ جَدِيدٌ قَالَ لَا بَلْ غَسِيلٌ قَالَ الْبَسْ جَدِيدًا وَعِشْ حَمِيدًا وَمُتْ شَهِيدًا
Dari Ibnu Umar radhiyllahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat Umar memakai gamis yang putih, lalu Beliau bertanya, “Bajumu ini baru dicuci atau baru?” Umar menjawab, “Baru dicuci.” Beliau bersabda, “Ilbas jadidan…sampai wa mut syahida.” (artinya: Pakailah baju baru, hiduplah secara terhormat, dan matilah sebagai syahid).” (HR. Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnus Sunniy, dishahihkan oleh Al Albani)
6. Mengucapkan basmalah (Bismillah) ketika melepas pakaian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سَتْرُ مَا بَيْنَ أَعْيُنِ اْلِجنِّ وَ عَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ إِذَا وَضَعَ أَحَدُهُمْ ثَوْبَهُ أَنْ يَقُوْلَ  :  بِسْمِ اللهِ
“Penutup mata jin dari melihat aurat anak cucu Adam adalah ketika salah seorang di antara mereka saat melepas pakaiannya mengucapkan, “Bismillah,” (HR. Thabrani dalam Al Awsath, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami no. 3610)
7. Mendahulukan bagian yang kanan ketika memakai dan mendahulukan bagian yang kiri ketika melepas
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senang mendahulukan bagian kanan ketika memakai sandal, menyisir, bersuci, dan dalam semua urusannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
8. Tidak melabuhkan kain sampai melewati mata kaki (isbal) bagi laki-laki.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا أَسْفَلَ مِنَ الكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِي النَّارِ
“Kain yang berada di bawah mata kaki adalah di neraka.” (HR. Bukhari)
9. Tidak mengenakan pakaian lawan jenis.
Oleh karena itu, tidak boleh bagi laki-laki mengenakan pakaian wanita, demikian pula wanita mengenakan pakaian laki-laki.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,
«لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ، وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ»
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki memakai pakaian wanita, dan wanita memakai pakaian laki-laki.” (HR. Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al Albani)
10. Tidak boleh bagi laki-laki memakai pakaian sutera dan memakai perhiasan emas.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«حُرِّمَ لِبَاسُ الحَرِيرِ وَالذَّهَبِ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِي وَأُحِلَّ لِإِنَاثِهِمْ»
“Diharamkan memakai pakaian sutera dan emas bagi laki-laki umatku, dan dihalalkan bagi wanitanya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi dari Abu Musa Al Asy’ariy, dishahihkan oleh Al Albani)
Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat cincin emas di jari seseorang, maka Beliau melepas dan membuangnya sambil bersabda,
يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَيَجْعَلُهَا فِي يَدِهِ
“Salah seorang di antara kalian sengaja mengambil bara api dan meletakkannya di tangannya.”
Lalu ada yang berkata kepada orang itu setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi, “Ambillah cincinmu itu dan manfaatkanlah.” Maka orang itu berkata, “Tidak demi Allah, aku tidak akan mengambilnya, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membuangnya.” (HR. Muslim)
11. Dianjurkan mengenakan pakaian berwarna putih
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اِلْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ البَيَاضَ، فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ، وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ
“Pakailah pakaianmu yang berwarna putih, karena itu pakaianmu yang terbaik, dan kafankanlah orang-orang yang wafat di antara kamu dengannya.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah)
12. Memakai pakaian yang indah pada hari Jum’at dan pada hari raya
Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلَبِسَ مِنْ أَحْسَنِ ثِيَابِهِ، وَمَسَّ مِنْ طِيبٍ إِنْ كَانَ عِنْدَهُ، ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَلَمْ يَتَخَطَّ أَعْنَاقَ النَّاسِ، ثُمَّ صَلَّى مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ، ثُمَّ أَنْصَتَ إِذَا خَرَجَ إِمَامُهُ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ صَلَاتِهِ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ جُمُعَتِهِ الَّتِي قَبْلَهَا»
“Barang siapa yang mandi pada hari Jum’at, memakai pakaian yang indah, memakai wewangian jika ada padanya, lalu datang untuk shaat Jum’at, dan tidak melangkahi leher manusia, kemudian shalat sesuai yang Allah tetapkan baginya, kemudian diam ketika imam datang hingga shalat selesai ditunaikan, maka hal itu akan menjadi penghapus dosa di antara hari Jum’at itu dengan hari Jum’at sebelumnya.” Abu Hurairah menambahkan, “Ditambah tiga hari.” (HR. Abu Dawud, dan dihasankan oleh Al Albani)
Al Hasan radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami dalam dua hari raya agar kami memakai pakaian yang paling baik yang bisa kami peroleh, memakai wewangian yang kami dapatkan, dan berkurban dengan hewan berharga yang dapat kami lakukan.” (HR. Hakim)
13. Tidak melakukan isytimalush shama
Isytimalush shama adalah seseorang menyelimuti dirinya dengan kain tanpa menyisakan tempat keluar bagi tangannya, demikian menurut mayoritas Ahli Bahasa. Namun menurut para Ahli Fiqh, bahwa isytimalush shama adalah menyelimuti badan dengan satu kain, lalu mengangkatnya dari salah satu pinggirnya dan meletakkan di salah satu pundaknya. Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim (14/76) menjelaskan, bahwa isytimalush shama seperti yang diterangkan para Ahli Bahasa hukumnya makruh agar jangan sampai ketika seseorang butuh menyingkirkan serangga atau lainnya, dirinya kesulitan menyingkirkannya dengan tangan, sehingga terkena bahayanya. Sedangkan jika isytimalush shama mengikuti penjelasan Ahli Fiqh, maka hukumnya haram jika sebagian aurat terlihat, jika tidak maka hukumnya makruh.
عَنْ جَابِرٍ، «أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يَأْكُلَ الرَّجُلُ بِشِمَالِهِ، أَوْ يَمْشِيَ فِي نَعْلٍ وَاحِدَةٍ، وَأَنْ يَشْتَمِلَ الصَّمَّاءَ، وَأَنْ يَحْتَبِيَ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ كَاشِفًا عَنْ فَرْجِهِ»
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang makan dengan tangan kirinya, berjalan dengan satu sandal, melakukan isytimaslush shama, dan seseorang melakukan ihtiba (duduk di atas kedua pinggulnya dengan mengangkat kedua betisnya, lalu menutupinya dengan kain) sedangkan farjinya terlihat.” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«لَا تَمْشِ فِي نَعْلٍ وَاحِدٍ، وَلَا تَحْتَبِ فِي إِزَارٍ وَاحِدٍ، وَلَا تَأْكُلْ بِشِمَالِكَ، وَلَا تَشْتَمِلِ الصَّمَّاءَ، وَلَا تَضَعْ إِحْدَى رِجْلَيْكَ عَلَى الْأُخْرَى إِذَا اسْتَلْقَيْتَ»
“Janganlah engkau berjalan dengan satu sandal, melakukan ihtiba dengan sebuah kain, makan dengan tangan kiri, melakukan isytimalush shama, dan jangan engkau meletakkan salah satu kaki di atas kaki yang lain ketika tidur terlentang[ii].” (HR. Muslim)
14. Tidak memakai pakaian yang bergambar makhuk bernyawa, salib, dan tulisan-tulisan yang tidak mencerminkan akhlak yang mulia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ القِيَامَةِ الَّذِينَ يُضَاهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ
“Manusia yang paling pedih azabnya pada hari Kiamat adalah orang-orang yang membuat penyerupaan dengan ciptaan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
« وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَيُوشِكَنَّ أَنْ يَنْزِلَ فِيكُمُ ابْنُ مَرْيَمَ حَكَماً مُقْسِطاً فَيَكْسِرَ الصَّلِيبَ ، وَيَقْتُلَ الْخِنْزِيرَ ، وَيَضَعَ الْجِزْيَةَ ، وَيَفِيضَ الْمَالُ حَتَّى لاَ يَقْبَلَهُ أَحَدٌ » . 
“Demi Allah yang diriku di Tangan-Nya, pasti akan turun kepada kalian putera Maryam (Isa) sebagai hakim yang adil, ia akan mematahkan salib, membunuh babi, meniadakan pajak dan harta akan melimpah ruah sehingga tidak ada seorang pun yang mau menerima.” (HR. Bukhari)
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: http://islam.aljayyash.net , Maktabah Syamilah versi 3.45, Hishnul Muslim (Dr. Sa’id Al Qahthani), Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud (M. Asyraf Al Azhim Abadi) Modul Pembinaan Akhlak (Bintang Pelajar), Minhajul Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy), Mausu’ah Ruwathil Hadits dan Mausu’ah Haditsiyyah Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur’ani was Sunnah),  dll.




[i] Maksudnya mengucapkan, “Allah memberikan kepadaku gamis atau sorban ini,” atau mengucapkan, “Ini adalah gamis atau ini adalah sorban.” (Aunul Ma’bud 11/43).
[ii] Larangan ini tertuju jika menaruh kaki yang satu di atas kaki yang lain mengakibatkan aurat terlihat, jika tidak terlihat maka tidak mengapa, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tidur terlentang di masjid dengan meletakkan kaki yang satu di atas kaki yang lain (sebagaimana dalam Shahih Muslim no. 2100).
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger