Bagaimana Menerjemahkan Bahasa Arab Dengan Baik?

Sabtu, 29 Juli 2017
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫كيف نترجم‬‎
Bagaimana Menerjemahkan Bahasa Arab Dengan Baik?
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang bagaimana menerjemahkan bahasa Arab dengan baik, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Ta’rif (Definisi) ‘Terjemah’
Terjemah pada umumnya diartikan dengan menerangkan kata atau kalimat berbahasa asing ke dalam bahasa yang biasa digunakan. Bisa juga diartikan dengan mengalih-bahasankan dari suatu bahasa ke bahasa yang lain.
Macam-Macam Terjemah
Terjemah terbagi ke dalam tiga macam:
Pertama, terjemah interbahasa. Disebut juga siyaghat bi alfazhin ukhra  (mengungkapkan sebuah kata atau kalimat dengan kata-kata berbeda dalam bahasa yang sama). Contoh: kata لَزِمَ diartikan dengan ثَبَتَ وَدَامَ ‘ (artinya: tetap).
Kedua, terjemah antar bahasa. Disebut juga sebagai terjemah hakiki. Contoh penerjemahan kalimat berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia:
كَتَبَ أَحْمَدُ الرِّسَالَةَ
Artinya: Ahmad menulis surat.
Ketiga, terjemah antar simbol. Misalnya menerjemahkan kata ‘kepala’, ‘mata’ atau ‘pedang’ dengan menyuguhkan gambar-gambar kepala, mata, atau pedang.
Pembagian Terjemah Antar Bahasa
Pada prakteknya, penerjemahan antar bahasa, seperti dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia terbagi ke dalam beberapa macam:
Pertama, tarjamah harfiyyah atau terjemah kata-perkata. Terjemah ini biasa digunakan untuk pemula yang baru belajar bahasa Arab agar ia dapat mengetahui arti sebuah kata dan menambah perbendaharaan kata.
Hanyasaja perlu diketahui, bahwa susunan bahasa Arab dengan bahasa Indonesia berbeda, sehingga jika disusun menjadi sebuah kalimat menjadi tidak enak dibaca dan didengar.
Biasanya urutan kata dalam sebuah kalimat berbahasa Indonesia terdiri dari Subjek + Predikat + Objek, akan tetapi susunan kalimat berbahasa Arab biasanya terdiri (diawali) dari Fi’il (Predikat) + Subjek (Fa’il) + Maf’ul bih (Objek), yakni kata kerja lebih didahulukan daripada fa’il (pelaku).
Kedua, tarjamah ma’nawiyah. Yang dijadikan perhatian dalam terjemah ini adalah maksud atau makna (inti) dari suatu kalimat.
Ketiga, tarjamah ibda’iyah (terjemah kreatif). Ciri terjemah ini adalah, bahwa kalimat terjemahannya tidak tampak seperti dari bahasa lain, enak dibaca dan didengar, menarik pembaca, mengandung sastra, dsb.
Contoh:
وَقُمْتُ أَذْرُعُ الشُّرْفَةَ جِيْئَةً وَذُهُوْبًا, وَالرّسَالَةُ فِي يَمِيْنِي وَقَدْ هَاجَتْ فِي تَفْسِي عَاطّفَةُ الذِّكْرَى لِأَيَّامِ رِقَاقٍ, قَضَيْتُهَا نَاعِمَ الْبَال خَلِيَّ الْفُؤَادِ وَرَأَيْتُ إِلَى الرِّسَالَةَ فَوَقَعَتْ عَيْنِيْ عَلَى قَوْلِ الصَّدِيْقِ "إِنَّنَا مُقْبِلُوْنَ عَلَى أَيَّامِ طُمَأْنيْنَة وَأَمَانٍ
Aku berjalan mondar-mandir di beranda. Surat itu kugenggam dalam tanganku, sementara dalam hatiku bergejolak emosi kenangan hari-hari indah yang kulewatkan dengan hati riang dan tanpa beban. Kupandangi surat itu, dan terbacalah kata-kata sang kawan, “Kami sedang menyongsong hari ketenangan dan kedamaian.”
Keempat, tarjamah bit tasharruf, artinya terjemah dengan adanya perubahan atau penyesuaian, dimana terkadang maksudnya agar lebih mudah dipahami, atau hendak mengambil point pentingnya saja, atau karena hal lain.
Kelima, tarjamah tafsiriyyah. Maksudnya terjemah yang juga merupakan tafsir dan penjelas terhadap kalimat asing tersebut. Dalam terjemah ini tidak diperhatikan kata-perkata, bahkan perhatiannya lebih tertuju kepada memperjelas maksud teks, sehingga tidak meninggalkan pertanyaan ‘apa maksudnya?’ di kalangan pembaca.
Hal yang perlu diperhatikan dalam menerjemah
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan oleh para penerjemah, yaitu:
Pertama, karya terjemahan harus mampu mengungkapkan makna yang sebenarnya dari teks asli (mengungkapkan maksud penulis).
Kedua, sedapat mungkin, hasil terjemahan harus tetap menjaga keaslian gaya bahasa teks aslinya (memperhatikan kelembutan atau ketegasan, sastra, ciri khas penulis dalam mengungkapkan, dsb.).
Modal Yang Perlu Dimiliki Dalam Menerjemahkan
Ada beberapa modal yang perlu dimiliki dalam menerjemahkan, di antaranya:
1. Menguasai bahasa asli (yang nantinya akan diterjemahkan).
2. Menguasai tata bahasa. Misalnya dalam bahasa Arab, tata bahasanya adalah Nahwu dan Sharaf. Lebih baik lagi menguasai ilmu sastra atau Balaghah.
3. Menguasai bahasa yang hendak diterjemahkan kepadanya (bahasa target). Demikian pula menguasai tata bahasanya. Misalnya kita hendak menerjemahkan teks berbahasa Arab ke bahasa Indonesia, maka kita harus menguasai tata bahasa Idonesia, seperti mengetahui Ejaan Yang Disesuaikan (EYD) atau ejaan yang berlaku, penyusunan kalimat yang benar, penggunaan tanda baca, dsb.
4. Mampu memilih kata dan menggunakan kalimat yang memperjelas maksudnya. Hal itu, karena maksud dari penerjemahan adalah  menerangkan kata atau kalimat; jangan sampai membingungkan pembaca.
5. Melihat contoh-contoh hasil terjemah orang lain.
Langkah-Langkah Menerjemahkan Yang Baik
Berikut langkah-langkah dalam menerjemahkan yang baik:
1. Memahami seluruh isi teks atau buku yang hendak diterjemahkan agar mendapatkan gambaran umum atau pesannya.
2. Tidak menggunakan tarjamah harfiyyah atau kata-perkata, karena berbeda susunan bahasa lain dengan susunan bahasa kita.
3. Memahami maksud ungkapan-ungkapan tertentu, misalnya kalimat:
يَا فَتَّاحُ يَا مَطْلُوْبُ ’ artinya: pagi-pagi sudah membawa persoalan.
قَتَلَ الْوَقْتَ ’ artinya: membuang-buang waktu.
 ‘ سَبَقَ السَّيْفُ الْعَذَلَ ’ artinya: Nasi sudah menjadi bubur.
4. Mengerti suasana hati penulisnya atau semangat bahasanya.
5. Melakukan amanah ilmiyyah, yakni menerjemahkan apa adanya, tanpa memberikan tambahan. Jika kita hendak memberikan catatan, maka kita harus menunjukkan bahwa itu tambahan dari kita.
6. Menguasai beberapa cabang atau disiplin ilmu, terutama jika buku yang hendak kita terjemahkan berkenaan dengan suatu cabang atau disiplin ilmu, maka kita harus memahami istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu tersebut, agar kita dapat menerjemahkan dan menerangkan istilah-istilah yang digunakan dalam buku tersebut.
7. Hendaknya hasil terjemahan seakan-akan bukan dari bahasa asing, bahkan seakan-akan tulisan itu dari bahasa kita, karena susunannya mengikuti bahasa kita.
8. Memilih kata-kata yang biasa digunakan dalam tulisan, bukan kata-kata dalam percakapan sehari-hari yang tidak digunakan dalam bahasa tulisan.
9. Menggunakan bahasa yang halus, tidak menggunakan bahasa yang kasar.
10. Membaca kembali hasil terjemahan.
Mengenal Sekilas Kaidah Penulisan Yang Benar Dalam Bahasa Indonesia
1. Contoh penulisan yang benar sesuai EYD (Ejaan yang disesuaikan):
Akhlak, berkah, doa, jumat, khotbah, khusyuk, maaf, mubazir, nasihat, rezeki, uzur, Alquran, risiko, kaus, saksama, dsb.
2. Contoh penulisan huruf Kapital (Besar):
a. Ungkapan yang berkenaan dengan nama Tuhan dan kitab suci, misalnya: Allah Yang Mahakuasa, aku hamba-Mu, dan agamaku Islam.
b. Unsur nama gelar kehormatan, keturunan, keagamaan, dan pangkat yang diikuti nama orang atau penggantinya, misalnya: Imam Abu Hanifah, Nabi Ibrahim, dan Sekretaris Jenderal Deplu.
c. Unsur nama orang, misalnya: Ahmad Nafi.
d. Nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa, kecuali jika dipakai sebagai bentuk dasar kata keturunan, misalnya: …memakai bahasa Arab sebagai…dan menjawakan.
e. Nama tahun, bulan, hari, hari raya, dan nama peristiwa sejarah, misalnya: hari Jumat, Perang Uhud.
f. Nama khas dalam geografi, misalnya: Gunung Uhud, Danau Toba.
g. Semua kata dalam penulisan nama buku, majalah, surat kabar, dan judul karangan, misalnya: “Perjalanan Menuju Mekah.”
h. Kata penunjuk hubungan kekerabatan yang dipakai dalam penyapaan dan pengacuan, misalnya: Para bapak mengunjungi Bapak Abdulah.
i. Singkatan nama gelar, pangkat, dan sapaan, misalnya: Dr., M.Sc., dan Sdr., Perserikatan Bangsa-Bangsa, Anda.
3. Huruf miring
Penggunaan huruf miring dalam kalimat biasa digunakan untuk nama buku, majalah, dan surat kabar. Misalnya: surat kabar Solopos. Demikian pula digunakan untuk nama ilmiah atau ungkapan asing, kecuali yang telah disesuaikan ejaannya, misalnya: Oriza Sativa, politik devide et impera, kudeta (dari coup d’etat).
4. Contoh penulisan kata yang benar:
Bertanda tangan, ditandatangani, di masjid, dibesar-besarkan, lauk-pauk, ibu-bapak, belasungkawa, olahraga, hamba-Nya, si kecil, se-Indonesia,  adapun, per meter, kg, Rp, ABRI, MPR, Bappenas, rudal, di bawah, di antara, kerja sama, berkembang biak, terima kasih, tanda tangan, orang tua, bertanggung jawab, di kemudian hari, antarsekolah, antarteman, kacamata, fotokopi, diperhatikan, pancausaha, minimarket, tunanetra, waswas, ekstrakurikuler,  dipertanggungjawabkan.
5. Angka dan lambang bilangan:
Rp. 10.000, tiga perempat, seperenam belas, dua pertiga, kedua, ke-2, 200 juta, 12.00, 12.345 orang.
6. Pemakaian tanda baca:
a. Titik, biasa digunakan di akhir kalimat, singkatan nama orang, singkatan gelar, dan singkatan sapaan.
Contoh:  Saya suka membaca Al Quran, M. Rasyid, Dr. Nashir Al Aql, Bpk.
b. Koma, biasa digunakan ketika kalimat yang satu masih terkait dengan kalimat selanjutnya, dan pada contoh-contoh di bawah ini:
saya ingin datang, tetapi hari hujan.
“Saya berbahagia sekali,” kata ibu,
Jakarta, 10 Dzulhijjah 1438 H
Fulan, M.A
Guru saya, Pak Ibrahim, pandai sekali.
“Baca dengan teliti!” kata Bu Guru.
c. Titik koma, biasa dipakai untuk memisahkan bagian-bagian kalimat yang sejenis dan setera. Contoh:
Ayah mengurus tanamannya di kebun; ibu sibuk bekerja; adik menghapal hadits.
Malam makin larut; kami belum selesai juga.
Hari semakin siang; dagangannya belum juga terjual.
d. Titik dua, biasa dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap yang diikuti rangkaian. Contoh: STDI mempunyai dua jurusan: Ilmu Hadits dan Syariah.
e. Tanda Hubung, biasa dipakai untuk menyambung unsur-unsur kata ulang. Misalnya: anak-anak, berulang-ulang, dsb.
f. Tanda pisah, biasa dipakai untuk membatasi penyisipan kata atau kalimat yang memberi penjelasan di luar bangun utama kalimat.
Contoh: Keberhasilan itu –saya yakin- dapat dicapai setelah kita berusaha keras sambil berdoa dan bertawakkal kepada Allah Azza wa Jalla.
g. Tanda tanya, digunakan di akhir kalimat tanya. Misalnya: Kapan dia berangkat?
h. Tanda seru, biasa digunakan di akhir kalimat perintah atau larangan, atau pernyataan kaget. Misalnya: Bacalah Al Quran! Jangan ghibahi fulan! Alangkah mulianya para sahabat!
i. Tanda kurung, biasa digunakan untuk menerangkan maksud suatu kata atau singkatan. Contoh: kitab ini ditahqiq (diteliti) oleh Syaikh…
j. Tanda kurung siku ([…]), biasa digunakan untuk tambahan penjelasan dalam tanda kurung. Contoh: Persamaan kedua proses ini (perbedaannya dibicarakan di bab II [lihat halaman 35-38]) perlu dibahas di sini.
k. Tanda petik (“…“), biasa digunakan untuk mengapit pembicaraan, mengapit judul, karangan, atau bab dalam sebuah kalimat. Contoh:
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang belajar Al Quran dan mengajarkannya.”
Bacalah “Pembagian Tauhid” dalam buku Aqidatut Tauhid karya Dr. Shalih Al Fauzan.
l. Tanda petik tunggal (‘…’), biasa digunakan untuk mengapit makna, terjemahan, atau penjelasan kata, atau ungkapan asing. Contoh: feed-back ‘balikan’.
m. Tanda garis miring, biasa dipakai sebagai ganti kata tiap, per, atau sebagai tanda bagi dalam pecahan dan rumus matematika.
Contoh: harganya  Rp. 1.000/lembar, kecepatannya 20 m/s, 7/8, dsb.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan Hadidi, M.PdI
(Dosen Fan fit Tarjamah STID Muhammad Natsir)
Maraji’: Buku Pintar Menerjemah Arab-Indonesi (Nur Mufid dan Kaserun), https://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia:Pedoman_penulisan_tanda_baca , dll.

Apakah Asy'ariyyah termasuk Ahlussunnah?

Senin, 24 Juli 2017
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫اهل السنة والجماعة‬‎
Apakah Asy’ariyyah Termasuk Ahlussunnah?
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang sikap bijak terhadap kaum Asy’ariyyah yang menyelisihi kaum salaf (generasi pertama Islam) terdahulu dalam akidah Asma wa Sifat; dimana mereka tetapkan sifat tertentu bagi Allah (sifat 20), menakwil sebagian sifat Allah, dan menetapkan sebagian sifat berdasarkan akal, sedangkan prinsip kaum salaf atau Ahlussunnah wal Jama’ah adalah menetapkan nama dan sifat bagi Allah mengikuti apa yang Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam tetapkan, tanpa ta’wil (mengartikan lain sifat Allah), ta’thil (meniadakan), takyif (menanyakan hakikat), maupun tasybih/tamtsil (menyerupakan sifat Allah).   
Pembahasan ini merupakan terjemah dari pertanyaan yang diajukan kepada Syaikh Ali Hasan Al Halabiy (murid Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah) tentang Asy’ariyyah; apakah mereka termasuk Ahlussunnah, dan apa sikap yang bijak terhadap kaum Asy’ariyyah, berikut jawabannya saat kunjungannya ke Indonesia. Semoga Allah menjadikan penerjemahan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Teks Asli Fatwa:
الحمد لله وحده والصلاة والسلام على من لا نبي بعده، أما بعد،
هذا سؤال أجاب عنه شيخنا الفاضل علي بن حسن الحلبي -حفظه الله تعالى-، نفعنا بها، آمين.
س: هل الأشاعرة من أهل السنة وما موقف طالب العلم أو الداعية السلفي في المجتمع الذي انتشر فيهم عقيدة الأشعرية وخاصة أنهم يعتقدون أن الأشاعرة هم أهل السنة حيث أن الداعية سيدرس عقيدة التوحيد ومن المعلوم أقسام التوحيد توحيد الأسماء والصفات فيضطر الداعية أن يبين المخالفات من الفرق في توحيد الأسماء والصفات؟ أفيدونا مأجورين...
ج: أما أن الأشاعرة من أهل السنة؛ فشيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله يقرر :
أن الأشاعرة من أهل السنة فيما وافقوا فيه أهل السنة، هذه واحدة.
الثانية: أن الأشاعرة من أهل السنة في مقابل الروافض.
الثالثة: أن الأشاعرة من أهل السنة في البلاد التي ليس فيها أهل السنة.
النقطة الرابعة: أننا لا نستطيع أن نجد للأشاعرة قولا مؤتلفا نحاكمهم عليه، بحيث يكاد يكون كل رأس من رؤوس الأشاعرة يخالف الآخر، جمعتهم قضية الأشعرية، لكنهم فيما بينهم اختلفوا فيما بينهم.
نقطة أخرى: في الحقيقة رأيتها وهي الفترة الأخيرة اجتهدت أن أنظر في سيرة علمائنا وتعاملهم مع الأشاعرة، وهذه النقطة أرجو أن ننتبه لها كثيرا. الموقف العلمي من العقيدة الأشعرية *لا يجوز أن يكون سببا في صراعات داخل المجتمع المسلم، أو أن يكون سببا للضدية*، وبخاصة -فلنكن صرحاء- *أن أكثر المسؤولين، وأكثر المفتين، وأكثر القضاة، وأكثر الوزراء، منذ قرون هم الأشاعرة*.
ورأيت من كلام شيخ الإسلام ابن تيمية شيئا كثيرا حتى قال في فتاويه -رحمه الله- قال: "يعلم أكثر الناس كم كنت حريصا على فض الخلاف والنزاع بين الحنابلة والأشعرية".
الإمام بدر الدين ابن جماعة كان قاضيا في مصر -وهو من الذين حاكموا شيخ الإسلام وحكموا عليه- ولما حصلت بعض الفتن في بعض بلاد المسلمين خرج للاتفاق أو للمناقشة والمباحثة مع أعداء الإسلام، ابن تيمية وابن جماعة يدا بيد، فلا يقول: "هذا حاكمني، هذا أشعري، وأنا سلفي".
شيخ الإسلام ابن تيمية انتدب له علاء الدين الباجي ليناظره وكان رأسا من رؤوس الأشاعرة في زمنه،  فلما وصل إليه وعند المناظرة، قال شيخ الإسلام كما نقل السبكي، قال: "أنت شيخنا وأنا أستفيد منك"، مع أنه أشعري، وشيخ الإسلام أحكامه حادة على الأشعرية، لكن الحكم النوعى شيء، والحكم العيني شيء، الحكم العقائد التصوري شيء، والحكم الإجتماعي الواقعي شيء آخر. أنا أعتقد لو أننا نظرنا في هذه القضية لسَهُل علينا كثير من الواقع الصعب والعسير الذي نعيشه.
وأظن أن هذا القسم الأخير من الجواب، فيه من الجواب على قسم سؤالك الثاني، مع التنبيه إلى شيء آخر. أنا أستطيع الآن أن أُحْضِر لك من كتب الأشاعرة ومن كتب علماء الشافعية ما يتوافق تماما مع مذهب أهل السنة. فلماذا في مثل هذه المضائق لا نأتي بأقوال هؤلاء بدلا أن نأتيهم بكلام ابن تيمية وابن القيم وكلام ابن رجب وكلام محمد بن عبد الوهاب وكلام ابن باز؟ نأتيهم بكلام هؤلاء العلماء الذين هم يقدرونهم ويحترمونهم، وهم يبجلونهم ونحن كذالك. فهذا حينئذ يضيق الفتنة ويقوي الحجة بالنسبة لك.
والكلمة الأخيرة في هذه الجزئية بشكل عام وبإطار عام، أننا نناصح كل طلاب العلم أن يتخذوا *الرفق أعظم سلاح* في دعوتهم واللين والحكمة والرفق واللطف، ونصف القرآن الكريم قوله تعالى: " وليتلطف"، فنحن مأمورون بالتلطف، "وكذالك جعلناكم أمة وسطا لتكونوا شهداء على الناس"، لا يمكن أن نكون شهداء على الناس بالغلظة أو القسوة، فالأصل اللين والرحمة.
 أنا أعلم أن البعض -وأرجو أن لا يكون منكم أو بينكم أحد من هذا البعض- يقول: "يا شيخ، الشدة!". نعم، الشدة مشروعة في حالتين:
الحالة الأولى: *حالة الإضطرار* وليست حالة الأصل.
الشيء الثاني: *حالة القوة* ليس حالة الضعف.
وإذا نظرنا في أنفسنا وفي أكثر بلاد المسلمين نرى وللأسف أن أكثر أهل السنة في حالة الضعف وليست في حالة القوة.
وأعجبتني كلمة للشيخ صالح آل الشيخ -حفظه الله ورعاه- يقول: "الدعاة اليوم أحوج ما يكونون إلى تعلم *فقه القوة والضعف*"، متى تتكلم بالقوة، متى تتكلم باللين، متى ترد، متى تسكت، متى تأمر، متى تنهى، هذه كلها قضايا جوهرية، وهي كلها عائدة إلى مبادئ الترجيح بين المصالح والمفاسد، كما نقل شيخ الإسلام ابن تيمية -رحمه الله- عن بعض السلف قولهم: "ليس الفقيه الذي يعرف الخير من الشر، ولكن الفقيه الذي *يعرف خير الخيرين، وشر الشرين*". والله الهادي إلى سواء السبيل.
مدينة باتو إندونيسيا، 19 شوال 1438 هـ
Terjemahan:
Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad; yang tidak ada lagi nabi setelahnya.
Ini merupakan pertanyaan yang dijawab oleh guru kami yang mulia Ali bin Hasan Al Halabiy hafizhahullah, semoga Allah memberikan manfaat dengannya, amin.
Pertanyaan: Apakah kaum Asy’ariyyah termasuk Ahlussunnah, dan apa sikap penuntut ilmu atau da’i salaf di lingkungan yang di tengah-tengah mereka tersebar akidah Asy’ariyyah. Apalagi mereka beranggapan, bahwa Asy’ariyyah adalah Ahlussunnah wal Jamaah, padahal seorang da’i perlu mengajarkan akidah tauhid, sedangkan pembagian tauhid sebagaimana yang sudah diketahui, di antaranya adalah Tauhid Asma wa Shifat, sehingga seorang da’i terpaksa menerangkan kekeliruan sebagian firqah (kelompok) dalam hal tauhid asma wa shifat? Berikanlah penjelasan kepada kami, semoga Allah memberikan pahala.
Jawab: Adapun tentang kaum Asy’ariyyah termasuk Ahlussunnah, maka Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan,
Pertama, kaum Asy’ariyyah termasuk Ahlussunnah dalam hal yang sejalan dengan Ahlussunnah.
Kedua, kaum Asy’ariyyah termasuk Ahlussunnah jika dihadapkan dengan kaum Syi’ah.
Ketiga, kaum Asy’ariyyah termasuk Ahlussunnah di negeri yang tidak terdapat Ahlusunnah.
Keempat, kita tidak temukan kaum Asy’ariyyah memiliki pendapat yang disepakati di antara mereka untuk kemudian kita hukumi, yakni hampir setiap tokoh kaum Asy’ariyyah menyelisihi tokoh Asy’ariyyah yang lain, hanya karena disatukan oleh perkara Asy’ariyah, akan tetapi mereka berbeda-beda di antara sesama mereka.
Hal lain yang perlu diketahui, sebenarnya di akhir-akhir ini saya berusaha melihat perjalanan para ulama kita dan sikap mereka terhadap kaum Asy’ariyyah. Hal ini perlu sering kita perhatikan, yakni sikap ilmiyah terhadap akidah Asy’ariyyah; tidak boleh sikap ilmiyah itu menjadi sebab permusuhan di dalam komunitas muslim atau sebab permusuhan. Apalagi, hendaknya kita menyadari, bahwa pihak yang berwenang, para mufti, para hakim, para menteri sejak zaman dulu terdiri dari kaum Asy’ariyyah.
Saya melihat banyak hal dalam ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, sehingga ia berkata dalam Fatawanya, “Banyak orang yang mengetahui betapa seringnya aku berusaha menyelesaikan perselisihan antara kaum Hanabilah dan kaum Asy’ariyyah.”
Imam Badruddin Ibnu Jamaah seorang hakim di Mesir -dimana ia adalah seorang yang ikut mendebat Syaikhul Islam dan memberikan penilaian keras terhadapnya- , saat terjadi gejolak di sebagian negeri kaum muslimin, maka ia pun keluar untuk mengadakan perjanjian atau perdebatan terhadap musuh-musuh Islam. Ketika itu Ibnu Taimiyah dan Ibnu Jamaah bersatu bersama, beliau tidak mengatakan, “Inilah lawanku, dia orang Asy’ariy, sedangkan aku orang salafi.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah diminta berdebat dengan Alauddin Al Baji –ia adalah salah satu tokoh kaum Asy’ariy di zamannya-, saat Syaikhul Islam sampai di hadapannya dan berdebat dengannya, maka Syaikhul Islam berkata –sebagaimana dinukil oleh As Subkiy- , “Engkau guru kami, aku mendapat banyak pelajaran darimu,” padahal ia seorang Asy’ariy, sedangkan penilaian Syaikhul Islam terhadap Aqidah Asy’ariyah cukup tajam. Akan tetapi menilai suatu macam adalah satu hal, dan menilai orang-perorang adalah hal yang lain. Menilai akidah yang diyakini adalah satu urusan, dan menilai sosial kemasyarakat dan realita adalah urusan yang lain.
Saya yakin, kalau kita melihat sisi ini, tentu berbagai realita yang berat di hadapan kita menjadi ringan.
Saya kira jawaban terakhir ini terdapat jawaban terhadap pertanyaan kedua Anda sekaligus mengingatkan hal penting lainnya. Saya bisa membawakan sekarang ke hadapanmu buku-buku kaum Asy’ariyyah dan buku-buku karya ulama madzhab Syafi’i yang betul-betul sejalan dengan madzhab Ahlussunnah.
Mengapa dalam hal yang rumit ini, kita tidak hadirkan pendapat mereka itu  (yang ada dalam buku-buku ulama Asy’ariyyah dan buku-buku ulama madzhab Syafi’i) sebagai ganti dari menunjukkan kepada mereka pendapat Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Rajab, Muhammad bin Abdul Wahhab, dan Ibnu Baz? Cobalah kita hadirkan pendapat ulama yang mereka hormati dan mereka muliakan sebagaimana kita. Dengan cara seperti ini, gejolak pun mengecil dan menguatkan hujjahmu.
Kalimat terakhir dalam masalah parsial ini namun sifatnya umum dan menyeluruh, kami menasihati para penuntut ilmu agar menjadikan kelembutan sebagai senjata dalam berdakwah, demikian pula memakai sikap lunak, bijak, dan halus.
Bukankah bagian pertengahan Al Qur’an berbunyi “وَلْيَتَلَطَّفْ ”(hendaknya ia bersikap lemah-lembut, QS. Al Kahf: 19), kita diperintahkan bersikap lembut. Allah juga berfirman,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.” (Qs. Al Baqarah: 143)
Tidak mungkin kita menjadi saksi atas perbuatan manusia jika kita bersikap keras dan kasar. Oleh karena itu, pada dasarnya kita harus bersikap lembut dan sayang.
Saya mengetahui, bahwa sebagian orang –saya harap tidak ada di antara kalian orang yang seperti ini – berkata, “Wahai Syaikh, coba lebih tegas lagi!”
Ya, sikap tegas disyariatkan dalam dua keadaan:
Pertama, dalam keadaan terpaksa, bukan dasar yang pertama.
Kedua, dalam keadaan kuat, bukan dalam kondisi lemah.
Jika kita perhatikan keadaan kita dan pada kebanyakan negeri kaum muslimin, sagat disayangkan bahwa kebanyakan Ahlussunnah dalam kondisi lemah; bukan dalam kondisi kuat.
Sungguh menarik sekali bagiku ucapan Syaikh Shalih Alus Syaikh hafizhahullah wa ra’aah ketika berkata, “Para da’i pada hari ini butuh belajar, yaitu belajar fiqih di saat kuat dan lemah; kapan engkau harus berkata tegas dan kapan engkau harus berkata lembut, kapan menjawab, kapan diam, kapan memerintah, dan kapan melarang. Ini semua adalah masalah mendasar, dimana itu semua kembali kepada prinsip-prinsip perbandingan antara maslahat dan mafsadat sebagaimana dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dari perkataan sebagian kaum salaf, “Ahli Fiqih bukanlah orang yang hanya mengetahui yang baik dan yang buruk, akan tetapi Ahli Fiqih adalah orang yang mengetahui yang lebih baik di antara dua yang baik, dan mengetahui yang lebih buruk di antara dua yang buruk.”
Allah yang menunjuki kita semua ke jalan yang lurus.”
19 Syawwal 1438 H, Kota Batu, Indonesia.
Penerjemah: Marwan Hadidi, M.PdI
(Dosen STID M. Natsir, Bekasi)

Terjemah Umdatul Ahkam (17)

Senin, 17 Juli 2017
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫كتاب الصيام‬‎
Terjemah Umdatul Ahkam (17)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan terjemah Umdatul Ahkam karya Imam Abdul Ghani Al Maqdisi (541 H – 600 H) rahimahullah. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penerjemahan kitab ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
KITAB PUASA
184 - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -: ((لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ , أَوْ يَوْمَيْنِ إلاَّ رَجُلاً كَانَ يَصُومُ صَوْماً فَلْيَصُمْهُ)) .
184. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mengawali Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari, kecuali seorang yang sebelumnya berpuasa, maka silahkan puasa.”
185 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ: ((إذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ)) .
185. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal (bulan sabit tanda tiba awal bulan Ramadhan), maka berpuasalah. Dan ketika kalian melihat hilal pula (satu Syawwal), maka berbukalah. Jika kalian terhalangi dari melihatnya karena mendung, maka hitunglah (sempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari).”
186 - عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - ((تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً)) .
186. Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Bersahurlah, karena pada makan sahur itu ada keberkahan.”
187 - عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رضي الله عنهما قَالَ: ((تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -. ثُمَّ قَامَ إلَى الصَّلاةِ. قَالَ أَنَسٌ: قُلْت لِزَيْدٍ: كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسَّحُورِ؟ قَالَ: قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً)) .
187. Dari Anas bin Malik, dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu anhuma ia berkata, “Kami pernah makan sahur bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lalu Beliau berdiri untuk shalat.” Anas berkata, “Aku bertanya kepada Zaid, “Berapa jarak antara azan dan makan sahur?” Ia menjawab, “Seukuran lima puluh ayat.”
188 - عَنْ عَائِشَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ رضي الله عنهما: ((أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ)) .
188. Dari Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mendapatkan waktu fajar saat masih junub dengan istrinya, lalu Beliau mandi dan berpuasa.
189 - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنْ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: ((مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ. فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ , فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ. فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ)) .
189. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda, “Barang siapa yang lupa ketika berpuasa, lalu ia makan atau minum, maka sempurnakanlah puasanya, karena hal itu berarti Allah memberinya makan dan minum.”
190 - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: ((بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - إذْ جَاءَهُ رَجُلٌ. فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ , هَلَكْتُ. قَالَ: مَا أَهْلَكَكَ؟ قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي , وَأَنَا صَائِمٌ - وَفِي رِوَايَةٍ: أَصَبْتُ أَهْلِي فِي رَمَضَانَ - فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -: هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا؟ قَالَ: لا. قَالَ: فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟ قَالَ: لا. قَالَ: فَهَلْ تَجِدُ إطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِيناً؟ قَالَ: لا. قَالَ: فَمَكَثَ النَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ - وَالْعَرَقُ: الْمِكْتَلُ - قَالَ: أَيْنَ السَّائِلُ؟ قَالَ: أَنَا. قَالَ: خُذْ هَذَا , فَتَصَدَّقَ بِهِ. فَقَالَ الرَّجُلُ: عَلَى أَفْقَرَ مِنِّي: يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَوَاَللَّهِ مَا بَيْنَ لابَتَيْهَا - يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ - أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرَ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي. فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ. ثُمَّ قَالَ: أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ)) .
189. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata, “Saat kami sedang duduk di dekat Nabi shallallahu alaihi wa sallam tiba-tiba datang kepada Beliau seorang laki-laki dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah binasa.” Beliau bertanya, “Apa yang membuatmu binasa?” Ia menjawab, “Aku menggauli istriku saat berpuasa.” Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Aku menggauli istriku di bulan Ramadhan.” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apakah engkau sanggup memerdekakan seorang budak?” Ia menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau sanggup berpuasa dua bulan berturut-turut?” Ia menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau sanggup memberi makan enam puluh orang miskin?” Ia menjawab, “Tidak.” Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam terdiam. Saat kami dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba Nabi shallallahu alaihi wa sallam diberikan oleh seseorang seranjang kurma, lalu Beliau bertanya, “Di mana penanya tadi?” Orang itu menjawab, “Saya.” Beliau bersabda, “Ambillah ini, lalu sedekahkanlah!” Orang itu berkata, “Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada keluarga yang tinggal di antara dua tanah berbatu hitam yang lebih fakir daripada keluargaku.” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tersenyum hingga tampak giginya, kemudian bersabda, “Berilah makan kepada keluargamu dari kurma itu.”
Bab Puasa Ketika Safar dan Semisalnya
191 - عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها: ((أَنَّ حَمْزَةَ بْنَ عَمْرٍو الأَسْلَمِيَّ قَالَ لِلنَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم -: أَأَصُومُ فِي السَّفَرِ؟ - وَكَانَ كَثِيرَ الصِّيَامِ - فَقَالَ: إنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ)) .
191. Dari Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Hamzah bin Amr Al Aslamiy pernah berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Bolehkah aku berpuasa ketika safar?” Dirinya adalah orang yang banyak berpuasa, maka Beliau bersabda, “Jika kamu mau, maka berpuasalah, dan jika kamu mau, maka berbukalah.”
192 - عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ - رضي الله عنه - قَالَ: ((كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - فَلَمْ يَعِبِ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ. وَلا الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ)) .
192. Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kami pernah bersafar bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ketika itu orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka, dan orang yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa.”
193 - عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ - رضي الله عنه - قَالَ: ((خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فِي شَهْرِ رَمَضَانَ. فِي حَرٍّ شَدِيدٍ , حَتَّى إنْ كَانَ أَحَدُنَا لَيَضَعُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ. وَمَا فِينَا صَائِمٌ إلاَّ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ)) .
193. Dari Abu Darda radhiyallahu anhu ia berkata, “Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di bulan Ramadhan pada hari yang sangat panas sehingga salah seorang di antara kami meletakkan tangannya di atas kepala karena panasnya. Ketika itu tidak ada di antara kami yang berpuasa selain Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan Abdullah bin Rawahah.”
194 - عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رضي الله عنهما قَالَ: ((كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فِي سَفَرٍ. فَرَأَى زِحَاماً وَرَجُلاً قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ , فَقَالَ: مَا هَذَا؟ قَالُوا: صَائِمٌ. قَالَ: لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ)) . وَفِي لَفْظٍ لِمُسْلِمٍ: ((عَلَيْكُمْ بِرُخْصَةِ اللَّهِ الَّتِي رَخَّصَ لَكُمْ)) .
194. Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah dalam suatu safar melihat kumpulan orang yang berdesakan, dan dilihatnya seorang yang diberi naungan, maka Beliau bertanya, “Ada apa dengan orang ini?” Orang-orang menjawab, “Dia sedang berpuasa.” Beliau pun bersabda, “Bukan termasuk kebaikan berpuasa ketika safar.” (Dalam sebuah lafaz Muslim disebutkan, “Hendaklah kalian menerima kelonggaran dari Allah yang telah memberikan keringanan bagi kalian.”)
195 - عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ - رضي الله عنه - قَالَ: ((كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - فِي السَّفَرِ فَمِنَّا الصَّائِمُ , وَمِنَّا الْمُفْطِرُ قَالَ: فَنَزَلْنَا مَنْزِلاً فِي يَوْمٍ حَارٍّ , وَأَكْثَرُنَا ظِلاً: صَاحِبُ الْكِسَاءِ. وَمِنَّا مَنْ يَتَّقِي الشَّمْسَ بِيَدِهِ. قَالَ: فَسَقَطَ الصُّوَّامُ , وَقَامَ الْمُفْطِرُونَ فَضَرَبُوا الأَبْنِيَةَ. وَسَقَوْا الرِّكَابَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -: ذَهَبَ الْمُفْطِرُونَ الْيَوْمَ بِالأَجْرِ)) .
195. Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu ia berkata, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika safar, lalu di antara kami ada yang berpuasa dan ada yang berbuka, kami pun singgah di sebuah tempat pada hari yang sangat panas. Dan orang yang bisa berteduh ketika itu adalah orang yang memiliki kain, dan di antara kami ada yang menutup dirinya dari panas terik matahari dengan tangannya, lalu orang-orang yang berpuasa pun berjatuhan, sedangkan orang yang berbuka tetap tegar, masih mampu menghancurkan bangunan dan memberi minum unta.” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Hari ini orang-orang yang berbuka telah menuai pahala.”
196 - عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: ((كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ , فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إلاَّ فِي شَعْبَانَ)) .
196. Dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata, “Aku punya hutang puasa Ramadhan, namun aku tidak sanggup membayarnya kecuali pada bulan Sya’ban.”
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Penerjemah:
Marwan bin Musa
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger