Ikhtishar Ilmu Hadits (3)

Minggu, 31 Mei 2020

بسم الله الرحمن الرحيم
Ikhtishar Ilmu Hadits (3)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan Ikhtishar (Ringkasan) Ilmu hadits merujuk kepada kitab Musthalahul Hadits Al Muyassar karya Dr. Imad Ali Jum’ah, Mushthalahul Hadits karya Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin, dan lain-lain, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.

Hadits Mardud
2.5 Mardud (ditolak)
Hadits yang mardud adalah hadits yang dha’if (lemah) dengan beragam macamnya.

Yang Disebabkan karena terputus sanad
Hadits yang mardud yang disebabkan karena terputus sanad adalah seperti yang disebutkan di bawah ini:
2.5.1. Mu’allaq, yaitu hadits yang dihilangkan seorang rawi atau lebih dari awal sanad secara berurutan. Contoh:
Imam Bukhari berkata,
وَقَالَ أَبُو مُوسَى: «غَطَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رُكْبَتَيْهِ حِينَ دَخَلَ عُثْمَانُ»
“Abu Musa berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam menutup kedua lututnya saat Utsman masuk.”
Di sini Imam Bukhari menghilangkan sanadnya selain sahabat, yaitu Abu Musa Al Asy’ari. Hadits mu’allaq termasuk hadits mardud (ditolak) kecuali jika dimaushulkan (disebutkan sanadnya) sehingga bersambung sanadnya dan terpenuhi syarat-syarat hadits maqbul (shahih atau hasan) lainnya.

Catatan:
Hadits mu’allaq dalam Shahih Bukhari dan Muslim jika menggunakan shighat (bentuk) jazm (menunjukkan keshahihan) seperti kata ‘  قَالَ  ’ (artinya: ia berkata) , ‘   ذَكَرَ  ’ (artinya: ia menyebutkan) atau ‘  حَكَى  ’ (artinya: ia menceritakan) maka dihukumi shahih.  Tetapi jika menggunakan shighat tamridh (menunjukkan ada cacat) seperti ‘  قِيْلَ  ’ (artinya: dikatakan) , ‘   ذُكِرَ  ’ (artinya: disebutkan) atau ‘  حُكِيَ  ’ (artinya: diceritakan) maka di dalamnya ada yang shahih, hasan, atau dha’if.

2.5.2 Mursal, yaitu hadits yang terputus di akhir sanad atau tabiin meriwayatkan langsung dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam tanpa perantaraan sahabat. Contoh: Imam Muslim berkata,
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ، حَدَّثَنَا حُجَيْنُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ عُقَيْلٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، «أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْمُزَابَنَةِ وَالْمُحَاقَلَةِ»
Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Rafi, telah menceritakan kepada kami Hujain bin Al Mutsanna, telah menceritakan kepada kami Al Laits, dari Uqail, dari Ibnu Syihab, dari Sa’id bin Al Musayyib, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli Muzabanah dan Muhaqalah[i].
Di sini Sa’id bin Musayyib seorang tabiin besar meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tanpa perantaraan sahabat.
Menurut jumhur (mayoritas) ulama, bahwa hadits mursal adalah mardud (tertolak), namun Imam Syafi’i dan sebagian Ahli Ilmu menerimanya namun dengan 4 syarat; tiga syarat pada rawi yang memursalkan, sedangkan satu pada hadits mursal.
Tiga syarat pada rawi yang memursalkan adalah: (1) orang yang memursalkan adalah tabiin besar, (2) orang yang memursalkan adalah orang yang biasa meriwayatkan dari orang yang tsiqah, (3) para hafizh yang terpercaya juga menyatakan demikian dan tidak menyelisihi.
Sedangkan satu syarat lagi pada hadits mursal, yaitu salah satu di antara empat syarat ini: (1) hadits tersebut diriwayatkan secara bersanad dari jalan yang lain, (2) diriwayatkan dari jalan yang lain secara mursal yang dilakukan oleh orang yang mengambil ilmu dari selain rawi-rawi hadits mursal sebelumnya, (3) sesuai dengan pendapat sahabat, atau (4) sesuai fatwa mayoritas Ahli Ilmu.
Intinya, mursal tabi’in besar menurut kebanyakan ahli ilmu diterima, jika dibantu hadits mursal yang lain, atau amalan sahabat, atau qiyas.

Catatan:
Mursal Shahabiy adalah hadits yang disampaikan seorang sahabat namun ia tidak mendengar atau menyaksikan langsung dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam tetapi melalaui sahabat lain yang mendengar atau menyaksikannya meskipun tidak disebutkan nama sahabat yang diambil riwayatnya itu. Mursal Sahabi bisa disebabkan  karena ia masih kecil, atau terlambat masuk Islamnya, atau karena sedang tidak hadir.  Hukumnya adalah shahih dan bisa dipakai hujjah.

2.5.3 Mu’dhal, yaitu hadits yang dalam sanadnya ada dua orang rawi yang gugur secara berturut-turut. Contoh: Hadits yang diriwayatkan oleh Hakim dalam Ma’rifatu Ulumil hadits dengan sanadnya yang sampai kepada Al Qa’nabiy dari Malik, bahwa sampai berita kepadanya, bahwa Abu Hurairah berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لِلْمَمْلُوكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ بِالْمَعْرُوفِ. وَلاَ يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا يُطِيقُ
“Budak berhak mendapatkan makanan dan pakaian secara ma’ruf (wajar), dan tidak dibebani dengan pekerjaan kecuali yang mampu dilakukannya.”
Hakim berkata, “Ini mu’dhal dari Malik, dimana beliau melakukan hal ini dalam Muwaththa, karena ada dua orang rawi secara berurutan yang gugur antara Malik dan Abu Hurairah, dan kita mengetahui ada dua orang rawi yang tidak disebutkan secara berurutan dari riwayat hadits di kitab lain selain Muwaththa, yaitu dari Malik, dari Muhammad bin ‘Ajlan, dari ayahnya, dari Abu Hurairah.”

2.5.4 Munqathi, yaitu hadits yang terputus dalam sanadnya. Menurut Ahli Hadits mutakhirin, ia di luar mu’allaq (terputus di awal sanad), mursal (terputus di akhir sanad), dan mu’dhal (terputus dua rawi secara berurutan). Contoh: hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, dari Ats Tsauri, dari Abu Ishaq, dari Zaid bin Yutsai’, dari Hudzaifah secara marfu,
«إِنْ وَلَّيْتُمُوهَا أَبَا بَكْرٍ فَزَاهِدٌ فِي الدُّنْيَا، رَاغِبٌ فِي الْآخِرَةِ، وَفِي جِسْمِهِ ضَعْفٌ، وَإِنْ وَلَّيْتُمُوهَا عُمَرُ فَقِوِيُّ أَمِينٌ، لَا يَخَافُ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ، وَإِنْ وَلَّيْتُمُوهَا عَلِيًّا فَهَادٍ مُهْتَدٍ، يُقِيمُكُمْ عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ»
“Jika kalian menyerahkan urusan itu kepada Abu Bakar, maka ia adalah orang yang zuhud terhadap dunia, cinta akhirat, dan badannya lemah. Jika kalian menyerahkan kepada Umar, maka dia seorang yang kuat dan amanah; tidak takut celaan orang yang mencela dalam menjalankan perintah Allah, dan jika kalian serahkan kepada Ali, maka dia adalah seorang yang memberi petunjuk dan mendapat petunjuk, ia akan menegakkan kalian di atas jalan yang lurus.” (Hr. Hakim)
Dalam sanad ini ada rawi yang gugur antara Ats Tsauri dan Abu Ishaq, yaitu Syarik. Hal itu, karena Ats Tsauri tidak mendengar langsung dari Abu Ishaq, tetapi mendengar dari Syarik.

2.5.5 Mudallas, yaitu hadits yang disembunyikan aib dalam sanadnya dan ditampakkan bagus di luarnya. Perbuatannya disebut tadlis.
Macam-macam tadlis:
  1. Tadlis Taswiyah.
Tadlis Taswiyah adalah periwayatan oleh rawi dari gurunya lalu digugurkan seorang rawi yang dha’if antara dua orang tsiqah yang satu bertemu dengan yang lain. Gambarannya adalah seorang rawi meriwayatkan sebuah hadits dari seorang syaikh yang tsiqah, syaikh ini meriwayatkan dari orang yang dha’if, lalu dari orang yang tsiqah, kemudian orang yang melakukan tadlis (mudallis) yang mendengar dari orang yang tsiqah pertama menggugurkan orang yang dha’if, dan langsung menyebutkan dari orang yang tsiqah setelahnya dengan lafaz yang mengandung kemungkinan, sehingga ia ratakan (taswiyah) isnadnya semuanya orang-orang yang tsuqah.
Orang yang paling masyhur melakukan tadlis ini adalah Baqiyyah bin Al Walid.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim (‘Ilalul Hadits 2/155) ia berkata: Aku mendengar bapakku –ia sebutkan hadits yang diriwayatkan oleh Ishaq bin Rahawaih dari Baqiyyah- : Telah menceritakan kepadaku Abu Wahb Al Asdiy dari Nafi’ dari Ibnu Umar sebuah hadits yang berbunyi,
لاَ تَحْمَدُوا إِسْلاَمَ امْرِئٍ حَتَّى تَعْرِفُوْا عُقْدَةَ رَأْيِهِ
Janganlah kamu puji keislaman seseorang sampai kamu mengetahui bagusnya pendapatnya.
Bapakku (Abu Hatim) berkata, “Hadits ini ada masalah yang sedikit orang memahaminya. Hadits ini diriwayatkan oleh Ubaidullah bin ‘Amr –ia adalah tsiqah- dari Ishaq bin Abi Farwah –ia adalah dha’if- dari Nafi’ –ia adalah tsiqah- dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Ubaidulllah bin ‘Amr kunyahnya adalah Abu Wahb, yakni Asadiy, lalu Baqiyyah menyebutnya dengan kunyah(panggilan)nya dan menisbatkannya kepada Bani Asad agar tidak disadari, sehingga ketika Ishaq bin Abi Farwah telah ditinggalkan, maka tidak ada yang tahu…dst[ii].”
  1. Tadlis Isnad
Tadlis Isnad adalah seorang rawi meriwayatkan dari orang yang mendengar sebuah hadits, namun rawi ini tidak mendengarnya darinya tanpa menyebutkan bahwa ia mendengarnya secara tegas, yakni hanya menyebutkan dengan lafaz yang kesannya mendengarkan, seperti kata ‘An” (dari), “Anna” (bahwa) atau “Qaala” (ia berkata)…dst.”
Gambarannya adalah seorang rawi meriwayatkan dari seorang syaikh yang ia dengar darinya beberapa hadits, akan tetapi hadits yang ditadliskannya tidak ia dengar darinya, tetapi ia mendengarnya dari syaikh lain, lalu ia gugurkan syaikh itu dan meriwayatkan darinya dengan kata-kata yang mengandung kemungkinan mendengar seperti ‘ia berkata’ atau ‘dari’ untuk memberikan kesan bahwa ia mendengar darinya dan tidak menyatakan dengan tegas bahwa ia mendengar hadits itu daripadanya, ia tidak mengatakan ‘aku mendengar’ atau ‘telah menceritakan kepadaku’ agar tidak dianggap pendusta, dan rawi yang digugurkannya bisa seorang atau lebih.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Nasa’i dalam ‘Amalul Yaumi Wal Lailah hal. 431 dengan sanadnya dari dua jalan dari Abuz Zubair dari Jabir ia berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam setiap malam tidak tidur sampai membaca surat Tanzil As Sajdah dan Tabarakalladzii biyadihil mulk…dst.
Lalu ia (Nasa’i) meriwayatkan setelahnya dengan sanadnya yang sampai kepada Zuhair bin Mu’awiyah, bahwa ia berkata, “Aku bertanya kepada Abuz Zubair, “Apakah engkau mendengar Jabir menyebutkan bahwa Nabiyyullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak tidur sampai membaca Alif Laam Miim Tanzil (As Sajdah) dan Tabaarak (Al Mulk)?” Ia menjawab, “Jabir tidak menceritakannya kepadaku, tetapi yang menceritakannya kepadaku adalah Shafwan atau Abu Shafwan.”
Ini adalah contoh Abuz Zubair melakukan tadlis, ia gugurkan perantara mendengarnya hadits ini dari Jabir.
  1. Tadlis Syuyukh
Tadlis Syuyukh adalah seorang rawi meriwayatkan dari seorang guru sebuah hadits yang ia dengar darinya, lalu rawi itu menamai gurunya itu atau menyebut kunyahnya atau menyifatinya dengan sifat yang tidak dikenal agar tidak diketahui dan disadari oleh orang lain.
Contohnya adalah ucapan Abu Bakar bin Mujahid –salah satu imam qari’-: Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abi Abdillah…dst, maksudnya adalah Abu Bakar bin Abi Dawud As Sijistaniy, perbuatannya ini memutuskan jalan bagi pendengar untuk mengetahuinya dan menjadikannya sukar diketahui.
Para mudallis (pelaku tadlis) itu banyak jumlahnya, di antara mereka ada yang dha’if dan ada yang tsiqah (terpercaya), seperti Al Hasan Al Bashri, Humaid Ath Thawil, Sulaiman bin Mihraan Al A’masy, Muhammad bin Ishaq, dan Al Walid bin Muslim.
Al Hafizh membagi tingkatan mereka hingga kepada lima tingkatan:
Pertama, orang yang tidak disifati begitu (berbuat tadlis) kecuali sangat jarang, seperti Yahya bin Sa’id.
Kedua, orang yang masih dibawa tadlisnya oleh para imam dan mereka menyebutkannya dalam kitab shahih karena keimamannya dan sedikit tadlisnya dalam meriwayatkan, seperti Sufyan Ats Tsauri atau biasanya ia tidak melakukan tadlis kecuali dari orang yang tsiqah, seperti Sufyan bin Uyaynah.
Ketiga, orang yang banyak melakukan tadlis tidak hanya mengambil dari orang tsiqah saja, seperti Abuz Zubair Al Makkiy.
Keempat, orang yang banyak melakukan tadlis dari orang-orang yang dha’if dan majhul (tidak dikenal), seperti Baqiyyah bin Al Walid.
Kelima, orang yang ditambah kelemahannya karena sebab lain, seperti Abdullah bin Lahii’ah.
Hadits mudallas ini tidak diterima kecuali jika ia seorang yang tsiqah dan menyebutkan secara tegas bahwa ia mengambil langsung dari orang yang diambil riwayatnya. Misalnya ia berkata, “Aku mendengar si fulan berkata:” atau “aku melihat si fulan berbuat” atau “telah menceritakan kepadaku” dsb. Akan tetapi hadits yang ada dalam Shahih Bukhari dan Muslim dengan shighat tadlis dari orang-orang mudallis yang tsiqah adalah diterima, karena umat menerima keduanya tanpa adanya perincian.
Bersambung….
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Musthalah Hadits Muyassar (Dr. Imad Ali Jum’ah), Al Haditsul Hasan (Ibrahim bin Saif Az Za’abiy), Ilmu Musthalahil Hadits (Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin), Ilmu Musthalah Hadits (Abdul Qadir Hasan), At Ta’liqat Al Atsariyyah ala Manzhumah Al Baiquniyyah (Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid), Tamamul Minnah (M. Nashiruddin Al Albani), Silsilatul Ahadits Adh Dha’ifah (M. Nashiruddin Al Albani), dll.


[i] Muzabanah artinya menjual sesuatu yang tidak diketahui ukurannya dengan sesuatu yang diketahui ukurannya. Misalnya seseorang menjual anggur yang masih di pohonnya secara perkiraan dengan anggur kering yang sudah ditakar, atau misalnya seseorang menjual kurma yang masih di pohonnya secara perkiraan dengan kurma kering yang ditakar. Dikecualikan dari hal ini adalah jual beli ‘Araaya yang gambarannya adalah sebagai berikut: Seorang miskin dihibahkan pohon kurma yang tidak lebih dari 5 wasq buah kurmanya (1 wasq= 60 sha’, 1 sha’= 4 mud, 1 mud adalah satu kaupan kedua tangan orang dewasa (kurang lebih 510 gram), sehingga 60 wasq adalah 612 kg), ia (orang miskin yang tidak memiliki uang untuk membeli kurma kering) tidak mampu menunggu lama, akhirnya ia jual kurma basah yang masih di pohonnya itu secara perkiraan untuk mendapatkan kurma kering. Misalnya si miskin mengatakan, “Kurma-kurma yang ada di pohon ini jika sudah kering kira-kira beratnya 3 wasq,” lalu ia jual kurmanya untuk mendapatkan kurma kering sejumlah tiga wasq, maka si miskin mendapatkan kurma kering sedangkan si penerima mendapat kurma basah yang masih ada di pohon. Dan disyaratkan adanya taqaabudh (serah terima sebelum berpisah dari tempat transaksi).
Sedangkan Muhaqalah adalah jual beli buah yang masih di tangkai dengan makanan yang diketahui (ukurannya), atau menjual biji tanaman (secara borongan) dengan gandum sejumlah sekian.
[ii] At Taqyid wal Idhah (78) dan At Tadrib (1/225).

Ikhtishar Ilmu Hadits (2)

Sabtu, 30 Mei 2020
بسم الله الرحمن الرحيم
Ikhtishar Ilmu Hadits (2)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan Ikhtishar (Ringkasan) Ilmu hadits merujuk kepada kitab Musthalahul Hadits Al Muyassar karya Dr. Imad Ali Jum’ah, Mushthalahul Hadits karya Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin, dan lain-lain, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin. 
Hadits Maqbul
2.4.2. Hasan Lidzatihi, yaitu hadits yang sanadnya bersambung, dinukilkan oleh orang yang adil, namun kurang kuat hafalannya dan seterusnya seperti itu tanpa ada syadz dan illat. Tidak ada perbedaaan antara hasan lidzaatihi dengan shahih lidzaatihi kecuali karena kurang sempurnanya dhabth pada hadits hasan berbeda dengan shahih lidzaatihi.
Contoh: Imam Tirmidzi berkata,
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ: حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الضُّبَعِيُّ، عَنْ أَبِي عِمْرَانَ الجَوْنِيِّ، عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي مُوسَى الأَشْعَرِيِّ، قَال: سَمِعْتُ أَبِي، بِحَضْرَةِ العَدُوِّ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ أَبْوَابَ الجَنَّةِ تَحْتَ ظِلَالِ السُّيُوفِ» ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ القَوْمِ رَثُّ الهَيْئَةِ: أَأَنْتَ سَمِعْتَ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُهُ؟ قَالَ: نَعَمْ، فَرَجَعَ إِلَى أَصْحَابِهِ، فَقَالَ: أَقْرَأُ عَلَيْكُمُ السَّلَامَ، وَكَسَرَ جَفْنَ سَيْفِهِ، فَضَرَبَ بِهِ حَتَّى قُتِلَ: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ جَعْفَرِ بْنِ سُلَيْمَانَ الضُّبَعِيِّ. وَأَبُو عِمْرَانَ الجَوْنِيُّ: اسْمُهُ عَبْدُ المَلِكِ بْنُ حَبِيبٍ. وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي مُوسَى، قَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: «هُوَ اسْمُهُ»
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Sulaiman Adh Dhabu’iy, dari Abu Imran Al Jauni, dari Abu Bakar bin Abi Musa Al Asy’ari ia berlata, “Aku mendengar ayahku berkata di hadapan musuh, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya pintu-pintu surga di bawah naungan pedang.” Maka salah seorang yang hadir yang bernampilan lusuh berkata, “Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam?” Bapakku menjawab, “Ya.” Maka ia kembali kepada kawan-kawannya dan berkata, “Aku sampaikan salam kepada kalian,” ia pun mematahkan sarung pedangnya kemudian berperang dengan pedang itu hingga terbunuh.”
Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Ja’far bin Sulaiman adh Dhabu’i. Abu Imran Al Jauni, namanya adalah Abdul Malik bin Habib. Sedangkan Abu Bakar bin Abu Musa, menurut Ahmad bin Hanbal itulah namanya.”
Para perawi di atas semuanya tsiqah selain Ja’far bin Sulaiman, maka ia seorang yang shaduq (sangat jujur), sehingga derajat hadits ini adalah hasan.
Catatan:
Maksud Tirmidzi ‘Hadits Hasan shahih’ bisa maksudnya, bahwa hadits tersebut memiliki dua sanad, dimana yang satu hasan, dan yang satu lagi shahih. Tetapi jika terdiri dari satu sanad, maka bisa maksudnya hasan menurut sebagian ulama, dan shahih menurut ulama yang lain.

2.4.3. Shahih Lighairihi, yaitu hadits hasan lidzatihi ketika diriwayatkan dari jalur yang lain yang semisalnya atau yang lebih kuat daripadanya. Disebut ‘lighairih’ adalah karena keshahihannya bukan karena sanadnya, akan tetapi ketika dikumpulkan sanad yang lain bersamanya. Hadits shahih lighairihi lebih tinggi daripada hasan lidzatihi, namun di bawah shahih lidzatihi.
Contoh: Imam Tirmidzi berkata,
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ»
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abdah bin Sulaiman, dari Muhammad bin Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Kalau bukan karena aku tidak ingin memberatkan umatku, tentu aku suruh mereka untuk bersiwak setiap kali hendak shalat.”
Ibnu Shalah berkata, “Muhammad bin Amr bin Alqamah termasuk orang yang terkenal kejujuran dan amanahnya, akan tetapi ia tidak termasuk orang yang mutqin sehingga sebagian ulama mendhaifkannya karena buruk hafalannya, sedangkan yang lain mentsiqahkannya karena kejujuran dan kemuliaannya. Oleh karena itu, hadits ini karena sebab ini adalah hasan. Tetapi ketika digabungkan dengan riwayat lain dari jalur yang berbeda, maka hilanglah apa yang kita khawatirkan karena buruknya hafalan, dan kekurangan yang ringan ini tertutupi, sehingga isnad ini menjadi shahih, serta naik ke derajat shahih.”

2.4.4. Hasan Lighairihi, yaitu hadits dha’if yang memiliki jalur yang banyak, dimana sebab kedhaifannya bukan karena fasiknya perawi atau pendusta. Hal itu karena hadits dha’if bisa naik ke derajat hasan lighairih karena dua sebab: (1) diriwayatkan dari jalur yang lain atau banyak jalurnya, dimana jalur yang lain itu sama atau lebih kuat daripadanya, (2) sebab dhaifnya hadits karena buruk hafalan perawinya, atau terputus sanadnya, atau karena majhulnya di antara para perawinya.
Ibnu Shalah berkata, “Tidak semua kedhaifan dalam sebuah hadits itu hilang karena diriwayatkan dari jalur yang lain, bahkan keadaannya berbeda-beda; Ada kedhaifan yang bisa hilang, yaitu ketika sebabnya adalah karena kelemahan hafalan rawi padahal dia seorang yang jujur dan baik agamanya. Jika kita melihat haditsnya diriwayatkan pula dari jalur yang lain, maka dapat kita ketahui bahwa hadits itu memang yang dihafalnya, dan tidak salah ingatannya terhadap hadits itu. Demikian pula jika kedhaifannya disebabkan karena mursal (terputus di akhir sanad), maka bisa hilang pula kedhaifannya, seperti  mursal yang dilakukan oleh seorang imam yang hafizh, karena di dalamnya ada kedhaifan yang ringan. Hal ini bisa hilang karena ada riwayat dari jalur yang lain. Namun ada juga yang dhaif yang tidak hilang karena hal tersebut disebabkan kedhaifannya begitu kuat, sehingga tidak bisa ditutupi, seperti kedhaifan dari rawi yang tertuduh dusta atau hadits tersebut syadz.” (Muqaddimah Ibnish Shalah hal. 20)
Al Hafizh berkata, “Banyaknya jalur ketika sumbernya berbeda menjadikan matan bertambah kuat.” (Al Qaulul Musaddad fidz Dzab An Musnadil Imam Ahmad hal. 38)
Contoh hadits hasan lighairih:
قال ابن حبان : أَخْبَرَنَا أَبُو يَعْلَى قَالَ : حَدَّثَنَا أَبُو خَيْثَمَةَ قَالَ : حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ فِطْرٍ عَنْ شُرَحْبِيلَ بْنِ سَعْدٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ –رضي الله عنها- قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ : مَا مِنْ مُسْلِمٍ لَهُ ابْنَتَانِ ، فَيُحْسِنُ إِلَيْهِمَا مَا صَحِبَتَاهُ ، أَوْ صَحِبَهُمَا إِلَّا أَدْخَلَتَاهُ الْجَنَّةَ
Ibnu Hibban berkata, “Telah mengabarkan kepada kami Abu Ya’la, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Abu Khaitsamah, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Fitr, dari Syurahbil bin Sa’ad, dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “TIdak ada seorang muslim yang memiliki dua putri, lalu ia bersikap baik kepada keduanya melainkan hal itu akan membuatnya masuk surga.”
Hadits ini isnadnya dha’if karena kedhaifan Syurahbil bin Sa’ad, dimana terhadapnya Al Hafizh berkata, “Syurahbil bin Sa’ad Abu Sa’ad Al Madani adalah maula (budak yang dimerdekakan) oleh orang-orang Anshar, ia seorang yang sangat jujur namun bercampur hafalan di akhir hidupnya.”
Akan tetapi hadits ini hasan karena syahid-syahidnya (penguat dari jalan lain), dimana Ibnu Majah no. 3670, Abu Ya’la no. 2571 dan 2742, Thabrani no. 10836, dan Hakim 4/178 meriwayatkan dari beberapa jalan dari Fithr dengan isnad tersebut.
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam Musnadnya (2457) ia berkata,
حدثنا وهب بن بقية حدثنا خالد عن حسين عن عكرمة عن ابن عباس –رضي الله عنهما- أن النبي قال : … وَمَنْ عَالَ ثَلاَثَ بَنَاتٍ فَأَنْفَقَ عَلَيْهِنَّ وَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ . فَقَامَ رَجُلٌ مِنَ الْأَعْرَابِ فَقَالَ : أَوِ اثْنَتَيْنِ ؟ قَالَ : نَعَمْ . حَتَّى لَوْ قَالَ : وَاحِدَةً لَقَالَ : نَعَمْ … .
“Telah menceritakan kepada kami Wahb bin Baqiyyah, telah menceritakan kepada kami Khalid, dari Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:....Barang siapa yang menanggung tiga putri, menafkahi mereka, dan bersikap baik kepada mereka, maka ia berhak masuk surga.” Lalu ada salah seorang Arab badui yang berdiri dan berkata, “Bagaimana kalau dua?” Beliau bersabda, “Ya (dua juga).” Bahkan kalau orang itu berkata, “Kalau satu bagaimana?” Tentu Beliau akan mengatakan ‘Ya’ pula.”
Isnad ini dhaif karena kelemahan Husain bin  Qais. Al Baghawi (Syarhus Sunnah 13/5) setelah menyebutkan hadits ini berkata, “Husain bin Ali Abu Ali Ar Rahbiy, laqab(gelar)nya Hanasy, didhaifkan oleh Ahli Hadits. Ia memiliki naskah yang diriwayatkannya dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, namun kebanyakan terbalik.”
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Musnad no. 11.384 ia berkata:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ زَكَرِيَّا عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مُكْمِلٍ عَنْ أَيُّوبَ بْنِ بَشِيرٍ الْأَنْصَارِيِّ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ –رضي الله عنه-  قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ : لَا يَكُونُ لِأَحَدٍ ثَلَاثُ بَنَاتٍ ، أَوْ ثَلَاثُ أَخَوَاتٍ ، أَوْ ابْنَتَانِ ، أَوْ أُخْتَانِ، فَيَتَّقِي اللهَ فِيهِنَّ وَيُحْسِنُ إِلَيْهِنَّ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ  .
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ash Shabbah, telah menceritakan kepada kami Ismail bin Zakariyya, dari Suhail, dari Sa’id bin Abdurrahman bin Mukmil, dari Ayyub bin Basyir Al Anshariy, dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seseorang memiliki tiga putri atau tiga saudari, dua putri atau dua saudari, lalu ia bertakwa kepada Allah dalam mengurus mereka dan bersikap baik terhadap mereka melainkan ia akan masuk surga.”
Isnad ini dhaif karena majhulnya Sa’id bin Abdurrahman bin Mukmil; dua orang meriwayatkan darinya, dan tidak ada yang mentsiqahkannya selain Ibnu Hibban.
Catatan:
hadits yang dha’if akan naik kepada hasan lighairihi jika banyak jalan-jalannya dan sebab kedha’ifannya adalah karena buruknya hapalan si perawi dsb. Adapun jika sebab dha’ifnya dikarenakan fasiknya si perawi atau tertuduh dusta, lalu ada lagi hadits dari jalan lain, namun sama keadaannya, maka hadits tersebut tidak naik menjadi hasan, bahkan hanya bertambah dha’if.

Dilihat dari diamalkan atau tidaknya
Hadits yang maqbul (diterima) dilihat dari diamalkan atau tidaknya ada dua: yang diamalkan dan yang tidak diamalkan.
2.4.5. Diamalkan
Yang diamalkan seperti hadits yang menasakh (menghapus) hadits yang datang sebelumnya. Misalnya hadits yang melarang nikah mut’ah, hadits yang membolehkan ziarah kubur, hadits yang menyatakan tidak batalnya puasa orang yang berbekam (menurut sebagian ulama), dan hadits yang menyatakan batalnya wudhu orang yang menyentuh kemaluan (menurut sebagian ulama), wallahu a’lam.

2.4.6. Tidak diamalkan
Yang tidak diamalkan seperti hadits yang dimansukh (dihapus) oleh hadits yang datang setelahnya. Seperti tentang kebolehan nikah mut’ah yang sudah dimansukh, kehalalan daging keledai negeri, hadits yang memerintahkan hukum mati bagi peminum arak untuk keempat kalinya setelah dihukum cambuk, hadits yang menerangkan batalnya puasa orang yang membekam dan yang dibekam (menurut sebagian ulama), dan hadits yang menyatakan tidak batal memegang kemaluan tanpa penghalang seusai wudhu (menurut sebagian ulama). Wallahu a’lam.
Bersambung….
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Musthalah Hadits Muyassar (Dr. Imad Ali Jum’ah), Al Haditsul Hasan (Ibrahim bin Saif Az Za’abiy), Ilmu Musthalahil Hadits (Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin), Ilmu Musthalah Hadits (Abdul Qadir Hasan), At Ta’liqat Al Atsariyyah ala Manzhumah Al Baiquniyyah (Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid), Tamamul Minnah (M. Nashiruddin Al Albani), Silsilatul Ahadits Adh Dha’ifah (M. Nashiruddin Al Albani), dll.

Ikhtishar Ilmu Hadits (1)

Jumat, 29 Mei 2020
بسم الله الرحمن الرحيم

Ikhtishar Ilmu Hadits (1)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut Ikhtishar (Ringkasan) Ilmu hadits merujuk kepada kitab Musthalahul Hadits Al Muyassar karya Dr. Imad Ali Jum’ah, Mushthalahul Hadits karya Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin, dan lain-lain, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Pengantar
Pembagian Ilmu Hadits
Ilmu hadits terbagi dua:
1. Ilmu Hadits Dirayah, yaitu ilmu hadits untuk menetapkan sahih tidaknya suatu hadits dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ilmu ini biasa disebut Ilmu Musthalah Hadits yang akan kita pelajari pada kesempatan ini, insya Allah.
2. Ilmu Hadits Riwayah, yaitu ilmu yang membahas redaksi atau matan hadits yang telah ditetapkan derajatnya melalui ilmu hadits dirayah, baik terkait sabda, perbuatan, taqrir (persetujuan) Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maupun sifat Beliau, sehingga mencakup penjagaan setiap hadits dan penukilannya. Dengan ilmu hadits riwayah dapat dijaga baik-baik sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan dapat terhindar dari kesalahan dalam menukilkan segala yang disandarkan kepada Beliau.
Beberapa Istilah Dalam Ilmu Hadits
1. Sanad secara bahasa artinya sandaran, secara istilah adalah silsilah para perawi yang menyampaikan matan.
2. Matan secara bahasa artinya bagian yang keras dan meninggi dari bumi, secara istilah adalah redaksi yang disampaikan dari sanad.
3. Hadits  secara bahasa artinya baru, secara istilah adalah segala yang disandarkan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam baik berupa sabda, perbuatan, taqrir (persetujuan), hammiyyah (keinginan), maupun sifat.
4. Khabar secara bahasa artinya berita, secara istilah adalah semakna (muradif) dengan hadits. Ada pula yang mengatakan, bahwa ‘khabar’ dari selain Nabi shallallahu alaihi wa sallam, sedangkan ‘hadits’ dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Yang lain mengatakan, bahwa khabar lebih umum daripada hadits, yakni khabar dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan dari selainnya, sedangkan hadits dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam saja.
5. Atsar secara bahasa artinya bekas, secara istilah adalah segala yang disandarkan kepada sahabat dan tabiin, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Terkadang atsar juga dipakai untuk hadits.
6. Isnad secara istilah artinya menyandarkan hadits kepada orang yang mengatakannya, bisa juga diartikan sama seperti sanad.
7. Musnad secara istilah hadits yang marfu (sampai kepada Nabi shallallahu alaih wa sallam) yang bersambung sanadnya. Bisa juga diartikan dengan kitab yang memuat setiap sahabat berikut haditsnya. Bisa juga diartikan dengan sanad.

Gelar Ahli Hadits
1. Muhaddits, yaitu orang yang sibuk dengan hadits baik secara riwayah maupun dirayah, dan banyak mengetahui riwayat dan keadaan para perawinya, dan tidak menjadi syarat harus hafal hadits-hadits. Misalnya Syaikh Ahmad Syakir, Syaikh Al Albani, Syaikh Syu’aib Al Arnauth, dsb.
2. Hafizh, yaitu sama seperti muhaddits. Namun ada yang mengatakan, bahwa hafizh lebih tinggi tingkatannya daripada muhaddits, dimana yang ia ketahui dari setiap thabaqah (lapisan) sanad lebih banyak daripada yang tidak diketahuinya. Ada yang mengatakan, bahwa hafizh adalah orang yang hafal 100.000 hadits. Misalnya Imam Nawawi, Ibnu Hajar Al Asqalani, Adz Dzahabi, Ibnu Katsir, Ibnul Qayyim, Ibnu Rajab, As Suyuthi, dan Al Mundziri.
3. Hakim, yaitu orang yang ilmunya meliputi banyak hadits, sehingga tidak ada yang dilewatinya kecuali sedikit.
4. Musnid, yaitu orang yang meriwayatkan hadits dengan isnadnya, baik ia memiliki ilmu terhadapnya maupun tidak.
5. Hujjah, yaitu orang yang mengetahui 300.000 hadits.
6. Amirul Mukminin fil Hadits,  yaitu orang yang terkenal hafizh (kuat dan banyak hafalan) dan banyak mengetahui urusan hadits di zamannya, ia termasuk tokoh atau imamnya. Misalnya Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari, Imam Daruquthni, dsb.

Pembagian Khabar atau Hadits

Dari sisi Sampainya kepada kita
Dari sisi sampainya kepada kita, hadits ada yang Mutawatir dan ada yang Ahad.
1. Mutawatir, secara bahasa artinya berturut-turut. Secara istilah adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang secara adat kebiasaan menyatakan mustahil mereka sepakat berdusta.
Syarat hadits mutawatir adalah: (1) diriwayatkan oleh sejumlah besar orang, dan para ulama berbeda pendapat terkait jumlah minimalnya. Pendapat terpilih dalam hal ini adalah minimal 10 orang. (2) Jumlah yang banyak itu ada pada semua lapisan sanad, (3) secara adat kebiasaan menganggap mustahil mereka sepakat berdusta, (4) sandaran berita mereka adalah inderawi seperti mengatakan ‘kami mendengar’ atau ‘kami melihat’.
Mutawatir ini terbagi 2, yaitu:
1.1 Mutawatir Lafzhi, yaitu yang lafaz dan maknanya diriwayatkan secara mutawatir. Contoh hadits:
«مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ»
“Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya dia mengambil tempat di neraka.”
Hadits ini diriwayatkan oleh tujuh puluh orang lebih para sahabat radhiyallahu anhum.
1.2 Mutawatir Maknawi, yaitu hadits yang maknanya mutawatir; namun tidak pada lafaznya. Contohnya hadits-hadits tentang mengangkat tangan dalam berdoa.

2. Ahad, secara bahasa artinya satu. Secara istilah adalah hadits yang tidak terpenuhi syarat-syarat mutawatir.

Dilihat dari jumlah orang yang meriwayatkan
Hadits ahad dilihat dari jumlah orang yang meriwayatkan ada yang disebut Masyhur, Aziz, dan Gharib.
2.1. Masyhur, secara bahasa artinya terkenal. Secara istilah adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih dalam setiap lapisan sanad dan belum mencapai tingkatan mutawatir. Contohnya hadits:
 «إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ العِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبْضِ العُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا»
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara langsung dicabut-Nya dari hati hamba-hamba-Nya. Akan tetapi, Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga ketika Dia tidak menyisakan seorang yang alim (mengerti agama), maka manusia mengangkat tokoh-tokoh yang jahil (tidak mengerti agama). Mereka pun ditanya, lalu mereka berftawa dengan tanpa ilmu, dan akhirnya mereka sesat dan menyesatkan.”  (Hr. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad dari Abdullah bin Amr, Thabrani dari Abu Hurairah, dan Al Bazzar dari Aisyah radhiyallahu anha)
Contoh lainnya:
«الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ»
“Orang muslim (yang sempurna Islamnya) adalah orang yang kaum muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (Hr. Bukhari dari Abdullah bin Amr dan Abu Musa Al Asy’ariy, Muslim dari Abdullah bin Amr dan Jabir , Tirmidzi dari Abu Hurairah, Abu Dawud dari Abdullah bin Amr)

2.2. Aziz, secara bahasa artinya kuat. Secara istilah adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang dalam setiap lapisan sanad. Maksudnya adalah tidak ditemukan dalam setiap lapisan sanad kurang dari dua orang rawi. Jika lebih tidak mengapa, dengan syarat minimal dua orang dalam lapisan sanad meskipun di salah satunya.   Contohnya hadits:
«لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ»
“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu sampai aku lebih dicintainya daripada ayahnya, anaknya, dan manusia semuanya.” (Hr. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah dan Anas radhiyallahu anhuma)

2.3. Gharib, secara bahasa artinya asing. Secara istilah adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi. Contoh hadits:
«إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ»
“Sesungguhnya amal tegantung dengan niat, dan seseorang akan mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak diperolehnya atau wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya sesuai niat hijrahnya.”
Hadits tersebut tidak diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali oleh seorang saja yaitu Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu, dan tidak ada yang meriwayatkan dari Umar selain ‘Alqamah bin Waqqash, dan tidak ada yang meriwayatkan dari ‘Alqamah bin Waqqash selain Muhammad bin Ibrahim At Taimiy, dan tidak ada yang meriwayatkan darinya selain Yahya bin Sa’id Al Anshaariy, mereka semua tergolong tabiin, lalu dari Yahya orang-orang banyak meriwayatkan.

Dilihat dari sisi diterima dan ditolak
Hadits Ahad dilihat dari sisi diterima dan ditolak, ada yang maqbul dan ada yang mardud.
2.4. Maqbul (diterima)
Maqbul dilihat dari tingkatannya ada shahih lidzatihi, hasan lidzatihi, shahih lighairih, dan hasan lighairihi.
2.4.1. Shahih Lidzatihi, yaitu hadits yang diriwayatkan secara bersambung sanadnya, dinukil oleh orang yang adil dan dhabit (kuat ingatan atau terjaga tulisan) dan seterusnya seperti itu, tanpa ada syadz (menyelisihi orang yang tsiqah atau di atasnya lagi) dan tanpa ada illat (cacat tersembunyi).
Contoh: Imam Bukhari berkata:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «قَرَأَ فِي المَغْرِبِ بِالطُّورِ»
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, ia berkata: telah mengabarkan kepada kami Malik, dari Ibnu Syihab, dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari ayahnya ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membaca surah Ath Thur pada saat shalat Maghrib.”
Hadits di atas sanadnya bersambung, karena setiap rawi mendengar dari gurunya, sedangkan pernyataan ‘an’ (dari) oleh Malik dan Ibnu Syihab serta Ibnu Jubair, maka dibawa ke arah ‘bersambung’ karena mereka bukan mudallis (orang yang suka menyamarkan cacat).
Di samping itu, para perawinya adil dan dhabith sebagaimana komentar para Ahli Jarh wa Tadil (dalam mencacatkan atau mentsiqahkan rawi), bisa lihat Maktabah Syamilah dan pilih menu ‘bahts’ lalu arahkan ke fit tarajum (Ctrl + T) :
Abdullah bin Yusuf : Tsiqah (terpercaya) dan mutqin (hati-hati)
Malik bin Anas : Tsiqah
Ibnu Syihab Az Zuhri: seorang ahli fiqih, hafizh, disepakati kemuliaan dan kehati-hatiannya.
Muhammad bin Jubair: tsiqah
Jubair bin Muth’im: seorang sahabat
Hadits di atas juga tidak syadz, yakni tidak menyelisihi yang lebih kuat, dan tidak ada illat (cacat) tersembunyi.

Catatan:
1. Para ulama berbeda pendapat dalam menilai isnad yang paling shahih sebagaimana yang diterangkan di bawah ini:
a. Menurut Ishaq bin Rahawaih dan Ahmad, isnad yang paling shahih adalah Az Zuhri, dari Salim, dari ayahnya.
b. Menurut Ibnul Madini dan Al Fallas, isnad yang paling shahih adalah Ibnu Sirin, dari Ubaidah, dari Ali.
c. Menurut Ibnu Ma’in, isnad yang paling shahih adalah Al A’masy, dari Ibrahim, dari Alqamah, dari Abdullah bin Mas’ud.
d. Menurut Abu Bakar bin Abi Syaibah, isnad yang paling shahih adalah Az Zuhri, dari Ali bin Al Husain, dari ayahnya, dari Ali.
e. Menurut Bukhari, isnad yang paling shahih adalah Malik, dari Nafi, dari Ibnu Umar.
2. Tingkatan shahih dari sisi isnad dan para perawinya adalah sebagai berikut:
a. Malik, dari Nafi, dari Ibnu Umar
b. Hammad bin Salamah, dari Tsabit, dari Anas
c. Suhail bin Abi Shalih, dari ayahnya, dari Abu Hurairah
3. Urutan hadits shahih secara umum:
a. Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
b. Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari
c. Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim
d. Hadits yang diriwayatkan sesuai syarat Bukhari dan Muslim, namun keduanya tidak menyebutkan.
e. Hadits yang diriwayatkan sesuai syarat Bukhari, namun Bukhari tidak menyebutkan.
f. Hadits yang diriwayatkan sesuai syarat Muslim, namun Muslim tidak menyebutkan.
g. Hadits yang shahih menurut Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan tidak di atas syarat keduanya, wallahu a’lam.
Isnad yang paling shahih
Yang benar adalah tidak dihukumi suatu isnad sebagai “isnad yang paling shahih”, namun dihukumi dengan melihat sahabat, negeri, atau masalahnya. Sehingga dikatakan isnad yang paling shahih kepada Abu Bakar adalah...dst., isnad yang paling shahih penduduk Hijaz adalah...dst., isnad yang paling shahih tentang nuzul (turunnya Allah Azza wa Jalla ke langit dunia) adalah...dst.. Para ulama menyebutkan isnad yang paling shahih jika melihat kepada sahabatnya di antaranya sbb:
1.       Isnad yang paling shahih kepada Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu adalah Az Zuhri dari Sa’id bin Al Musayyib dari Abu Hurairah.
2.       Isnad yang paling shahih kepada Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma adalah Malik, dari Nafi, dari Ibnu Umar.
3.       Isnad yang paling shahih kepada Anas bin Malik radhiyallahu anhu adalah Malik, dari Az Zuhri, dari Anas.
4.       Isnad yang paling shahih kepada Aisyah radhiyallahu 'anha adalah Hisyam bin Urwah, dari bapaknya, dari Aisyah.
5.       Isnad yang paling shahih kepada Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma adalah Az Zuhri, dari Ubaidullah bin Utbah dari Ibnu Abbas.
6.       Isnad yang paling shahih kepada Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhuma adalah Sufyan bin Uyaynah, dari Amr bin Dinar, dari Jabir.
Adapun riwayat ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya (Syu’aib) dari kakeknya, yaitu Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, maka sebagian ulama ada yang berlebihan sampai menjadikannya termasuk isnad yang paling shahih, namun sebagian ulama ada yang menolaknya karena Syu’aib tidak bertemu dengan kakeknya sehingga terputus. Yang rajih (kuat) adalah bahwa isnadnya adalah shahih dan diterima. Imam Bukhari berkata, Aku melihat Ahmad bin Hanbal, Ali bin Al Madiniy, Ishaq bin Raahawaih, Abu ‘Ubaid dan umumnya para sahabat kami berhujjah dengan hadits Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, salah seorang di antara kaum muslimin tidak ada yang meninggalkannya. Bukhari melanjutkan kata-katanya, “Siapa lagi setelah mereka (yang lebih dipandang)?”
Adapun alasan penolakan sebagian ulama karena Syu’aib tidak bertemu dengan kakeknya adalah tertolak. Hal itu, karena Syu’aib telah tetap mendengar dari kakeknya, yaitu Abdullah, sehingga ketika itu tidak terputus. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Imam-imam kaum muslimin dan jumhur (mayoritas) ulama berhujjah dengan hadits Amr bin Syu’aib jika memang shahih periwayatan kepadanya.”
Bersambung….
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Musthalah Hadits Muyassar (Dr. Imad Ali Jum’ah), Al Haditsul Hasan (Ibrahim bin Saif Az Za’abiy), Ilmu Musthalahil Hadits (Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin), Ilmu Musthalah Hadits (Abdul Qadir Hasan), At Ta’liqat Al Atsariyyah ala Manzhumah Al Baiquniyyah (Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid), Tamamul Minnah (M. Nashiruddin Al Albani), Silsilatul Ahadits Adh Dha’ifah (M. Nashiruddin Al Albani), dll.
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger