Ringkasan Musthalah Hadits (1)

بسم الله الرحمن الرحيم
علوم الحديث (@bder_alenezi) | Twitter
Ringkasan Musthalah Hadits (1)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan ringkasan Musthalah Hadits merujuk kepada kitab At Ta’liqaat Al Atsariyyah ‘alal Manzhuumah Al Baiquuniyyah oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali Abdul Hamid, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Isnad
Isnad merupakan keistimewaan umat ini. Oleh karena itulah, umat Islam disebagai Ummatul Isnad. Dengan isnad diketahui suatu hadits diterima atau ditolak.
Sufyan Ats Tsauriy rahimahullah berkata,
اَلْاِسْنَادُ سِلاَحُ الْمُؤْمِنِ، إِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُ سِلاَحٌ، فَبِأَىِّ شَيْئٍ يُقَاتِلُ ؟
Isnad adalah senjata orang mukmin. Jika ia tidak punya senjata, maka dengan apa ia berperang?” (Disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhiin 1/27).
Abdullah bin Al Mubarak rahimahullah berkata,
الْإِسْنَادُ مِنْ الدِّينِ وَلَوْلَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
“Isnad itu bagian dari agama. Jika tidak ada isnad, tentu orang akan berkata seenaknya.” (Disebutkan oleh Imam Muslim dalam Mukadimah kitab Shahihnya)
Ibnu Sirin rahimahullah berkata,
كَانَ فِي الزَّمَنِ الْأَوَّلِ لَا يَسْأَلُونَ عَنْ الْإِسْنَادِ فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ سَأَلُوا عَنْ الْإِسْنَادِ لِكَيْ يَأْخُذُوا حَدِيثَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَيَدَعُوا حَدِيثَ أَهْلِ الْبِدَعِ
“Di masa awal, orang-orang tidak mempertanyakan isnad, tetapi ketika terjadi fitnah, maka mereka bertanya tentang isnad, agar mereka hanya mengambil hadits Ahlussunnah dan meninggalkan hadits Ahlul Bid’ah.”
Hadits Shahih
Hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya dengan penukilan dari orang yang adil yang dhabit (kuat hafalan atau terjaga tulisan) dari awal hingga akhir tanpa ada syadz (menyelisihi riwayat yang lebih kuat) dan ‘illat (cacat tersembunyi).
Contoh:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّورِ
Imam Bukhari berkata, Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari bapaknya, ia berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membaca surah Ath Thuur di shalat Maghrib.
Hadits ini adalah hadits shahih karena terpenuhi syarat-syaratnya, dimana dalam isnadnya para perawi (periwayatnya) tsiqah, bersambung sanadnya, tidak syadz atau ber’illat.
Bersambung (ittishal) sanadnya maksudnya mendengarnya setiap rawi dari rawi selanjutnya.
Isnad maksudnya silsilah para perawi yang menyampaikan nash (matan atau teks) hadits. Bisa juga maksudnya menyandarkan hadits kepada orang yang mengatakannya. Isnad terkadang disebut juga sanad, kecuali ada qarinah (tanda) yang mengalihkan dari makna itu.
Syadz maksudnya riwayat rawi yang diterima menyalahi yang lebih kuat, baik dari sehi jumlahnya maupun ketsiqahannya.
‘Illat maksudnya sebab yang membuat cacat keshahihan hadits yang tampak di luarnya sebagai hadits shahih. Biasanya ‘illat hadits hanya diketahui oleh orang yang dalam ilmunya tentang hadits.
Orang yang adil adalah rawi yang memiliki sifat yang membuat pelakunya bertakwa, menjauhi dosa-dosa serta merusak harga dirinya di tengah-tengah umat.
Dhabit maksudnya kuat ingatan dan hati, teguh, serta bisa menjaga yang ia tulis dari sejak menerima hadits itu dan mendengarnya sampai menyampaikan. Berdasarkan keterangan ini, maka dhabit terbagi dua:
a. Dhabit shadr (dada), yaitu seorang rawi hafal yang ia dengar dengan hafalan yang memungkinkan untuk menghadirkannya kapan saja ia mau.
b. Dhabit kitab (kitab), yaitu ia bisa menjaga yang ia tulis sejak mendengarnya dan ia mengesahkannya sampai ia menyampaikannya, ia juga tidak menyerahkan kepada orang yang tidak bisa menjaganya dan memungkinkan untuk merubahnya.
Hadits Hasan
Hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya dengan penukilan orang yang adil namun kurang kuat dhabit (hafalannya), tanpa ada syadz dan ‘illat.
Contoh:
أَكْثِرُوْا مِنْ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ قَبْلَ أَنْ يُحَالَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهَا وَلَقِّنُوْهَا مَوْتَاكُمْ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Perbanyaklah syahadat Laailaahaillallah sebelum kamu dihalangi mengucapkannya, dan ajarkanlah kepada orang yang hampir mati di antara kamu.” (HR. Abu Ya’la (6147), Al Khathib dalam Tarikhnya (3/38), Hamzah Al Kananiy dalam Juz’ul bithaaqah (no. 8), Ar Raafi’i dalam Tarikh Qazwiin (4/74) dari dua jalan dari Dhimam bin Isma’il dari Musa bin Wardan dari Abu Hurairah.)
Isnad ini adalah hasan, karena di dalamnya terdapat Dhimam bin Isma’il yang menurut Adz Dzahabi, “Shalih haditsnya, namun sebagian mereka (ahli hadits) menganggapnya lunak tanpa hujjah.”
Abu Zur’ah Al ‘Iraqiy dalam Dzailul Kaasyif hal. 144 menukil dari Imam Ahmad bin Hanbal pendapatnya tentang Dhimam, ia berkata, “Shalih haditsnya,” dan dari Abu Hatim, “Shaduq (sangat jujur) dan ahli ibadah,  sedangkan dari Nasa’i, ia berkata, “Tidak apa-apa terhadapnya.”
Al Haafizh Ibnu Hajar berkata tentangnya, “Shaduuq, namun terkadang ia keliru.”
Yang seperti ini derajat haditsnya adalah hasan.
Hadits Dha’if
Hadits dha’if adalah hadits yang tidak terkumpul padanya sifat hadits hasan karena ada salah satu syaratnya yang hilang.
Hadits dha’if banyak macamnya. Akan dijelaskan nanti macam-macamnya, Insya Allah.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah, Darimi, Ahmad dan Ibnu Kuzaimah serta yang lainnya dari Abu Sa’id Al Khudriy ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمْ الرَّجُلَ يَتَعَاهَدُ الْمَسْجِدَ فَاشْهَدُوا لَهُ بِالْإِيمَانِ
Apabila kamu melihat seseorang rutin ke masjid, maka saksikanlah keimanannya…dst.”
Hadits ini adalah dha’if, karena dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Darraj bin Sam’aan Abus Samh.
Adz Dzahabiy berkata tentangnya, “Darraj itu banyak hadits-hadits munkarnya.”
Imam Ahmad dan lainnya berkata, “Hadits-haditsnya munkar.”
Ibnu Hajar berkata dalam At Taqrib (no. 1824), “Sangat jujur, namun dalam riwayatnya dari Abul Haitsam adalah dha’if.”
Dan di sini Darraj meriwayatkan dari Abul Haitsam.
Hadits Marfu’, Mauquf, dan Maqthu’
Apa yang disandarkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam baik berupa ucapan, perbuatan, taqrir (diamnya Beliau terhadap suatu perbuatan yang disaksikannya) atau sifat fisik maupun akhlak disebut Hadits Marfu’.
Contoh marfu’ ucapan adalah seorang rawi (periwayat) mengatakan, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:…dst.”
Contoh marfu’ perbuatan adalah seorang rawi mengatakan, “Aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan…dst.”
Contoh marfu’ yang berupa taqrir adalah seorang rawi mengatakan, “Dilakukan di hadapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hal ini atau itu…dst.” Dan tidak ada riwayat pengingkaran dari Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap perbuatan itu.
Sedangkan contoh marfu’ yang berupa sifat adalah seorang rawi mengatakan, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling sempurna akhlaknya…dst.” (HR. Bukhari dan Muslim) Atau rawi yang mengatakan:
كَانَ أَبْيَض مَلِيحًا مُقَصَّدًا
“Beliau adalah seorang yang putih, manis, dan fisiknya sedang.” (HR. Muslim)
Adapun yang disandarkan kepada para sahabat baik berupa ucapan, perbuatan maupun taqrir disebut Mauquf.
Contoh:
Mauquf pada ucapan adalah seperti perkataan Ali bin Abi Thalib  radhiyallahu 'anhu, “Sampaikanlah kepada manusia perkara yang mereka kenali (pahami), sukakah kamu jika Allah dan Rasul-Nya didustakan?” (Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq (tanpa menyebutkan sanad))
Mauquf pada perbuatan adalah seperti perkataan Imam Bukhari, “Ibnu Abbas pernah mengimami, sedangkan Beliau bersuci dengan bertayammum.” (Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq. Al Hafizh dalam Al Fat-h berkata, “Riwayat ini disambung oleh Ibnu Abi Syaibah, Baihaqi dan lainnya, dan isnadnya adalah hasan).
Mauquf yang berupa taqrir adalah seperti perkataan tabi’in, “Saya melakukan perbuatan ini di hadapan seorang sahabat, dan ia tidak mengingkariku.”
Faedah/Catatan:
Apabila seorang sahabat berkata, “ Termasuk Sunnah…dst.” Atau berkata, “Kami di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan ini dan itu…dst.” Atau ia (sahabat) mengatakan suatu perkataan yang di sana bukan ruang berijtihad, maka hal ini tidak dihukumi mauquf, bahkan dinamakan marfu’ hukman (dihukumi marfu’), yakni menduduki posisi perbuatan atau ucapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dari sisi kehujjahannya.
Jika riwayat itu disandarkan (hanya sampai) kepada tabi’in, maka disebut Maqthu’.
Maqthu’ pada ucapan adalah seperti pada perkataan Al Hasan Al Bashriy tentang shalat di belakang Ahli Bid’ah, “Shalatlah (dengannya), sedangkan bid’ahnya adalah untuknya.” (Disebutkan oleh Bukhari secara mu’allaq).
Maqthu’ pada perbuatan adalah seperti pada perkataan Ibrahim bin Muhammad bin Al Muntasyir, “Masruq memasang tirai antara dia dengan keluarganya, ia fokus dengan shalatnya, membiarkan mereka dan dunia mereka.” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim Al Ashbahani dalam Hilyatul Auliya’ 2/96).
Bersambung….
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45At Ta’liqaat Al Atsariyyah ‘alal Manzhuumah Al Baiquuniyyah (‘Ali bin Hasan bin ‘Ali Abdul Hamid), dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger