Qana’ah

Rabu, 30 April 2014
بسم الله الرحمن الرحيم
Qana’ah
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan tentang qana’ah, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Dikisahkan[i], bahwa ada tiga orang yang berjalan di sebuah jalan, tiba-tiba mereka menemukan harta karun, lalu mereka bersepakat untuk membagi sama rata. Sebelum mereka melakukannya, mereka merasakan lapar yang sangat, maka mereka mengutus salah seorang di antara mereka ke kota untuk membawakan makanan dan berpesan kepadanya untuk merahasiakan (harta karun itu) agar tidak ada orang lain yang memintanya. Di tengah perjalanan membawakan makanan, maka terlintaslah dalam dirinya untuk berlepas dari kedua kawannya dan mengambil sendiri harta karun itu, maka ia pun membeli racun dan menaruhnya di dalam makanan. Pada saat itu juga, kedua kawannya sepakat untuk membunuhnya jika telah kembali agar keduanya membagi harta karun di antara mereka berdua saja. Saat orang itu kembali dengan membawa makanan beracun, maka kedua kawannya membunuhnya, lalu keduanya duduk dan memakan makanan itu, maka kemudian keduanya juga mati karena pengaruh racun itu, sehingga mereka semua tidak dapat menikmati harta karun tersebut. Demikianlah akibat orang yang rakus, tamak, dan serakah.
Seorang sahabat yang mulia, yaitu Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu pernah pergi mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta kepada Beliau harta, lalu Beliau memberinya, kemudian ia meminta lagi, dan Beliau memberinya, ia meminta lagi, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya lagi, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya sambil menasihatinya,
يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَة، فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى.
“Wahai Hakim! Sesungguhnya harta ini hijau lagi manis[ii]. Barang siapa yang mengambilnya dengan qana’ah (tidak tamak), maka akan diberikan keberkahan padanya, tetapi barang siapa yang mengambilnya dengan hati yang tamak, maka tidak akan diberikan keberkahan, sehingga seperti orang yang makan namun tidak kenyang, dan tangan di atas (memberi) lebih baik daripada tangan di bawah (menerima). (Muttafaq ‘alaihi)
Maka setelahnya Hakim berjanji kepada Nabi shallallau ‘alaihi wa sallam untuk tidak meminta sedikit pun harta dari seseorang sampai ia meninggal dunia. Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu pernah memintanya hadir agar diberi bagiannya dari harta yang ada, lalu ia menolak untuk menerima sedikit pun darinya, dan ketika Umar radhiyallahu ‘anhu menjabat sebagai khalifah, maka Umar memanggilnya untuk diberinya harta, namun Hakim tetap menolaknya, maka Umar berkata, “Wahai kaum muslimin, aku jadikan kalian sebagai saksi terhadap Hakim, bahwa sesunggunya aku telah menawarkan haknya yang Allah berikan untuknya dalam harta fai’[iii] ini, lalu ia menolak untuk menerimanya.
Demikianlah Hakim, ia senantiasa qana’ah, tidak berharap kepada harta setelah nasihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diterimanya, yaitu untuk tidak meminta sesuatu kepada seseorang, sampai-sampai tidak mengambil haknya dan hidup dari hasil kerja dan usahanya.
Apakah Qana’ah itu?
Qana’ah artinya ridha dengan pembagian Allah meskipun sedikit dan tidak berharap kepada apa yang ada di tangan orang lain. Ia merupakan tanda kejujuran iman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
“Sungguh beruntunglah orang yang masuk Islam dan diberikan rezeki yang cukup serta dijadikan qana’ah oleh Allah terhadap pemberian-Nya.” (HR. Muslim)
Qana’ah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang puas dengan apa yang  ada padanya, Beliau tidak meminta sesuatu pun kepada orang lain dan tidak memperhatikan apa yang ada pada orang lain. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendagangkan harta Khadijah radhiyallahu ‘anha, lalu mendapatkan keuntungan yang banyak tanpa ada rasa tamak kepada harta itu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidur di atas tikar, lalu para sahabat melihatnya, sedangkan tikar itu membekas di rusuk Beliau, sehingga mereka ingin membuatkan untuk Beliau kasur yang lembut agar Beliau berbaring di atasnya, lalu Beliau bersabda,
مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Apa urusanku dengan dunia. Aku di dunia ini tidak lain seperti seorang penunggang kendaraan yang berteduh di bawah sebuah pohon, lalu pergi meningalkannya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5668)
Tidak ada qana’ah dalam mengerjakan kebaikan
Seorang muslim menerima apa adanya pembagian Allah untuknya dalam hal yang terkait dengan dunia. Adapun dalam mengerjakan kebaikan dan dalam beramal saleh, maka ia selalu berharap terus untuk menambah kebaikannya sesuai dengan firman Allah Ta’ala,
وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
“Berbekallah, karena sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al Baqarah: 197)
Keutamaan Qana’ah
Seorang yang qana’ah akan dicintai Allah dan dicintai manusia. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada seseorang,
ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللهُ، وازْهَدْ فِيمَا  عِنْدَ النَّاسِ يُحِبُّكَ النَّاسُ
“Zuhudlah kepada dunia niscaya Allah mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia, niscaya manusia akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah dan lainnya, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 922)
Qana’ah juga mewujudkan kebaikan yang besar bagi seseorang di dunia dan akhirat.
Dan di antara keutamaan qana’ah juga adalah:
1.Qana’ah merupakan sebab keberkahan
Qana’ah merupakan harta karun yang tidak akan habis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitahukan kita bahwa ia adalah kekayaan yang paling utama, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرْضِ، وَلَكِنَّ اْلغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kaya itu bukanlah dengan banyaknya harta benda, tetapi kaya itu adalah kepuasan jiwa.” (Muttafaq ‘alaih)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
“Barang siapa di antara kamu yang pagi harinya aman, sehat jasadnya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan dunia telah diberikan kepadanya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6042)
Seorang muslim ketika merasa qana’ah dan ridha dengan pembagian Allah untuknya, maka ia akan menjadi manusia yang kaya, mulia di antara mereka dan tidak hina kepada seseorang pun. Adapun tamaknya seseorang dan berharap tambahan, maka akan menjadikannya hina kepada manusia dan hilang kemuliannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَارْضَ بِمَا قَسَمَ اللَّهُ لَكَ تَكُنْ أَغْنَى النَّاسِ.
“Dan ridhalah kamu kepada pembagian Allah kepadamu, niscaya kamu akan menjadi manusia paling kaya.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 100)
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ
“Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Mualailah dengan orang yang engkau tanggung, dan sebaik-baik sedekah adalah yang di luar kelebihan, dan barang siapa yang berusaha menjaga dirinya, niscaya Allah akan menjaganya, dan barang siapa yang merasa cukup, maka Allah akan mencukupkannya.” (HR. Ahmad dan Bukhari)
2. Qana’ah merupakan jalan ke surga
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan, bahwa seorang muslim yang qana’ah yang tidak meminta-minta kepada manusia pahalanya adalah surga, Beliau bersabda,
مَنْ يَكْفُلُ لِيْ أَنْ لاَ يَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا وَأَتَكَفَّلَ لَهُ بِالْجَنَّةِ؟، فَقَالَ ثَوْباَنُ: اَنَا. فَكَانَ لاَ يَسْأَلُ أَحَدًا شَيْئًا
“Siapa yang mau menjamin untukku untuk tidak meminta sesuatu kepada manusia sesuatu, niscaya aku akan jamin baginya surga?” Lalu Tsauban berkata, “Saya.” Maka kemudian Tsauban tidak meminta sesuatu apa pun kepada manusia. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6604)
3. Qana’ah merupakan kemuliaan bagi diri
Qana’ah menjadikan pelakunya merdeka sehingga tidak dapat dikuasai oleh orang lain. Adapun tamak, maka menjadikan pelakunya budak bagi orang lain. Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tamak adalah perbudakan yang kekal.” Ada pula yang berkata, “Akan mulia orang yang qana’ah dan akan hina orang tamak.”
4. Qana’ah adalah jalan untuk memperoleh ketenangan jiwa
Seorang muslim yang qana’ah akan hidup dalam ketenangan, keamanan, dan ketenteraman yang langgeng, adapun orang yang tamak, maka ia hidup dalam keadaan gelisah dan tidak stabil di atas satu keadaan. Dalam hadits qudsi disebutkan, Allah Azza wa Jalla berfirman,
يَا ابْنَ آدَمَ تَفَرَّغْ لِعِبَادَتِي أَمْلَأْ صَدْرَكَ غِنًى وَأَسُدَّ فَقْرَكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ مَلَأْتُ صَدْرَكَ شُغْلًا وَلَمْ أَسُدَّ فَقْرَكَ
“Wahai anak Adam! Sempatkanlah untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku akan memenuhi dadamu dengan kecukupan dan Aku akan menutupi kebutuhanmu. Jika engkau tidak melakukannya, maka Aku akan memenuhi dadamu dengan kesibukan dan Aku tidak akan menutup kebutuhanmu.” (HR. Ibnu Majah dan lain-lain, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1914)
Seorang yang bijak berkata, “Kegembiraan di dunia diperoleh dengan qana’ah terhadap rezeki yang diberikan kepadamu, sedangkan kesedihannya adalah ketika engkau berduka cita terhadap sesuatu yang tidak diberikan kepadamu.”
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Al Qur'anul Karim, Maktabah Syamilah versi 3.45, Mausu'ah Haditsiyyah Mushaghgharah, Mausu’ah Al Usrah Al Muslimah (dari situs www.islam.aljayyash.net), Modul Akhlak kelas 8 (penulis), dll.


[i] Kisah ini disebutkan untuk diambil pelajaran daripadanya terlepas dari shahih tidaknya kisah ini, wallahu a’lam.
[ii] maksudnya seseorang itu cenderung kepada harta sebagaimana ia cenderung kepada buah yang manis dan lezat.
[iii] Yaitu harta rampasan dari musuh tanpa melalui peperangan.

Mengenal Jalan Ahlussunnah wal Jama’ah

Sabtu, 26 April 2014
بسم الله الرحمن الرحيم
Mengenal
Jalan Ahlussunnah wal Jama’ah
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Di zaman sekarang, kita melihat banyaknya golongan atau aliran yang beraneka ragam, masing-masing dari mereka mengaku bahwa merekalah yang benar, sehingga seorang muslim yang awam melihat seperti ini menjadi bingung, golongan manakah yang harus diikuti?
Bagi seorang muslim yang telah belajar Islam dengan benar akan mengetahui bahwa banyaknya perselisihan dan golongan ini telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sejak berabad-abad yang silam, Beliau pun telah memberitahukan jalan keluar kepada umatnya yang hidup sepeninggalnya nanti tentang sikap yang harus dilakukannya ketika menemukan zaman yang di sana terjadi banyak perselisihan agar tidak tersesat. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
سَتَرَوْنَ مِنْ بَعْدِي اخْتِلَافًا شَدِيدًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ
“Nanti kamu akan melihat sepeninggalku perselisihan yang dahsyat, maka peganglah Sunnahku dan sunnah para khalifah yang lurus serta mendapatkan petunjuk.” (Shahih, HR. Ibnu Majah)
Nah, sekarang mari kita mengenal jalan Ahlussunnah wal Jama’ah yang merupakan jalan golongan yang selamat.
Ahlus sunnah wa Jama’aah sebagai golongan yang selamat adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada Al Qur’an dan As Sunnah, sebagaimana yang dipahami Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Mereka disebut Al Jama’ah karena mereka berkumpul di atas yang benar dan tidak berpecah-belah (meskipun mereka sendiri dan berjauhan tempat dan zaman). Mereka disebut juga Ahlul hadits, Ahlul atsar, Ahlul ittibaa’ (karena mengikuti yang datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam), Ath Thaaifah Al Manshuurah (golongan yang ditolong oleh Allah Ta’ala), Al Firqah An Naajiyah (golongan yang selamat) dan Al Ghurabaa’ (orang-orang yang dianggap asing).
Sumber rujukan mereka adalah Al Qur’an, As Sunnah yang shahih dan kesepakatan (ijmaa’) As Salafus shaalih. Mereka terima sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih meski ahad (jalur periwayatannya tidak mutawatir).
Dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah langkah mereka adalah mencari dalil yang tegas  (sharih) yang menjelaskan ayat atau hadits itu, lalu mengikuti paham As Salafus Shaalih (orang-orang terdahulu yang terdiri dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat dan Taabi’in, karena mereka adalah sebaik-baik generasi, disamping itu mereka adalah orang-orang yang paling tahu tentang agama ini), kemudian mengikuti penjelasan para ulama yang mengikuti jejak mereka.
Contoh dalam hal ini adalah apa yang dikatakan oleh Imam Ibnu Katsir rahimahulah dalam mukadimah kitab tafsirnya, ia berkata,
“Apabila ada seseorang yang bertanya, “Apa cara terbaik dalam menafsirkan (Al Qur’an)?” Jawabnya, “Sesungguhnya cara terbaik dalam hal ini adalah menafsirkan Al Qur’an dengan (penjelasan) Al Quran ; yang masih belum jelas di ayat ini mungkin dijelaskan di ayat lain. Jika kamu tidak menemukan (penjelasan di ayat lain), maka dengan melihat As Sunnah, karena ia adalah pensyarah Al Qur’an dan penjelasnya…dst.” Kemudian Ibnu Katsir melanjutkan, “Jika kita tidak menemukan (penjelasannya) dalam Al Qur’an dan As Sunnah, maka kita melihat pendapat para sahabat, karena mereka lebih tahu tentang hal itu…dst. » Ibnu Katsir berkata lagi, “Jika kamu tidak menemukan dalam Al Qur’an, As Sunnah juga dari para sahabat, maka dalam hal ini para imam melihat pendapat para tabi’iin…dst.”
Mereka (Ahlus sunnah wal jamaa’ah) tunduk kepada Allah dan RasulNya lahir-batin, oleh karenanya Al Qur’an atau As Sunnah yang shahih tidak mereka tolak dengan qiyas, perasaan, pendapat seorang syaikh, imam dsb.
Setiap yang dilarang Allah dan Rasul-Nya, segera mereka tinggalkan dan setiap perintah mereka kerjakan sesuai kemampuan.
Menurut mereka, akal yang sehat itu selamanya sejalan dengan Al Qur’an dan As Sunnah dan tidak ada pertentangan selamanya. Menurut mereka juga, bahwa setiap yang di ada-adakan dalam agama ini adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.
Dalam masalah yang mereka perselisihkan, maka mereka kembalikan kepada Al Qur’an dan As Sunnah, kemudian mereka menerima dengan sepenuh hati. Mereka kedepankan firman Allah  Ta’ala dan sabda Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam di atas perkataan yang lain, mereka junjung sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka praktekkan dalam keseharian.
Mereka tidak ta’ashshub (fanatik) selain kepada firman Allah Ta’ala dan sabda Rasul-Nya Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka tahu betapa pun tingginya kedudukan seseorang, namun ia bisa salah.
Mereka muliakan para imam mujtahid, namun tidak ta’ashshub dengan mereka, mereka (Ahlus sunnah wal jamaa’ah) mengambil fiqh dari Al Qur’an, As Sunnah yang shahih, serta pendapat mereka jika sesuai dengan hadits shahih, karena mereka (para imam mujtahid) menyuruh para pengikutnya untuk berpegang dengan hadits yang shahih dan meninggalkan pendapat yang menyelisihinya.
Imam Abu Hanifah berkata, “Jika hadits itu shahih maka itulah madzhabku,” ia juga mengatakan, “Jika aku mengatakan suatu perkataan, namun ternyata bertentangan dengan kitab Allah dan berita (hadits) Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tinggalkan pendapatku.”
Ahlus sunnah wal jamaa’ah mengajak kaum muslimin berpegang dengan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Mereka (Ahlus sunah wal jamaa’ah) mengingkari segala macam undang-undang yang menyelisihi hukum Islam, mereka mengajak manusia berhukum dengan hukum Allah Subhaanahu wa Ta'aala dan RasulNya shallallahu 'alaihi wa sallam; karena keduanyalah sumber kebahagiaan bagi manusia dunia dan akhirat. Mereka yakin bahwa hukum Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam itulah yang bisa memperbaiki keadaan yang rusak dan cocok di setiap zaman dan setiap tempat. Dan sebab rusaknya dunia secara umum serta dunia Islam secara khusus adalah karena tidak merujuk kepada kitab Allah dan sunah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kemuliaan bagi kaum muslimin hanya bisa didapat dengan merujuk kepada keduanya, berdasarkan firman Allah ta’ala,
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sampai mereka mau merubah diri mereka sendiri.” (QS. Ar Ra’d : 11)
Khatimah
Cukuplah kiranya sya’ir karya Syaikh Mullaa ‘Umraan di bawah ini menutup pembicaraan tentang jalan Ahlus Sunnah wal Jama’aah,
اِنْ كَانَ تَابِعُ اَحْمَدَ مُتَوَهَّبًا         فَاَنَااْلمُقِرُّ بِأَنَّنِيْ وَهَّابِيٌّ
اَنْفِى الشَّرِيْكَ عَنِ اْلِالهِ فَلَيْسَ لِيْ  رَبٌّ سِوَى اْلمُتَفَرِّدِ اْلوَهَّابِ
لاَقُبَّةَ تُرْجَى وَلاَوَثَنٌ وَلَا     قَبْرٌ لَهُ سَبَبٌ مِنَ اْلاَسْبَابِ
كَلاَّوَلَا حَجَرٌ, وَلاَشَجَرٌ وَلَا  عَيْنٌ وَلَانُصُبٍ مِنَ اْلأَنْصَابِ
أَيْضًاوَلَسْتُ مُعَلِّقًا لِتَمِيْمَةٍ  أَوْحَلَقَةٍ , أَوْ وَدَعَةٍ أَوْنَابٌ
لِرَجَاءِ نَفْعٍ, أَوْ لِدَفْعِ بَلِيَّةٍ   اللهُ يَنْفَعُنِيْ, وَيَدْفَعُ مَاِبيْ 
وَاْلِابْتِدَاعَ وَكُلَّ أَمْرٍمُحْدَثٍ    فِى الدِّيْنِ يُنْكِرُهُ أُولُو اْلَألْبَابِ
أَرْجُوْ بِأَنِّي لَا أُقَارِبُهُ وَلَا     أَرْضَاهُ دِيْنًا, وَهُوَ غَيْرُ صَوَابٌ
وَأَعُوْذُ مِنَ جَهْمِيَّةٍ عَنْهَاعَتَتْ    بِخِلَافِ كُلِّ مُؤَوِّلٍ مُرْتَابٍ
وَاْلِاسْتِوَاءَ, فَإِنَّ حَسْبِيْ قُدْوَةٌ     فِيْهَا مَقَالُ السَّادَةِ اْلأَنْجَابِ
الشَّافِعِيُّ وَمَالِكُ وَأَبِيْ حَنِيْ    فَةَوَابْنُ حَنْبَلَ التَّقِيُّ اْلأَوَّابُ
وَبِعَصْرِنَا مَنْ جَاءَ مُعْتَقِدًا بِهِ  صَاحُوْا عَلَيْهِ مُجَسِّمٌ وَهَّابِيٌّ
جَاءَ اْلحَدِيْثُ بِغُرْبَةِ اْلِإسْلَامِ فَلْ  يَبْكِ اْلمحُِبُّ لِغُرْبَةِ اْلأَحْبَابِ
فَاللهُ يَحْمِيْنَا, وَيَحْفَظُ دِيْنَنَا    مِنْ شَرِّكُلِّ مُعَانِدٍ سِبَابٍ
وَيُؤَيِّدُ الدِّيْنَ اْلحَنِيْفَ بِعُصْبَةٍ  مُتَمَسِّكِيْنَ بِسُنَّةٍ وَكِتَابٍ
لاَيَأْخُذُوْنَ بِرَأْيِهِمْ وَقِيَاسِهِمْ   وَلَهُمْ إِلَى اْلوَحْيَيْنِ خَيْرُ مَابٍ
قَدْأَخْبَرَ اْلمُخْتَارُ عَنْهُمْ أَنَّهُمْ    غُرَبَاءُ بَيْنَ اْلأَهْلِ وَاْلأَصْحَابِ
سَلَكُوا طَرِيْقَ السَّالِكِيْنَ إِلَى اْلهُدَى  وَمَشَوْا عَلَى مِنْهَاجِهِمْ بِصَوَابٍ
مِنْ أَجْلِ ذَا أَهْلِ اْلغُلُوِّ تَنَافَرُوْا   عَنْهُمْ فَقُلْنَالَيْسَ ذَابِعِجَابٍ
نَفَرَ الَّذِيْنَ دَعَاهُمْ خَيْرُ اْلوَرَى    إِذْلَقَّبُوْهُ بِسَاحِرٍ كَذَّابٍ
مَعَ عِلْمِهِمْ بِأَمَانَةٍ وَديَانَةٍ     فِيْهِ وَمَكْرَمَةٍ, وَصِدْقٍ جَوَاب
صَلَّى عَلَيْهِ اللهُ مَاهَبَّ الصِّبَا  وَعَلَى جَمَيْعِ اْلآلِ وَاْلأَصْحَابِ
Jika pengikut Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam itu dikatakan sebagai Wahhabi, maka saya mengaku bahwa saya Wahhabi.
Saya tiadakan sekutu bagi Allah, oleh karenanya tidak ada lagi bagi saya Tuhan selain Allah Yang Maha Esa lagi Maha Pemberi.
Tidak ada lagi kubah untuk diharap, tidak juga patung serta kubur tidak pula menjadi sebab.
Sekali-kali tidak, baik batu, pohon, mata air maupun berhala.
Aku juga tidak memakai jimat, baik berbentuk kalung, kerang, maupun taring.
untuk menarik manfaat atau menolak bala’, Allah-lah yang memberiku manfaat dan menghindarkan bencana.
Setiap bid’ah dan hal yang baru dalam agama, itu diingkari oleh orang-orang yang berakal.
Saya harap diriku tidak mendekatinya serta tidak meridhainya sebagai agama, karena tidak benar.
Saya menjaga diri dari  Jahmiyyah[i] yang angkuh, juga orang yang suka mentakwilkan sedang mereka bimbang.
Tentang istiwa’ (Allah Ta’ala berada di atas ‘Arsy), cukuplah bagiku sebagai panutan perkataan para imam yang mulia.
Seperti Syafi’i, Malik, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal yang bertaqwa lagi sering kembali kepada Allah.
Di zaman kita sekarang, orang yang berkeyakinan seperti ini akan dikatakan sebagai Mujassim dan Wahhabi.
Sungguh telah datang hadits tentang akan asingnya Islam, maka hendaknya menangis orang yang mencintai karena asingnya orang yang dicintai.
Allah-lah yang menjaga kami, menjaga pula agama kami dari setiap orang yang keras lagi memaki.
Dia-lah yang mengokohkan agama yang lurus ini dengan segolongan orang yang berpegang dengan As Sunah dan Al Qur’an.
Mereka tidak berpegang dengan pendapat mereka dan qiyasnya. Kepada kedua wahyulah (Al Qur’an dan As Sunnah) tempat kembali yang baik.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberitahukan tentang mereka bahwa mereka akan menjadi asing di tengah keluarga dan kawan-kawan.
Mereka tempuh jalan orang-orang yang mengarah kepada hidayah dan mengikuti jejak mereka dengan benar.
Oleh karenanya orang-orang yang ghuluw berlari dari mereka, kami katakan, “Tidak perlu heran.”
Bukankah telah lari orang-orang (sebelumnya) dari manusia terbaik (Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam), mereka menggelari Beliau sebagai penyihir dan pendusta.
Padahal mereka tahu amanah Beliau dan cara hidupnya yang penuh kemuliaan dan kejujuran.
Semoga shalawat Allah Ta’ala limpahkan kepada Beliau selama angin timur masih bertiup, juga kepada keluarga dan para sahabat.
Wallahu a’lam, wa shallallahu 'ala Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraaji’: Minhaajul Firqatin Naajiyah (M. bin Jamil Zainu), Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah (Dr. Nashir Al ‘Aql) dan Tafsir Ibnu Katsir.


[i]  Golongan yang mengingkari Allah Ta’ala berada di atas ‘Arsy, mereka mengatakan bahwa Allah Ta’ala ada di setiap tempat.
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger