Terjemah Umdatul Ahkam (32)

Minggu, 30 Juni 2019
بسم الله الرحمن الرحيم
نتيجة بحث الصور عن إن الرضاعة تحرم ما يحرم من النسب
Terjemah Umdatul Ahkam (32)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan terjemah Umdatul Ahkam karya Imam Abdul Ghani Al Maqdisi (541 H – 600 H) rahimahullah. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penerjemahan kitab ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
KITAB LI’AN
332 - عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: ((اخْتَصَمَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ وَعَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ فِي غُلامٍ. فَقَالَ سَعْدٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا ابْنُ أَخِي عُتْبَةَ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ , عَهِدَ إلَيَّ أَنَّهُ ابْنُهُ , اُنْظُرْ إلَى شَبَهِهِ. وَقَالَ عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ: هَذَا أَخِي يَا رَسُولَ اللَّهِ , وُلِدَ عَلَى فِرَاشِ أَبِي مِنْ وَلِيدَتِهِ , فَنَظَرَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - إلَى شَبَهِهِ , فَرَأَى شَبَهًا بَيِّنًا بِعُتْبَةَ فَقَالَ: هُوَ لَك يَا عَبْدُ بْنَ زَمْعَةَ , الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ. وَاحْتَجِبِي مِنْهُ يَا سَوْدَةُ، فَلَمْ يَرَ سَوْدَةَ قَطُّ)) .
332. Dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata, “Sa’ad bin Abi Waqqash pernah bertengkar dengan Abd bin Zam’ah terkait seorang anak. Sa’ad berkata, “Wahai Rasulullah, ini adalah putra saudaraku Utbah bin Abi Waqqash, ia pernah berpesan kepadaku bahwa ini adalah anaknya, lihatlah kemiripannya.” Abd bin Zam’ah berkata, “Ia adalah saudaraku wahai Rasulullah, ia lahir di kasur ayahku dari budaknya.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melihat kemiripannya dan ternyata tampak jelas kemiripannya dengan Utbah, namun Beliau bersabda, “Anak itu adalah untukmu wahai ‘Abd bin Zam’ah. Anak itu bagi pemilik ranjang dan bagi pezina adalah batu (kerugian), dan berhijablah engkau darinya wahai Saudah.” Maka anak itu tidak pernah melihat Saudah selamanya.”
333 - عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها أَنَّهَا قَالَتْ: ((إنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - دَخَلَ عَلَيَّ مَسْرُوراً , تَبْرُقُ أَسَارِيرُ وَجْهِهِ. فَقَالَ: أَلَمْ تَرَيْ أَنَّ مُجَزِّزاً نَظَرَ آنِفاً إلَى زَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ وَأُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ , فَقَالَ: إنَّ بَعْضَ هَذِهِ الأَقْدَامِ لَمِنْ بَعْضٍ)) . وَفِي لَفْظٍ: ((كَانَ مُجَزِّزٌ قَائِفاً)) .
333. Dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah masuk menemuiku dalam keadaan bergembira dengan keceriaan yang bersinar di wajahnya dan bersabda, “Tidakkah engkau melihat bahwa Mujazzaz tadi melihat Zaid bin Haritsah dan Usamah bin Zaid, lalu berkata, “Sesungguhnya telapak kaki-telapak kaki yang ini merupakan bagian satu dengan yang lainnya.”
Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa Mujazzaz adalah seorang Qaif (Ahli menghubungkan nasab dengan memperhatikan keserupaan dan Ahli menelusuri jejak).
334 - عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ - رضي الله عنه - قَالَ: ((ذُكِرَ الْعَزْلُ لِرَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -. فَقَالَ: وَلِمَ يَفْعَلُ ذَلِكَ أَحَدُكُمْ؟ - وَلَمْ يَقُلْ: فَلا يَفْعَلْ ذَلِكَ أَحَدُكُمْ، فَإِنَّهُ لَيْسَتْ نَفْسٌ مَخْلُوقَةٌ إلاَّ اللَّهُ خَالِقُهَا)) .
334. Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu anhu ia berkata, “Pernah disampaikan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang ‘Azl (ditarik kemaluan ketika mani hendak keluar), maka Beliau bersabda, “Mengapa salah seorang di antara kamu melakukan hal itu?” – Beliau tidak mengatakan “Janganlah salah seorang di antara kamu melakukan hal itu--, padahal tidak ada satu pun makhluk yang tercipta melainkan Allah Penciptanya.”
335 - عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رضي الله عنهما قَالَ: ((كُنَّا نَعْزِلُ وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ , لَوْ كَانَ شَيْئاً يُنْهَى عَنْهُ لَنَهَانَا عَنْهُ الْقُرْآنُ))
335. Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma ia berkata, “Kami melakukan ‘azl, sedangkan Al Qur’an masih turun. Kalau sekiranya hal itu dilarang tentu Al Qur’an akan melarangnya.”
336 - عَنْ أَبِي ذَرٍّ - رضي الله عنه -: أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ ((لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيهِ - وَهُوَ يَعْلَمُهُ - إلاَّ كَفَرَ. وَمَنْ ادَّعَى مَا لَيْسَ لَهُ: فَلَيْسَ مِنَّا , وَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ وَمَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ , أَوْ قَالَ: عَدُوَّ اللَّهِ , وَلَيْسَ كَذَلِكَ , إلاَّ حَارَ عَلَيْهِ))
336. Dari Abu Dzar radhiyallahu anhu, bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada seorang pun yang mengaku nasabnya kepada yang bukan bapaknya padahal ia tahu melainkan ia telah melakukan kekufuruan. Barang siapa yang mengakui sesuatu yang bukan miliknya, maka ia bukan termasuk golongan kami, dan barang siapa yang memanggil seseorang dengan ‘kafir’ atau ‘musuh Allah’ padahal keadaannya tidak demikian melainkan pernyataan itu akan berbalik kepadanya.”
Kitab Penyusuan
337 - عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: ((قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فِي بِنْتِ حَمْزَةَ: لاتَحِلُّ لِي , يَحْرُمُ مِنْ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنْ النَّسَبِ , وَهِيَ ابْنَةُ أَخِي مِنْ الرَّضَاعَةِ))
 337. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda tentang putri Hamzah, “Ia tidak halal bagiku. Penyusuan menjadikan mahram sebagaimana nasab, ia adalah putri saudaraku sepersusuan.”
338 - عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -: ((إنَّ الرَّضَاعَةَ تُحَرِّمُ مَا يَحْرُمُ مِنْ الْوِلادَةِ)) .
338. Dari Aisyah radhiyallahu anah ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya penyusuan menjadikan mahram sebagaimana karena hubungan darah (nasab).”
339 - وَعَنْهَا قَالَتْ: ((إنَّ أَفْلَحَ - أَخَا أَبِي الْقُعَيْسِ - اسْتَأْذَنَ عَلَيَّ بَعْدَمَا أُنْزِلَ الْحِجَابُ؟ فَقُلْت: وَاَللَّهِ لا آذَنُ لَهُ , حَتَّى أَسْتَأْذِنَ  النَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - فَإِنَّ أَخَا أَبِي الْقُعَيْسِ: لَيْسَ هُوَ أَرْضَعَنِي , وَلَكِنْ أَرْضَعَتْنِي امْرَأَةُ أَبِي الْقُعَيْسِ , فَدَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَقُلْت: يَا رَسُولَ اللَّهِ: إنَّ الرَّجُلَ لَيْسَ هُوَ أَرْضَعَنِي , وَلَكِنْ أَرْضَعَتْنِي امْرَأَتُهُ. فَقَالَ: ائْذَنِي لَهُ , فَإِنَّهُ عَمُّك , تَرِبَتْ يَمِينُك)) .
قَالَ عُرْوَةُ " فَبِذَلِكَ كَانَتْ عَائِشَةُ تَقُولُ: «حَرِّمُوا مِنْ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنْ النَّسَبِ»
وَفِي لَفْظٍ ((اسْتَأْذَنَ عَلَيَّ أَفْلَحُ , فَلَمْ آذَنْ لَهُ. فَقَالَ: أَتَحْتَجِبِينَ مِنِّي , وَأَنَا عَمُّك؟ فَقُلْت: كَيْفَ ذَلِكَ؟ قَالَ: أَرْضَعَتْك امْرَأَةُ أَخِي بِلَبَنِ أَخِي , قَالَتْ: فَسَأَلْت رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ: صَدَقَ أَفْلَحُ , ائْذَنِي لَهُ , تَرِبَتْ يَمِينُك))
339. Dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata, “Sesungguhnya Aflah –saudara Abul Qu’ais- meminta izin kepadaku untuk menemuiku setelah turun ayat hijab, maka aku berkata, “Demi Allah, aku tidak akan mengizinkannya sampai aku meminta izin kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam karena saudara Abul Qu’ais bukanlah yang menyusuiku, bahkan yang menyusuiku adalah istri Abul Qu’ais, lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam masuk menemuiku kemudian aku berkata, “Wahai Rasulullah, bukan laki-laki yang menyusuiku, akan tetapi istrinya yang menyusuiku.” Beliau pun bersabda, “Izinkanlah dia, karena dia adalah pamanmu, maka kamu akan beruntung.”
Urwah berkata, “Oleh karena itu Aisyah berkata, “Jadikanlah mahram karena penyusuan sebagaimana nasab menjadikan mahram.”
Dalam sebuah lafaz disebutkan, “Aflah pernah meminta izin untuk menemuiku, namun aku tidak mengizinkannya, lalu ia berkata, “Apakah engkau akan berhijab dariku padahal aku adalah pamanmu?” Aku pun bertanya, “Bagaimana sebagai paman?” Ia menjawab, “Istri saudaraku telah menyusuimu.” Maka aku bertanya tentang hal itu kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Beliau menjawab, “Aflah benar. Berikanlah izin kepadanya, engkau akan beruntung.”
340 - وَعَنْهَا رضي الله عنها قَالَتْ ((دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - وَعِنْدِي رَجُلٌ , فَقَالَ: يَا عَائِشَةُ , مَنْ هَذَا؟ قُلْت: أَخِي مِنْ الرَّضَاعَةِ. فَقَالَ: يَا عَائِشَةُ: اُنْظُرْنَ مَنْ إخْوَانُكُنَّ؟ فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنْ الْمَجَاعَةِ))
340. Dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah masuk menemuiku sedangkan di dekatku ada laki-laki, maka Beliau bersabda, “Wahai Aisyah, siapa ini?” Aku menjawab, “Saudaraku sepersusuan.” Beliau pun bersabda, “Wahai Aisyah, perhatikanlah mana saudaramu, karena penyusuan itu hanyalah (berlaku) karena lapar.”
341 - عَنْ عُقْبَةَ بْنِ الْحَارِثِ - رضي الله عنه - ((أَنَّهُ تَزَوَّجَ أُمَّ يَحْيَى بِنْتَ أَبِي إهَابٍ , فَجَاءَتْ أَمَةٌ سَوْدَاءُ , فَقَالَتْ: قَدْ أَرْضَعْتُكُمَا , فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: فَأَعْرَضَ عَنِّي. قَالَ: فَتَنَحَّيْت , فَذَكَرْت ذَلِكَ لَهُ. قَالَ: كَيْفَ؟ وَقَدْ زَعَمَتْ أَنْ قَدْ أَرْضَعَتْكُمَا)) .
341. Dari Uqbah bin Harits radhiyallahu anhu, bahwa ia menikah dengan Ummu Yahya binti Abi Ihab, lalu ada seorang budak wanita berkulit hitam berkata, “Aku telah menyusui kalian berdua.” Lalu aku sampaikan hal itu kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maka Beliau berpaling,” maku aku berpindah tempat dan menyampaikan hal itu lagi, namun Beliau bersabda, “Mau bagaimana lagi, padahal wanita itu telah menyatakan bahwa dirinya telah menyusukan kamu berdua.”
342 - عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ - رضي الله عنه - قَالَ: ((خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَعْنِي مِنْ مَكَّةَ - فَتَبِعَتْهُمْ ابْنَةُ حَمْزَةَ , تُنَادِي: يَا عَمُّ , فَتَنَاوَلَهَا عَلِيٌّ فَأَخَذَ بِيَدِهَا , وَقَالَ لِفَاطِمَةَ: دُونَكِ ابْنَةَ عَمِّك , فَاحْتَمَلْتُهَا. فَاخْتَصَمَ فِيهَا عَلِيٌّ وَجَعْفَرٌ وَزَيْدٌ فَقَالَ عَلِيٌّ: أَنَا أَحَقُّ بِهَا , وَهِيَ ابْنَةُ عَمِّي وَقَالَ جَعْفَرٌ: ابْنَةُ عَمِّي , وَخَالَتُهَا تَحْتِي. وَقَالَ زَيْدٌ: ابْنَةُ أَخِي. فَقَضَى بِهَا رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - لِخَالَتِهَا , وَقَالَ: الْخَالَةُ بِمَنْزِلَةِ الأُمِّ. وَقَالَ لِعَلِيٍّ: أَنْتَ مِنِّي , وَأَنَا مِنْك. وَقَالَ لِجَعْفَرٍ: أَشْبَهَتْ خَلْقِي وَخُلُقِي وَقَالَ لِزَيْدٍ: أَنْتَ أَخُونَا وَمَوْلانَا))
 342. Dari Barra bin Azib ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika keluar (meninggalkan Mekkah seusai umrah qadha), maka putri Hamzah mengikuti mereka sambil berkata, “Paman!” Maka Ali mengambilnya dengan tangannya dan berkata kepada Fatimah, “Ambillah putri pamanmu,” maka Fatimah membawanya, kemudian Ali, Ja’far, dan Zaid bertengkar terkait siapa yang berhak mengurusnya. Ali berkata, “Aku lebih berhak terhadapnya, ia adalah putri pamanku.” Ja’far berkata, “Ia adalah putri pamanku dan bibinya adalah istriku.” Zaid berkata, “ia adalah putri saudaraku.” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menetapkan putri Hamzah untuk bibinya, Beliau bersabda, “Bibi menduduki posisi ibu,” lalu Beliau bersabda kepada Ali, “Engkau bagian dariku dan aku bagian darimu,” sedangkan kepada Ja’far Beliau bersabda, “Engkau mirip fisik dan akhlaknya denganku,” dan kepada Zaid Beliau bersabda, “Engkau adalah saudara dan maula(budak yang dimerdekakan)ku.”
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Penerjemah:
Marwan bin Musa

Sikap Kaum Salaf Terhadap Para Ulama

Kamis, 27 Juni 2019
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫ليس منا من لم يوقر كبيرنا‬‎
Sikap Kaum Salaf Terhadap Para Ulama
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut sikap kaum salaf terhadap para ulama atau Ahli Ilmu. Semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Adab Kaum Salaf Terhadap Para Ulama
Dari Abu Wail, bahwa Ibnu Mas’ud pernah melihat seseorang yang menjulurkan kainnya (isbal), lalu ia berkata, “Naikkanlah kainmu!” Ia pun berkata, “Engkau juga wahai Ibnu Mas’ud, naikkanlah kainmu!” Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya kedua betisku ceking sekali sedangkan aku harus mengimami manusia.” Kabar ini pun sampai kepada Umar, lalu Umar memukul laki-laki itu dan berkata, “Apakah engkau berani membantah Ibnu Mas’ud?” (Siyar A’lamin Nubala 1/491-492)
Dari Muhammad bin Amr, dari Abu Salamah, bahwa Ibnu Abbas pernah berdiri di dekat Zaid bin Tsabit dan langsung memegang tali kekang tunggangannya, lalu Zaid berkata, “Menjauhlah wahai anak paman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam!” Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata, “Demikianlah kami bersikap terhadap para ulama dan senior-senior kami.”
(Siyar A’lamin Nubala 2/437)
Ibrahim bin Ishaq Al Harbi rahimahullah berkata, “Atha bin Abi Rabah adalah seorang budak yang berkulit hitam milik salah seorang wanita penduduk Mekkah. Hidung Beliau mirip seperti kacang. Suatu ketika Amirul Mukminin Sulaiman bin Abdul Malik datang bersama kedua anaknya kepada Atha, lalu mereka duduk di dekatnya ketika Atha sedang shalat. Seusai shalat, maka Beliau meluangkan waktu untuk mereka, lalu mereka terus bertanya kepadanya tentang manasik haji padahal Atha telah membelakangi mereka, lalu Sulaiman berkata kepada kedua anaknya, “Bangunlah wahai kedua anakku!” Maka mereka berdua pun bangun, lalu Sulaiman berkata, “Wahai kedua putraku, janganlah malas menuntut ilmu! Sesungguhnya aku tidak akan melupakan keadaan kita yang hina di hadapan budak hitam ini.”  
(Siyar A’lamin Nubala 1/491-492)
Dari Umar bin Mudrik, telah menceritakan kami Al Qasim bin Abdurrahman, telah menceritakan kepada kami Asy’ats bin Syu’bah Al Mushaiyyisi, ia berkata, “Ar Rasyid pernah datang ke Ar Riqqah, lalu orang-orang berdesakan di belakang Ibnul Mubarak, sehingga tali-tali sandal terputus, dan debu-debu berterbangan, lalu Ummu walad (budak yang melahirkan anak) Amirul Mukminin melihat dari sudut istana kayu sambil bertanya, “Ada apa ini?” Mereka menjawab, “Seorang ulama dari Khurasan datang.” Ia berkomentar, “Demi Allah, inilah raja yang sebenarnya, bukan raja Harun yang hanya mengumpulkan manusia dengan penjaga keamanan dan para pengawal.” (Siyar A’lamin Nubala 8/384)
Rustah berkata, “Aku mendengar Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Ada yang mengatakan, bahwa apabila seseorang berjumpa dengan orang yang berada di atasnya dalam hal ilmu, maka itu adalah hari yang menguntungkannya. Apabila seseorang berjumpa dengan orang yang semisalnya dalam hal ilmu, maka ia saling belajar dan menimba ilmu, dan apabila seseorang berjumpa dengan orang yang berada di bawahnya dalam hal ilmu, maka ia bertawadhu kepadanya dan mengajarinya. Seseorang juga tidak akan menjadi imam dalam masalah ilmu ketika menyampaikan semua yang didengarnya, atau menyampaikan dari semua orang, atau menyampaikan hadits yang ganjil, dan hafalan itu bermanfaat untuk melekatkan ilmu.”
(Siyar A’lamin Nubala 9/203)
Ibnu Basykuwal berkata menceritakan tentang pengalaman Ibrahim Al Harbiy, “Aku pernah menukil dari buku Ibnu Attab, bahwa Ibrahim adalah sosok laki-laki yang saleh. Beliau pernah mendengar ada kaum yang suka duduk di dekatnya tetapi lebih mengutamakan dirinya daripada Ahmad bin Hanbal. Beliau mengecek kebenarannya, ternyata mereka mengakuinya, maka ia pun berkata, “Kalian telah menzalimiku dengan mengutamakan diriku di atas orang yang tidak bisa aku tandingi dan tidak bisa aku ikuti jejaknya. Oleh karena itu, aku bersumpah dengan nama Allah untuk tidak menyampaikan apa pun ilmu kepada kalian selamanya, maka mulai hari ini jangan datangi aku lagi.” (Siyar A’lamin Nubala 13/364)
Abdurrahman bin Mahdiy rahimahullah berkata, “Aku tidak sanggup memandang Sufyan ats Tsauriy karena malu dan karena kewibawaannya.”
Abu Zur’ah Ar Razi berkata, “Aku pernah berada di dekat Ahmad bin Hanbal, lalu ia menyebut Ibrahim bin Thuhman. Saat itu ia bersandar karena sedang sakit, lalu duduk biasa dan berkata, “Tidak selayaknya ketika orang-orang saleh disebut seseorang bersandar.”  (Siyar A’lamin Nubala 7/381)
Abu Mush’ab berkata, “Dahulu manusia berdesakan mendatangi majlis Imam Malik sampai seperti berkelahi, dan kami ketika telah berada di sisinya tidak menoleh kesana-kemari; tidak ada yang menoleh kepada yang lain. Mereka menunjukkan seperti ini –dengan isyarat- dengan kepala mereka (diam memperhatikan). Ketika itu para penguasa merasa segan dengan Beliau. Saat itu, ia menjawab pertanyaan dengan ‘ya’ dan ‘tidak’, dan tidak ada yang berkata, “Dari mana pendapatmu ini?”
Khalid bin Abdussalam Ash Shadafi berkata, “Aku menghadiri jenazah Al Laits bin Sa’ad bersama ayahku. Ketika itu, aku tidak pernah melihat jenazah yang lebih mulia daripadanya. Aku melihat manusia semua bersedih, satu dengan yang lain saling bertakziyah dan menangis. Aku pun berkata (kepada ayahku), “Wahai ayah, sepertinya semua orang teman jenazah ini.” Ayahku menjawab, “Wahai anakku, engkau tidak akan melihat orang yang semisalnya.”
Imam Al Auza’i saat ditanya suatu masalah sedangkan Sa’id bin Abdul Aziz hadir maka ia berkata, “Bertanyalah kepada Abu Muhammad (Sa’id bin Abdul Aziz)!” (Tarikh Dimasyq karya Ibnu Asakir 21/200).
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Aina Nahnu min Akhlaqis Salaf (Abdul Aziz bin Nashir Al Julail dan Bahauddin bin Fatih Aqil), Maktabah Syamilah, dll.

Thibbun Nabawi (1)

Rabu, 26 Juni 2019
بسم الله الرحمن الرحيم
نتيجة بحث الصور عن العلاج بالرقى
Thibbun Nabawi (1)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang Thibbun Nabawi (pengobatan ala nabi), semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Meruqyah Luka Pada Anggota Badan
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam apabila kedatangan orang yang mengeluhkan suatu penyakit atau luka, Beliau melakukan hal ini dengan jarinya, seorang rawi (periwayat hadits) bernama Sufyan memberikan peragaan, yaitu dengan meletakkan jari telunjuknya ke tanah lalu mengangkatnya dan berdoa,
بِاسْمِ اللهِ، تُرْبَةُ أَرْضِنَا، بِرِيقَةِ بَعْضِنَا، لِيُشْفَى بِهِ سَقِيمُنَا، بِإِذْنِ رَبِّنَا
“Dengan nama Allah, ini tanah kami, dengan percikan ludah kami agar orang yang sakit di antara kami sembuh dengan izin Tuhan kami.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Caranya adalah memercikan air liurnya ke jari telunjuknya, lalu diletakkan ke tanah sehingga ada bagian tanah yang menempel di jari itu kemudian diusapkan ke bagian yang sakit atau luka sambil mengucapkan doa di atas.
Mengatasi Musibah
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ - لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.--(kami jelaskan yang demikian itu) agar kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan agar kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,” (Qs. Al Hadid: 22-23)
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. At Taghabun: 11)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ، فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللهُ: {إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ} [البقرة: 156] ، اللهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي، وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا، إِلَّا أَخْلَفَ اللهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا
“Tidak ada seorang muslim yang mendapatkan musibah lalu ia mengucapkan sebagaimana yang diperintahkan Allah, yaitu Inna lillahi wa innaa ilaihi rajiun (artinya: sesungguhnya kami milik Allah dan akan kembali kepada-Nya) Allahumma’jurnii fii mushibati wa akhlif lii khairan minha (artinya: ya Allah berilah pahala pada musibah yang menimpaku dan gantilah dengan yang lebih baik), melainkan Allah akan mengganti dengan yang lebih baik daripadanya.” (Hr. Muslim)
" إِذَا مَاتَ وَلَدُ العَبْدِ قَالَ اللَّهُ لِمَلَائِكَتِهِ: قَبَضْتُمْ وَلَدَ عَبْدِي، فَيَقُولُونَ: نَعَمْ، فَيَقُولُ: قَبَضْتُمْ ثَمَرَةَ فُؤَادِهِ، فَيَقُولُونَ: نَعَمْ، فَيَقُولُ: مَاذَا قَالَ عَبْدِي؟ فَيَقُولُونَ: حَمِدَكَ وَاسْتَرْجَعَ، فَيَقُولُ اللَّهُ: ابْنُوا لِعَبْدِي بَيْتًا فِي الجَنَّةِ، وَسَمُّوهُ بَيْتَ الحَمْدِ "
“Apabila anak seorang hamba meninggal dunia, maka Allah berfirman kepada para malaikat-Nya, “Apakah kalian mencabut nyawa anak hamba-Ku?” – sedangkan Dia Maha Mengetahui – mereka menjawab, “Ya.” Dia berfirman, “Apakah kalian mencabut buah hati hamba-Ku?” Mereka menjawab, “Ya.” Dia berfirman, “Apa yang diucapkannya?” Mereka menjawab, “Dia memuji-Mu dan mengucapkan istirja (innaa lillahi wa innaa ilaihi rajiun).” Allah berfirman, “Bangunkanlah untuk hamba-Ku rumah di surga dan beri nama dengan Baitul hamdi (rumah penuh pujian)!” (Hr. Tirmidzi, dan dihasankan oleh Al Albani)
" يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: مَا لِعَبْدِي المُؤْمِنِ عِنْدِي جَزَاءٌ، إِذَا قَبَضْتُ صَفِيَّهُ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا ثُمَّ احْتَسَبَهُ، إِلَّا الجَنَّةُ
Allah Ta’ala berfirman, “Tidak ada balasan di sisi-Ku untuk hamba-Ku yang mukmin ketika Aku mencabut nyawa kekasihnya dari penduduk dunia lalu ia bersabar dan mengharap pahala melainkan surga.” (Hr. Bukhari)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda kepada seseorang yang ditinggal wafat anaknya,
أَمَا تُحِبُّ أَنْ لَا تَأْتِيَ بَابًا مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ، إِلَّا وَجَدْتَهُ يَنْتَظِرُكَ؟
“Tidakkah engkau senang saat engkau mendatangi salah satu pintu surga ternyata engkau temukan anakmu di pintu surga dalam keadaan menunggumu?!” (Hr. Ahmad dan Nasa’i, sanadnya sesuai syarat kitab shahih, dishahihkan oleh Hakim dan Ibnu Hibban, lihat Fathul Bari 11/243)
إِنَّ اللَّهَ قَالَ: إِذَا ابْتَلَيْتُ عَبْدِي بِحَبِيبَتَيْهِ فَصَبَرَ، عَوَّضْتُهُ مِنْهُمَا الجَنَّةَ
Sesungguhnya Allah berfirman, “Apabila Aku menguji hamba-Ku dengan mencabut kedua penglihatannya lalu ia bersabar, maka Aku akan menggantinya dengan surga.” (Hr. Bukhari)
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيبُهُ أَذًى مِنْ مَرَضٍ، فَمَا سِوَاهُ إِلَّا حَطَّ اللهُ بِهِ سَيِّئَاتِهِ، كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا
“Tidak ada seorang muslim yang mendapatkan musibah seperti penyakit atau selainnya melainkan Allah akan menggugurkan kesalahannya sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُشَاكُ شَوْكَةً، فَمَا فَوْقَهَا إِلَّا كُتِبَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ، وَمُحِيَتْ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ
“Tidak ada seorang muslim yang terkena duri atau lebih dari itu melainkan akan dicatat satu derajat dan dihapuskan satu kesalahan.” (Hr. Muslim)
«مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ، وَلَا نَصَبٍ، وَلَا سَقَمٍ، وَلَا حَزَنٍ حَتَّى الْهَمِّ يُهَمُّهُ، إِلَّا كُفِّرَ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِهِ»
“Tidaklah seorang mukmin mendapatkan musibah berupa penyakit yang tidak kunjung sembuh, kelelahan, sakit, dan kesedihan demikian pula kerisauan melainkan Allah akan menghapuskan dosa-dosanya dengannya.” (Hr. Muslim)
«إِنَّ عِظَمَ الجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ البَلَاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ»
“Sesungguhnya besarnya pahala sesuai besarnya cobaan, dan sesungguhnya Allah apabila mencintai suatu kaum, maka Dia menguji mereka. Barang siapa yang ridha (dengan ujian itu), maka dia akan mendapatkan keridhaan Alah, dan barang siapa yang kesal, maka dia akan memperoleh kemurkaan Allah.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
فَمَا يَبْرَحُ البَلَاءُ بِالعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
“Cobaan itu akan senantiasa menimpa seorang hamba sampai dia berjalan di muka bumi tanpa dosa.” (Hr. Tirmidzi, dan dinyatakan hasan shahih oleh Al Albani)
Mengatasi kerisauan dan kesedihan
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَا أَصَابَ أَحَدًا قَطُّ هَمٌّ وَلَا حَزَنٌ، فَقَالَ: اللهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ،نَاصِيَتِي بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِي، وَنُورَ صَدْرِي، وَجِلَاءَ حُزْنِي، وَذَهَابَ هَمِّي، إِلَّا أَذْهَبَ اللهُ هَمَّهُ وَحُزْنَهُ، وَأَبْدَلَهُ مَكَانَهُ فَرَحًا " ، قَالَ: فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَلَا نَتَعَلَّمُهَا؟ فَقَالَ: " بَلَى، يَنْبَغِي لِمَنْ سَمِعَهَا أَنْ يَتَعَلَّمَهَا "
“Tidaklah seseorang tertimpa kerisauan dan kesedihan lalu mengucapkan, “Allahumma inni ‘abduk...dan seterusnya sampai wa dzahaaba hammi (artinya: ya Allah, sesungguhnya aku hamba-Mu, anak hamba-Mu yang laki-laki, anak hamba-Mu yang perempuan, ubun-ubunku di tangan-Mu, berlaku padaku ketetapan-Mu, hukum-Mu adil. Aku meminta kepada-Mu dengan semua nama yang Engkau namai diri-Mu dengannya, nama yang Engkau ajarkan kepada salah seorang di antara hamba-Mu, nama yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau nama yang hanya Engkau yang mengetahuinya dalam ilmu gaib yang ada di sisi-Mu agar Engkau menjadikan Al Qur’an sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku, penghilang kesedihan dan kerisauanku), melainkan Allah akan hilangkan kerisauan dan kesedihannya dan mengganti keadaannya dengan kegembiraan.”
Lalu ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami patut mempelajarinya?” Beliau bersabda, “Ya. Sepatunya bagi orang yang mendengarnya untuk mempelajarinya.” (Hr. Ahmad, Abu Ya’la, Thabrani dalam Al Kabir, dan Hakim, dishahihkan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 199)
Doa Saat Menderita
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam saat menderita mengucapkan,
«لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ العَظِيمُ الحَلِيمُ، لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ رَبُّ العَرْشِ العَظِيمِ، لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ رَبُّ السَّمَوَاتِ وَرَبُّ الأَرْضِ، وَرَبُّ العَرْشِ الكَرِيمِ»
“Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah Yang Maha Agung lagi Maha Penyantun. Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah Pemilik arsyi yang agung. Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah Pencipta langit dan bumi, serta pemiliki arsyi yang mulia.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Doa orang yang menderita adalah,
اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو، فَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَأَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ
“Ya Allah, rahmat-Mu yang aku harapkan, maka janganlah Engkau serahkan aku kepada kemampuan diriku sekejap pun, dan perbaikilah semua urusanku, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Engkau.” (Hr. Abu Dawud, dinyatakan hasan isnadnya oleh Al Albani)
Beliau juga bersabda,
دَعْوَةُ ذِي النُّونِ إِذْ دَعَا وَهُوَ فِي بَطْنِ الحُوتِ: لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ، فَإِنَّهُ لَمْ يَدْعُ بِهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ فِي شَيْءٍ قَطُّ إِلَّا اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ
“Doa Dzun Nun (Nabi Yunus alaihis salam) yang ia ucapkan ketika berada dalam perut ikan paus adalah, “Laa ilaaha illaa anta Subhaanaka inni kuntu minazh zhalimin” (artinya: tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Engkau, aku termasuk orang-orang zalim). Tidak ada seorang muslim yang berdoa dengannya melainkan Allah akan mengabulkannya.” (Hr. Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)
Dari Asma binti Umais ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda kepadaku,
«أَلَا أُعَلِّمُكِ كَلِمَاتٍ تَقُولِينَهُنَّ عِنْدَ الْكَرْبِ - أَوْ فِي الْكَرْبِ -؟ أَللَّهُ أَللَّهُ رَبِّي لَا أُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا»
“Maukah kamu aku ajarkan kalimat yang engkau ucapkan pada saat menderita? Yaitu Allah Allahu Rabbi Laa usyriku bihi syai’aa (Allah adalah Tuhanku. Aku tidak akan menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun).” (Hr. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Albani)
Bersambung...
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Ilaj bir Ruqa Minal Kitab was Sunnah (Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger