Khutbah Jum'at: Zaman Jahiliyah

Kamis, 05 Desember 2024

 

بسم الله الرحمن الرحيم



Khutbah Jum'at

Zaman Jahiliyah

Oleh: Marwan Hadidi , M.Pd.I

Khutbah I

إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا --يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فقَدْ فَازَ فوْزًا عَظِيمًا.

 أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَيُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاثُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Ma'asyiral muslimin sidang shalat Jum'at rahimakumullah

Pertama-tama marilah kita panjatkan puja dan puji syukur kepada Allah Subhaanahu wa Ta'ala yang telah memberikan kepada kita berbagai nikmat, terutama adalah nikmat Islam, Iman, Hidayah, Taufiq, Sehat wal Afiyat, dan nikmat-nikmat lainnya yang tidak terhitung oleh kita jumlahnya.

Shalawat dan salam kita sampaikan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti Sunnahnya sampai hari Kiamat.

Khatib berwasiat baik kepada diri khatib sendiri maupun kepada para jamaah sekalian, marilah kita tingkatkan takwa kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena orang-orang yang bertakwalah yang akan memperoleh kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat.

Ma'asyiral muslimin sidang shalat Jum'at rahimakumullah

Sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam manusia berada dalam kejahiliyahan. Mereka disebut ‘jahiliyah’ karena mereka tidak berpengetahuan atau berada dalam kebodohan. Namun dalam hal apa mereka jahil (tidak mengetahui)? Apakah dalam urusan dunia atau dalam urusan apa? Tentunya bukan dalam urusan dunia, karena dalam urusan dunia banyak di antara mereka yang pandai sebagaimana yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala,

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka lalai terhadap (kehidupan) akhirat.” (Qs. Ar Ruum: 7)

Ayat ini menunjukkan bahwa mereka pandai dalam urusan dunia namun jahil (bodoh) dalam urusan akhirat atau dalam urusan agama. Secara lebih rincinya, mereka jahil atau tidak mengenal Tuhan mereka dan siapa yang berhak mereka sembah, mereka juga tidak mengetahui untuk apa mereka diciptakan di dunia, dan jalan mana yang harus mereka tempuh dalam hidup di dunia.

Karena kejahilan atau tidak mengenalnya mereka kepada Tuhan yang berhak mereka sembah sehingga menyebabkan mereka serampangan dalam menyembah. Di antara mereka ada yang menyembah batu dan pepohonan, ada yang menyembah matahari, bulan atau benda-benda langit lainnya, ada yang menyembah patung dan berhala, ada yang menyembah jin, manusia, atau malaikat, dan ada pula yang menyembah api seperti halnya orang-orang Majusi. Betapa saking menyimpangnya mereka, mereka sampai menyembah sesuatu yang lebih lemah daripada diri mereka sendiri, dimana sesembahan itu tidak mampu menyelamatkan dirinya sendiri apalagi menyelamatkan para penyembahnya.

Demikian pula karena kejahilan mereka terhadap tujuan mereka diciptakan di dunia, sehingga mereka mengira bahwa tujuan mereka hidup di dunia hanyalah untuk makan, minum, memenuhi nafsunya, dan bersenang-senang menikmati kesenangan dunia seperti halnya hewan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الْأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَهُمْ

“Orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Neraka Jahannam adalah tempat tinggal mereka.” (Qs. Muhammad: 12)

Oleh karenanya, di benak mereka hanyalah fikiran bagaimana caranya meraih kesenangan dunia sebanyak-banyaknya, dan yang mereka kejar hanyalah dunia, waktu mereka habis untuknya; tidak ada kesempatan beribadah kepada Allah Azza wa Jalla di sela-sela waktu mereka.

Demikian pula karena jahilnya mereka terhadap jalan yang seharusnya mereka tempuh dalam kehidupan dunia mengakibatkan mereka menempuh jalan mana saja, baik hak maupun batil, benar atau salah, mendatangkan keridhaan Allah atau mendatangkan kemurkaan-Nya. Yang penting bagi mereka adalah jalan itu sesuai dengan selera hawa nafsunya. Oleh karenanya kita dapat muamalah dan pergaulan mereka bermacam-macam, ada yang melakukan riba, ada yang melakukan gharar (tidak jelas dalam muamalah), ada yang melakukan perjudian, ada yang melakukan zina dengan beragam macamnya, dll.

Allah Subhaanahu wa Ta’ala adalah Rabbul alamin, Dia yang menciptakan, yang menguasai, yang memberi rezeki, dan yang mengatur alam semesta. Maka sebagaimana Dia telah menciptakan manusia dan tidak membiarkan mereka dalam kelaparan dan kehausan, Dia berikan mereka rezeki agar mereka dapat melangsungkan kehidupan di dunia dan agar jasmani mereka dapat tumbuh dengan baik dan sehat. Ini adalah bukti perhatian-Nya dalam urusan jasmani mereka demikian pula menunjukkan rahmat(kasih sayang)-Nya. Jika urusan jasmani mereka saja diperhatikan-Nya, apalagi urusan rohani mereka. Tentu Dia memperhatikan pula. Oleh karena itu, Dia mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab untuk membimbing manusia agar tidak tersesat dan sengsara. Dia berfirman,

فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى

“Barang siapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (Qs. Thaahaa: 123)

Sebaliknya,

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta." (Qs. Thaahaa: 124)

Petunjuk dan peringatan-Nya ada dalam kitab yang diturunkan-Nya (Al Qur’an) dan pada sunnah yang dibawa Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam (As Sunnah). Maka barang siapa yang menginginkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, jalannya adalah dengan berpegang dengan keduanya.

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khutbah II

الْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ:

Ma'asyiral muslimin sidang shalat Jum'at rahimakumullah

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Rasul-Nya Muhammad shallallahu alaihi wa sallam untuk mengeluarkan umat manusia dari berbagai kegelapan, baik dari gelapnya kebodohan (kejahiliyah), gelapnya kekafiran, maupun gelapnya kemaksiatan kepada cahaya pengetahuan, cahaya keimanan, dan cahaya ketaatan, Dia berfirman,

الر كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ

“Alif, laam raa. (ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu agar kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan-kegelapan kepada cahaya yang terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (Qs. Ibrahim: 1)

Siapa saja yang menyambut seruan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam, maka keluarlah dirinya dari belenggu kegelapan dan kejahiliyahan atau kebodohan. Sebaliknya siapa saja yang tidak mau menyambut seruan Rasul-Nya setelah diutusnya, seperti tetap menyembah selain Allah, tidak mengisi hidupnya dengan beribadah, atau memilih gaya hidup sesuai selera hawa nafsunya, maka berarti orang tersebut masih berada dalam kegelapan, kejahiliyahan, kebodohan, kerusakan, dan ketertinggalan seperti halnya kaum Jahiliyah terdahulu[i].

Di antara isi kitab yang diturunkan-Nya adalah surat Al Fatihah; yang merupakan surat paling agung dalam Al Qur’an karena muatannya yang begitu dalam, bijaksana, membimbing, indah dan memuat kandungan yang ada dalam Al Qur’an secara garis besar sehingga disebut Ummul Qur’an (Induk Al Qur’an). Surat ini dinamai juga As Sab’ul Matsani (lihat Qs. Al Hijr: 87) karena jumlah ayatnya ada tujuh dan karena dibaca berulang kali oleh seorang hamba dalam shalatnya, baik shalat fardhu maupun shalat sunah, dan di setiap rakaatnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya memerintahkan kita terus membacanya dalam shalat kita yang di antara hikmahnya adalah agar nilai-nilai yang terkandung dalam surat Al Fatihah senantiasa terngiang-ngiang dalam benak fikiran kita sehingga hidup kita tidak jauh dari nilai-nilai itu, di samping untuk menjalin hubungan kita dengan Allah agar hidup ini tetap berada dalam bimbingan dan arahan-Nya karena dalam hidup di dunia ini terdapat banyak fitnah atau godaan yang memalingkan seseorang dari agamannya sebagaimana ditunjukkan dalam surat Al Fatihah ini, yaitu pada ayat ihdinash shirathal mustaqim (artinya: Tunjukkanlah kami jalan yang lurus).  

Di dalam surah Al Fatihah kita diperkenalkan tentang siapa Tuhan kita dan siapa yang berhak kita sembah, demikian pula di surat ini kita diperkenalkan untuk apa kita diciptakan di dunia, dan diperkenalkan jalan mana yang seharusnya kita tempuh dalam kehidupan di dunia.

Di surah Al Fatihah, kita diperkenalkan siapa Tuhan kita, yang ditunjukkan oleh firman-Nya,

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ -- الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ -- مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ

“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.--Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.-- Yang menguasai di hari Pembalasan.” (Qs. Al Fatihah: 2-4)

Dialah Allah Tuhan kita yang menciptakan, menguasai, memberi rezeki, dan mengatur alam semesta di atas rahmat-Nya; yang memiliki nama Ar Rahman Ar Rahim (Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), dimana di dalamnya terdapat sifat rahmat (kasih-sayang)-Nya, dan Dia -di samping sebagai Penguasa alam semesta- juga yang menguasai hari pembalasan dimana ketika itu tidak ada makhluk yang berani berbicara kecuali dengan izin-Nya. Dialah Tuhan yang berhak disembah karena Dialah yang mencipta, menguasai, dan mengatur alam semesta. Dia berfirman,

وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah sembah matahari maupun bulan, tetapi sembahlah Allah yang menciptakannya, jika Dialah yang kamu hendak sembah.” (Qs. Fushshilat: 37)

Demikian di surah Al Fatihah, kita diperkenalkan siapa yang berhak kita sembah dan untuk apa kita diciptakan di dunia, yang ditunjukkan oleh firman-Nya,

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan.” (Qs. Al Fatihah: 5)

Allah-lah yang berhak kita sembah dan kita tujukan berbagai macam bentuk ibadah; tidak selain-Nya, dan bahwa kita diciptakan di dunia ini adalah untuk menyembah hanya kepada-Nya dan mengisi hidup di dunia dengan mengabdi dan beribadah kepada-Nya, sebagaimana diperjelas oleh firman Allah Ta’ala di surat Adz Dzariyat: 56,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku.”

Demikian pula di surat Al Fatihah kita diperkenalkan jalan mana yang harus kita tempuh dalam hidup di dunia. Hal ini ditunjukkan oleh firman-Nya,

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ -- صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus,--(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Qs. Al Fatihah: 6-7)

Jalan orang-orang yang Allah berikan kenikmatan dan kebahagiaan itulah yang seharusnya kita tempuh. Mereka ini terdiri dari para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh (lihat Qs. An Nisaa’: 69) dimana ciri jalan mereka adalah mengetahui yang hak (benar) dan mengamalkannya, bukan jalan orang-orang yang dimurkai seperti jalannya orang-orang Yahudi, dimana ciri jalan mereka adalah mengetahui kebenaran namun tidak mau mengikutinya, dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat seperti jalan orang-orang Nasrani, dimana ciri jalan mereka adalah tidak mengetahui yang hak, namun sudah berani beramal akhirnya tersesat.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدُ مَجِيْدٌ، اَللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدُ مَجِيْدٌ

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ -- وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ – وَ الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.

Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I


[i] Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Jahiliyah adalah keadaan bangsa Arab sebelum Islam, berupa jahil atau tidak mengenal Allah dan Rasul-Nya, jahil terhadap syariat Islam, berbangga dengan nasab, bersikap sombong dan sewenang-wenang, dan sebagainya yang dinisbatkan kepada kejahilan atau tidak ada ilmu, atau tidak mengikuti ilmu.”

Ia juga berkata, “Singkatnya, bahwa jahiliyah itu nisbat kepada jahil, yakni tidak ada ilmu. Ia terbagi dua:

a.        Jahiliyah ammah (umum), yaitu keadaan sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, dan telah hilang setelah ditusnya Beliau.

b.        Jahiliyah khashshah (khusus), yaitu yang menimpa sebagian negara atau sebagian orang. Hal ini senantiasa ada. Dari sini diketahui kelirunya orang yang menyatakan secara umum bahwa zaman ini zaman jahiliyah, seperti mengatakan, “Jahiliyah abad ini” atau “Jahiliyah abad 20” dsb. Yang benar adalah mengatakan “Jahiliyah sebagian orang di abad ini” atau “Kahiliyah sebagian besar orang di abad ini”. Adapun menyatakan secara umum atau merata, maka tidak benar dan tidak boleh, karena setelah diutusnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam jahiliyah secara umum (merata) sudah hilang. (Aqidatut Tauhid hal. 90)

Sejarah Tadwin (Pembukuan Ilmu-Ilmu Islam)

Minggu, 17 November 2024

 بسم الله الرحمن الرحيم



Sejarah Tadwin (Pembukuan Ilmu-Ilmu Islam)

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:

Berikut pembahasan tentang sejarah tadwin (pembukuan ilmu-ilmu Islam) dalam berbagai disiplin ilmu (Al Qur’an, Akidah, Tajwid, Hadits, Fikih, Tafsir, Ushul Fiqh, Musthalah Hadits, dan ilmu Nahwu), semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

1. Penulisan Al Qur'an dan Pembukuannya

Pembukuan Al Qur'an dilakukan dalam tiga tahap:

Tahap pertama, di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang paling banyak dijadikan sandaran adalah hapalan daripada penulisan. Hal itu, karena kuatnya hapalan orang-orang Arab, sedikitnya orang yang pandai menulis dan kurangnya sarana-sarana untuk menulis. Oleh karena itu, Al Qur'an ketika itu tidak dikumpulkan dalam satu mushaf, bahkan orang yang mendengar suatu ayat langsung menghapalnya atau menulisnya jika mudah, baik di pelepah kurma, sepotong kulit, batu tipis yang lebar, dan pecahan tulang. Ketika itu para penghapal Al Qur'an jumlahnya banyak. Meskipun begitu ada sebagian sahabat yang pandai menulis segera menulisnya. Zaid bin Tsabit radhiyallahu anhu berkata, “Aku mencatat wahyu di hadapan Rasulullah shallallallahu alaihi wa sallam sedangkan Beliau mendiktekannya. Ketika aku selesai mencatat, maka Beliau bersabda, “Bacakanlah!” Lalu aku membacakannya. Jika ada yang terlewat, maka Beliau mengingatkannya, lalu aku bawa wahyu itu ke tengah-tengah manusia.” (Hr. Thabrani dengan sanad yang para perawinya terpercaya)

Dalam Shahih Bukhari disebutkan dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengirimkan tujuh puluh orang sahabat yang disebut dengan Al Qurra' (para penghapal Al Qur'an), lalu mereka dihadang oleh dua suku Bani Salim, yaitu Ri'l dan Dzakwan di sumur Ma'unah, kemudian mereka dibunuh.

Di kalangan sahabat juga banyak yang hapal Al Qur'an, seperti para khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali), Abdullah bin Mas'ud, Salim maula Abi Hudzaifah, Ubay bin Ka'ab, Mu'adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid ibnus Sakan, dan Abu Darda radhiyallahu 'anhum.

Para sahabat yang menjadi pencatat wahyu ada kurang lebih enam belas sahabat, yaitu: Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Abdullah bin Abis Sarh, Az Zubair bin Al Awam, Al Mughirah bin Syu’bah, Hanzhalah bin Ar Rabi, Amir bin Fuhairah, Yazid bin Abi Sufyan, Khalid bin Walid, Amr bin ‘Ash, dan Tsabit bin Qais radhiyallahu anhum.

Tahap kedua, di zaman Abu Bakar radhiyallahu 'anhu, yaitu pada tahun ke 12 H. Sebab diadakan pengumpulan dan penulisan Al Qur'an adalah karena pada perang Yamamah sejumlah besar qari (penghapal Al Qur'an) terbunuh, di antaranya adalah Salim maula Abi Hudzaifah salah seorang di antara beberapa sahabat yang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan umatnya mengambil Al Qur'an darinya. Ketika itu, Abu Bakar memerintahkan agar Al Qur'an dikumpulkan supaya tidak hilang. Dalam Shahih Bukhari diterangkan, bahwa Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu mengusulkan kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan Al Qur'an setelah terjadinya perang Yamamah, maka Abu Bakar berdiam diri karena wara', tetapi Umar terus mengingatkannya sehingga Allah melapangkan dada Abu Bakar untuk melakukan hal itu, lalu Abu Bakar mengutus seseorang untuk mendatangi Zaid bin Tsabit, lalu Zaid datang kepada Abu Bakar yang ketika itu di dekatnya ada Umar. Abu Bakar pun berkata kepadanya, "Sesungguhnya engkau adalah seorang pemuda yang cerdas. Kami tidak bersangka buruk kepadamu. Engkau sebelumnya adalah orang yang mencatat wahyu untuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka telusurilah Al Qur'an dan kumpulkanlah." Zaid bin Tsabit berkata, "Maka aku menelusuri Al Qur'an; aku mengumpulkannya dari pelepah kurma, batu tipis, dan dari yang tersimpan dalam dada manusia (berupa hapalan). Ketika itu suhuf Al Qur'an ada pada Abu Bakar sampai Allah mewafatkannya, lalu ada pada Umar semasa hidupnya, selanjutnya pada Hafshah binti Umar radhiyallahu 'anhuma.”

Dengan demikian, di zaman Abu Bakar radhiyallahu anhu semua catatan wahyu disalin ke dalam lembaran-lembaran.

Kaum muslim setuju atas tindakan Abu Bakar itu dan mereka menyebut hal itu sebagai salah satu jasanya, sampai-sampai Ali radhiyallahu 'anhu berkata, "Orang yang paling besar pahalanya dalam hal mushaf adalah Abu Bakar." Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada Abu Bakar, karena dia adalah orang yang pertama mengumpulkan Al Qur'an.

Tahap ketiga, di zaman Utsman bin 'Affan radhiyallahu 'anhu, yaitu pada tahun ke 25 H. pembukuan ini disebabkan karena adanya perbedaan manusia dalam hal qiraat (bacaan) mengikuti perbedaan suhuf (lembaran) Al Qur'an yang ada di tangan para sahabat radhiyallahu 'anhum sehingga dikhawatirkan terjadinya fitnah, maka Utsman pun memerintahkan mengumpulkan suhuf-suhuf tersebut ke dalam satu mushaf agar manusia tidak berselisih dan berpecah belah dalam Kitabullah.

Dalam Shahih Bukhari diterangkan, bahwa Hudzaifah bin Al Yaman pernah datang menemui Utsman setelah selesai menaklukkan Armenia dan Azerbaijan. Hudzaifah merasa kaget terhadap perbedaan manusia dalam hal qiraat, maka Hudzaifah berkata kepada Utsman, "Susullah umat ini sebelum mereka berselisih sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nasrani." Maka Utsman mengirim seseorang menemui Hafshah dan menyampaikan pesan yang isinya, "Kirimkanlah kepada kami suhuf-suhuf agar kami salin ke dalam beberapa mushaf, kemudian kami akan mengembalikan suhuf itu kepadamu." Maka Hafshah mengirimkannya kepada Utsman. Lalu Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin 'Aash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam agar menyalin suhuf-suhuf ke dalam beberapa mushaf. Utsman juga berkata kepada tiga orang Quraisy itu, "Jika kalian berselisih dengan Zaid bin Tsabit tentang sesuatu dari Al Qur'an, maka tulislah dengan lisan (bahasa dan dialek) Quraisy, karena ia (Al Qur'an) turun dengan lisan mereka." Maka mereka pun melakukannya, sehingga setelah mereka menyalinnya ke dalam beberapa mushaf, maka Utsman mengembalikan suhuf-suhuf itu kepada Hafshah dan mengirimkan ke setiap pelosok satu mushaf yang telah mereka salin serta memerintahkan agar Al Qur'an yang lainnya yang ada dalam setiap lembaran atau mushaf selainnya dibakar.

Tindakan Utsman bin 'Affan ini dilakukan setelah ia bermusyawarah dengan para sahabat radhiyallahu 'anhum.

Mush'ab bin Sa'ad berkata, "Aku mendapati sejumlah besar orang ketika Utsman membakar mushaf-mushaf, lalu hal itu membuat mereka takjub." Atau ia (Mush'ab) berkata, "Tidak ada seorang pun dari mereka yang mengingkari." Ini adalah termasuk jasa Utsman bin 'Affan radhiyallahu 'anhu yang disepakati kaum muslimin, dan mushaf tersebut menyempurnakan apa yang pernah dikumpulkan Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu 'anhu.

Perbedaan pembukuan Utsman dengan Abu Bakar adalah, bahwa tujuan pembukuan Al Qur'an di zaman Abu Bakar adalah untuk membukukan semua Al Qur'an ke dalam satu mushaf agar tidak ada satu pun daripadanya yang hilang karena ketika itu tidak tampak pengaruh dari perbedaan qiraat mereka, sedangkan tujuan pembukuan di zaman Utsman radhiyallahu 'anhu adalah membukukan semua Al Qur'an dalam satu mushaf agar manusia berkumpul di atas mushaf itu karena adanya sesuatu yang dikhawatirkan ketika terjadinya perbedaan qiraat.

Ketika Utsman radhiyallahu anhu mengirimkan mushaf ke berbagai negeri kaum muslimin, Beliau juga menyertakan pula qari (penghafal Al Qur’an) yang pandai untuk membacakannya ke tengah-tengah manusia.

(Lihat Ushul Fit Tafsir hal. 19-22 karya Syaikh M. bin Shalih Al Utsaimin)

2. Pembukuan kitab-kitab Akidah Islam

Dalam hal ini, kami belum mengetahui secara pasti penulis pertama dalam bidang akidah. Di antara rujukan yang bagus yang kami dapati dalam masalah ini adalah yang disebutkan dalam Al Musu’ah Al Aqdiyyah yang diterbitkan oleh situs Ad Durar As Sunniyyah, yang kesimpulannya adalah bahwa penulisan materi akidah sudah dimulai di masa tabiin, dimana Imam Ibnu Syihab Az Zuhri rahimahullah (w. 124 H) telah memulainya, lalu semakin banyak penulisan di pertengahan pertama abad kedua hijriyah sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Malik (w. 179 H) dalam Al Muwaththa, dimana beliau mengurutkan hadits-haditsnya dengan bab-bab yang terkait dengan tauhid, seperti bab iman, bab tauhid, bab ilmu, dsb. Boleh jadi pembuatan bab ini menjadi bibit pertama setiap bab ditulis secara terpisah dalam sebuah risalah.

Jika sesorang berpendapat, bahwa orang yang pertama menulis ilmu tauhid dari kalangan Ahli Sunnah adalah Imam Abu Hanifah (w. 150 H), maka bisa juga, meskipun ada juga yang berpendapat, bahwa orang yang pertama menulisnya adalah Imam Malik bin Anas dan bahwa beliau orang yang pertama menulis sebuah risalah tentang hal ini.

Ada pula yang berpendapat, bahwa ketika terjadi fitnah (perselisihan), maka Al Manshur menyuruh menulis buku-buku untuk menyingkirkan fitnah itu dan membantahnya. Hal ini sebagaimana sahih bahwa Imam Ibnu Wahb (w. 197 H) telah menulis tentang takdir mengikuti metode para muhaddits dalam mengumpulkan hadits-hadits meskipun tidak dibuatkan bab.

Setelahnya kita juga dapat melihat para ulama menulis kitab-kitab akidah, misalnya kitab As Sunnah yang ditulis oleh Ibnu Abi Syaibah (w. 235 H), juga dengan nama yang sama (As Sunnah) yang ditulis oleh Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), Ibnu Abi Ashim (w. 287 H), Al Khallal (w. 311 H), Ahmad bin Al Furat Abu Mas’ud Ar Raazi (w. 258 H), Ibnul Qasim -kawan Imam Malik- (w. 191 H), Muhammad bin Salam Al Bikandiy (w. 225 H), Al Atsram (w. 273 H), Harb bin Ismail Al Kirmaniy (w. 280 H), Ibnu Abi Hatim (327 H), Ibnu Abid Dunya (w. 281 H), Ibnu Jarir Ath Thabari (w. 310 H), Thabrani (360 H), Abusy Syaikh Al Ashbahani (369 H), Abul Qasim Al Laalika’i (w. 418 H), Muhammad bin Nashr Al Marwaziy (ww. 294 H), Abu Ahmad Al ‘Assal  Al Ashbahani (w. 349 H), Ya’qub Al Fasawiy (w. 277 H), Al Qashshab (w. 360 H), Hanbal bin Ishhaq (273 H), dan As Sunnah karya Al Barbahariy (w. 329 H).

Ada juga Al Iman karya Ibnu Abi Syaibah (w. 235 H), Abu Ubaid Al Qasim bin Sallam (w. 224 H), Ibnu Mandah (w. 395 H), dan Al Iman karya Al ‘Adaniy (w. 243 H).

Demikian juga ada kitab ‘Aqidatus Salaf Ashabil Hadits karya Ash Shabuni (w. 449 H), Al Ibanah karya Ibnu Baththah (w. 387 H), At Tauhid karya Ibnu Khuzaimah (w. 311 H) dan karya Ibnu Mandah (w. 395 H), Syarhus Sunnah karya  Al Muzzanniy -kawan Imam Syafi’i- (w. 264 H), Syarh Madzahib Ahlissunnah karya Ibnu Syahin (w. 385 H), Ushulus Sunnah karya Abu Abdillah ibnu Abi Zamanain (w. 399 H) dan karya Abu Bakar Abdullah bin Az Zubair Al Humaidiy (w. 219 H), Asy Syari’ah karya Al Ajurriy (w. 360 H), I’tiqad Ahlis Sunnah karya Abu Bakar Al Isma’iliy (371 H).

Ada pula  Ar Ru’yah, Ash Shifat, dan An Nuzul karya Daruquthni (w. 385 H), dan kitab Jawab Ahli Dimasyq fish Shifat karya Al Khathib Al Baghdadiy (w. 463 H).

Demikian pula  ada kitab Al ‘Arsy karya Muhammad bin Abi Syaibah, Al Qadar karya Ibnu Wahb dan karya Abu Dawud (w. 275 H), dan Al Ushul karya Abu ‘Amr Ath Thalamankiy (w. 429 H), dan masih banyak lagi seperti Aqidah Thahawiyyah karya Abu Ja’far Ahmad Ath Thahawi (w. 321 H) dan Aqidah Wasithiyyah karya Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyah (w. 728 H).

3. Pembukuan Ilmu Tajwid

Jika ditinjau dari segi amaliyyah (praktek), maka peletak dasar ilmu tajwid adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang Beliau terima dari malaikat Jibril dari Allah Azza wa Jalla, lalu para sahabat radhiyallahu anhum menerimanya dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan para tabi’in menerimanya dari para sahabat, dan begitulah seterusnya sampai ke hadapan kita secara mutawatir dengan tajwid pada setiap zaman.

Sedangkan secara teori, yakni yang menyusun kaedah-kaedah dan dasar-dasarnya serta menyusun berbagai hukum dan masalahnya, maka ada khilaf di kalangan ulama. Ada yang berpendapat, bahwa yang menyusunnya adalah Al Khalil bin Ahmad Al Farahidiy. Ada pula yang mengatakan Abu Aswad Ad Du’ally, dan ada pula yang mengatakan Hafsh bin Umar Ad Duriy. Yang lain lagi mengatakan, bahkan yang menyusunnya adalah para imam qiraat. (http://www.alukah.net/sharia/0/65297/)

Menurut penyusun Fathu Dzil Jalal Syarah Tuhfatil Athfal hal. 12, bahwa orang yang pertama menyusun ilmu tajwid dalam bentuk nazham (syair) adalah Abul Muzahim Musa bin Ubaidillah Al Khaqani (w. 325 H), sedangkan yang menyusunnya dalam bentuk matan biasa adalah Abu Ubaid Al Qasim bin Sallam (w. 224 H).

4. Pembukuan Hadits

Orang yang pertama menyuruh untuk mengumpulkan dan membukukannya adalah Umar bin Abdul Aziz (w. 101 H); ia mengirim surat kepada Abu Bakar bin Hazm –gubernurnya terhadap kota Madinah- , Umar menulis, “Lihatlah yang termasuk hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kemudian catatlah, karena saya khawatir ilmu akan hilang dan ulama akan wafat.” Akan tetapi ia bukan yang membukukan  hadits dan atsar yang ada di Madinah, bahkan yang melakukannya adalah Ibnu Syihab Az Zuhri (w. 123 H atau 124 H) yang ketika itu semasa dengan Umar bin Abdul ‘Aziz. Ketika itu Umar menyuruh orang-orang dekatnya untuk mendatanginya; karena tidak ada orang yang paling mengerti Sunnah ketika itu daripada Az Zuhri, maka beliau mengumpulkan semua yang didengarnya berupa semua hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan pendapat para sahabat, hanyasaja belum dibuat bab seperti dalam berbagai kitab ilmu. Dengan demikian, Az Zuhri adalah orang pertama yang membukukan Sunnah Rasullullah shallallahu alaihi wa sallam. Selanjutnya  pembukuan dilakukan oleh generasi berikutnya,, seperti yang dilakukan di Mekkah oleh Ibnu Juraij (w. 149 atau 150 H) dan Ibnu Ishaq (w. 150 H), yang dilakukan di Madinah oleh Sa’id bin Abi ‘Arubah  (w. 156 H atau 157 H), Ar Rabi’  dan Imam Malik (w. 93 H), yang dilakukan di Basrah oleh Hammad bin Salamah (w. 167 H), yang dilakukan di Kufah oleh Sufyan bin Sa’id Ats Tsauriy (w. 161 H), yang dilakukan di Syam oleh Al Abdurrahman Auza’iy (w. 157 H), dan seterusnya. Kemudian pada abad ketiga hijriah ditulislah kitab-kitab Musnad (yang menyebutkan nama para sahabat lalu hadits-haditsnya) seperti  Musnad Ahmad (w. 241 H) dan Musnad Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), selanjutnya kitab-kitab shahih seperti Shahih Bukhari (w. 256 H) dan Shahih Muslim (w. 261 H), lalu ditulis kitab-kitab Sunan (hadits-hadits yang disebutkan sesuai bab fiqih) seperti Sunan Abi Dawud (w. 275 H), Sunan Nasa’i (w. 303 H), Sunan Tirmidzi (w. 279 H), dan Sunan Ibni Majah (w. 273 H).

5. Pembukuan kitab Fikih

Orang yang pertama membukukan kitab fikih adalah Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit At Taimiy rahimahullah (w. 150 H). Di antara murid beliau yang terkenal adalah Abu Yusuf dan Muhammad bin Al Hasan rahimahumallah. Abu Hanifah sempat melihat Anas bin Malik.

Imam Syafi’i berkata tentang Abu Hanifah, “Manusia telah ditanggung fiqihnya oleh Abu Hanifah.”

Di antara kitab yang masyhur yang disandarkan kepada beliau adalah Al Fiqhul Akbar dan Al Musnad, wallahu a’lam.

Kemudian ada Imam Malik (w. 179 H) dalam Al Muwaththa, Imam Syafi’i (w. 204 H) dalam Al Umm, dan Imam Ahmad (w. 241 H) pemilik kitab Musnad. Mereka dikenal dengan Imam madzhab yang empat.

Selain imam madzhab yang empat, ada pula madzhab-madzhab (pemahaman-pemahaman) fiqih dari yang lain seperti: (a) madzhab Al Auza’iyyah (dinisbatkan kepada Abdurrahman bin Amr Abu Amr Al Auza’i; imam negeri Syam dalam bidang fiqih dan hadits, termasuk tabi’in besar yang wafat pada tahun 157 H di Beirut), (b) madzhab Ats Tsauriyyah (dinisbatkan kepada Sufyan bin Sa’id bin Masruq Ats Tsauriy, seorang yang hafizh, ahli fiqh dan ahli ibadah, wafat pada tahun 161 H). (c) madzhab Ad Dawudiyyah/Azh Zhahiriyyah (dinisbatkan kepada Dawud bin Ali Abu Sulaiman Al Ashbahani Al Baghdadi, yang wafat pada tahun 270 H). Di sana ada juga madzhab Al Laits bin Sa’ad (w. 175 H), Al Hasan Al Bashri (w. 110 H), Sufyan bin Uyaynah (w. 198 H), Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), Abu Tsaur (w. 148 H), Asy Sya’biy (w. 105 H), Sulaiman bin Mihran Al A’masy (w. 147/148 H) dan Ibnu Jarir Ath Thabari (w. 310 H) rahimahumullah.

Sebab tersebarnya madzhab yang empat dan tetap bertahan adalah karena Allah telah menetapkan untuk para imam yang empat ini para pengikutnya yang membawa ilmu mereka ke generasi setelah dan seterusnya.

Empat madzhab tersebut dan madzhab-madzhab lainnya yang telah disebutkan adalah madzhab-madzhab Ahlussunnah wal Jamah; diterima oleh umat ini secara keseluruhan; baik ulamanya, para penuntut ilmunya, maupun kalangan awam. Madzhab-madzhab tesebut adalah madzhab-madzhab ijtihad terhadap masalah syariah yang sifatnya furu (cabang) yang sejalan secara garis besar dengan dasar-dasar syariat.

6. Pembukuan kitab Tafsir

Pembukuan kitab tafsir telah dimulai di akhir-akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal-awal pemerintahan Bani Abbasiyyah.

Ada beberapa tahap dalam pembukuannya, yaitu:

Fase pertama, pengumpulan tafsir di dalam kitab-kitab hadits. Di antara mereka yang melakukannya adalah Yazid bin Harun (w. 206 H), Waki’ bin Jarrah (w. 196 atau 197 H), Sufyan bin Uyaynah (w. 198 H), dan lainnya.

Fase kedua, menulis kitab tafsir secara terpisah. Hal ini seperti yang dilakukan olehh Ibnu Majah (w. 273 H), Ibnu Jarir Ath Thabari (w. 310 H), Ibnul Mundzir (319 H), Ibnu Abi Hatim (w. 327 H), dan lainnya. Sebagian kitab ada yang tidak sampai kepada kita. Oleh karena itu, sebagian ulama berpendapat bahwa Imam Ath Thabari adalah Syaikhul Mufassirin (imam para ahli tafsir), karena kitab beliau yang sampai kepada kita secara lengkap. Kelebihan fase ini adalah menyebutkan pula sanad-sanadnya.

Fase ketiga, pembukuan tafsir bir ra’yi atau tafsir bil ma’tsur namun dengan diringkas sanadnya. Di antaranya adalah Al Kasysyaf karya Az Zamakhsyari (w. 538 H), namun perlu diketahui bahwa dalam tafsir ini memuat hadits dhaif dan maudhu (palsu) serta pendapat kaum Mu’tazilah dan orang-orang yang menyimpang.

Manhaj (Metodologi) Sebagian Mufassir

a.     Mereka yang bersandar kepada hadits dan atsar (riwayat dari para sahabat), seperti Abdurrazzaq bin Hammam (w. 211 H), Abd bin Humaid (w. 249 H), Abu Ja’far Ath Thabari (w. 310 H), Abu Bakar bin Al Mundzir (w. 318 H), Abu Muhammad bin Abi Hatim (w. 327 H), Abu Bakar Ahmad bin Musa bin Mardawaih (w. 410 H), Abdurrahman bin Ali bin Al Jauziy (w. 597 H), dan Ismail bin Katsir Ad Dimasyqi (w. 774 H).

b.     Mereka yang bersandar kepada hadits, atsar, berita orang-orang terdahulu, dan kisah-kisah Israiliyyat (dari Bani Israil), seperti Ahmad bin Muhammad Ats Tsa’labi (w. 427 H)[i] dan muridnya Ali bin Ahmad Al Wahidiy dalam tafsirnya Al Basith yang belum dicetak, sedangkan yang telah dicetak adalah Al Wasith yang isinya lebih ringkas, dan Husain bin Mas’ud Al Baghawi (w. 516 H) [ii].

c.     Mereka yang bersandar kepada fiqih, hadits, dan ilmu syar’i lainnya, seperti Muhammad bin Ahmad Al Qurthubiy Al Maliki (w. 671 H) dalam kitabnya Al Jami Li Ahkamil Qur’an.

d.     Mereka yang bersandar kepada bahasa dan Nahwu, seperti Mahmud bin Umar Az Zamakhsyari (w. 538 H) dalam kitabnya Al Kasysyaf, demikian pula Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf Al Andalusiy (w. 745 H) dalam kitabnya Al Bahrul Muhith.

e.     Mereka yang bersandar kepada munasabah (hubungan) ayat dan surat, seperti Burhanuddin Ibrahim bin Umar Al Baqa’iy (w. 885 H) dalam kitabnya Nazhmud Durar.

f.      Mereka yang memadukan antara riwayat dan dirayah (ra’yu), seperti Muhammad bin Ali Asy Syaukani (w. 1250 H).

g.     Mereka yang bersandar kepada mantiq, filsafat, menghadirkan syubhat dan pandangan ulama dari kalangan Ahlussunnah maupun Ahli Bid’ah, seperti Fakhruddin Muhammad bin Abu Bakar Ar Raziy (w. 666 H) dalam kitabnya Mafatihul Ghaib.

h.     Mereka yang bersandar kepada pokok madzhabnya, seperti madzhab Mu’tazilah. Misalnya adalah tafsir Abdurrahman bin Kaisan Al Asham, Abu Ali Al Jubba’iy, At Tafsir Al Kabir karya Al Qadhiy Abdul Jabbar bin Ahmad Al Hamdzani, Al Jami Li Ilmil Qur’an karya Ali bin Isa Ar Rummani, dan Al Kasysyaf karya Az Zamakhsyari.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Secara garis besar, bahwa barang siapa yang menyimpang dari madzhab para sahabat dan tabiin dan tafsir mereka kepada yang menyalahinya, maka dia telah keliru dalam hal itu, bahkan sebagai pelaku bid’ah. Meskipun jika sebagai mujtahid maka akan diampuni kekeliruannya.”

Uslub (metode penulisan) tafsir ada beberapa macamnya, di antaranya: tafsir Tahlili (menganalisa kata-perkata), tafsir Ijmali (secara garis besar), tafsir Muqaran (membandingkan antara pendapat para mufassir kemudian mencari yang lebih rajih/kuat), dan tafsir Maudhu’i (tematik).

7. Pembukuan Ilmu Ushul Fikih

Ada yang berpendapat, bahwa orang pertama yang menulis ilmu Ushul Fiqh dan menyusun kaeda-kaedah pentingnya adalah Abu Yusuf dan Muhammad bin Al Hasan murid dari Imam Abu Hanifah, namun kitab mereka berdua tidak sampai kepada kita.

Ada pula yang berpendapat, bahwa yang pertama menulis adalah Abu Yusuf saja.

Ada pula yang berpendapat, bahwa yang menulis pertama kali adalah Abu Hanifah dalam kitab yang beliau beri nama Ar Ra’yu. Akan tetapi kitab ini tidak sampai kepada kita.

Namun yang masyhur dan ada kitabnya adalah bahwa orang yang pertama menulis ilmu Ushul Fiqih secara tersendiri adalah Imam Syafi’i rahimahullah dalam kitabnya yang masyhur yaitu Ar Risalah. Hal ini telah dinyatakan oleh banyak ulama seperti Ibnu Khaliqan dan Ibnu Khaldun, wallahu a’lam.

Pada abad ke-5 dan ke-6 H banyak tulisan-tulisan berkenaan Ushul Fiqh, di antaranya: Al Umdah karya Al Qadhi Abdul Jabbar (w. 415 H), Al ‘Uddah karya Al Qadhi Abu Ya’la  (w. 458 H), Al Mu’tamad karya Abul Husain Al Bashri (w. 463 H), Al Luma’ dan At Tabshirah keduanya karya Abu Ishaq Asy Syirazi (w. 476 H), Ushul Al Bazdawi (w. 482 H), Ushul As Sarkhasiy (w. 483 H), Al Isyarah dan Ihkamul Fushul keduanya  karya Abul Walid Al Baji (w. 493 H), Al Mustashfa, Al Mankhul dan Syifa’ul Ghalil ketiganya karya Al Ghazaliy (w. 505 H), At Tamhid karya Al Kaludzaniy (w. 511 H), Al Wadhih karya Ibnu ‘Aqil (w. 532 H), dll.

8. Pembukuan Ilmu Musthalah Hadits

Dasar-dasar ilmu riwayat dan penukilan berita telah ada dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Qs. Al Hujurat: 6)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا، فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ، فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ»

“Semoga Allah memberikan cahaya yang cemerlang kepada wajah seseorang yang mendengar hadits dari kami, lalu ia menghafalnya sampai menyampaikannya. Betapa banyak orang yang membawa fiqih (ilmu) memberikan kepada orang yang lebih faham lagi, dan betapa banyak orang yang membawa fiqih (ilmu) namun tidak faqih.” (Hr. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)

Ayat dan hadits di atas menunjukkan agar seseorang berhati-hati dalam menerima berita dan menyampaikannya. Oleh karena itu, para sahabat berhati-hati dalam menyampaikan berita dan menerimanya terutama ketika mereka meragukan kejujuran rawi, sehingga muncullah pembahasan sanad dan urgensinya dalam menerima berita dan menolaknya. Ibnu Sirin berkata, “Dahulu mereka tidak menanyakan isnad, namun ketika terjadi fitnah (perselisihan), mereka pun berkata, “Sebutkan kepada kami rawi-rawi kamu, lalu diperhatikan; jika termasuk Ahlussunnah maka diambil haditsnya, tetapi jika termasuk Ahli Bid’ah maka tidak diambil haditsnya.”

Oleh karena khabar (berita) tidak begitu saja diterima kecuali setelah mengetahui sanadnya, maka muncullah ilmu Jarh wa Ta’dil, ilmu mengetahui sanad yang bersambung dan terputus, pembahasan ilalul hadits, dan pembicaraan terhadap sebagian rawi namun masih sedikit karena sedikitnya orang-orang yang cacat ketika itu. Kemudian ilmu-ilmu ini diriwayatkan secara lisan seperti terkait bagaimana menerima hadits dan menyampaikannya, nasikh dan mansukhnya, gharibnya dan sebagainya. Lalu ilmu-ilmu ini ditulis namun masih bercampur dengan ilmu-ilmu lainnya seperti ilmu Ushul Fiqh, ilmu Fiqh, dan kitab hadits sebagaimana Imam Syafi’i menulis Ushul (dasar-dasar) Ilmu Musthalah Hadits dalam kitabnya Ar Risalah dan Al Umm, lalu diikuti oleh Imam Bukhari, Muslim dan lainnya dalam kitab-kitab mereka namun masih bercampur dengan pembahasan yang lain. Kemudian ditulis secara terpisah pada abad ke-4 H oleh Arraamahurmuziy (w. 360 H) dalam kitabnya Al Muhadditsul Faashil bainar Raawi wal Marwiy, setelah itu ditulis buku-buku Musthalah Hadits secara terpisah seperti Ma’rifatu Ulumil hadits karya Al Hakim (w. 405 H), Al Mustakhraj ‘ala Ma’rifati Ulumil Hadits karya Abu Nu’aim Al Ashbahaniy (w. 430 H), Al Kifayah Fii Ilmir Riwayah dan Al Jami Li Akhlaqir raawi wa Aadabis Saami keduanya karya Al Khathhib Al Baghdadi (w. 463 H), Al Ilma ‘ala Ma’rifati Ushulir Riwayah wa Taqyidis Sama karya Al Qadhi Iyadh (w. 544 H),  Maa Laa Yasa’ul Muhaddits Jahluhu karya Abu Hafsh Al Miyanji (w. 580 H), Ulmuul Hadits atau Muqaddimah Ibni Shalah (w. 643 H), Nuhkbatul Fikar karya Ibnu Hajar Al Asqalani (w. 852 H), Tadribur Raawi karya As Suyuthi (w. 911 H), dll.

9. Pembukuan Ilmu Nahwu

Di antara kisah yang paling masyhur ditulisnya ilmu Nahwu adalah kisah Abul Aswad Ad Du’aliiy ketika ia melewati seorang yang membaca firman Allah Ta’ala,

وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ

“Dan (inilah) suatu pengumuman dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.” (Qs. At Taubah: 3)

Orang itu mengkasrahkan huruf lam pada kata ‘   وَرَسُولُهُ ’  yang kedua sehingga yang seharusnya artinya  ‘bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin’  menjadi ‘bahwa sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrikin dan dari rasul-Nya’ yang membuat makna jadi berubah.

Maka Abul Aswad Ad Du’alliy mendatangi Ali bin Abi Thalib dan menyampaikan bahwa Bahasa Arab berada dalam bahaya dan harus segera dijaga oleh pemerintah, maka Ali segera menulis surat yang isinya, “Bismillahirrahmaanirrahim. Kalam itu ada tiga; isim (kata benda), fi’il (kata kerja), dan harf (kata sambung/k. depan). Ism adalah berita terhadap yang disebutkan, fi’il adalah berita tentang gerakan yang disebutkan, sedangkan harf adalah apa yang diberitakan juga namun bukan ism dan fi’il,” lalu ia berkata kepada Abul Aswad,

انْحُ هَذَا النَّحْو

“Ikutilah jalan ini.”

Maka dari sinilah disebut ilmu Nahwu.

Dengan demikian, lahn (salah baca) inilah penyebab ditulisnya ilmu Nahwu setelah Islam tersebar di berbagai penjuru dunia.

Lalu siapa yang pertama menulis ilmu Nahwu?

Semua riwayat sepakat bahwa peletak pertama ilmu Nahwu adalah Abul Aswad Ad Du’alliy, beliau juga yang pertama memberikan titik dan harakat pada ayat Al Qur’an untuk menghindari kesalahan membaca. Ketika itu, ia memberi titik dengan warna berbeda dengan warna tulisan mushaf Al Qur’an, jika fathah diletakkan titik itu di atas huruf, jika kasrah diletakkan di bawah huruf, dan jika dhammah diletakkan di kiri huruf, dan membuat titik dua di atas huruf, atau bawahnya, atau sebelah kirinya untuk menunjukkan dibaca tanwin. Sedangkan untuk sukun ia biarkan tanpa tiitik. 

Dengan demikian, Abul Aswad Ad Du’alliy adalah orang yang pertama memberi titik dan harakat pada mushaf dan yang pertama menulis ilmu Nahwu.

Ada pula yang berpendapat bahwa yang pertama menulisnya adalah Al Khalil bin Ahmad Al Farahidiy. Yang lain berpendapat, bahwa yang pertama menulisnya adalah Ali bin Abi Thalib, dan ada pula yang berpendapat bahwa yang pertama menulisnya adalah Sibawaih, wallahu a’lam. (Lihat: https://www.twinkl.co.id/teaching-wiki/lm-alnhw )

10. Pembukuan Ilmu Sirah Nabawiyyah (sejarah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam)

Sumber rujukan sirah Nabawiyyah adalah Al Qur’an, As Sunnah atau kitab-kitab hadits, kitab-kitab sirah Nabawiyyah, kitab-kitab tarikh, dan syair Arab.

Penulisan Sirah Nabawiyyah telah dimulai oleh beberapa sahabat dan tabiin, di antaranya adalah ulama umat ini ‘Abdullah bin Abbas’ radhiyallahu anhuma.

Lalu dilanjutkan oleh Aban bin Utsman, Urwah bin Az Zubair bin Awam, Abdullah bin Abi Bakar Al Anshari, Muhammad bin Muslim bin Syihab Az Zuhri (penulis hadits di masa Umar bin Abdul Aziz), dll.

Orang-orang yang lebih tahu tentang sejarah atau peperangan adalah penduduk Madinah, lalu penduduk Syam, kemudian penduduk Irak. Penduduk Madinah lebih tahu, karena sejarah terjadi di tengah-tengah mereka, sedangkan penduduk Syam adalah orang-orang yang biasa terjun berperang dan berjihad.

Selanjutnya penulisan secara tersendiri oleh generasi setelah mereka, di antaranya adalah Musa bin Uqbah Al Madaniy (w. 141 H) dalam kitabnya Al Maghaziy, Abul Mu’tamir Sulaiman bin Tharkhan Al Bashri (w. 143 H) dalam kitabnya As Sirah Ash Shahihah, kemudian ditulis pula secara tersendiri oleh:

a. Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Yasar Al Muththalibiy (w. 151 H),

Ia berguru kepada Al Qasim bin Muhmmad bin Abi Bakr dan Aban bin Utsman bin Affan, melakukan perjalanan ke Mesir, Irak, Syam, dan lainnya. Ia menulis kitab Maghaziy ibn Ishaq yang telah dibaca murid-muridnya terutama Syaikh Al Bakka’iy yang merupakan guru Ibnu Hisyam.

Shalahuddin Ash Shafdiy (w. 764 H) berkata, “Orang yang pertemu menulis tentang maghaziy (sejarah perang) adalah Urwah bin Az Zubair, lalu Musa bin Uqbah, kemudian Abdullah bin Wahb. Selanjutnya tentang sirah yang pertama menulisnya adalah Ibnu Ishaq.” (Al Wafiy fil Wafayat 1/3)

b. Muhammad bin Umar bin Waqid (w. 307 atau 309 H)

Dia adalah orang alim kedua setelah Ibnu Ishaq tentang sejarah perang dan tarikh (tanggal, bulan atau tahun kejadian). Bukunya menjadi pegangan para sejarawan setelahnya. Kitab sirah  Muhammad bin Umar bin Waqid ini berjudul Al Maghaziy.

b. Abu Muhammad Abdul Malik  bin Ayyub Al Mu’afiriy Al Humairiy (w. 218 H) yang dikenal dengan nama Ibnu Hisyam.

Ibnu Hisyam banyak menekuni kitab karya Ibnu Ishaq yang diriwayatkan dari gurunya Al Bakka’iy. Bukunya terkenal dengan nama ‘Sirah ibn Hisyam’.

Ada pula ulama lainnya yang menulis sejarah, seperti Thabaqat Ibn Sa’ad, dimana 5 jilid daripadanya ia khususkan tentang Sirah.

Selanjutnya para ulama menulis sirah hingga sekarang, di antaranya: Nurul Yaqin Fii Sirati Sayyidil Mursalin karya Syaikh Muhammad Al Khudhari Bek, Ar Rahiqul Makhtum karya Syaikh Shafiyyurrahman Al Mubarakfuriy, Shahih Sirah Nabawiyyah karya Syaikh Akram Dhiya Al Umariy, dll.

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam walhamdulillahi Rabbil ‘aalamin.

Marwan bin Musa

(Dosen Daarul Qur’an wa Sunnah)

Maraji’: Maktabah Syamilah (beberapa versi), Al Mu’taqad Ash Shahih (Syaikh Abdussalam bin Barjas Al ‘Abdul Karim), Ushul Fit Tafsir (M. bin Shalih Al Utsamin), Mukadimah Minnaturrahman (Marwan Hadidi), At Tajwid Al Mushawwar (Dr. Aiman Rusydi Suwaid),  Mabahits Fii Ilmit Tajwid (Marwan Hadidi),  Mushthalahul Hadits Al Muyassar (Dr. Imad Ali Jum’ah), Ushulul Fiqh Al Muyassar (Dr. Imad Ali Jum’ah), As Sirah An Nabawiyyah SMA kelas 1, Yaman, kementrian pendidikan),  https://www.alukah.net/sharia/0/65984/%D9%84%D9%85%D8%AD%D8%A9-%D9%85%D9%88%D8%AC%D8%B2%D8%A9-%D8%B9%D9%86-%D8%AA%D8%A7%D8%B1%D9%8A%D8%AE-%D8%A7%D9%84%D8%AA%D8%AC%D9%88%D9%8A%D8%AF/#ixzz8nC2sdSjV , https://mawdoo3.com/%D8%A3%D9%88%D9%84_%D9%85%D9%86_%D8%AF%D9%88%D9%91%D9%86_%D8%A7%D9%84%D9%81%D9%82%D9%87 , https://www.twinkl.com/teaching-wiki/lm-alnhw



[i] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Muqaddimah Tafsir mengomentari Ats Tsa’labi dengan mengatakan, “Ats Tsa’labi pada dirinya terdapat kebaikan dan agama, akan tetapi beliau seperti pencari kayu bakar (tidak bisa memilah dan memilih), ia menukil apa yang ada dalam kitab-kitab tafsir baik yang shahih, dha’if, bahkan yang maudhu (palsu).”

[ii] Tentang Al Wahidiy dan Al Baghawiy Ibnu Taimiyah mengomentari keduanya dengan mengatakan, “Al Wahidiy lebih mengerti bahasa Arab daripada Ats Tsa’labiy. Sedangkan tafsir Al Baghawiy adalah ringkasan dari Ats Tsa’labiy, akan tetapi beliau menjaga tafsirnya dari hadits-hadits palsu dan pendapat-pendapat bid’ah.”

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger