Tanya-Jawab Masalah Agama (3)

Rabu, 30 September 2020

 بسم الله الرحمن الرحيم



Tanya-Jawab Masalah Agama (3)

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:

Berikut tanya jawab berbagai masalah aktual, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.

9. Pertanyaan: Assalammualaikum warahmatullahi wa barakatuh. Afwan ustadz, ana ingin bertanya, ”Apa hukum menerima uang Rp. 600.000 bantuan dari pemerintah melalui bpjs ketenagakerjaan. Untuk menerima uang bantuan tersebut, ana harus mendaftar bpjs ketenagakerjaan iuran perbulan Rp. 10.800. Jadi bolehkah ana mendapat uang itu ust.? Syukron. Jazakumullahu khairan.

Jawab:

Wa alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh. Dalam hal ini ada perincian:

Pertama, jika perusahaan yang mendaftarkan kita ke bpjs dan kita tidak bisa menolaknya, karena pihak perusahaan secara langsung akan memotong gaji kita, di samping perusahan juga mengeluarkan bantuan untuk menutupi biaya bpjs, maka si karyawan hanya berhak mengambil uang senilai gaji yang dipotong dan bantuan dari pihak perusahaan tidak boleh lebih. Adapun bunga atau pertambahan dari depositnya adalah haram karena itu riba, Allah Ta’ala berfirman,

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Qs. Al Baqarah: 275)

Kedua, jika diberikan pilihan (mandiri) antara mengikuti atau tidak, dan kita bisa mengambil iuran yang kita serahkan ditambah bunga dari iuran yang kita serahkan, atau terkadang kita tidak bisa mengambilnya kecuali setelah waktu yang ditentukan ditambah bunga yang dihasilkan, dan jika terjadi keterlambatan, akan terkena denda, maka tambahan atau bunga dan denda tersebut juga riba. Sehingga haram hukumnya.

Ketiga, jika iuran kita terhadap sesuatu yang tidak pasti, dimana biaya akan diberikan jika seseorang mendapatkan musibah (seperti asuransi kecelakaan), dan jika tidak, maka tidak akan turun biaya itu serta akan hangus, maka ini terdapat gharar. Sedangkan gharar adalah akad yang tidak jelas akhirnya; ada atau tidak. Dan gharar dilarang oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits riwayat Muslim.

Tetapi jika uang kita diambil untuk hal itu dan kita tidak bisa menolaknya, karena jika kita menolaknya, maka tidak akan diurus milik kita seperti SIM, maka yang menanggung dosa adalah pihak yang mengambilnya, adapun kita maka tidak berdosa.

Keempat,  jika seorang menerima bantuan secara gratis (tanpa membayar iuran apa pun) karena kita sebagai warga tidak mampu, maka tidak mengapa. Wallahu a’lam.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

10. Pertanyaan: Bismillah, bagaimana hukumnya bekerja sebagai desainer bangunan di developer perumahan yang kemungkinan dia menjualnya dengan sistem kredit (riba)? Contohnya: kita hanya bertugas membuat desain rumahnya saja tanpa ikut campur dalam masalah penjualan propertinya. syukron ustadz.

Jawab:

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Jika kita hanya bekerja sebagai desainer bangunan atau kita diminta mendesain bangunan, maka tidak mengapa kita melakukannya dan menerima upah dari desain bangunan yang kita buat, dan kita tidak mesti bertanya kepada developer apakah nantinya dia akan menjual dengan sistem kredit yang riba atau tidak, kecuali jika kita mengetahuinya. Jika kita mengetahuinya, maka kita ingatkan agar tidak menjualnya dengan cara kredit yang ada ribanya. Jika dia menolak tawaran kita, karena kita sudah mengetahui nantinya akan dilakukan akad secara riba, maka jangan mendesain untuknya, karena Alah Ta’ala berfirman,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإثْمِ وَالْعُدْوَانِ

 “Tolong-menolonglah di atas kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong di atas dosa dan pelanggaran.” (Qs. Al Maidah: 2)

Namun perlu diingat, bahwa pada dasarnya sesuatu yang mubah kita tidak perlu tanyakan untuk apa nantinya, karena hal ini termasuk takalluf (menyusahkan diri).

Demikian pula perlu diketahui batasan ‘membantu perbuatan maksiat’ yaitu ketika:

1. Langsung membantu maksiat dengan niat membantunya, seperti memberikan arak kepada orang yang akan meminumnya dengan niat membantunya.

2.  Langsung membantu maksiat namun tidak ada niat membantunya, seperti menjual barang-barang haram yang sama sekali tidak digunakan untuk hal yang mubah.

3. Bermaksud atau berniat membantu maksiat namun tidak secara langsung, seperti memberikan kepada orang lain uang yang nantinya dibelikan arak olehnya.

Ketiga hal di atas jelas haramnya.

4. Tidak langsung dan tidak bermaksud membantu maksiat seperti orang yang menjual sesuatu yang bisa digunakan untuk yang halal dan yang haram, dan si penjual tidak berniat membantunya mengerjakan maksiat. Misalnya seseorang memberikan uang kepada orang lain tanpa maksud agar dibelikan arak, namun kemudian dibeli arak olehnya, maka tidak ada dosa bagi orang yang memberikan uang itu kepadanya.

Termasuk contoh keempat adalah jual-beli serta melakukan sewa-menyewa dengan orang-orang kafir, fasik, dan bersedekah kepada mereka.

Hal ini diperbolehkan karena tidak langsung membantu maksiat dan tidak berniat membantu maksiat.

Namun dikecualikan dari no. 4 adalah perkara yang telah diketahui atau biasanya digunakan oleh konsumen untuk maksiat. Oleh karena itu, banyak para fuqaha (Ahli Fiqih) yang mengharamkan jual-beli anggur kepada orang yang akan memerasnya menjadi arak, menjual senjata di masa fitnah, meskipun keduanya biasa digunakan untuk yang halal.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

 وكل لباس يغلب على الظن أن يستعان بلبسه على معصية فلا يجوز بيعه وخياطته لمن يستعين به على المعصية والظلم ... وكذلك كل مباح في الأصل ، علم أنه يستعان به على معصية

“Setiap pakaian yang menurut perkiraan kuat akan dipakai untuk maksiat, maka tidak boleh dijual kepadanya dan dijahitkan untuknya ketika digunakan untuk maksiat dan kezaliman. Demikian pula sesuatu yang asalnya mubah, namun diketahui akan digunakan untuk maksiat (juga tidak diperbolehkan).” (Syarhul Umdah 4/386)

(Referensi: https://islamqa.info/ar/answers/247586/%D8%B6%D8%A7%D8%A8%D8%B7-%D8%A7%D9%84%D8%A7%D8%B9%D8%A7%D9%86%D8%A9-%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%AD%D8%B1%D9%85%D8%A9-%D8%B9%D9%84%D9%89-%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%B9%D8%B5%D9%8A%D8%A9 )

Wallahu a’lam.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

11. Pertanyaan: Bismillah, ustadz, afwan ada yang mau ana tanyakan perihal jenggot.

1. Apa hukumnya memotong jenggot jika dalam instansi semisal kepolisian, karena kan masih tidak boleh memanjangkan jenggot, jadi harus dipotong. Apakah yang seperti ini diperbolehkan? Apakah termasuk udzur syar'i?

2. Apa hukum seseorang memotong jenggot untuk alasan menikah (sebagai syarat dari mempelai wanita karena ia belum siap/keluarganya), apakah boleh dituruti? Apakah ini termasuk udzur syar'i jika dilakukan?

Hal ini bagaimana dalam pandangan Islam khususnya manhaj salaf? Karena ada pertanyaan seperti ini ke ana, mohon dibantu jawab ust. Jazakallah khair, barakallah fiik

Jawab:

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Membiarkan janggut tumbuh hukumnya wajib. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ، وَأَوْفُوا اللِّحَى»

“Selisihilah orang-orang musyrik, potong kumis (yang melewati bibir) dan biarkanlah janggut.” (Hr. Muslim, Tirmidzi, dan Nasa’i)

Sehingga mencukur janggut hukumnya haram. Demikian pendapat mayoritas Ahli Ilmu.

Imam Ibnu Abdil Bar dalam At Tamhid berkata, “Haram mencukur janggut.”

Syaikh Ali Mahfuzh salah seorang ulama Al Azhar berkata, “Madzhab yang empat sepakat wajibnya melebatkan janggut dan haram mencukur habis.” (Al Ibda’ fi Madhaarril Ibtida’)

Adapun memotong janggut melebihi segenggam, maka mayoritas  Ahli Fiqih membolehkannya dan tidak menganggap makruh. Bahkan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam Al Mushannaf, bahwa memotong janggut melebihi segenggam telah diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Abdulah bin Umar bin Khaththab, Thawus, dan Al Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar.”

Atha bin Abi Rabah berkata, “Mereka (kaum salaf) suka membiarkan janggut kecuali dalam haji dan umrah.”

Al Hasan berkata, “Mereka memberikan keringanan memotong janggut melebihi segenggam.”

Dengan demikian, mencukur habis janggut hukumnya haram. Kalau pun hendak dipotong, maka hanya yang lebih dari segenggam. Oleh karena itu, ketika ada permintaan untuk mencukur habis, maka bisa ditolak permintaan itu karena permintaan itu maksiat, dimana tidak ada ketaatan kepada makhluk kalau isinya maksiat, dan alas an di atas tidak termasuk uzur syar’i. kita hanya boleh memotong melebihi segenggam tanpa menghabiskannya.

Untuk pertanyaan kedua juga sama seperti jawaban sebelumnya, yakni kita tidak boleh mencukur janggut ketika diminta oleh mempelai wanita, dan bisa disampaikan kepadanya hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang melarang mencukur habis janggut, dan hal ini bukan termasuk uzur syar’i, wallahu a’lam.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

12. Pertanyaan: Assalamu 'alaikum Ustadz. Ijin bertanya. Saya dapat fasilitas COP (Car Ownership Program) dari perusahaan, yang cicilannya dipotong setiap bulan dari gaji dengan porsi 25% dari nilai barang. Namun PT kami menunjuk pihak leasing untuk pengadaan. Periode 5 tahun. Apabila kami resign sebelum 5 tahun  ada opsi tebus barang atau opsi bayar penalti. Status STNK nama leasing. Biaya maintenance dan lain-lain ditanggung leasing. Kami perjanjian dengan HRD PT namun isinya menyetujui perjanjian dengan leasing. Apakah seperti ini dibolehkan? Jazakallahu khoiron

Jawab: Wa alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Setelah memperhatikan pertanyaan di atas yang intinya pihak perusahaan menunjuk pihak leasing untuk pengadaan barang sehingga akad dialihkan kepada leasing. Sedangkan pihak leasing biasanya memberlakukan beberapa akad yang ternyata bertentangan dengan Islam, yaitu:

Pertama, adanya dua akad dalam satu perjanjian leasing, yaitu akad sewa-menyewa dan akad jual beli. Hal ini dilarang karena ada hadits dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu:

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ

“Rasulullah shallallahu alaihi wa salam melarang dua kesepakatan dalam satu transaksi.” (Hr. Ahmad, dan dinyatakan shahih lighairih oleh Pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah)

Kedua, karena adanya bunga dalam sistem leasing ini, sedangkan bunga sendiri adalah riba. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (Qs. Al Baqarah: 275)

Ketiga, adanya denda jika terjadi keterlambatan dalam membayar yang juga merupakan riba.

Keempat,  adanya jaminan dalam perjanjian leasing yang tidak sah karena menggunakan jaminan pada barang yang dijual-belikan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ، وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ، وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ يُضْمَنْ ، وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Tidak halal jual beli sambil meminta pinjaman, dua syarat dalam jual beli, keuntungan yang belum ditanggung (seperti menjual barang yang baru dibeli namun belum diterima), dan menjual barang yang tidak dimiliki olehmu.” (Hr. Ahmad, dan dinyatakan isnadnya hasan oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah)

Sehingga karena sistem leasing seperti di atas menjadikan tidak boleh diikuti.

Wallahu a’lam.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

Khutbah Jum'at Birrul Walidain

Rabu, 23 September 2020

بسم الله الرحمن الرحيم


Khutbah Jum'at

Birrul Walidain (Berbakti Kepada Kedua Orang Tua)

Oleh: Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I

Khutbah I

إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا --يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فقَدْ فَازَ فوْزًا عَظِيمًا.

 أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَيُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاثُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Ma'asyiral muslimin sidang shalat Jum'at rahimakumullah

Pertama-tama marilah kita panjatkan puja dan puji syukur kepada Allah Subhaanahu wa Ta'ala yang telah memberikan kepada kita berbagai nikmat, terutama adalah nikmat Islam, Iman, Hidayah, Taufiq, Sehat wal Afiyat, dan nikmat-nikmat lainnya yang tidak terhitung oleh kita jumlahnya.

Shalawat dan salam kita sampaikan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti Sunnahnya sampai hari Kiamat.

Khatib berwasiat baik kepada diri khatib sendiri maupun kepada para jamaah sekalian, marilah kita tingkatkan takwa kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena orang-orang yang bertakwalah yang akan memperoleh kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat.

Ma'asyiral muslimin sidang shalat Jum'at rahimakumullah

Di antara ajaran Islam yang agung yang merupakan amal yang paling dicintai Allah setelah shalat yang lima waktu dan melebihi jihad fi sabilillah adalah Birrul Walidain atau berbakti kepada kedua orang tua.

Ibnu Mas’ud pernah bertanya kepada Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam, “Amal apa yang paling dicintai Allah?” Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya.” Ia bertanya kembali, “Selanjutnya apa?” Beliau menjawab, “Berbakti kepada kedua orang tua.” Ia bertanya kembali, “Selanjutnya apa?” Beliau menjawab, “Berjihad fi sabilillah.” (Hr. Bukhari dan Muslim)

Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita berbakti kepada kedua orang tua karena orang tua memiliki jasa yang besar terhadap kita. Dengan sebab keduanya kita terlahir ke dunia. Keduanya juga telah mengorbakan waktu, tenaga, dan fikiran untuk membahagiakan kita selaku anak. Ibu kita telah mengandung kita lemah bertambah lemah, lalu melahirkan kita antara hidup dan mati, mengurus kita siang dan malam tidak kenal lelah, dan menyiapkan berbagai kebutuhan kita hingga kita dewasa. Ayah kita pergi bekerja mejmbanting tulang untuk menafkahi dan membahagiakan kita. Oleh karenanya Allah memerintahkan kita bersyukur kepada-Nya dan kepada kedua orang tua kita. Dia berfirman,

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang tuamu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Qs. Luqman: 14)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga mendorong untuk berbakti kepada kedua orang tua, Beliau bersabda,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُمَدَّ لَهُ فِي عُمْرِهِ وَيُزَادَ لَهُ فِي رِزْقِهِ فَلْيَبَرَّ وَالِدَيْهِ وَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

 “Barang siapa yang senang dipanjangkan umurnya dan ditambahkan rezekinya, maka berbaktilah kepada kedua orang tuanya dan sambunglah tali silaturrahim.” (Al Haitsami dalam Al Majma’ berkata, “Hadits tersebut ada dalam kitab shahih tanpa kata berbakti kepada orang tua, tetapi diriwayatkan oleh Ahmad dan para perawinya adalah perawi kitab shahih,” dan dinyatakan hasan lighairihi oleh Al Albani dalam Shahihut Targhib no. 2488)

Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,

رَغِمَ أَنْفُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا فَلَمْ يَدْخُلْ الْجَنَّةَ

“Hinalah dia, hinalah dia dan hinalah dia.” Lalu ada yang bertanya, “Siapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu orang yang mendapatkan orang tuanya sudah tua; salah satunya atau kedua-duanya tetapi tidak membuatnya masuk surga.” (HR. Muslim)

Demikianlah ajaran Islam. Islam memerintahkan seorang anak berbakti kepada orang tua terlebih ketika orang tua telah lanjut usia; tidak seperti budaya di luar Islam yang sampai menelantarkan orang tua dan menempatkannya di panti jompo lalu ditinggalkannya, wal ‘iyadz billah.

Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim berbakti kepada kedua orang tuanya dan bergaul dengan sikap yang baik. Di antara adab bergaul kepada orang tua adalah:

1.   Mencintai dan sayang kepada kedua orang tua.

Yang demikian karena besarnya jasa orang tua kepada kita sebagaimana yang telah khatib sampaikan sebagiannya di awal khutbah.

2.   Menaati keduanya.

Demikian pula hendaknya seorang anak menaati perintah kedua orang tuanya, kecuali apabila kedua orang tua menyuruh berbuat maksiat kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. Luqman: 15)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk kalau bermaksiat kepada Al Khaliq (Allah).” (Hr. Ahmad dan Hakim dari Imran dan Al Hakam bin Amr Al Ghifari, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami no. 7520)

3.   Menanggung dan menafkahi orang tua.

Seorang anak juga hendaknya menanggung dan menafkahi orang tua agar ia memperoleh keridhaan Allah. Jika ia seorang yang berharta banyak, lalu orang tuanya butuh kepada sebagian harta itu, maka ia wajib memberikannya. Hal ini berdasarkan hadits berikut:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي مَالًا وَوَلَدًا وَإِنَّ أَبِي يُرِيدُ أَنْ يَجْتَاحَ مَالِي فَقَالَ أَنْتَ وَمَالُكَ لِأَبِيكَ

Dari Jabir bin Abdillah, bahwa seseorang berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai harta dan anak, sedangkan bapakku ingin mengambil hartaku.” Maka Beliau bersabda, “Engkau dan hartamu adalah milik bapakmu.” (HR. Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, Al Irwa’ (838) dan Ar Raudhun Nadhir (195 dan 603))

 

4. Berbuat baik kepada keduanya

Seorang anak juga wajib berbuat baik kepada kedua orang tuanya meskipun keduanya non muslim. Asma’ binti Abu Bakar berkata, “Ibuku pernah datang kepadaku dalam keadaan musyrik di masa ketika Beliau mengadakan perjanjian (damai) dengan kaum Quraisy, lalu aku meminta fatwa kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, aku bertanya, “Wahai Rasulullah, ibuku datang kepadaku karena berharap (bertemu) denganku. Bolehkah aku sambung (hubungan) dengan ibuku?” Beliau menjawab, “Ya. Sambunglah (hubungan) dengan ibumu.” (HR. Muslim)

  1. Menjaga perasaan keduanya dan berusaha membuat ridha orang tuanya

Demikian juga seorang anak harus menjauhi ucapan atau tindakan yang dapat menyakitkan hati orang tuanya meskipun sepele, seperti berkata “Ah.” Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,

إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

“Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Qs. Al Israa’: 23)

Hendaknya ia mengetahui, bahwa ridha Allah ada pada keridhaan orang tua, dan bahwa murka-Nya ada pada kemurkaan orang tua sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,

رِضَا الرَّبِّ فِي رِضَا الْوَالِدِ وَ سُخْطُ الرَّبِّ فِي سُخْطِ الْوَالِدِ

“Ridha Allah ada pada keridhaan orang tua dan murka Allah ada pada kemurkaan orang tua.” (HR. Tirmidzi dan Hakim dari Abdullah bin ‘Amr, dan Al Bazzar dari Ibnu Umar, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 3506)

6.   Tidak mengutamakan istri dan anak daripada kedua orang tua

Hal ini berdasarkan hadits yang menyebutkan tentang tiga orang Bani Israil yang berjalan-jalan di gurun, lalu mereka terpaksa bermalam di gua. Ketika mereka masuk ke dalamnya, tiba-tiba ada sebuah batu besar yang jatuh dari atas gunung sehingga menutupi pintu gua itu, lalu mereka berusaha menyingkirkan batu tersebut, tetapi mereka tidak bisa, maka akhirnya mereka berdoa kepada Allah dengan menyebutkan amal saleh yang pernah mereka lakukan. Salah seorang di antara mereka berkata, “Ya Allah, saya memiliki kedua orang tua yang sudah lanjut usia dan saya biasanya tidak memberi minuman kepada keluarga dan harta yang saya miliki (budak) sebelum keduanya. Suatu hari saya pernah pergi jauh untuk mencari sesuatu sehingga saya tidak pulang kecuali setelah keduanya tidur, maka saya perahkan susu untuk keduanya, namun saya mendapatkan keduanya telah tidur dan saya tidak suka memberi minum sebelum keduanya baik itu keluarga maupun harta (yang aku miliki). Aku menunggu, sedangkan gelas masih berada di tanganku karena menunggu keduanya bangun sehingga terbit fajar. Keduanya pun bangun lalu meminum susu itu. Ya Allah, jika yang aku lakukan itu karena mengharapkan wajah-Mu, maka hilangkanlah derita yang menimpa kami karena batu ini,” yang lain juga menyebutkan amal saleh mereka yang ikhlas yang pernah mereka lakukan, sehingga batu besar itu pun bergeser dan mereka dapat keluar.

Hadits tersebut juga mengingatkan kita bahwa jika orang tua kita dekat tinggal dengan kita hendaknya sepulang kerja, kita belikan semacam oleh-oleh.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ  لِيْ وَلَكُمْ

Khutbah II

الْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ:

Ma'asyiral muslimin sidang shalat Jum'at rahimakumullah

Termasuk adab terhadap orang tua adalah:

7.   Merendahkan diri kepada kedua orang tua dan mendoakan keduanya baik mereka masih hidup atau sudah wafat

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

“Rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Qs. Al Israa: 24)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah bersabda:

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Apabila seseorang meninggal, maka terputuslah amalnya selain tiga perkara; sedekah jaariyah, ilmu yang dimanfaatkan atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

Ketahuilah, bahwa derajat orang tua kita di surga akan semakin tinggi dengan kita memohon ampunan dan rahmat untuk orang tua. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ أَنَّى هَذَا فَيُقَالُ بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ

“Sesunguhnya seseorang benar-benar diangkat derajatnya di surga, lalu ia berkata, “Karena apa ini?” Lalu dikatakan kepadanya, “Karena permintaan ampun anakmu untukmu.” (HR. Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahiihah 1598 dan Al Misykat 2354/tahqiq ke-2)

8.   Berbuat baik kepada kawan-kawan orang tua setelah orang tua telah wafat

Dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin Umar, bahwa seseorang dari kalangan Arab baduwi pernah ditemuinya di jalan menuju Mekah, lalu Abdullah mengucapkan salam kepadanya dan menaikkannya ke atas keledai yang ditungganginya dan memberikan sorban yang dipakainya kepadanya. Abdullah bin Dinar berkata, Kami pun berkata, “Semoga Allah memperbaikimu, sesungguhnya mereka adalah orang-orang Arab baduwi, mereka biasanya puas dengan perkara yang sedikit, lalu Abdullah berkata, “Sesunggunya bapak orang ini adalah teman Umar bin Khaththab, dan sesungguhnya aku mendengar  Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ صِلَةُ الْوَلَدِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ

“Sesungguhnya berbakti yang paling baik adalah ketika seorang anak menyambung hubungan dengan kawan-kawan bapaknya.” (HR. Muslim)

Ma'asyiral muslimin sidang shalat Jum'at rahimakumullah

Sebagai penutup khutbah ini, mungkin di antara kita ada yang tinggal jauh dari orang tua karena kondisi yang menghendaki kita tinggal jauh seperti karena kita mendapatkan pekerjaan di tempat yang jauh dari orang tua, lalu bagaimanakah berbakti kepada orang tua jika kita tinggal jauh dari mereka. Di antara caranya adalah:

1. Mendoakan ampunan dan rahmat

2. Menaati orang tua selama perintahnya bukan maksiat

3. Menyempatkan pulang kampung; jangan sampai setahun atau beberapa tahun sekali padahal dia mampu sering berkunjung.

4. Sering berkomunikasi, misalnya melalui handphone sambil menanyakan kabar dan kebutuhannya

5. Menafkahi orang tua, seperti mentransfer uang buat orang tua

Demikianlah adab terhadap orang tua, semoga Allah Subhaanahu wa Ta'aala memudahkan kita untuk dapat melakukannya.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدُ مَجِيْدٌ، اَللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدُ مَجِيْدٌ

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ -- وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ – وَ الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.

Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger