Terjemah Umdatul Ahkam (29)

Sabtu, 29 Desember 2018
بسم الله الرحمن الرحيم
Image result for ‫يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة‬‎
Terjemah Umdatul Ahkam (29)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan terjemah Umdatul Ahkam karya Imam Abdul Ghani Al Maqdisi (541 H – 600 H) rahimahullah. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penerjemahan kitab ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
KITAB NIKAH
310 - عَنْ أُمِّ حَبِيبَةَ بِنْتِ أَبِي سُفْيَانَ رضي الله عنها أَنَّهَا قَالَتْ: ((يَا رَسُولَ اللَّهِ , انْكِحْ أُخْتِي ابْنَةَ أَبِي سُفْيَانَ قَالَ: أَوَتُحِبِّينَ ذَلِكَ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ , لَسْتُ لَكَ بِمُخْلِيَةٍ , وَأَحَبُّ مَنْ شَارَكَنِي فِي خَيْرٍ أُخْتِي: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -: إنَّ ذَلِكَ لا يَحِلُّ لِي. قَالَتْ: إنَّا نُحَدَّثُ أَنَّك تُرِيدُ أَنْ تَنْكِحَ بِنْتَ أَبِي سَلَمَةَ قَالَ: بِنْتَ أُمِّ سَلَمَةَ؟ قَالَتْ: قُلْت: نَعَمْ , قَالَ: إنَّهَا لَوْ لَمْ تَكُنْ رَبِيبَتِي فِي حَجْرِي , مَا حَلَّتْ لِي إنَّهَا لابْنَةُ أَخِي مِنْ الرَّضَاعَةِ , أَرْضَعَتْنِي وَأَبَا سَلَمَةَ ثُوَيْبَةُ فَلا تَعْرِضْنَ عَلِيَّ بَنَاتِكُنَّ وَلا أَخَوَاتِكُنَّ. قَالَ عُرْوَةُ وَثُوَيْبَةُ: مَوْلاةٌ لأَبِي لَهَبٍ أَعْتَقَهَا , فَأَرْضَعَتْ النَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - فَلَمَّا مَاتَ أَبُو لَهَبٍ رَآهُ بَعْضُ أَهْلِهِ بِشَرِّ حِيبَةٍ فَقَالَ لَهُ: مَاذَا لَقِيتَ؟ قَالَ أَبُو لَهَبٍ: لَمْ أَلْقَ بَعْدَكُمْ خَيْراً , غَيْرَ أَنِّي سُقِيتُ فِي هَذِهِ بِعَتَاقَتِي ثُوَيْبَةَ)) .
310. Dari Ummu Habibah binti Abi Sufyan radhiyallahu anha ia berkata, “Wahai Rasulullah, nikahilah saudariku putri Abu Sufyan,” Beliau bersabda, “Apakah engkau menginginkan hal itu?” Ia menjawab, “Ya. Aku tidak ingin kebaikan hanya diperoleh diriku, dan aku ingin saudariku memperoleh kebaikanmu.” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya hal itu tidak halal bagiku.” Aku berkata lagi, “Sesungguhnya kami pernah berbincang-bincang dan mendapatkan kabar bahwa engkau ingin menikahi putri Abu Salamah.” Beliau bersabda, “Putri Abu Salamah?” Aku menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya jika ia bukan anak tiri dalam asuhanku. Ia juga tidak halal bagiku, ia adalah putri saudaraku sepersusuan. Tsuwaibah telah menyusukanku dan menyusukan Abu Salamah, maka janganlah menawarkan kepadaku putri-putrimu dan saudari-saudarimu.” Urwah berkata, “Tsuwaibah adalah budak yang dimerdekakan Abu Lahab, dialah yang menyusukan Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” Ketika Abu Lahab meninggal dunia, sebagian keluarganya bermimpi melihatnya dalam keadaan yang memprihatinkan, ia ditanya, “Apa yang engkau peroleh?” Abu Lahab berkata, “Setelah kalian, aku tidak memperoleh nikmat pun selain diberi minum karena membebaskan Tsuwaibah.”
311 - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -: ((لا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا , وَلا بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا)) .
311. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh dimadu antara seorang wanita dengan bibinya dari pihak ayah, dan antara seorang wanita dengan bibinya dari pihak ibu.”
312 - عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -:  ((إنَّ أَحَقَّ الشُّرُوطِ أَنْ تُوفُوا بِهِ: مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ)) .
312. Dari Uqbah bin Amir radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya syarat yang lebih berhak kalian penuhi adalah syarat yang dengannya farji dihalalkan (menikah).”
313 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما: ((أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - نَهَى عَنْ الشِّغَارِ)) . وَالشِّغَارُ: أَنْ يُزَوِّجَ الرَّجُلُ ابْنَتَهُ عَلَى أَنْ يُزَوِّجَهُ ابْنَتَهُ , وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا الصَّدَاقُ.
313. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang nikah syighar.
Syighar adalah seseorang menikahkan putrinya kepada orang lain dengan syarat orang lain itu menikahkan putrinya kepadanya, dan antara keduanya tidak ada mahar.
314 - عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ - رضي الله عنه -: ((أَنَّ النَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - نَهَى عَنْ نِكَاحِ الْمُتْعَةِ يَوْمَ خَيْبَرَ , وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الأَهْلِيَّةِ))
314. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang nikah mut’ah pada perang Khaibar, dan melarang mengkonsumsi keledai negeri.
Nikah Mut’ah adalah seseorang menikahi wanita sampai waktu yang ditentukan.
315 - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه -: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: ((لا تُنْكَحُ الأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ , وَلا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ , فَكَيْفَ إذْنُهَا قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ)) .
315. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Janda tidaklah dinikahkan sampai diajak berembuk, dan gadis tidaklah dinikahkah sampai diminta izinnya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana izinnya?” Beliau bersabda, “Ketika ia diam.”
316 - عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: ((جَاءَتْ امْرَأَةُ رِفَاعَةَ الْقُرَظِيِّ إلَى النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَتْ: كُنْتُ عِنْدَ رِفَاعَةَ الْقُرَظِيِّ فَطَلَّقَنِي فَبَتَّ طَلاقِي. فَتَزَوَّجْتُ بَعْدَهُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزُّبَيْرِ وَإِنَّمَا مَعَهُ مِثْلُ هُدْبَةِ الثَّوْبِ. فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - وَقَالَ: أَتُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إلَى رِفَاعَةَ؟ لا , حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ , وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ , قَالَتْ: وَأَبُو بَكْرٍ عِنْدَهُ , وَخَالِدُ بْنُ سَعِيدٍ بِالْبَابِ يَنْتَظِرُ أَنْ يُؤْذَنَ لَهُ , فَنَادَى أَبَا بَكْرٍ: أَلا تَسْمَعُ إلَى هَذِهِ: مَا تَجْهَرُ بِهِ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -)) .
316. Dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata, “Istri Rifa’ah Al Qurazhiy pernah datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Sebelumnya aku adalah istri Rifa’ah Al Qurazhiy, lalu ia mentalakku dengan talak tiga, lalu aku menikah dengan Abdurrahman bin Az Zubair, tetapi keadaannya seperti ujung kain (tidak bersyahwat),” maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tersenyum dan bersabda, “Sepertinya engkau ingin kembali kepada Rifa’ah? Tidak boleh, sampai engkau merasakan madu Abdurrahman dan ia merasakan madumu.” Ketika itu Abu Bakar ada di sampingnya, sedangkan Khalid bin Sa’id di pintu menunggu diizinkan masuk.” Maka Ia memanggil Abu Bakar dan berkata, “Tidakkah engkau dengar ucapannya (dan mengingkarinya), yaitu ucapan kerasnya di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam?!”
317 - عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ - رضي الله عنه - قَالَ: ((مِنْ السُّنَّةِ إذَا تَزَوَّجَ الْبِكْرَ عَلَى الثَّيِّبِ: أَقَامَ عِنْدَهَا سَبْعاً ثُمَّ قَسَمَ. وَإِذَا تَزَوَّجَ الثَّيِّبَ: أَقَامَ عِنْدَهَا ثَلاثاً ثُمَّ قَسَمَ)) . قَالَ أَبُو قِلابَةَ: وَلَوْ شِئْتُ لَقُلْتُ: إنَّ أَنَساً رَفَعَهُ إلَى النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم -)) .
317.  Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu ia berkata, “Termasuk Sunnah adalah ketika menikahi gadis, ia bermukim di tempatnya tujuh hari, lalu ia membagi hari-harinya (secara adil), dan apabila menikahi janda, ia bermukim di tempatnya tiga hari lalu ia membagi hari-harinya.”
Abu Qilabah berkata, “Kalau aku mau, tentu aku katakan, bahwa Anas menyandarkannya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam (dari Beliau).”
318 - عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - ((لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ: إذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ: بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ , وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا فَإِنَّهُ إنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ , لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ أَبَداً)) .
318. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Kalau sekiranya salah seorang di antara kamu ketika mendatangi istrinya mengucapkan, “Bismillah…dst. Sampai maa razaqtana,” (artinya: dengan nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan, dan jauhkanlah setan dari rezeki yang Engkau karuniakan kepada kami,” karena jika ditakdirkan memperoleh anak, maka setan tidak dapat membahayakannya.”
319 - عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ - رضي الله عنه - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: ((إيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الأَنْصَارِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ , أَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ)) .
ولِمُسْلِمٍ: عنْ أَبي الطَّاهِرِ عنِ ابنِ وَهْبٍ قالَ: " سَمِعْتُ اللَّيثَ يقولُ: الحَمْوُ: أَخو الزَّوْجِ ومَاأَشْبَهَهُ منْ أَقاربِ الزَّوْجِ، ابنِ عَمٍّ ونَحْوِهِ.
319. Dari Uqbah bin Amir radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian masuk ke tempat wanita!” Lalu salah seorang Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan ipar?” Beliau bersabda, “Ipar itu maut (bencana).”
Dalam riwayat Muslim dari Abu Ath Thahir dari Ibnu Wahb ia berkata, “Aku mendengar Al Laits berkata, “Ipar adalah saudara suami dan kerabat lainnya, putra paman, dan kerabat dekat lainnya.”
Catatan:
Maksud ‘ipar itu maut’ adalah bahwa berduaan dengan kerabat suami dapat mengakibatkan fitnah dan kebinasaan dalam agama sehingga seperti kematian.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Penerjemah:
Marwan bin Musa

Fatwa Ulama Seputar Zakat (3)

Selasa, 25 Desember 2018

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫وأقيموا الصلاة وآتوا الزكاة‬‎
Fatwa Ulama Seputar Zakat (3)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Allah Subhaanhu wa Ta’ala berfirman,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (Qs. An Nahl: 43)
Berikut kami hadirkan fatwa ulama seputar zakat, semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Pemberian Zakat Kepada Penuntut Ilmu
Pertanyaan: Apa hukum memberikan zakat kepada penuntut ilmu?
Jawab: Penuntut ilmu yang fokus menuntut ilmu syar’i meskipun ia mampu bekerja boleh diberi zakat, karena menuntut ilmu bagian dari jihad fi sabilillah, sedangkan Allah Tabaraka wa Ta’ala menjadikan jihad fi sabilillah sebagai salah satu pihak yang berhak menerima zakat. Dia berfirman,
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.” (Qs. At Taubah: 60)
Adapun penuntut ilmu yang fokus menuntut ilmu duniawi, maka tidak diberikan zakat, dan kita katakan kepadanya, ”Engkau sekarang berbuat untuk dunia, dan engkau bisa memperoleh dunia dengan pekerjaanmu, sehingga kami tidak berikan zakat.”
Akan tetapi kalau kita temukan seseorang mampu berusaha untuk makan, minum, dan bertempat tinggal, tetapi ia butuh menikah namun tidak memiliki biaya untuk menikah, maka bolehkah kita memberinya dari zakat untuk ia menikah? Jawab, ”Ya, boleh bagi kita menikahkanya dengan harta zakat dan diberi mahar secara utuh.”
Jika ada yang bertanya, ”Mengapa menikahkan orang yang fakir dari harta zakat boleh meskipun yang diberikan kepadanya banyak?” Kita katakan, ”Karena kebutuhan manusia untuk menikah terkadang mendesak seperti butuhnya ia kepada makan dan minum.” Oleh karena itu, Ahli Ilmu berkata, ”Wajib bagi orang yang menafkahi seseorang menikahkannya jika hartanya cukup untuk itu.” Oleh karenanya, wajib bagi seorang ayah menikahkan puteranya jika putranya butuh menikah sedangkan putranya tidak memiliki biaya untuk menikah. Akan tetapi saya mendengar sebagian orang tua yang melupakan keadaan mereka sewaktu muda saat anaknya minta menikah, ia malah berkata, ”Menikahlah dengan keringat dahimu (dari usahamu sendiri),” Ini tidak boleh dan haram baginya jika ia mampu menikahkannya, dan kelak anaknya akan protes kepadanya pada hari Kiamat jika orang tuanya tidak mau menikahkannya padahal mampu.
Namun di sini ada sebuah permasalahan, yaitu jika seseorang memiliki beberapa anak; dimana di antara mereka ada yang sudah mencapai usia menikah, lalu ia menikahkannya, dan di antara mereka ada yang masih kecil, apakah boleh baginya mewasiatkan sesuatu dari hartanya berupa mahar untuk anak-anaknya yang masih kecil karena ia telah memberikan kepada anaknya yang dewasa? Jawab, ”Tidak boleh bagi seseorang yang menikahkan anak-anaknya yang besar untuk memberikan wasiat berupa mahar untuk anak-anaknya yang kecil, akan tetapi wajib baginya ketika salah seorang anaknya mencapai usia menikah untuk menikahkannya seperti anaknya yang pertama. Adapun berwasiat untuknya setelah dirinya meninggal, maka hukumnya haram. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
”Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada yang memiliki hak, maka tidak ada wasiat untuk Ahli Waris.” (Hr. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dinyatakan hasan shahih oleh Al Albani) (Fatawa Arkanil Islam 51/440)
Seseorang Memberikan Zakat Kepada Keluarganya Yang Ushul (Ayah dst. Ke atas) dan Yang Furu (Anak dst. Ke bawah)
Pertanyaan: Apa hukum seseorang memberikan zakat kepada ushul dan furunya?
Jawab: Memberikan zakat baik kepada ushul maupun furu, yakni kepada ayah, ibu dan seterusnya ke atas atau kepada putra-putranya dan putri-putrinya dan seterusnya ke bawah jika untuk menggugurkan kewajiban nafkahnya maka tidak sah, seperti jika seseorang memberikan zakat untuk menggugurkan nafkah yang wajib ditanggungnya jika mereka dicukupkan dengan zakat. Tetapi jika tidak untuk menggugurkan kewajibannya maka sah seperti halnya ketika seseorang membayarkan utang ayahnya yang masih hidup, atau ia memiliki cucu dan harta putranya tidak bisa menanggung nafkah mereka, istri dan anak-anaknya, maka diberikan kepada cucunya zakat, karena menafkahi mereka tidak wajib baginya dalam keadaan ini, sedangkan memberikan zakat kepada ushul dan furu dalam keadaan yang sah lebih diutamakan daripada kepada selain mereka, karena di dalamnya terdapat sedekah dan silaturrahim.” (Majmu Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin 18/415) 
Orang Yang Ditanggung Nafkahnya Tidak Berhak Menerima Zakat
Pertanyaan: Seorang yang memiliki anak atau ibu atau saudari yang dirinya berkewajiban menafkahi mereka, lalu ia ingin mengeluarkan zakat, sedangkan anda berpendapat bahwa tidak sah mengeluarkan zakat kepadanya, maka siapakah yang berkewajiban menafkahi mereka?
Jawab: Setiap orang yang dirinya berkewajiban menafkahinya, maka tidak boleh memberikan zakat kepadanya sebagai nafkah. Tetapi jika dalam rangka membayar utang, maka tidak mengapa. Oleh karena itu, jika misalnya seorang ayah punya utang, sedangkan anak ingin membayarkan utangnya dari zakatnya, sedangkan ayahnya tidak sanggup membayar utangnya, maka tidak mengapa. Demikian pula ibu dan anak. Adapun jika engkau memberikan kepadanya zakatmu karena nafkah maka tidak boleh, karena dengan begitu hartamu bertambah, sedangkan nafkah wajib kepada kedua orang tua; baik ibu maupun ayah, anak laki-laki dan perempuan, demikian pula orang yang akan engkau warisi jika ia meninggal dunia, yakni setiap orang yang jika meninggal dunia maka engkau akan mewarisinya, maka engkau harus menafkahinya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذالِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُو"اْ أَوْلَادَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّآءَاتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُواْ اللهَ وَاعْلَمُو"اْ أَنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
”Dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al Baqarah: 233)
Allah mewajibkan ahli waris memberikan upah terhadap penyusuan, karena penyusuan sama dengan nafkah.” (Majmu Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin 18/416)
Ibu Susu dan Saudari Sepersusuan Diberi Zakat
Pertanyaan: Apakah ibu susu dan saudari sepersusuan bisa menerima zakat?
Jawab: Ya. Ibu susu dan saudari sepersusuan bisa menerima zakat apabila termasuk mustahik zakat. Hal itu, karena ibu susu dan saudari sepersusuan tidak wajib dinafkahi, sehingga bisa menerima zakat dengan syarat sebagai mustahik zakat. (Majmu Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin 18/415)
Memberikan Zakat Kepada Ahli Bid’ah
Pertanyaan: Bolehkah memberikan zakat kepada Ahli Bid’ah?
Jawab: Bid’ah terbagi dua:
Pertama, bid’ah yang dapat menjadikan seseorang kafir keluar dari Islam. Untuk bid’ah ini, maka tidak boleh memberikan zakat kepada pelakunya. Misalnya orang yang berkeyakinan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam dapat mengabulkan permohonan orang yang berdoa kepadanya atau meminta pertolongan kepadanya, atau meyakini bahwa dzat Allah ada di setiap tempat, atau mengingkari ketinggian Allah Azza wa Jalla di atas seluruh makhluk-Nya, dan bid’ah-bid’ah semacamnya.
Kedua, bid’ah di bawahnya, yakni yang tidak menjadikan pelakunya jatuh ke dalam kekafiran, maka pelakunya masih muslim, dan boleh diberi zakat jika termasuk golongan (yang berhak menerima zakat) yang disebutkan Allah dalam kitab-Nya. (Majmu Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin 18/431).
Memberikan Zakat Kepada Orang Kafir, Fasik, dan Kepada Orang Yang Tidak Shalat
Pertanyaan: Bolehkah memberikan zakat kepada orang kafir dan fasik, atau memberikannya kepada orang yang tidak shalat, atau memberikannya kepada orang yang nantinya menggunakannya untuk bermaksiat kepada Allah?
Jawab: Adapun orang kafir, maka tidak diberikan zakat kecuali termasuk orang yang dibujuk hatinya untuk memeluk Islam. Jika termasuk golongan itu, maka tidak mengapa memberikan kepadanya. Adapun orang fasik dari kalangan kaum muslimin, maka boleh diberi zakat, akan tetapi memberikannya kepada orang yang lebih baik dalam beragama lebih diutamakan. Sedangkan orang tidak shalat, maka orang yang meninggalkannya kafir dan murtad, tidak boleh diberi zakat, karena meninggalkan shalat adalah kekafiran yang mengeluarkan dari Islam, sehingga tidak termasuk orang yang berhak menerima zakat kecuali jika ia mau bertaubat dan kembali kepada Allah Azza wa Jalla dan menjalankan shalat, maka berhak menerima zakat. Dan tidak sepatutnya memberikan zakat kepada orang yang menggunakannya untuk bermaksiat kepada Allah Azza wa Jalla seperti halnya orang yang ketika kita beri harta zakat, ia malah membelikan alat-alat yang diharamkan yang digunakannya untuk mengerjakan perkara haram, atau akan membeli rokok untuk merokok, dan sebagainya. Orang seperti ini tidak patut diberi zakat, karena dengan begitu kita membantunya berbuat dosa dan pelanggaran, sedangkan Allah Ta’ala berfirman,
وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ آلْعِقَابِ
”Dan janganlah tolong-menolong di atas dosa dan pelanggaran. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya.” (Qs. Al Maidah: 2)
Jika kita tahu atau menurut perkiraan kuat kita bahwa ia akan menggunakannya untuk yang haram, maka haram memberikan kepadanya berdasarkan ayat di atas. (Majmu Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin 18/431)
Zakat Perhiasan Yang Dipakai Wanita
Pertanyaan: Para ulama rahimahumullah dan para sahabat radhiyallahu anhum sebelumnya telah berbeda pendapat tentang zakat perhiasan pada wanita seperti emas dan perak yang berupa kalung, gelang, cincin, dan sebagainya ketika telah mencapai nishab, yakni 20 mitsqal emas (1 mitsqal = 4.25 gram, 20 mitsqal = 85 gram emas) dan 140 mitsqal perak (595 gram perak) yang ukurannya dengan emas yang berlaku sekitar 11 3/7 junaih (Saudi), sedangkan berdasarkan perak ukurannya 56 dirham atau uang yang senilai dengannya. Inilah batas minimal nishab, selebihnya lebih berhak lagi kena zakat. Sebagian Ahli Ilmu dari kalangan sahabat dan setelahnya berpendapat, bahwa wanita mesti mengeluarkan zakat pada perhiasannya ketika mencapai nishab berdasarkan keumuman dalil yang menunjukkan wajibnya zakat pada emas dan perak. Ulama yang lain berpendapat, tidak wajib karena keadaannya yang dipakai. Namun yang rajih (kuat) adalah wajibnya zakat berdasarkan keumuman dalil yang menunjukkan wajibnya zakat pada emas dan perak, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam saat ditanya Ummju Salamah tentang perhiasan, ”Apakah ini termasuk simpanan?” Beliau bersabda, ”Jika telah mencapai (ukuran) dizakatkan lalu dizakatkan, maka bukan simpanan (yang terancam).”[i] Di samping itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah bertanya kepada seorang wanita yang mengenakan dua gelang emas, ”Apakah kamu telah mengeluarkan zakatnya?” Ia menjawab, ”Belum.” Beliau bersabda, ”Sukakah engkau jika Allah memakaikan kepadamu dua gelang dari api?” [ii]
Jika seorang wanita tidak memiliki sesuatu yang harus dizakatkan selain perhiasan, maka hendaknya ia menjual perhiasan atau meminjam sesuatu yang bisa dikeluarkan zakatnya, tetapi jika suami atau selainnya mengeluarkan zakatnya dengan izin si wanita, maka tidak mengapa, wallahu waliyyut taufiq. (Majmu Fatawa Ibnu Baz 14/95)
Zakat Barang Dagangan
Pertanyaan: Seseorang bermuamalah dengan berbagai jenis barang dagangan, seperti pakaian, perabot, dan lain-lain, bagaimanakah mengeluarkan zakatnya?
Jawab: Wajib baginya mengeluarkan zakat ketika telah sempurna haul (setahun menggunakan kalender hijriah) pada barang yang disiapkan untuk didagangkan, tentunya ketika barang-barang itu telah mencapai nishab emas atau perak, berdasarkan hadits-hadits yang datang berkenaan dengan itu, di antaranya hadits Samurah bin Jundab dan Abu Dzar radhiyallahu anhuma. (Majmu Fatawa Ibnu Baz 14/157)
Wallahu a’lam wa shallallau ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil alamin.
Penerjemah: Marwan bin Musa
Maraji': Maktabah Syamilah versi 3.45, https://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=40463  dll.


[i] Hr. Abu Dawud dan Daruquthni, dishahihkan oleh Hakim.
[ii] Hr.  Abu Dawud, Nasa’i, dan Tirmidzi, dinyatakan isnadnya kuat oleh Al Hafizh.

Fatwa Ulama Seputar Zakat (2)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫وأقيموا الصلاة وآتوا الزكاة‬‎
Fatwa Ulama Seputar Zakat (2)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Allah Subhaanhu wa Ta’ala berfirman,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (Qs. An Nahl: 43)
Berikut kami hadirkan fatwa ulama seputar zakat, semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Menyerahkan Zakat Kepada Seseorang Tanpa Memberitahukan bahwa Itu adalah Zakat
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang hukum seseorang menyerahkan zakat tanpa memberitahukan bahwa itu adalah zakat?
Beliau menjawab, ”Tidak mengapa seseorang memberikan zakat kepada mustahiknya tanpa memberitahukan bahwa yang diberikannya itu zakat jika pengambilnya biasa mengambil dan menerimanya. Tetapi jika pihak penerima tidak termasuk orang yang biasa menerima zakat, maka harus disampaikan agar ia mengetahui sehingga ia menerima atau menolaknya.” (Majmu Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin 18/312)
Memindahkan Zakat Dari Tempat Wajibnya
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang hukum memindahkan zakat dari tempat wajibnya?
Ia menjawab, ”Boleh bagi seseorang memindahkan zakat dari daerahnya ke daerah lain jika ada maslahatnya. Apabila seseorang memiliki kerabat yang berhak menerima zakat di daerah lain, lalu ia kirim ke sana, maka tidak mengapa. Demikian pula jika biaya hidup di suatu daerah tinggi, lalu seseorang mengirimkan ke daerah yang lebih fakir itu, maka tidak mengapa. Tetapi jika tidak ada maslahatnya memindahkan zakat dari satu daerah ke daerah lain, maka tidak bisa dipindahkan.” (Majmu Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin 18/313)
Pertanyaan: Bolehkah memindahkan zakat mal dari satu daerah ke daetah lain?
Jawab: Yang paling utama adalah membagikan zakat mal di daerah setempat karena itu lebih memudahkan bagi orang yang menyerahkan zakat, di samping untuk menutupi rasa kecemburuan kaum fakir yang ada di daerah orang kaya ini. Selain itu, mereka juga lebih dekat keberadaannya daripada yang lain, sehingga lebih utama diberikan zakat daripada yang lain. Akan tetapi jika ada kebutuhan atau maslahat dengan memindahkan zakat ke daerah lain, maka tidak mengapa. Oleh karena itu, ketika diketahui, bahwa ada di suatu tempat ada kaum muslimin yang kelaparan, kekurangan pakaian, dan sebagainya, atau ada kaum muslimin yang berjihad di jalan Allah untuk menegakkan kalimat-Nya agar menjadi tinggi, atau seseorang memiliki kerabat yang membutuhkan di daerah lain yang terdiri dari paman baik dari pihak ayah maupun ibu, saudara atau saudari, atau lainnya, maka pada saat ini tidak mengapa memindahkan zakat kepada mereka. Hal itu karena maslahat yang kuat, walllahul muwaffiq. (Majmu Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin 18/313)
Bagaimana Mengeluarkan Zakat Ketika Seseorang Bermukim di Luar Daerahnya?
Pertanyaan:  Seseorang bermukim di luar daerah, lalu bagaimana ia mengeluarkan zakat malnya? Apakah ia mesti mengirimnya ke daerahnya atau cukup di daerah dimana ia bermukim? Atau ia meminta keluarganya di daerahnya untuk membayarkan zakatnya mewakili dirinya?
Jawab: Hendaknya ia memperhatikan hal yang lebih bermaslahat bagi pembayar zakat; yakni apakah sebaiknya ia memberikan zakat di daerahnya atau mengirimnya ke daerah lain yang terdapat kaum fakir? Jika keadaannya sama, maka ia keluarkan zakat di tempat ia berada berada.” (Majmu Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin 18/312) 
Kaum Fakir Perokok
Jika orang fakir itu seorang perokok, maka bisa diberikan zakat kepada istrinya agar ia yang membelikan kebutuhan rumah tangganya
Pertanyaan: Jika seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhannya, namun ia mengeluarkan sebagian gajinya untuk membeli rokok, maka apakah sah bagi seseorang memberikan zakat malnya kepadanya  atau melunasi utangnya?
Jawab: Tidak diragukan lagi, bahwa mengkonsumsi rokok adalah haram, dan bahwa orang terus-menerus merokok sama saja terus-menerus berbuat maksiat, dan seseorang yang terus-menerus melakukan dosa kecil dapat menjadikannya jatuh ke dalam dosa besar. Oleh karena itu, saya sampaikan nasihat dari tempat ini –Masjidil Haram- kepada saudara-saudara kita yang jatuh ke dalam perbuatan merokok agar bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla serta menjaga kesehatan dan harta mereka dengan menjauhi rokok, karena merokok membuat harta habis sangat jelas sekali, dan membahayakan kesehatan juga sangat jelas. Jangan kalian katakan, ”Sebagian orang yang merokok tidak mendapatkan bahaya apa-apa,” bahkan orang yang meninggalkan rokok akan menjadi lebih sehat badannya, lebih semangat, dan lebih banyak hartanya. Meskipun begitu, kami katakan, bahwa orang yang merokok jika ia miskin, maka masih bisa kita berikan zakat kepada istrinya dan agar istrinya yang membelikan kebutuhan rumah tangganya. Bisa juga kita katakan kepadanya, ”Kita memiliki harta zakat, maukah engkau kami belikan kebutuhan primermu berupa ini dan itu?” Lalu kita minta dia menyerahkan kepada kita membelikan sesuatu, sehingga dengan cara ini tujuan tercapai dan terhindar dari larangan, yaitu tolong-menolong di atas dosa, karena jika seseorang memberikan kepada orang lain beberapa dirham yang ia gunakan untuk merokok, maka sama saja telah membantunya atas dosa dan jatuh ke dalam larangan Allah dalam firman-Nya,
وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ آلْعِقَابِ
”Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah sangat berat siksa-Nya.” (Qs. Al Maidah: 2)
Adapun membayarkan utangnya dari zakat, maka tidak mengapa.” (Majmu Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin 18/350) 
Menggugurkan Utang Dari Orang Yang Berutang Sebagai zakatnya
Pertanyaan: Bolehkah menggugurkan utang dari seorang yang berutang dan hal itu menjadi zakatnya?
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjawab, ”Hal ini tidak diperbolehkan, karena Allah Ta’ala berfirman,
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صلاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Qs. At Taubah: 103)
Mengambil mengharuskan adanya pemberian dari orang yang terkena zakat. Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda, ”Beritahukan kepada mereka, bahwa Allah mewajibkan mereka zakat yang diambil dari orang-orang yang kaya di kalangan mereka lalu diserahkan...dst.” Kalimat ”yang diambil dari orang-orang yang kaya di kalangan mereka lalu diserahkan,”  menunjukkan adanya pengambilan dan penyerahan, sedangkan pada pengguguran utang tidak ada demikian. Di samping itu, jika seseorang menggugurkan utang sebagai zakat dari harta yang ada di tangannya, maka seakan-akan ia mengeluarkan yang buruk dari yang baik, karena nilai utang dalam jiwa tidak seperti nilai harta yang ada, karena harta yang ada dalam miliknya dan ada di tangannya, sedangkan utang ada pada tanggungan orang lain yang terkadang bisa diperoleh dan bisa tidak, sehingga menjadi utang dan bukan harta. Jika keadaannya tidak demikian, maka tidak sah mengeluarkan zakat  darinya karena kekurangannya, sedangkan Allah Ta’ala juga berfirman,
وَلاَ تَيَمَّمُواْ الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِأَخِذِيهِ إِلاّ" أَن تُغْمِضُواْ فِيهِ وَاعْلَمُو"اْ أَنَّ اللهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
”Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Qs. Al Baqarah: 267)
Contoh terhadap masalah yang ditanyakan adalah jika seseorang harus mengeluarkan zakat 10.000 riyal, lalu ia hendak menagih utang dari seorang yang fakir 10.000 riyal, kemudian ia pergi ke orang fakir itu dan berkata, ”Saya sudah gugurkan darimu utang 10.000 riyal yang merupakan zakatku tahun ini.” kita katakan, ”Zakat ini tidak sah,” karena tidak sah menggugurkan utang dan menjadikannya sebagai zakat harta sebagaimana yang telah kami tunjukkan sebelumnya. Dalam masalah ini sebagian manusia keliru dan berlebihan karena ketidaktahuannya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, ”Tidak sah menggugurkan utang sebagai zakat harta tanpa ada lagi perselisihan.” (Majmu Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin 18/377) 
Bersambung...
Wallahu a’lam wa shallallau ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil alamin.
Penerjemah: Marwan bin Musa
Maraji': Maktabah Syamilah versi 3.45, https://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=40463  dll.
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger