Syarah Kitab Tauhid (46)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫لا تسبوا الدهر‬‎
Syarah Kitab Tauhid (46)
(Mencaci-Maki Masa Sama Saja Mencaci-Maki Allah Azza wa Jalla)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah, yang banyak kami rujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
**********
Bab : Orang Yang Mencaci-Maki Masa Berarti Telah Menyakiti Allah
Firman Allah Ta’ala,
وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ
Dan mereka berkata, "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa," dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja. (Qs. Al Jatsiyah: 24)
**********
Penjelasan:
Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah mencantumkan bab ini di kitab tauhidnya untuk menerangkan bahwa mencaci-maki masa sama saja telah menyakiti Allah, karena Dia yang mengatur masa.
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan pernyataan kaum atheis yang mengingkari kebangkitan, dimana mereka menyatakan, bahwa tidak ada kehidupan lagi setelah kehidupan di dunia, sebagian mereka mati, lalu sebagian lagi lahir ke dunia, dan tidak ada penyebab kematian mereka selain berlalunya masa dan bergantinya malam dan siang, maka Allah Ta’ala membantah mereka, bahwa mereka tidak memiliki hujjah terhadapnya selain persangkaan belaka, sedangkan persangkaan bukan hujjah, padahal siapa saja yang menafikan sesuatu harus menghadirkan alasannya, sebagaimana yang menetapkan sesuatu telah menghadirkan alasannya.
Kesimpulan:
1.      Menetapkan adanya kebangkitan dan bantahan terhadap orang yang mengingkarinya.
2.      Celaan bagi orang yang menisbatkan berbagai peristiwa kepada masa.
3.      Larangan mencela masa.
4.      Persangkaan tidak bisa dijadikan hujjah.
5.      Orang yang menafikan sesuatu dituntut untuk menghadirkan hujjah sebagaimana orang yang menetapkan juga.
**********
Dalam Shahih Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: " يُؤْذِينِي ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ، بِيَدِي الأَمْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Anak Adam menyakiti-Ku, ia mencaci-maki masa, padahal Aku (yang mengatur) masa. Di Tangan-Ku segala urusan, Aku membolak-balikkan malam dan siang.”
Dalam sebuah riwayat (Muslim) disebutkan,
لاَ تَسُبُّوا الدَّهْرَ، فَإِنَّ اللهَ هُوَ الدَّهْرُ
“Janganlah mencela masa, sesunggunya Allah (yang mengatur) masa.”
**********
Penjelasan:
Dalam hadits di atas Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan firman Allah Ta’ala dalam hadits qudsi, bahwa orang yang mencela masa ketika mendapatkan musibah sebenarnya mencaci-maki Allah dan menyakiti-Nya karena Allah yang mengaturnya, dan bahwa masa adalah makhluk yang diatur-Nya.
Kesimpulan:
1. Haramnya mencaci-maki masa.
2. wajibnya beriman kepada qadha dan qadar.
3.  Masa diatur oleh Allah Ta’ala.
4. Di antara manusia ada yang menyakiti Allah, namun tidak memadharatkan(membahayakan)-Nya sedikit pun.
Catatan:
Ibnu Hazm keliru ketika memasukkan Ad Dahr sebagai salah satu nama Allah Ta'ala. Hal itu, karena maksud Ad Dahr di hadits tersebut sebagaimana lanjutan haditsnya adalah, bahwa Allah yang mengatur malam dan siang.
**********
Bab : Memberi Gelar Qadhil Qudhat (Hakimnya Para Hakim) dan semisalnya
Dalam kitab Shahih dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam Beliau bersabda,
«إِنَّ أَخْنَعَ اسْمٍ عِنْدَ اللهِ رَجُلٌ تَسَمَّى مَلِكَ الْأَمْلَاكِ لَا مَالِكَ إِلَّا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ
“Sesungguhnya nama (gelar) yang paling hina di sisi Allah adalah ketika seseorang menamai dengan ‘Rajanya para raja’, padahal tidak ada raja yang memiliki kekuasaan mutlak kecuali Allah Azza wa Jalla.”
Sufyan berkata, “Contoh lainnya adalah Syahan syah.”
Dalam sebuah riwayat disebutkan,
أَغْيَظُ رَجُلٍ عَلَى اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَأَخْبَثُهُ
“Orang yang paling dimurkai Allah dan paling jahat pada hari Kiamat adalah…dst.”
**********
Penjelasan:
Hadits di atas disebutkan dalam Shahih Bukhari no. 6205 dan 6206, dan Shahih Muslim no. 2143.
Dalam hadits di atas diterangkan, bahwa memberi nama atau gelar yang menyamakan dengan Allah Azza wa Jalla dalam hal pengagungan adalah syirik dalam Rububiyyah.
Sufyan, rawi dalam hadits di atas adalah Sufyan bin Uyaynah bin Maimun bin Al Hilali seorang tsiqah (terpercaya), hafizh dan faqih (Ahli Fiqih).
Gelar yang semisal dengan qadhil qudhat adalah malikul amlaak, hakimul hukkam, sulthanus salathin, syahan syah, sayyidus saadaat, dsb.
Dalam hadits di atas Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberitahukan tentang orang yang paling hina di sisi Allah Azza wa Jalla, yaitu orang yang memberi nama atau gelar yang mengandung kebesaran yang tidak pantas disematkan kecuali kepada Allah Azza wa Jalla seperti gelar Malikul Amlak (rajanya para raja), karena di dalamnya terdapat menyamakan dengan Allah Subhanahu wa Ta’al, pelakunya yang menggelari demikian atau digelari demikian sama saja menjadi tandingan bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itulah, orang yang menamai diri dengan nama ini menjadi manusia yang paling dimurkai Allah dan paling buruk di sisi-Nya.
Hadits di atas menunjukkan terlarangnya memberi nama dan gelar dengan nama atau gelar qadhil qudhat (hakimnya para hakim) atau malikul amlak (rajanya para raja), dan semisalnya.
Kesimpulan:
1.      Haramnya memberi nama atau gelar dengan nama atau gelar qadhil qudhat dan semisalnya.
2.      Wajibnya memuliakan nama Allah Ta’ala.
3.      Dorongan untuk tawadhu dan memilih nama yang sesuai bagi makhluk serta memberi gelar yang pantas; tidak berlebihan.
**********
Bab: Memuliakan Nama Allah Ta’ala dan Mengganti Nama Untuk Tujuan Tersebut
Dari Abu Syuraih radhiyallahu anhu, bahwa dirinya dulu dipanggil Abul Hakam, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepadanya,
إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَكَمُ، وَإِلَيْهِ الْحُكْمُ،
“Sesungguhnya Allah adalah Al Hakam (Pemberi keputusan) dan kepada-Nya diserahkan keputusan hukum.”
Syuraih berkata, “Sesungguhnya kaumku ketika berselisih terhadap sesuatu, maka mereka mendatangi diriku, lalu aku berikan keputusan kepada mereka, dan kedua belah pihak meridhai keputusan itu.”
Beliau bersabda, “Alangkah bagusnya sikap itu! Lalu siapa saja anakmu?”
Aku menjawab, “Syuraih, Muslim, dan Abdullah.”
Beliau bertanya, “Siapa yang paling tua di antara mereka?”
Aku menjawab, “Syuraih.”
Beliau bersabda, “Kalau demikian, kamu berarti Abu Syuraih.” (Hr. Abu Dawud dan lainnya)
**********
Penjelasan:
Hadits di atas disebutkan dalam Sunan Abi Dawud no. 4955, Baihaqi 10/145, dan Hakim dalam Al Mustadrak 4/279. Hadits ini dishahihkan oleh Al Albani.
Abu Syuraih bernama Hani bin Yazid Al Kindiy, seorang sahabat yang tinggal di Kufah dan wafat di Madinah pada tahun 68 H, semoga Allah meridhainya.
Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengingkari sahabat yang diberi gelar dengan Abul Hakam, karena Al Hakam adalah salah satu nama Allah Ta’ala, sedangkan nama Allah Ta’ala wajib dimuliakan, lalu sahabat tersebut menyampaikan kepada Beliau sebab mengapa dirinya dipanggil demikian, yaitu bahwa dia biasa mendamaikan kaumnya yang berselisih dan menyelesaikan masalah mereka dengan penyelesaian yang disetujui kedua belah pihak, lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam menganggap baik sikap itu, namun tidak terhadap gelarnya. Oleh karena itu, Beliu mengganti gelar itu dan memanggilnya dengan Abu Syuraih.
Kesimpulan:
1.      Wajibnya memuliakan nama Allah Ta’ala dan mencegah hal yang dapat memberi kesan tidak memuliakan nama-Nya, seperti memberi gelar Abul Hakam.
2.      Al Hakam adalah salah satu nama Allah Ta’ala.
3.      Bolehnya mengadakan shulh (jalan damai) dan meminta keputusan kepada orang yang layak memberi keputusan meskipun ia bukan hakim, tentunya dalam masalah yang tidak ditegaskan hukumnya dalam syariat.
4.      Seseorang diberi kunyah (panggilan) dengan anaknya yang paling tua.
5.      Syariat mengutamakan orang yang lebih tua.
6.      Disyariatkan mengganti nama yang tidak sesuai dengan nama yang sesuai.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger