Tanya-Jawab Masalah Agama (7)

Sabtu, 12 Desember 2020

 بسم الله الرحمن الرحيم



Tanya-Jawab Masalah Agama (7)

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:

Berikut tanya jawab berbagai masalah aktual, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.

25. Pertanyaan: Assalamu'alaikum, saya pernah memakai celana dalam di pagi hari yang sudah dicuci akan tetapi ada bekas madzi yang sudah kering dan saya baru tahu ketika malam hari, bagaimana dengan shalat saya yang dikerjakan sebelumnya ustadz yang tanpa mengetahui dengan kondisi memakai celana yang ana bekas madzinya?

Jawab: Wa alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Madzi termasuk najis. Ali radhiyallahu anhu berkata,

كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً وَكُنْتُ أَسْتَحْيِى أَنْ أَسْأَلَ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ « يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ » . 

"Aku adalah seorang laki-laki yang banyak keluar madzy, aku malu bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam karena puterinya, maka aku menyuruh Miqdad bin Aswad untuk bertanya kepada Beliau, sabdanya, "Hendaknya ia cuci kemaluannya dan berwudhu'." (Muttafaq 'alaih, lafaz ini adalah lafaz Muslim)

Jika madzi mengenai badan, maka wajib dicuci dan jika mengenai pakaian maka cukup dengan dipercikkan (rasysy) dengan air. Dalil cukupnya memercikkan pakaian yang terkena madzy adalah hadits Sahl bin Hunaif, ia berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika madzi mengenai kainku?” Beliau menjawab, “Cukup bagimu dengan mengambil segenggam air, lalu kamu percikkan ke kainmu sampai kamu melihat air tersebut telah mengenainya.” (Hasan, HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)

Jika celana dalam seseorang sudah dicuci berarti sudah bersih. Dan jika seseorang shalat dengannya dan setelah shalat ternyata dilihatnya masih ada bekas madzi, maka shalatnya sah tanpa perlu diulangi. wallahu a’lam.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

Referensi: https://binbaz.org.sa/fatwas/8286/%D8%AD%D9%83%D9%85-%D9%85%D9%86-%D8%A7%D9%83%D8%AA%D8%B4%D9%81-%D8%A8%D8%B9%D8%AF-%D8%A7%D9%84%D8%B5%D9%84%D8%A7%D8%A9-%D8%A7%D9%86-%D9%81%D9%8A-%D8%AB%D9%8A%D8%A7%D8%A8%D9%87-%D9%86%D8%AC%D8%A7%D8%B3%D8%A9

26. Pertanyaan: Assalamu'alaykum. Afwan Ustad,  ana mau bertanya, bolehkah kita bermudah-mudah dalam melaknat seseorang yang berbuat dosa? Karena banyak hadits yang juga dibolehkan melaknat. Padahal di satu kisah ibunda Aisyah ketika membalas yahudi yang mendoakan keburukan kepada Rasulullah, Rasulullah sendiri menegur ibunda Aisyah. Jazaakumullah khairan atas jawabannya.

Jawab: Wa alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya sebagai berikut:

عَنْ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ، أَنَّ رَجُلًا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ اسْمُهُ عَبْدَ اللَّهِ، وَكَانَ يُلَقَّبُ حِمَارًا، وَكَانَ يُضْحِكُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ جَلَدَهُ فِي الشَّرَابِ، فَأُتِيَ بِهِ يَوْمًا فَأَمَرَ بِهِ فَجُلِدَ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ القَوْمِ: اللَّهُمَّ العَنْهُ، مَا أَكْثَرَ مَا يُؤْتَى بِهِ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ تَلْعَنُوهُ، فَوَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ إِنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ»

Dari Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu, bahwa ada seorang di zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang bernama Abdullah, namun digelari dengan ‘himar’ (keledai). Ia sering membuat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tertawa. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah menderanya karena meminum arak. Suatu ketika ia ditangkap (karena mengkonsumsi arak), maka Beliau memerintahkan untuk didera, lalu ada seorang yang hadir berkata, “Ya Allah, laknatlah dia. Sering sekali ia ditangkap.” Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kamu melaknatnya. Demi Allah, setahuku, dia cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Jumhur (mayoritas) ulama berdalih dengan hadits ini tentang haramnya melaknat pelaku maksiat secara khusus meskipun ia melakukan dosa besar seperti mengkonsumsi minuman keras dan sebagainya.

Imam Ahmad menyatakan makruh hal tersebut sebagaimana disebutkan Ibnu Taimiyah dalam Minhajus Sunnah, namun Ibnul Jauzi berpendapat boleh. Demikian pula Imam Al Balqini dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya. Mereka berdalih dengan laknat para malaikat terhadap wanita yang menolak ajakan suami ke ranjangnya.

Dalam kitab Nihayatul Muhtaj karya Ar Ramli disebutkan bolehnya melaknat jika tertuju kepada orang kafir dan fasik. Orang fasik di sini adalah pelaku dosa besar dan orang yang terus menerus melakukan dosa kecil, namun menurut jumhur sebaiknya meninggalkan hal itu.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah melaknat orang-orang kafir dengan menyebutkan nama-nama mereka dalam doa qunut, lalu Allah melarangnya dan memerintahkan untuk bersabar dan mendoakan kebaikan.

Intinya, kita tidak boleh bermudah-mudahan dalam melaknat, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ

“Orang mukmin  bukanlah orang yang suka mencela, melaknat, berkata keji, dan berkata kotor.” (HR. Bukhari dalam Al Adabul Mufrad dan dishahihkan oleh Al Albani)

مَنْ لَعَنَ مُؤْمِنًا فَهُوَ كَقَتْلِهِ

“Barang siapa yang melaknat orang mukmin, maka dia seperti membunuhnya.” (Hr. Bukhari)

Melaknat secara khusus (menyebut orangnya) hendaknya tidak dilakukan, dan tidak mengapa melaknat secara umum terhadap pelaku dosa besar karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan kebalikannya, melaknat pemakan riba dan yang memberi riba serta pencatat dan saksinya, melaknat wanita pentato dan pencabut bulu alis, dsb. Wallahu a’lam.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

Referensi: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/108345/%D8%AD%D9%83%D9%85-%D9%84%D8%B9%D9%86-%D8%A7%D9%84%D8%B9%D8%A7%D8%B5%D9%8A

27. Pertanyaan: Assalamualaikum ustad. Saya mau bertanya apakah hukumnya onani sambil membayangkan istri sendiri? Dengan kondisi suami jauh dari istri karena pekerjaan. Sedangkan suami punya kebutuhan syahwat dikhawatirkan takut terjadi perzinahan. Terimakasih ustad.

Jawab: Wa alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Onani atau istimna termasuk perbuatan yang bertentangan dengan adab dan akhlak yang mulia. Para fuqaha (Ahli Fiqih) berbeda pendapat tentang hukumnya:

Di antara mereka ada yang berpendapat haram dalam sebagian keadaan; dan tidak dalam keadaan tertentu. Ada pula yang berpendapat hanya sebagai makruh.

Adapun ulama yang berpendapat haram adalah ulama madzhab Maliki dan Syafi’i. Alasannya karena Allah memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam semua keadaan kecuali kepada istri atau budak yang dimiliki. Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (7)

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,--Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak terceIa.—Barang siapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Qs. Al Mu’minun: 5-7)

Adapun ulama yang berpendapat haram pada sebagian keadaan dan boleh dalam keadaan tertentu, maka ini merupakan pendapat ulama madzhab Hanafi. Menurut mereka, tidak mengapa melakukan onani jika khawatir jatuh ke dalam zina jika ia tidak melakukan demikian karena mengikuti kaidah ‘Irtikab Akhaffid Dharurain’ (mendatangi yang lebih ringan bahayanya).

Mereka (ulama madzhab Hanafi) juga mengatakan, bahwa onani haram jika untuk membangkitkan syahwat, dan tidak mengapa jika syahwat bergejolak, sedangkan di dekatnya tidak ada istri atau budak, lalu ia melakukan onani dengan maksud meredam syahwatnya.

Sedangkan ulama madzhab Hanbali berpendapat, bahwa hukumnya haram, kecuali jika ia khawatir jatuh ke dalam zina, atau khawatir terhadap kesehatannya, dan ia tidak memiliki istri atau budak, dan tidak mampu menikah.

Adapun Ibnu Hazm, maka ia berpendapat, bahwa onani hukumnya makruh; tidak berdosa, karena menyentuh dzakar dengan tangan kirinya adalah mubah. Di samping itu, perkara yang haram telah Allah jelaskan, dan hal ini tidak termasuk yang dijelaskan keharamannya. Allah Ta’ala berfirman,

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (Qs. Al An’aam: 119)

Ada riwayat dari generasi terdahulu, bahwa orang-orang membicarakan tentang onani, maka sebagian orang memakruhkannya, sedangkan sebagian lagi menganggap mubah. Di antara yang menganggap makruh adalah Ibnu Umar dan Atha, sedangkan yang menganggap mubah adalah Ibnu Abbas, Al Hasan, dan sebagian tabiin besar.

Al Hasan berkata, “Dahulu mereka melakukannya ketika dalam peperangan.”

(Fiqhusunnah 2/435)

Intinya, sebaiknya yang bersangkutan tidak melakukan onani dan berusaha untuk meredam syahwatnya dengan berpuasa, karena inilah yang ditunjuki oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda,

وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Barang siapa yang belum sanggup menikah, maka hendaknya ia berpuasa, karena hal itu sebagai pengebirinya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)

Di sini Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyuruh berpuasa; tidak menyuruh selain itu. Hal ini menunjukkan sebaiknya ia berpuasa untuk meredam syahwatnya, wallahu a’lam.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

28. Pertanyaan: Bagaimana hukumnya jika seorang anak menyarankan orangtuanya untuk bercerai? Sebab melihat dari keseharian kedua orang tua, sang anak berpikir bahwa lebih baik keduanya berpisah. Selain permasalahan nafkah juga salah satu dari orang tuanya semakin jauh dari ajaran Islam. Berharap team Bimbingan Islam dapat memberikan jawaban atau referensi seputar pertanyaan tersebut. Mudah-mudahan team Bimbingan Islam selalu dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala. Aamiin ya Allah. Jazaakumullah khaira, barakallahu fiikum.

Jawab: Wa alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Anak yang saleh berusaha untuk meredam pertengkaran yang terjadi pada kedua orang tuanya, bukan malah mendorong atau memanas-manasi. Memang talak hukumnya mubah, namun sebagai perkara yang dibenci. Apalagi setelah ada anak yang akibatnya anak akan terlantar, kesulitan mengunjungi orang tua, kurang mendapatkan kasih sayang, dan madharat-madharat lainnya yang muncul. Oleh karenanya, Iblis senang sekali jika terjadi perceraian antara suami dan istri bahkan memuji setan yang berhasil membuat suami-istri bercerai, karena tahu anaknya nanti mudah diperdayakan.

Oleh karena itu, cobalah seorang anak berusaha membantu meredam pertengkaran yang terjadi pada orang tuanya, baik dengan kata-kata yang halus dan sopan, maupun dengan perbuatan seperti meringankan beban keluarga. Demikian juga jika keadaannya semakin jauh dari agama, maka coba dekatkan dengan mengajak mengaji, atau menyiapkan berbagai sarana dan media untuk menyimak pengajian, dsb. wallahu a’lam.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger