Catatan Ringkas Seputar Bulan Sya’ban

Jumat, 20 April 2018
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫صيام شعبان‬‎
Catatan Ringkas Seputar Bulan Sya’ban
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang bulan Sya’ban, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Mengapa disebut Sya’ban?
Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah berkata, “Disebut Sya’ban karena berpencarnya manusia dalam mencari air atau dalam melakukan penyerangan setelah berlalu bulan haram Rajab.” (Fathul Bari 4/213)
Ada yang berpendapat, bahwa disebut Sya’ban karena banyaknya kebaikan yang dicabangkan (dihubungkan) ke bulan Ramadhan. Akan tetapi dasarnya hadits yang dhaif.
Keutamaan bulan Sya’ban
Dalam hadits Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anhu disebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya oleh Usamah tentang sebab mengapa Beliau banyak berpuasa di bulan Sya'ban, Beliau bersabda,
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Ia (Sya'ban) adalah bulan yang dilalaikan orang; berada antara Rajab dan Ramadhan. Ia adalah bulan diangkatnya amal kepada Allah Rabbul ‘alamin. Aku ingin amalanku diangkat ketika aku sedang berpuasa.”  (HR. Nasa’i, dan dihasankan oleh Al Albani)
Ahli ilmu berpendapat, “Dalam hadits tersebut terdapat dalil dianjurkannya mengisi waktu-watu yang biasa dilalaikan orang dengan ketaatan dan bahwa hal itu dicintai Allah ‘Azza wa Jalla.”
Dari Abu Musa Al Asy’ariy radhiyallahu anhu, dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Sesungguhnya Allah memperhatikan (dosa-dosa manusia) pada malam pertengahan bulan Sya’ban, lalu Dia mengampuni dosa semua manusia selain orang musyrik atau orang yang masih mengadakan permusuhan.” (Hr. Ibnu Majah, dihasankan oleh Al Albani)
Amalan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada bulan Sya’ban
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha berkata,
وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ r اِسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلَّا رَمَضَانَ, وَمَا رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِي شَعْبَانَ
"Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh selain bulan Ramadhan. Aku juga tidak pernah melihat Beliau banyak berpuasa di bulan lain seperti halnya pada bulan Sya’ban.”
Hadits di atas menunjukkan, bahwa amalan yang dilakukan pada bulan Sya’ban adalah dengan memperbanyak puasa, demikian pula menunjukkan bahwa puasa Sya’ban dilakukan dari bagian awal bulan, namun tidak setiap harinya. Hal itu karena ‘memperbanyak puasa tidak akan terwujud’ kecuali dengan memulainya dari bagian awal bulan Sya’ban, tidak pada bagian pertengahan atau akhirnya.
Ada hadits yang melarang berpuasa ketika bulan Sya’ban sudah di pertengahan (Hr. Abu Dawud dari Abu Hurairah). Sebagian ulama membawa larang tersebut kepada makruh yakni bagi yang memulainya dari pertengahan Sya’ban. Dan puasa Sya’ban menjadi haram dalam dua keadaan: (a) memulai puasa Sya’ban menjelang Ramadhan sehari atau dua hari sebelumnya (berdasarkan hadits Abu Hurairah), (b) hari yang masih meragukan (belum jelas apakah sudah masuk bulan Ramadhan atau masih bulan Sya’ban, (berdasarkan haditts Ammar bin Yasir).
Hikmah puasa Sya’ban
Di antara hikmah puasa Sya’ban adalah agar kita masuk ke dalam bulan Ramadhan tanpa merasakan kepayahan dan merasa ringan menjalakan puasa Ramadhan karena sudah biasa berpuasa sebelumnya.
Keadaan kaum salaf
Salamah bin Kuhail berkata, “Bulan Sya’ban disebut juga bulan para pembaca Al Qur’an.”
Habib bin Abi Tsabit saat memasuki bulan Sya’ban berkata, “Ini adalah bulan para pembaca Al Qur’an.”
Amr bin Qais Al Mala’i saat memasuki bulan Sya’ban menutup tokonya dan fokus membaca Al Qur’an. (Latha’iful Ma’arif hal. 138)
Sebagian kaum salaf berkata, “Rajab adalah bulan menanam, Sya’ban adalah bulan menyirami tanaman, sedangkan Ramadhan adalah bulan memetik hasilnya.” Maksudnya siapa saja yang mempersiapkan diri untuk menghadapi bulan Ramadhan dengan memohon kepada Allah taufik-nya dan membiasakan diri beramal saleh, maka dia akan mendapatkan taufik di bulan Ramadhan.
Amr bin Qais berkata, "Sungguh bahagia orang yang memperbaiki dirinya sebelum tiba bulan Ramadhan." (Latha'iful Ma'arif hal. 138)
Dua tabiin mulia yaitu Yahya bin Abi Katsir dan Makhul Asy Syami menjelang bulan Ramadhan berdoa,
اللَّهُمَّ سَلِّمْنِي لِرَمَضَانَ، وَسَلِّمْ رَمَضَانَ لِي، وَتَسَلَّمْهُ مِنِّي مُتَقَبَّلًا
"Ya Allah, jaga diriku hingga aku dapat memasuki bulan Ramadhan, jagalah bulan Ramadhan itu untukku (hingga aku tidak merusak puasa di bulan itu), dan terimalah dariku amal-amalku." (Hilyatul Auliya)
Adapun doa,  'Allahumma barik lana fii Rajab wa Sya'ban wa balighna Ramadhan' maka berasal dari hadits yang dhaif (riwayat Al Bazzar dan didhaifkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani).
Acara Nishfu Sya’ban
Pada bulan Sya’ban tidak ada peringatan Nisfu Sya’ban, baik dengan berpuasa di siang harinya maupun shalat di malamnya harinya. Hadits yang menyebutkan demikian adalah dhaif.
Imam Syaukani rahimahullah berkata dalam Al Fawaa’id Al Majmuu’ah, “Hadits yang menyebutkan, “Wahai Ali! Barang siapa shalat seratus rakaat pada malam Nishfu Sya’ban, dimana pada setiap rakaat ia membaca Al Fatihah dan Qulhuwalahu ahad sebanyak sepuluh kali, maka Allah akan memenuhi semua hajatnya,” adalah maudhu’ (palsu), dan dalam lafaznya yang tegas yang menyebutkan pahala yang akan diperoleh pelakunya terdapat sesuatu  yang menunjukkan palsunya yang tidak perlu diragukan lagi bagi orang yang mengerti, dan para perawinya juga majhul (tidak dikenal).”
Ia juga berkata dalam Al Mukhtashar, “Hadits shalat Nishfu Sya’ban adalah batil, sedangkan hadits Ibnu Hibban dari Ali yang menyebutkan, “Jika tiba malam Nishfu Sya’ban, maka lakukanlah qiyamullailnya dan berpuasalah di siang harinya” adalah dha’if.
Al Hafizh Al ‘Iraaqiy berkata, “Hadits shalat malam Nishfu Sya’ban adalah palsu mengatasnamakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan dusta.”
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Mengkhususkan puasa pada pertengahan bulan Sya’ban adalah makruh; tidak ada dalilnya.” (Majmu Fatawa 10/385)
Ia juga berkata, “Riwayat yang menyebutkan keutamaan shalat pada malam Nishfu Sya’ban semuanya maudhu (palsu).” (Majmu Fatawa 1/186).
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang benar, bahwa puasa Nishfu Sya’ban atau mengkhususkan hari itu dengan membaca Al Quran atau dzikir tertentu tidak ada dasarnya. Pertengahan bulan Sya’ban adalah seperti pertengahan bulan lainnya.” (Majmu Fatawa (20-23))
Ia juga berkata, “Melakukan qiyamullail pada malam Nishfu Sya’ban ada beberapa tingkatan:
Pertama, seseorang mempunyai kebiasaan shalat malam, dan pada malam nishfu Sya’ban ia lakukan shalat malam seperti pada malam lainnya tanpa mengkhususkannya dengan menambahkan amalan, maka hal ini tidak mengapa.
Kedua, ia melakukan shalat malam pada pertengahan bulan Sya’ban tidak pada malam hari lainnya, maka ini bid’ah.
Ketiga, melakukan shalat dalam jumlah tertentu yang ia rutin lakukan pada setiap tahunnya, maka tingkatan ini lebih bid’ah lagi daripada tingkatan kedua dan lebih jauh dari Sunnah.” (Majmu Fatawa 28/20-30).
Apakah takdir ditetapkan pada malam Nishfu Sya’ban?
Maksudnya apakah pada malam itu ditetapkan takdir yang akan terjadi dalam setahun seperti rezeki, amal, dsb.?
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak. Karena malam itu bukan malam Lailatul Qadr, sedangkan malam Lailatul Qadr terjadi di bulan Ramadhan. Allah Ta’ala berfirman, “Innaa anzalnaahu fii lailatil qadr,” yakni seseungguhnya Kami menurunkan Al Qur’an pada malam Lailatul Qadr.” (Dari situs Fatawal Ulama).
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Menyambut Bulan Sya’ban (Penulis), dll.

Hal-Hal Yang Membatalkan Shalat

Senin, 16 April 2018
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫مبطلات الصلاة‬‎
Hal-Hal Yang Membatalkan Shalat
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang hal-hal yang membatalkan shalat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Hal-Hal Yang Membatalkan Shalat
Shalat menjadi batal dan maksud daripadanya tidak tercapai karena melakukan salah satu dari perbuatan berikut:
1. Makan dan minum dengan sengaja.
Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat, bahwa barang siapa yang makan dan minum dengan sengaja[i] dalam shalat fardhu, maka ia harus mengulangi shalatnya. Hal ini berlaku pula dalam shalat sunah menurut jumhur (mayoritas) ulama, karena semua yang dapat membatalkan shalat fardhu juga dapat membatalkan shalat sunah.” [ii]
2. Berbicara dengan sengaja bukan untuk maslahat shalat
Dari Zaid bin Arqam ia berkata, “Kami pernah berbicara ketika shalat, dimana salah seorang di antara kami berbicara dengan kawannya yang berada di sampingnya ketika shalat, maka turunlah ayat,
وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
“Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu.” (Qs. Al Baqarah: 238)
sehingga kami diperintahkan diam dan dilarang berbicara.” (Hr. Jamaah Ahli Hadits)
Dari Ibnu Mas’ud ia berkata, “Dahulu kami mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam saat Beliau shalat, lalu Beliau menjawab salam kami. Saat kami pulang dari Raja Najasyi, kami mengucapkan salam kepada Beliau, namun Beliau tidak menjawab salam kami, maka kami berkata, “Wahai Rasulullah, dahulu kami mengucapkan salam kepadamu dalam shalat, lalu engkau jawab salam kami (namun sekarang tidak)? Beliau bersabda,
إِنَّ فِي الصَّلاَةِ لَشُغْلاً
“Sesungguhnya dalam shalat terdapat kesibukan (yang menghalangi seseorang dari berbicara).” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Namun jika seorang berbicara karena tidak tahu hukumnya atau lupa, maka shalatnya tetap sah. Dalilnya hadits di bawah ini:
Dari Mu’awiyah bin Hakam As Sulamiy ia berkata, “Saat aku shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tiba-tiba ada seorang yang bersin, lalu aku mengucapkan ‘Yarhamukallah’ (semoga Allah merahmatimu), maka orang-orang memperhatikan diriku, lalu aku katakan, “Aduh, malang sekali ibuku! Mengapa kalian memperhatikan diriku?” Maka mereka memukulkan tangan mereka ke pahanya, dan saat diriku mengetahui bahwa mereka menyuruhku diam, maka aku pun diam. Setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selesai shalat, maka biarlah ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, aku tidak pernah melihat sebelum dan setelahnya seorang pendidik yang lebih baik daripada Beliau. Demi Allah, Beliau tidak membentakku, tidak memukulku, dan tidak mencelaku, Beliau bersabda,
إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya shalat ini tidak layak ada ucapan manusia. Shalat itu isinya tasbih, takbir, dan bacaan Al Qur’an.” (Hr. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i)
Dalam hadits tersebut Mu’awiyah bin Hakam berbicara karena tidak tahu hukumnya, sehingga Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menyuruhnya mengulangi shalatnya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah shalat Zhuhur atau Ashar mengimami kami, lalu salam, kemudian Dzulyadain (seorang sahabat yang tangannya agak panjang) berkata kepada Beliau, “Apakah engkau mengqashar shalat atau lupa wahai Rasulullah?” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Shalat tidak diqashar dan aku tidak lupa.” Dzulyadain berkata, “Bahkan engkau lupa wahai Rasulullah.” Lalu Beliau bersabda (kepada para sahabat yang lain), “Apakah benar yang disampaikan Dzulyadain?” Para sahabat menjawab, “Ya.” Maka Beliau melakukan shalat dua rakaat lagi kemudian sujud dua kali. (Hr. Bukhari dan Muslim)
Ulama madzhab Maliki berpendapat bolehnya berbicara jika bertujuan memperbaiki shalat dengan syarat ucapannya tidak banyak menurut uruf (adat yang berlaku) dan ucapan tasbih tidak membuatnya faham.
Imam Al Auza’i berkata, “Barang siapa yang berbicara dalam shalatnya secara sengaja dengan maksud memperbaiki shalatnya, maka tidak batal shalatnya.”
Ia (Imam Al Auza’i) pernah berkata tentang orang yang shalat Ashar lalu menjaharkan bacaan Al Qur’annya, kemudian ada seorang yang berada di belakang berkata, “Ini shalat Ashar.” Maka tidak batal shalatnya.
3. Banyak melakukan gerakan dengan sengaja
Para ulama berbeda pendapat tentang batasan sedikit-banyaknya gerakan. Ada yang berpendapat, bahwa disebut banyak gerakan adalah ketika ada orang lain yang melihatnya dari jauh menganggapnya tidak dalam keadaan shalat, selain itu dianggap sedikit. Ada pula yang berpendapat, bahwa disebut banyak gerakannya ketika memberikan kesan kepada orang yang melihatnya seakan-akan pelakunya tidak dalam keadaan shalat.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya perbuatan yang tidak termasuk pekerjaan shalat, jika banyak dilakukan dapat membatalkannya tanpa ada khilaf (di antara ulama), tetapi jika sedikit, maka tidak membatalkannya tanpa ada khilaf. Demikianlah batasannya.”
Para ulama juga berbeda pendapat tentang batasan sedikit dan banyaknya gerakan hingga timbul empat pendapat, namun yang dipilih Imam Nawawi adalah pendapat keempat, dan inilah yang menurutnya shahih dan masyhur. Ini pula yang menjadi pendapat jumhur (mayoritas) ulama, yaitu bahwa dalam hal ini dikembalikan kepada uruf (adat yang berlaku), sehingga tidak masalah gerakan yang dianggap manusia sedikit, seperti berisyarat ketika menjawab salam, melepas sandal, mengangkat sorban dan meletakkannya, mengenakan pakaian ringan dan melepasnya, menggendong anak kecil atau menurunkannya, menolak orang yang lewat, menggosok ludah yang menimpa baju dan sebagainya[iii].
Adapun gerakan yang dianggap orang-orang banyak seperti langkah yang banyak dan berturut-turut  serta perbuatan yang banyak yang berturut-turut, maka dapat membatalkan shalat.
Imam Nawawi juga berkata, “Para ulama yang semadzhab sepakat, bahwa gerakan yang banyak hanyalah membatalkan apabila berturut-turut. Jika terdapat jeda, misalnya melangkah selangkah lalu diam sejenak, lalu melangkah lagi selangkah atau dua langkah, melangkah dua kali lagi yang terdapat jedanya, maka jika kita telah menyatakan, bahwa dua kali langkah tidaklah bermasalah apa-apa, dan itu berulang beberapa kali (dengan terdapat jedanya) sampai seratus langkah atau lebih, maka tidaklah membuat batal tanpa ada khilaf. Adapun gerakan yang ringan, seperti menggerakan jari pada saat menghitung tasbih, atau karena gatal, atau membuka dan mengikat, maka menurut pendapat yang shahih dan masyhur tidaklah membatalkan shalat meskipun banyak dan berturut-turut, akan tetapi hal itu makruh.
Imam Syafi’i rahimahullah menyatakan, bahwa kalau sekiranya ia menghitung jumlah ayat dengan jari tangannya, maka tidak batal shalatnya. Akan tetapi lebih utama adalah meninggalkannya.
4. Meninggalkan rukun atau syarat shalat secara sengaja dan tanpa udzur.
Hal ini berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda kepada orang Arab badui yang tidak baik shalatnya,
اِرْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ
“Kembalilah untuk shalat, karena kamu belum shalat.”
Ibnu Rusyd berkata, “Para ulama sepakat, bahwa barang siapa yang shalat dalam keadaan tidak suci (berhadats), maka dia wajib mengulangi shalatnya baik ia sengaja maupun lupa.”
Demikian pula orang yang shalat tidak menghadap kiblat secara sengaja atau lupa.
Intinya, siapa saja yang meninggalkan salah satu syarat sahnya shalat, maka harus mengulangi shalatnya[iv].
Ulama madzhab Hanafi dan Hanbali berpendapat tentang bolehnya memutuskan shalat ketika khawatir ada hartanya atau harta orang lain yang hilang meskipun sedikit, atau seorang ibu khawatir terhadap anaknya, atau anaknya merasa sakit dengan menangis, atau ketika periuk dikhawatirkan tumpah karena mendidih, atau hewan kendaraannya dikhawatirkan lari, dsb.
5. Senyum dan tertawa dalam shalat
Ibnul Mundzir menukil adanya ijma tentang batalnya shalat karena tertawa. Imam Nawawi berpendapat, bahwa hal itu jika jelas dua huruf dari tertawa itu.
Mayoritas ulama berpendapat, bahwa senyum tidak mengapa. Dan jika seorang tidak mampu menahan tawa karena dorongannya begitu kuat, maka shalatnya tidak batal jika sedikit, dan jika banyak tawa itu akan membuatnya batal. Sedangkan ukuran banyak atau sedikitnya tertawa kembali kepada uruf.
Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.


[i] Ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat, bahwa shalat tidaklah batal karena makan atau minum yang disebabkan lupa atau tidak tahu hukumnya. Demikian pula tidak batal ketika di antara gigi-giginya ada sisa-sisa makanan yang kecil di bawah ukuran kacang, lalu ia telan.
[ii]  Dari Thawus dan Ishaq, bahwa tidak mengapa minum karena itu adalah perbuatan yang ringan. Disebutkan dari Sa’id bin Jubair dan Ibnuz Zubair, bahwa keduanya minum ketika shalat sunah.
[iii] Telah disebutkan sebelumnya pembahasan tentang hal-hal yang dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam shalat atau diperintahkannya seperti membunuh dua binatang hitam, dsb.
[iv]  Perlu diketahui, bahwa tidak boleh bagi orang yang shalat melakukan perkara yang dapat merusak shalatnya tanpa uzur. Jika ada sebab, seperti menolong orang yang tertimpa bencana atau menyelamatkan orang yang tenggelam, dan sebagainya, maka ia boleh keluar dari shalat.

Syarah Kitab Tauhid (40)

Sabtu, 07 April 2018
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫اتخذوا أحبارهم ورهبانهم أربابا‬‎
Syarah Kitab Tauhid (40)
(Menaati Ulama dan Umara Dalam Mengharamkan Yang Halal atau Menghalalkan Yang Haram Sama Saja Menuhankan Mereka)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah, yang banyak kami rujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
**********
Bab : Menaati Ulama dan Umara Dalam Mengharamkan Yang Halal atau Menghalalkan Yang Haram Sama Saja Menuhankan Mereka
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata,
يُوْشِكُ أَنْ تَنْزِلَ عَلَيْكُمْ حِجَارَةٌ مِنَ السَّمَاءِ: أَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- وَتَقُوْلُوْنَ: قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ
“Hampir saja hujan batu dari langit menimpa kalian, aku mengatakan ‘Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda’, namun kalian mengatakan ‘Abu Bakar dan Umar berkata’.
Penjelasan:
Penulis (Syaikh M. At Tamimi) memasukkan masalah ini ke dalam kitab tauhidnya adalah karena ketaatan bagian dari ibadah, maka beliau mengingatkan di bab ini, bahwa ketaatan secara mutlak ditujukan kepada Allah, dan bahwa manusia siapa pun orangnya tidak boleh ditaati jika perintahnya mengandung maksiat kepada Allah Ta’ala. Demikian juga menerangkan, bahwa menaati makhluk secara mutlak meskipun isinya maksiat sama saja menjadikan mereka sebagai tuhan.
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma menyampaikan pernyataan di atas saat beliau didebat tentang masalah haji tamattu, dimana dia memerintahkan demikian karena perintah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, namun orang yang mendebatnya membantahnya dengan perkataan Abu Bakar dan Umar yang melarang haji tamattu, maka Ibnu Abbas berhujjah dengan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan menyampaikan pernyataan di atas.
Pada perkataan di atas, Ibnu Abbas mengkhawatirkan jika sekiranya Allah menurunkan hujan batu dari langit sebagai hukuman terhadap sikap mereka yang mengedepankan perkataan Abu Bakar dan Umar terhadap sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, padahal beriman kepada Beliau menghendaki untuk mengikuti Beliau dan mengedepankan sabda Beliau di atas semua perkataan manusia.
Kesimpulan:
1.      Menaati ulama dan umara saat menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal sama saja menuhankan mereka, dan termasuk bentuk kemusyrikan.
2.      Wajibnya mengedepankan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di atas semua perkataan manusia.
3.      Menyelisihi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dapat mendatangkan hukuman, lihat pula Qs. An Nur: 563)
**********
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Saya heran dengan orang-orang yang mengetahui isnad hadits dan keshahihannya, namun mereka berpegang dengan pendapat Sufyan, padahal Allah Ta’ala berfirman,
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa azab yang pedih.” (Qs. An Nuur: 63)
Tahukah engkau fitnah itu? Yaitu syirik. Boleh jadi ketika ia menolak sebagian sabda Beliau, akan terjadi dalam hatinya kesesatan sehingga dirinya binasa.”
**********
Penjelasan:
Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal lahir pada tahun 164 H dan wafat pada tahun 241 H. Beliau adalah murid Imam Syaf’i rahimahullah. Beliau dikenal dalam pencariannya terhadap hadits dan sangat mengikuti hadits dan atsar.
Imam Sufyan Ats Tsauri adalah Abu Abdillah Sufyan bin Sa’id Ats Tsauri, seorang imam yang zuhud, ahli ibadah, tsiqah (terpercaya), dan ahli fiqih, ia wafat pada tahun 161 H.
Imam Ahmad menyampaikan pernyataan di atas saat diberitahukan kepadanya tentang sebagian manusia yang meninggalkan hadits yang diketahui keshahihannya, namun beralih mengikuti pendapat Imam Sufyan atau ulama lainnya. Beliau mengingkari sikap itu dan menyampaikan ayat yang berisi ancaman bagi mereka yang menyelisihi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yaitu bisa saja mereka ditimpa fitnah (kesesatan) sehingga dirinya binasa atau tertimpa azab yang pedih.
Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata, “Jika datang hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka harus diikuti dengan senang hati.”
Imam Malik rahimahullah menyatakan, “Setiap orang bisa diambil pendapatnya dan bisa ditinggalkan selain Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Apabila kalian temukan dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka ambillah sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan tinggalkan pendapatku."
Dalam pernyataan di atas terdapat peringatan terhadap sikap mengikuti (taklid) ulama meskipun menyelisihi dalil, serta meninggalkan mengamalkan Al Qur’an dan As Sunnah, dan bahwa yang demikian merupakan syirik dalam ketaatan.
Kesimpulan:
1.      Haramnya taklid bagi orang yang tahu dalil dan tahu bagaimana beristidlal/berdalil (penuntut Ilmu).
2.      Boleh taklid bagi yang tidak tahu dalil, yakni dengan mengikuti orang yang dipercaya ilmu dan agamanya dari kalangan para ulama, lihat Qs. An Nahl: 43 dan Al Anbiya: 7.
**********
Dari Addiy bin Hatim radhiyallahu anhu, bahwa ia mendengar Nabi shallallahu alaihi wa sallam membacakan ayat ini,
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللهِ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.” (Qs. At Taubah: 31)
Maka saya berkata kepada Beliau, “Kami tidak menyembah mereka.”
Beliau bersabda,
أَلَيْسَ يُحَرِّمُوْنَ مَا أَحَلَّ اللهُ فَتُحَرِّمُوْنَهُ، وَيُحِلُّوْنَ مَا حَرَّمَ اللهُ، فَتُحِلُّوْنَهُ؟
“Bukankah ketika mereka mengharamkan yang Allah halalkan, maka kalian ikut mengharamkan, dan ketika mereka menghalalkan yang Allah haramkan, kalian ikut menghalalkan?”
Aku menjawab, “Ya.”
Beliau bersabda,
فَتِلْكَ عِبَادَتُهُمْ
“Seperti itulah menyembah mereka.”
(Hr. Ahmad dan Tirmidzi, ia menghasankannya)
Penjelasan:
Addiy bin Hatim Ath Tha’iy adalah seorang sahabat yang masyhur. Sebelumnya ia beragama Nasrani lalu masuk Islam pada tahun ke-9 H atau 10 H. Ia hadir dalam penaklukkan Irak, lalu tinggal di Kufah, dan ikut hadir dalam perang Shiffin bersama pasukan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu. Ia wafat pada tahun 68 H dalam usia 120 tahun.
Hadits di atas menerangkan, bahwa saat Addi bin Hatim mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membacakan ayat di atas yang di dalamnya terdapat berita tentang keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menjadikan orang alim dan rahib mereka sebagai tuhan, Addi masih belum memahami maknanya, karena menurutnya ibadah itu dengan melakukan sujud dan semisalnya, sedangkan dirinya tidak sujud kepada tokoh-tokoh mereka. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menerangkan, bahwa menaati orang-orang alim dan rahib secara mutlak ketika mereka mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram juga sama saja menyembah mereka.
Intinya menaati makhluk secara mutlak saat mereka mengharamkan yang halal atau sebaliknya sama saja menyembahnya, apalagi dalam menetapkan undang-undang atau membuat aturan yang menyelisihi hukum Allah Ta’ala.
Kesimpulan:
1.      Menaati ulama atau umara dalam merubah hukum Allah Ta’ala atau ketika mereka menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal sama saja menyembah mereka.
2.      Menghalalkan dan mengharamkan adalah hak Allah Ta’ala.
3.      Penjelasan tentang salah satu macam syirik, yaitu syirik dalam ketaatan.
4.      Disyariatkan mengajarkan orang yang tidak tahu.
5.      Ibadah cakupannya luas, bukan hanya sujud dan ruku, bahkan semua yang dicintai Allah dan diridhai-Nya berupa ucapan, amalan baik lahir maupun batin merupakan ibadah.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan), Al Ishabah fi Tamyizish Shahabah (Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani), Fathul Majid (Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger