Dzikr Setelah Shalat

Senin, 30 November 2015
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫الأذكار بعد الصلاة المفروضة‬‎
Dzikr Setelah Shalat
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut dzikr setelah shalat yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Dzikr setelah shalat
Telah datang riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan dzikr dan doa setelah Beliau salam, dimana seorang yang selesai shalat disunahkan membacanya. Berikut ini sebagian di antaranya:
1. Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika selesai shalat beristighfar kepada Allah (mengucapkan astaghfirullah) sebanyak tiga kali, kemudian mengucapkan,
اَللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ، تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
Ya Allah, Engkau Maha Penyelamat, dari-Mulah keselamatan, Maha banyak kebaikannya Engkau, wahai Pemilik keagungan dan kemuliaan.” (HR. Jamaah selain Bukhari. Imam Muslim menambahkan, “Al Walid berkata, “Aku bertanya kepada Al Auza’i, “Bagaimana istighfar itu?” Ia menjawab, “Yaitu mengucapkan, “Astaghfirullah. Astaghfirullah. Astaghfirullah.”(artinya: aku memohon ampun kepada Allah)).
Jika sebagai imam, maka setelah membaca dzikr di atas, hendaknya ia berbalik menghadap ke arah makmum[i].
2. Dari Mughirab bin Syu’bah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah shalat fardhu mengucapkan,
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
Artinya: “Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan dan milik-Nya segala pujian. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan dan tidak ada yang dapat memberikan jika Engkau menghalangi serta tidaklah bermanfaat bagi seseorang kekayaannya (yang bermanfaat adalah iman dan amal saleh).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abdullah bin Az Zubair ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika salam di akhir shalat mengucapkan,
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
Artinya: “Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan dan milik-Nya pujian. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah. Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan kami tidak menyembah selain kepada-Nya. Milik-Nya kenikmatan, karunia, dan pujian yang baik. Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah sambil beribadah hanya kepada-Nya meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.” (HR. Ahmad, Muslim, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i).
Dari Abdurrahman bin Ghanam, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang sebelum berbalik dan melipat kakinya pada shalat Subuh dan Maghrib membaca,
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ يُحْيِي وَيُمِيْتُ  وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: “Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan dan milik-Nya pujian. Di Tangan-Nya segala kebaikan; Dia menghidupkan dan mematikan. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Sebanyak 10 kali, maka akan dicatat pada setiap masing-masingnya sepuluh kebaikan, dihapus sepuluh kesalahan, ditinggikan sepuluh derajat, menjadi penjaganya dari hal-hal yang tidak dinginkan dan penjaganya dari setan yang terkutuk, dan tidak berhak sebuah dosa membinasakannya kecuali dosa syirk. Ia juga akan menjadi manusia paling baik amalnya, kecuali ada orang yang mengunggulinya dalam ucapan itu.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, namun Tirmidzi tidak menyebutkan kata “Biyadihil khair,” dan dinyatakan hasan lighairih oleh Pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah).
3. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang bertasbih (mengucapkan Subhaanallah) setelah shalat 33 kali, bertahmid kepada Allah (mengucapkan Alhamdulillah) 33 kali, dan bertakbir (mengucapkan Allahu akbar) 33 kali, sehingga menjadi 99 kali, kemudian ia sempurnakan menjadi seratus dengan mengucapkan,
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: “Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan dan milik-Nya pujian. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Maka akan diampuni dosa-dosanya meskipun sebanyak buih di lautan.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)
Dosa-dosa di sini adalah dosa-dosa kecil.
Dari Ka’ab bin Ujrah, dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
مُعَقِّبَاتٌ لَا يَخِيبُ قَائِلُهُنَّ - أَوْ فَاعِلُهُنَّ - دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ، ثَلَاثٌ وَثَلَاثُونَ تَسْبِيحَةً، وَثَلَاثٌ وَثَلَاثُونَ تَحْمِيدَةً، وَأَرْبَعٌ وَثَلَاثُونَ تَكْبِيرَةً
“Kalimat setelah fardhu yang beriringan; dimana orang yang mengucapkannya atau mengamalkannya tidak akan rugi, yaitu bertasbih sebanyak 33 kali, bertahmid 33 kali, dan bertakbir 34 kali.” (HR. Muslim)
Dari Abdullah bin ‘Amr, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
«خَصْلَتَانِ، أَوْ خَلَّتَانِ لَا يُحَافِظُ عَلَيْهِمَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ، هُمَا يَسِيرٌ، وَمَنْ يَعْمَلُ بِهِمَا قَلِيلٌ، يُسَبِّحُ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ عَشْرًا، وَيَحْمَدُ عَشْرًا، وَيُكَبِّرُ عَشْرًا، فَذَلِكَ خَمْسُونَ وَمِائَةٌ بِاللِّسَانِ، وَأَلْفٌ وَخَمْسُ مِائَةٍ فِي الْمِيزَانِ، وَيُكَبِّرُ أَرْبَعًا وَثَلَاثِينَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ، وَيَحْمَدُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، وَيُسَبِّحُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، فَذَلِكَ مِائَةٌ بِاللِّسَانِ، وَأَلْفٌ فِي الْمِيزَانِ»
“Dua perkara yang jika dijaga oleh seorang hamba yang muslim akan memasukkannya ke surga. Kedua perkara itu mudah, namun yang mengamalkannya sedikit, yaitu bertasbih 10 kali di akhir shalat, bertahmid 10 kali, dan bertakbir 10 kali. Itu semua menjadi 150 di lisan dan 1500 di timbangan. Dia juga bertakbir sebanyak 34 kali ketika di tempat tidur, bertahmid 33 kali, dan bertasbih 33 kali. Itu semua menjadi 100 di lisan dan 1000 di timbangan.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
Abdullah bin Amr menyatakan, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghitung kalimat itu dengan tangannya (jarinya).” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Dari Ali radhiyallahu ‘anhu, ketika itu ia bersama istrinya Fathimah radhiyallahu ‘anha datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta pembantu untuk meringankan sebagian pekerjaan mereka, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menolaknya dan bersabda, “Maukah kamu berdua aku beritahukan sesuatu yang lebih baik daripada apa yang kamu minta?” Mereka berdua menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “(Yaitu mengucapkan) kalimat yang diajarkan kepadaku oleh Jibril alaihis salam; kamu berdua bertasbih setelah shalat 10 kali, bertahmid 10 kali, dan bertakbir 10 kali. Dan ketika kamu menuju tempat tidur, maka kamu bertasbih 33 kali, bertahmid 33 kali, dan bertakbir 34 kali.” Ali berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah meninggalkannya sejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkannya kepadaku.”
4. Dari Abu Umamah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang membaca Ayat Kursi setelah shalat, maka tidak ada yang menghalanginya masuk surga selain kematian.” (HR. Nasa’i, Ibnu Hubban, dan Thabrani, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6464)
Ayat kursi adalah surat Al Baqarah ayat 255.
Dari Al Hasan bin Ali ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang membaca Ayat Kursi setelah shalat fardhu, maka ia berada dalam perlindungan Allah sampai shalat berikutnya.” (HR. Thabrani dalam Al Kabir, dan dinyatakan isnadnya hasan oleh Al Haitsami dalam Majma’uz Zawaid 2/148)
5. Dari Uqbah bin Amir ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhku membaca mu’awwidzatain (surat Al Falaq dan An Naas) setelah shalat.” Dalam lafaz Ahmad dan Abu Dawud disebutkan, “Membaca mu’awwidzat (surat Al Ikhlas, Al Falaq, dan An Naas).” (HR. Ahmad, Bukhari, dan Muslim).
6. Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika salam dari shalat Subuh mengucapkan,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا
“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amal yang diterima.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani).
Marwan bin Musa
Maraji': Al Maktabatusy Syamilah versi 3.45, Fiqhus Sunah (Syaikh Sayyid Sabiq), Majma’uz Zawaid (Ali bin Abu Bakr Al Haitsami), Hishnul Muslim (Dr. Sa’id Al Qahthani), dll.


[i] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sepatutnya bagi makmum tidak bangkit sampai imam berpaling, yakni berpindah dari arah kiblat (menghadap makmum), dan tidak patut bagi imam duduk setelah salam terus-menerus menghadap kiblat kecuali seukuran istighfar tiga kali dan mengucapkan, “Allahumma antas salaam wa minkas salam, tabaarakta yaa dzal jalaali wal ikraam.”
Dari Samurah bin Jundab ia berkata, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam apabila telah selesai shalat, maka Beliau menghadap kami dengan wajahnya.” (HR. Bukhari)

Fawaid Riyadhush Shalihin (3)

Sabtu, 28 November 2015
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫الحديث النبوي‬‎
Fawaid Riyadhush Shalihin (3)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut Fawaid (Kandungan Hadits) Riyadhush Shalihin yang banyak kami rujuk dari kitab Syarh Riyadhush Shalihin karya Syaikh Faishal bin Abdul Aziz An Najdiy.  semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
BAB : TAUBAT
Para ulama berkata, “Taubat wajib dilakukan dari setiap dosa. Jika sebuah kemaksiatan hanya terjadi antara seorang hamba dengan Allah Ta’ala; tidak ada kaitannya dengan hak manusia, maka ada tiga syarat yang harus terpenuhi, yaitu:
1. Berhenti dari maksiat itu.
2. Menyesal terhadapnya.
3. Berniat keras untuk tidak mengulanginya lagi selama-lamanya.
Jika salah satu syarat ini hilang, maka tidak sah taubatnya.
Dan jika sebuah kemaksiatan terkait dengan hak manusia, maka syaratnya ada empat, yaitu: tiga syarat yang disebutkan di atas dan yang keempat adalah membebaskan diri dari hak pemiliknya. Jika hak itu berupa harta atau sejenisnya, maka ia kembalikan kepadanya. Jika berupa dakwaan zina atau yang semisal dengannya, maka ia berikan kesempatan kepadanya untuk membalas atau meminta maafnya. Jika berupa ghibah, maka ia meminta penghalalan (meminta dimaafkan). Seseorang wajib bertaubat dari semua dosa. Jika seseorang hanya bertaubat pada sebagiannya, maka tetap sah taubatnya dari dosa yang dimaksudkan itu, demikianlah pendapat ulama yang berada di atas yang haq (kebenaran), namun dosa-dosa yang lain tetap saja ada. Sudah jelas dalil-dalil dalam Al Qur’an, As Sunnah, dan ijma umat yang menunjukkan wajibnya taubat. Allah Ta’ala berfirman,
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertaubatlah kalian semua wahai orang-orang yang beriman agar kalian beruntung.” (QS. An Nuur: 31)
اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ
“Minta ampunlah kalian kepada Rabb kalian dan bertaubatlah kepada-Nya.” (QS. Huud: 3)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحاً
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At Tahrim: 8)
عَن أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «وَاللَّهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي اليَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً»
(13) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku meminta ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya sehari lebih dari tujuh puluh kali.” (HR. Bukhari)
Fawaid:
1. Dorongan untuk banyak beristighfar dan bertaubat.
2. Ibnu Baththal berkata, “Para nabi adalah manusia yang paling giat beribadah karena pengetahuan yang Allah Ta’ala berikan kepada mereka. Mereka senantiasa besyukur kepada-Nya namun merasakan kekurangan (sehingga banyak beristigfar dan bertaubat).” Inilah kesempurnaan.
عَنِ الْأَغَرِّ بْنِ يَسَارٍ الْمُزَنِيِّ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللهِ، فَإِنِّي أَتُوبُ، فِي الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ، مَرَّةٍ»
(14) Dari Aghar bin Yasar Al Muzanniy radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia! Bertaubatlah kalian kepada Allah. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Nya dalam sehari seratus kali.” (HR. Muslim)
Fawaid:
1. Wajibnya beristighfar dan bertaubat.
2. Perintah memperbanyak istighfar dan taubat, karena seorang hamba tidak lepas dari dosa dan kekurangan.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اللَّهُ أَفْرَحُ بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ، سَقَطَ عَلَى بَعِيرِهِ، وَقَدْ أَضَلَّهُ فِي أَرْضِ فَلاَةٍ » . مُتَّفَقٌ عليه.
وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلمٍ: لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ، مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ، فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ، فَأَيِسَ مِنْهَا، فَأَتَى شَجَرَةً، فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا، قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ، فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا، قَائِمَةً عِنْدَهُ، فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا، ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ: اللهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ، أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ» .
(15) Dari Anas radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah lebih gembira dengan taubat hamba-Nya daripada salah seorang di antara kalian yang jatuh dari untanya, dan ia telah tersesat di padang pasir yang luas (kemudian menemukan untanya kembali).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam sebuah riwayat Muslim disebutkan, “Sesungguhnya Allah lebih bergembira dengan taubat hamba-Nya saat ia bertaubat kepada-Nya daripada salah seorang di antara kalian yang berada di atas untanya di padang pasir yang luas kemudian untanya hilang, padahal di atasnya ada makanannya dan minumannya, sehingga ia pun putus asa mencarinya, lalu ia mendatangi sebuah pohon dan berbaring di bawah naungannya karena sudah putus asa terhadap untanya. Ketika keadaannya demikian, ternyata untanya telah berdiri di dekatnya, ia pun segera memegang tali kendalinya kemudian berkata karena saking gembiranya, “Ya Allah, Engkau hamba-Ku dan aku tuhanmu.” Ia salah ucap karena begitu gembiranya.”
Fawaid:
1.    Kecintaan Allah kepada taubat hamba-Nya, dan bahwa Dia bergembira dengan kegembiraan yang sesuai dengan keagungan-Nya.
2.    Ucapan yang dilontarkan seseorang ketika riang tanpa terkendali tidaklah dihukumi apa-apa.
3.    Membuat permisalan yang dapat dirasakan agar bisa dicerna oleh akal pikiran.
4.    Keutamaan pasrah kepada Allah Ta’ala.
عَنْ أَبِي مُوْسَى عَبْدِ اللَّهِ بنِ قَيْسٍ الأَشْعَرِيِّ، رَضِيَ الله عنه، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ النَّهَارِ، وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ اللَّيْلِ، حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا»
(16) Dari Abu Musa Abdullah bin Qais Al Asy’ariy radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla membentangkan Tangan-Nya di malam hari agar orang yang melakukan kesalahan di siang hari bertaubat. Dia juga membentangkan Tangan-Nya di siang hari agar orang yang melakukan kesalahan di malam hari bertaubat. Yang demikian terus menerus sampai matahari terbit dari barat.” (HR. Muslim)
Fawaid:
1. Perintah untuk bertaubat kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala agar Dia menerima taubat mereka.
2. Menetapkan sifat “Tangan” bagi Allah yang sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya. Oleh karena itu, wajib mengimaninya dan tidak menanyakan kaifiyatnya.
3. Syarat diterimanya taubat adalah selama matahari belum terbit dari barat.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ تَابَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا، تَابَ اللهُ عَلَيْهِ»
(17) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang bertaubat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan menerima taubatnya.” (HR. Muslim)
Fawaid:
Taubat diterima selama pintunya masih terbuka, yaitu ketika matahari belum terbit dari barat. Hal ini seperti firman Allah Ta’ala di surat Al An’aam: 158.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ العَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ»
(18) Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah akan menerima taubat seorang hamba selama ruhnya belum sampai di tenggorokan.” (HR. Tirmidzi, dan dihasankan oleh Al Abani)
Fawaid:
Pintu taubat masih tetap terbuka selama ruh belum sampai di tenggorokan dan selama matahari belum terbit  dari barat. Lihat QS. An Nisaa’: 18.
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji': Syarh Riyadh Ash Shalihin (Syaikh Faishal bin Abdul Aziz An Najdiy), Syarh Riyadh Ash Shalihin (Muhammad bin Shalih Al Utsaimin),  Bahjatun Nazhirin (Salim bin ’Ied Al Hilaliy), Al Maktabatusy Syamilah versi 3.45, dll.

Syarah Kitab Tauhid (9)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫التوحيد حق الله على العبيد‬‎
Syarah Kitab Tauhid (9)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, yang kami rujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
**********
BAB : TAFSIRAN TAUHID DAN SYAHADAT LAAILAAHAILLALLAH
Allah Ta’ala berfirman,
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَهًا وَاحِدًا لاَّ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (mereka juga mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah: 31)
**********
Firman Allah Ta’ala, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah,” yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Mereka menjadikan tokoh-tokoh mereka sebagai tuhan selain Allah dalam arti yang menetapkan syariat untuk mereka; yang menghalalkan dan mengharamkan. Padahal yang berhak menetapkan syariat hanyalah Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Bahkan apa saja yang dihalalkan oleh tokoh-tokoh mereka, maka mereka mengikutinya meskipun hal itu diharamkan Allah.  Dan apa saja yang diharamkan oleh tokoh-tokoh mereka, maka mereka mengikutinya meskipun hal itu dihalalkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di antara kaum yang mengikuti jejak mereka (Yahudi dan Nasrani) adalah orang-orang Syi’ah. Apa saja yang dihalalkan oleh imam-imam mereka, meskipun diharamkan Allah, maka mereka ikuti. Dan apa saja yang diharamkan oleh imam-imam mereka, maka mereka haramkan, meskipun hal itu dihalalkan Allah Subhanaahu wa Ta’ala.
Orang-orang Nasrani juga menuhankan Al Masih putera Maryam dengan menyembah dan beribadah kepadanya. Padahal mereka tidak diperintahkan melainkan hanya menyembah dan beribadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala sebagaimana yang telah disebutkan dalam kitab-kitab mereka dan diingatkan oleh nabi-nabi mereka.
Ayat yang disebutkan oleh penulis (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) di atas menunjukkan, bahwa termasuk makna tauhid adalah mengesakan Allah Azza wa Jalla dalam ketaatan; hanya Allah saja yang berhak menetapkan syariat, menghalalkan dan mengharamkan. Demikian pula menunjukkan, bahwa barang siapa mengikuti seseorang dalam hal menghalalkan dan mengharamkan bertentangan dengan apa yang Allah halalkan dan Allah haramkan, maka berarti dia telah menjadikannya tuhan di samping Allah Subhaanahu wa Ta’ala.
Kesimpulan:
1.    Termasuk kandungan tauhid adalah menaati Allah Azza wa Jalla dalam hal menghalalkan dan mengharamkan.
2.    Barang siapa yang menaati seseorang ketika menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, maka ia sama saja telah menjadikannya sekutu bagi Allah.
3.    Bantahan terhadap orang-orang Nasrani yang menuhankan Nabi Isa ‘alaihis salam dan menyatakan bahwa Beliau adalah anak tuhan, padahal Isa ‘alaihi salam adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Dan bahwa Nabi Isa ‘alaihi salam sebagaimana nabi-nabi yang lain sama-sama menyeru manusia menyembah hanya kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala (Lihat QS. Al Maidah: 72).
4.    Sucinya Allah dari sekutu dan tandingan.
**********
Firman Allah Ta’ala,
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللهِ أَندَاداً يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللهِ وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَشَدُّ حُبًّا لِّلّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُواْ إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلّهِ جَمِيعاً وَأَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah sangat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (QS. Al Baqarah: 165)
**********
Dalam ayat di atas, Allah Subhaanahu wa Ta’ala menyebutkan keadaan kaum musyrik di dunia dan tempat kembali mereka di akhirat, dan bahwa mereka akan menyesal dengan penyesalan yang dalam. Yang demikian adalah karena mereka mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah. Mereka mencintai tandingan itu sehingga membelanya mati-matian. Selanjutnya Allah menyebutkan keadaan orang-orang yang beriman yang mentauhidkan-Nya, bahwa mereka mencintai Allah melebihi cintanya orang-orang musyrik kepada tandingan-tandingan itu atau melebihi cintanya mereka kepada Allah. Hal itu, karena kecintaan orang-orang mukmin kepada Allah adalah murni, sedangkan kecintaan orang-orang musyrik kepada Allah bercampur dengan kecintaan kepada tandan-tandingan. Kemudian Allah mengancam orang-orang musyrik, bahwa kalau sekiranya mereka melihat azab yang disiapkan bagi mereka pada hari Kiamat karena kemusyrikan mereka, tentu mereka akan menyesal sejadi-jadinya atau mereka akan segera berhenti dari kemusyrikan itu sewaktu di dunia.
Ayat di atas merupakan salah satu di antara sekian ayat yang menerangkan makna tauhid, yakni barang siapa yang mengadakan tandingan bagi Allah, dimana ia mencintainya sebagaimana mencintai Allah, maka berarti dia telah berbuat syirk. Dari sini kita ketahui, bahwa termasuk makna tauhid adalah mengesakan Allah dalam hal cinta semacam ini; yang menghendaki untuk memurnikan ibadah hanya kepada-Nya, tunduk, dan menghinakan diri kepada-Nya.
Kesimpulan:
1.    Termasuk makna tauhid adalah mengesakan Allah Ta’ala dalam hal cinta yang menghendaki untuk tunduk dan menghinakan diri.
2.    Orang-orang musyrik juga mencintai Allah, akan tetapi tidak memasukkan mereka ke dalam Islam, karena mereka menyertakan yang lain di samping Allah dalam hal kecintaan semacam ini.
3.    Syirk merupakan kezaliman, karena Allah menyebutkan pelakunya sebagai orang-orang zalim, dan karena arti zalim adalah menempatkan sesuatu bukan tempatnya, ketika seseorang mengarahkan ibadah bukan kepada yang berhak diibadahi, maka berarti ia telah berbuat zalim.
4.    Ancaman untuk orang-orang musyrik pada hari Kiamat.
**********
Dalam Kitab Shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau bersabda,
مَنْ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مَنْ دُونِ اللهِ، حَرُمَ مَالُهُ، وَدَمُهُ، وَحِسَابُهُ عَلَى اللهِ
“Barang siapa yang menyatakan tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan kafir kepada semua yang disembah selain Allah, maka harta dan darahnya menjadi terpelihara, dan hisabnya diserahkan kepada Allah.”
Penjelasan tentang bab ini akan diterangkan pada bab-bab selanjutnya.
**********
Hadits yang disebutkan di atas ada dalam Shahih Muslim (23) dan Musnad Ahmad (3/472).
Maksud, “hisabnya diserahkan kepada Allah,” adalah bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’ala yang akan menghisab orang yang mengucapkan kalimat tersebut (Laailaahaillallah), lalu Dia membalasnya sesuai niat dan keyakinannya.
Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa untuk terpelihara harta dan darah seseorang, maka harus terpenuhi dua syarat, yaitu menyatakan Laailaahaillallah dan kafir kepada semua yang disembah selain Allah. Jika kedua hal ini ada pada diri seseorang, maka kita wajib menahan diri darinya secara lahiriah, dan kita serahkan urusan batinnya kepada Allah. JIka hatinya jujur, maka Allah akan membalasnya dengan surga yang penuh kenikmatan, dan jika hatinya mendustakannya seperti halnya orang-orang munafik, maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang pedih. Adapun di dunia ini, maka kita menghukumi atas dasar lahiriahnya.
Hadits di atas termasuk di antara selian dalil yang menerangkan makna Laailaahaillallah, bahwa maknanya adalah meniadakan sesembahan selain Allah dan menetapkan bahwa yang berhak disembah hanyalah Allah Subhaanahu wa Ta’ala.
Kesimpulan:
1.    Menyatakan Laailaahaillallah menghendaki untuk mengingkari semua sesembahan selain Allah.
2.    Barang siapa yang menyatakan Laailaahaillallah dan mengamalkan syariatnya secara lahiriah, maka wajib menahan diri daripadanya sampai nyata darinya perbuatan yang menyalahinya.
3.    Hukum di dunia dibangun atas hal yang tampak, adapun di akhirat maka dibangun di atas niat dan keyakinan.
4.    Terpeliharanya harta dan darah seorang muslim.
Bersambung...
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.

Fawaid Riyadhush Shalihin (2)

Rabu, 25 November 2015
بسم الله الرحمن الرحيم
Fawaid Riyadhush Shalihin (2)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut Fawaid (Kandungan Hadits) Riyadhush Shalihin yang banyak kami rujuk dari kitab Syarh Riyadhush Shalihin karya Syaikh Faishal bin Abdul Aziz An Najdiy.  semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
عَنْ أَبِي مُوسَى، قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الرَّجُلِ يُقَاتِلُ شَجَاعَةً، وَيُقَاتِلُ حَمِيَّةً، وَيُقَاتِلُ رِيَاءً، أَيُّ ذَلِكَ فِي سَبِيلِ اللهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا، فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ» (مُتَّفَقٌ عَلَيهِ)
(8) Dari Abu Musa ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seseorang yang berperang untuk menunjukkan keberanian, ada pula yang berperang karena kesombongan, dan ada pula yang berperang karena riya, manakah yang termasuk fii sabilillah?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang berperang agar kalimat Allah –Laailaahaillallah- menjadi tinggi, maka itulah fii sabilillah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Fawaid (Kandungan hadits):
1. Amal dinilai tergantung niatnya.
2. Celaan terhadap amal yang tujuannya untuk kepentingan pribadi. Meskipun amal tersebut adalah amal mulia, seperti jihad.
3. Keutamaan yang diberikan Allah kepada para mujahid adalah bagi mereka yang berjihad untuk meninggikan agama Allah.
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قَالَ: «إِذَا التَقَى المُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالقَاتِلُ وَالمَقْتُولُ فِي النَّارِ» ، فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا القَاتِلُ فَمَا بَالُ المَقْتُولِ قَالَ: «إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ»
(9) Dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kedua orang muslim berhadap-hadapan dengan masig-masing pedangnya, maka yang membunuh maupun yang terbunuh di neraka.” Aku pun bertanya, “Wahai Rasulullah, ini yang membunuh (memang layak masuk neraka), namun mengapa yang terbunuh juga masuk neraka?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya orang yang terunuh itu ingin sekali membunuh saudaranya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Fawaid:
1. Seseorang mendapatkan balasan sesuai niatnya.
2. Hukuman bagi orang yang berniat melakukan kemaksiatan dan berusaha mewujudkannya, namun tidak berhasil karena ada penghalang dari luar.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي جَمَاعَةٍ تَزِيدُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ، وَصَلَاتِهِ فِي سُوقِهِ، بِضْعًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً، وَذَلِكَ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ، ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ لَا يَنْهَزُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ، لَا يُرِيدُ إِلَّا الصَّلَاةَ، فَلَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ، وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ، حَتَّى يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ، فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ فِي الصَّلَاةِ مَا كَانَتِ الصَّلَاةُ هِيَ تَحْبِسُهُ، وَالْمَلَائِكَةُ يُصَلُّونَ عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي مَجْلِسِهِ الَّذِي صَلَّى فِيهِ، يَقُولُونَ: اللهُمَّ ارْحَمْهُ، اللهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، اللهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ، مَا لَمْ يُؤْذِ فِيهِ، مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ "
(10) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat seseorang dengan berjamaah melebihi shalatnya ketika di rumah dan di pasar dengan dua puluhan lebih derajat. Yang demikian adalah, karena jika salah seorang di antara mereka berwudhu dan memperbagus wudhunya, kemudian mendatangi masjid, dimana tidak ada yang mendorongnya kecuali untuk shalat (berjamaah), tidak ada yang ia inginkan kecuali shalat, maka tidaklah ia melangkah satu langkah kecuali akan diangkat derajat karenanya dan digugurkan satu kesalahan sehingga ia masuk ke masjid. Jika ia telah masuk ke masjid, maka ia berada dalam shalat selama shalat itu yang menahannya berada di masjid. Dan para malaikat mendoakan salah seorang di antara kalian ketika berada di tempat shalatnya sambil mengucapkan, “Ya Allah rahmatilah dia. Ya Allah, ampunilah dia. Ya Allah, terimalah taubatnya.” Selama ia tidak mengganggu orang lain dan selama ia belum berhadats.” (HR. Bukhari dan Muslim, ini adalah lafaz Muslim)
Fawaid:
1. Keutamaan niat yang ikhlas dalam beramal. Hal ini diisyaratkan dalam hadits tersebut, “dimana tidak ada yang mendorongnya kecuali untuk shalat (berjamaah).
2. Keutamaan shalat berjamaah dan bahwa derajat yang diperolehnya karena beberapa sebab seperti yang disebutkan dalam hadits di atas.
3. Di antara keutamaan shalat berjamaah lainnya adalah: berkumpul dan saling membantu di atas ketaatan, membuat akrab dengan tetangga dan masyarakat, selamat dari sifat munafik dan sangkaan buruk terhadapnya, mendapatkan doa malaikat dan permohonan ampunan mereka untuknya, dll.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فِيمَا يَرْوِي عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ: قَالَ: «إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ، فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ، وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً»
(11) Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, dimana Beliau meriwayatkan dari Rabbnya Azza wa Jalla, Dia berfirman, “Sesungguhnya Allah mencatat kebaikan dan keburukan, kemudian Dia menjelaskannya. Barang siapa yang berniat mengerjakan kebaikan, namun tidak jadi melakukannya, maka Allah akan mencatat di sisi-Nya sebagai sebuah kebaikan yang sempurna. Jika dia berniat mengerjakan kebaikan, lalu ia amalkan, maka Allah catat untuknya sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus kebaikan, dan sampai kelipatan yang banyak di sisi-Nya. Barang siapa yang berniat mengerjakan keburukan, namun tidak jadi ia lakukan, maka Allah akan mencatat sebuah kebaikan yang sempurna di sisi-Nya. Jika dia berniat mengerjakan keburukan, lalu ia lakukan, maka Allah akan catat satu keburukan.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Fawaid:
1. Luasnya karunia Allah dan kemurahan-Nya.
2. Orang yang berniat melakukan keburukan ada empat keadaan: (a) jika dilakukan akan dicatat satu kesalahan, (b) jika tidak jadi dilakukan karena ada penghalang dari luar (padahal dirinya berusaha melakukannya), maka orang ini dicatat sebagi pelaku maksiat, ia akan mendapatkan dosa sesuai maksiat yang hendak ia lakukan, lihat hadits Abu Bakrah sebelumnya (c) jika tidak jadi dilakukan karena sebab dari dalam dirinya (dirinya takut kepada Allah dan ingin memperoleh ridha-Nya), maka ia akan mendapatkan pahala karena taubatnya ini, serta mengganti keburukannya dengan kebaikan dan menghapus dosanya (lihat QS. Al Furqan: 68-70), (d) seorang yang berniat mengerjakan keburukan, namun tidak jadi ia lakukan karena taat kepada Allah, maka akan dicatat untuknya satu kebaikan yang sempurna (berdasarkan hadits di atas).
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ - رضى الله عنهما - قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : « انْطَلَقَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَتَّى أَوَوُا الْمَبِيتَ إِلَى غَارٍ فَدَخَلُوهُ ، فَانْحَدَرَتْ صَخْرَةٌ مِنَ الْجَبَلِ فَسَدَّتْ عَلَيْهِمُ الْغَارَ فَقَالُوا : إِنَّهُ لاَ يُنْجِيكُمْ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ إِلاَّ أَنْ تَدْعُوا اللَّهَ بِصَالِحِ أَعْمَالِكُمْ . فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمُ : اللَّهُمَّ كَانَ لِى أَبَوَانِ شَيْخَانِ كَبِيرَانِ ، وَكُنْتُ لاَ أَغْبِقُ قَبْلَهُمَا أَهْلاً وَلاَ مَالاً ، فَنَأَى بِى فِى طَلَبِ شَىْءٍ يَوْماً ، فَلَمْ أُرِحْ عَلَيْهِمَا حَتَّى نَامَا ، فَحَلَبْتُ لَهُمَا غَبُوقَهُمَا فَوَجَدْتُهُمَا نَائِمَيْنِ وَكَرِهْتُ أَنْ أَغْبِقَ قَبْلَهُمَا أَهْلاً أَوْ مَالاً ، فَلَبِثْتُ وَالْقَدَحُ عَلَى يَدَىَّ أَنْتَظِرُ اسْتِيقَاظَهُمَا حَتَّى بَرَقَ الْفَجْرُ ، فَاسْتَيْقَظَا فَشَرِبَا غَبُوقَهُمَا ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ ، فَانْفَرَجَتْ شَيْئاً لاَ يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ ». قَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم :« وَقَالَ الآخَرُ : اللَّهُمَّ كَانَتْ لِى بِنْتُ عَمٍّ كَانَتْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَىَّ ، فَأَرَدْتُهَا عَنْ نَفْسِهَا ، فَامْتَنَعَتْ مِنِّى حَتَّى أَلَمَّتْ بِهَا سَنَةٌ مِنَ السِّنِينَ ، فَجَاءَتْنِى فَأَعْطَيْتُهَا عِشْرِينَ وَمِائَةَ دِينَارٍ عَلَى أَنْ تُخَلِّىَ بَيْنِى وَبَيْنَ نَفْسِهَا ، فَفَعَلَتْ حَتَّى إِذَا قَدَرْتُ عَلَيْهَا قَالَتْ : لاَ أُحِلُّ لَكَ أَنْ تَفُضَّ الْخَاتَمَ إِلاَّ بِحَقِّهِ . فَتَحَرَّجْتُ مِنَ الْوُقُوعِ عَلَيْهَا ، فَانْصَرَفْتُ عَنْهَا وَهْىَ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَىَّ وَتَرَكْتُ الذَّهَبَ الَّذِى أَعْطَيْتُهَا ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجَ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ . فَانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ ، غَيْرَ أَنَّهُمْ لاَ يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ مِنْهَا . قَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم : وَقَالَ الثَّالِثُ : اللَّهُمَّ إِنِّى اسْتَأْجَرْتُ أُجَرَاءَ فَأَعْطَيْتُهُمْ أَجْرَهُمْ ، غَيْرَ رَجُلٍ وَاحِدٍ تَرَكَ الَّذِى لَهُ وَذَهَبَ فَثَمَّرْتُ أَجْرَهُ حَتَّى كَثُرَتْ مِنْهُ الأَمْوَالُ ، فَجَاءَنِى بَعْدَ حِينٍ فَقَالَ : يَا عَبْدَ اللَّهِ أَدِّ إِلَىَّ أَجْرِى . فَقُلْتُ لَهُ : كُلُّ مَا تَرَى مِنْ أَجْرِكَ مِنَ الإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ وَالرَّقِيقِ . فَقَالَ : يَا عَبْدَ اللَّهِ لاَ تَسْتَهْزِئْ بِى . فَقُلْتُ : إِنِّى لاَ أَسْتَهْزِئُ بِكَ . فَأَخَذَهُ كُلَّهُ فَاسْتَاقَهُ فَلَمْ يَتْرُكْ مِنْهُ شَيْئاً ، اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ . فَانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ فَخَرَجُوا يَمْشُونَ » . 
(12) Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma ia berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga orang sebelum kamu yang bepergian sehingga mereka terpaksa bermalam di gua, lalu mereka masuk ke dalamnya. Tiba-tiba jatuh sebuah batu besar dari atas gunung sehingga menutupi gua tersebut, lalu mereka berkata, “Sesungguhnya tidak ada yang dapat menyelamatkan kamu dari batu besar ini kecuali dengan kamu berdoa kepada Allah menyebutkan amal saleh kamu. Maka salah seorang di antara mereka berkata, “Ya Allah, saya memiliki kedua orang tua yang sudah lanjut usia dan saya biasanya tidak memberi minuman kepada keluarga dan harta yang saya miliki (budak) sebelum keduanya. Suatu hari saya pernah pergi jauh untuk mencari sesuatu sehingga saya tidak pulang kecuali setelah keduanya tidur, maka saya perahkan susu untuk keduanya, namun saya mendapatkan keduanya telah tidur dan saya tidak suka memberi minum sebelum keduanya baik itu keluarga maupun harta (budak). Aku menunggu, sedangkan gelas masih berada di tanganku karena menunggu keduanya bangun sehingga terbit fajar. Keduanya pun bangun lalu meminum susu itu. Ya Allah, jika yang aku lakukan itu karena mengharapkan wajah-Mu, maka hilangkanlah derita yang menimpa kami karena batu ini,” maka terbukalah gua itu sedikit namun mereka tidak bisa keluar. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang lain lagi berkata, “Ya Allah, saya punya saudari sepupu yang merupakan wanita yang paling saya cintai. Saya menginginkan dirinya, namun ia menolak diriku, sehingga kemudian ia merasakan kemarau panjang lalu ia datang kepadaku (meminta bantuan), maka aku memberinya 120 dinar dengan syarat dia mau berduaan denganku, maka ia pun mau melakukannya, sehingga ketika aku telah berkuasa terhadapnya, ia berkata, “Aku tidak menghalalkan kamu memecahkan keperawananku kecuali dengan haknya (menikah).” Maka aku merasa berdosa jika berbuat mesum dengannya, lalu aku pergi meninggalkannya padahal ia adalah wanita yang paling aku cintai dan aku biarkan emas yang telah aku berikan kepadanya. Ya Allah, jika yang aku lakukan karena mengharapkan wajah-Mu, maka singkirkanlah apa yang menimpa kami ini.” Maka bergeserlah batu itu, namun mereka belum bisa keluar juga. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang ketiga berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku pernah menyewa beberapa karyawan, lalu aku berikan upah mereka selain seorang saja karena ia meninggalkan upahnya dan pergi (begitu saja), maka aku mengembangkan upahnya itu sehingga harta itu menjadi banyak. Setelah sekian lama ia datang  kepadaku dan berkata, “Wahai hamba Allah, berikanlah upahku.” Maka aku berkata, “Semua yang kamu lihat adalah upahmu, baik itu unta, sapi, kambing dan seorang budak.” Ia berkata, “Wahai hamba Allah, janganlah engkau mengejekku.” Aku menjawab, “Aku tidak mengejekmu. Maka ia mengambil semuanya, lalu ia pergi membawanya dan tidak menyisakan sedikit pun. Ya Allah, jika yang aku lakukan itu karena mengharapkan wajah-Mu, maka singkirkanlah sesuatu yang menimpa kami ini, maka bergeserlah batu besar itu dan mereka pun keluar sambil berjalan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Fawaid:
1. Keutamaan ikhlas dalam beramal, dan bahwa hal itu dapat menyingkirkan penderitaannya.
2. Keutamaan berbakti kepada kedua orang tua dan melayaninya, serta mengutamakan mereka berdua di atas anak dan istri.
3. Keutamaan menjaga kesucian diri dan menahan diri dari perbuatan yang haram ketika ada kesempatan dan kemampuan.
4. Keutamaan menunaikan amanah dan memberikan kemudahan dalam bermuamalah.
5. Di antara sebab dikabulkan doa adalah bertawassul (mencari sarana) yang benar, yaitu berdoa kepada Allah dengan menyebutkan amal saleh yang pernah dikerjakannya. 
Bersambung…
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Syarh Riyadh Ash Shalihin (Syaikh Faishal bin Abdul Aziz An Najdiy),  Al Maktabatusy Syamilah versi 3.45, Mabahits fin Niyyah (Shalih bin Muhammad Al Ulyawi), dll.
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger