Cadar, Jenggot, dan Celana Cingkrang

Jumat, 28 Agustus 2020

 بسم الله الرحمن الرحيم

قال الله تعالى : ( يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ  وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِ… | Allah, Muslim  women, Faith

Cadar, Jenggot, dan Celana Cingkrang

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:

Di zaman sekarang banyak yang mempermasalahkan cadar bagi wanita, jenggot dan celana cingkrang bagi laki-laki, namun mereka yang mempermasalah itu anehnya tidak mempermasalah wanita-wanita yang memamerkan aurat dan orang-orang yang melakukan berbagai kemaksiatan terang-terangan, fa innaa lillahi wa innaa ilaihi rajiun. Maka di sini kami coba membahas masalah ini dengan merujuk kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam serta penjelasan para ulama, wabillahit taufiq.

Hukum Cadar

Para ulama berbeda pendapat terkait wajibnya menutup wajah dan kedua tangan bagi wanita di hadapan laki-laki asing (yang bukan mahram). Menurut madzhab Imam Ahmad dan pendapat yang shahih dari madzhab Syafi’i adalah bahwa wajib bagi wanita menutup wajahnya dan kedua telapak tangannya di hadapan laki-laki asing, karena wajah dan kedua telapak tangan merupakan aurat dari sisi nazhar (dilihat), sedangkan madzhab Abu Hanifah dan Malik adalah bahwa menutup keduanya tidaklah wajib, tetapi sunah. Akan tetapi para ulama madzhab Hanafi dan Maliki telah lama berfatwa wajibnya bagi wanita menutup muka dan tangan ketika dikhawatirkan laki-laki terfitnah olehnya atau ia tertimpa fitnah. Terfitnah olehnya maksudnya karena wanita ini sangat cantik, sehingga kaum laki-laki terfitnah olehnya, sedangkan wanita ini tertimpa fitnah maksudnya karena zaman sudah rusak, banyaknya kemaksiatan dan orang-orang fasik, maka agar wanita ini tidak tertimpa fitnah hendaknya ia menutup muka dan tangannya.

Oleh karena itu, fatwa yang dipandang sekarang dalam madzhab yang empat adalah wajibnya menutup muka dan tangan sebagaimana akan disebutkan nanti pendapat para ulama dari berbagai madzhab insya Allah.

Adapun dalil wajibnya menutup muka dan kedua telapak tangan, maka ada dalam Al Qur’an dan As Sunnah, di antaranya:

1. Firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al Ahzaab: 59)

Banyak para mufassir yang menafsirkan ayat tersebut dengan perintah menutup wajah, karena jilbab adalah baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada atau yang menutupi seluruh badan.

Adapun firman Allah Ta’ala,

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak dari padanya.” (Qs. An Nuur: 31)

Maka menurut pendapat yang paling tampak adalah pakaian luar sebagaimana yang dikatakan Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu, atau yang tampak daripadanya tanpa disengaja seperti tersingkap sedikit jasadnya karena angin dan semisalnya. Sedangkan perhiasan dalam bahasa Arab adalah sesuatu yang dipakai berhias oleh wanita yang berada di luar fisiknya seperti barang hiasan dan pakaian, sehingga jika ‘perhiasan’ ditafsirkan dengan sebagian kecil badan wanita seperti wajah dan kedua telapak tangan adalah menyelisihi yang zahir (tampak).

2. Firman Allah Ta’ala,

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ

“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri- istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (Qs. Al Ahzaab: 53)

Kesucian ini bukan hanya untuk Ummahatul mukmin  radhiyallahu anhunna (para istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam) tetapi dibutuhkan pula oleh wanita-wanita beriman.

3. Firman Allah Ta’ala,

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.” (Qs. An Nuur: 31)

Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata, “Ketika turun ayat ini, maka mereka mengambil kainnya lalu merobeknya dari pinggir kemudian berkerudung dengannya.” Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Berkerudung yakni menutupi wajahnya.”

4. Firman Allah Ta’ala,

وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tidak ingin kawin (lagi), tidak ada atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Bijaksana.” (Qs. An Nuur: 60)

Maksudnya adalah pakaian luar yang kalau dibuka tidak menampakkan aurat mereka, seperti baju kurung (gamis), demikian pula cadarnya. Al Qadhiy Abu Ya’la berkata, “Dalam ayat ini terdapat dalil bolehnya wanita tua membuka wajah dan kedua tangannya di hadapan laki-laki. Adapun rambutnya, maka tetap haram dilihat sebagaimana rambut wanita muda.”

Namun bagi wanita-wanita muda tetap diperintahkan berhijab dan menutup wajah.

5. Imam Tirmidzi dan lainnya meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«المَرْأَةُ عَوْرَةٌ، فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ»

“Wanita itu aurat. Jika keluar, maka setan menghiasnya.” (Dishahihkan oleh Al Albani)

Hadits ini menunjukkan, bahwa seluruh badan wanita adalah aurat dari sisi aurat nazhar (dilihat).

6. Saat Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kaum wanita keluar menuju lapangan shalat Ied, maka kaum wanita berkata, “Wahai Rasulullah, salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab.” Maka Beliau bersabda, “Hendaknya saudarinya memakaikan jilbab kepadanya.” (Hr. Bukhari dan Muslim dari Ummu Athiyyah)

Hadits ini menunjukkan, bahwa biasanya wanita para sahabat tidak keluar rumah kecuali dengan jilbab, dan ketika tidak ada jilbab, maka tidak boleh keluar. Jilbab adalah baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka, dan dada atau yang menutupi seluruh badan.

7. Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«الْمُحْرِمَةُ لَا تَنْتَقِبُ وَلَا تَلْبَسُ الْقُفَّازَيْنِ»

“Wanita yang sedang ihram tidak boleh memakai cadar dan tidak pula memakai sarung tangan.” (Hr. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Albani)

Abu Bakar Ibnul Arabiy berkata, “Hal itu, karena menutup wajahnya dengan cadar adalah wajib kecuali dalam ibadah haji, maka ia ulurkan sedikit kudungnya pada wajahnya dengan tidak menempel dengannya, dan ia berpaling dari laki-laki sebagaimana laki-laki juga berpaling dari mereka.”

Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu anha berkata, “Kami ketika dilewati oleh rombongan –saat haji-, maka salah seorang di antara kami mengulurkan jilbab ke wajahnya, dan ketika mereka telah melewati kami, maka kami singkap lagi.”

(Lihat dalil-dalilnya secara lengkap dalam kitab Audatul Hijab karya Dr. Muhamad Ahmad Ismail)

Fatwa Ulama dari Madzhab Yang Empat Terkait Wajibnya Cadar

Ulama Madzhab Hanafi

Al Allamah Ibnu Nujaim berkata, “Dalam Fatawa Qadhikhan disebutkan, “Masalah tersebut menunjukkan, bahwa wanita tidak menyingkap wajahnya kepada laki-laki asing kecuali karena darurat.”

Pernyataan ini menunjukkan, bahwa memakai cadar saat mampu dan ada laki-laki asing adalah wajib bagi wanita. (Al Bahrur Ra’iq Syarh Kanz Ad Daqa’iq, dari kitab Audatul Hijab hal. 421)

Dalam Al Muntaqa disebutkan, “Dilarang wanita muda membuka wajahnya agar tidak menimbulkan fitnah.”

Dalam Al Hadiyyah Al ‘Ala’iyyah disebutkan, “Wanita ajnabi (asing) meskipun kafir bisa dilihat wajah dan kedua telapak karena darurat, dan dilarang bagi wanita muda membuka wajah dan kedua telapak tangannya karena dikhawatirkan fitnah.” (Al Lubab fi Fardhiyyatn Niqab hal. 139)

Demikian pendapat sebagian ulama madzhab Hanafi meskipun ada yang membolehkan membuka wajah dan kedua telapak tangan, namun yang dijadikan patokan adalah pendapat yang sesuai Al Qur’an, As Sunnah, dan pendapat para sahabat.

Madzhab Maliki

Dalam Hijabul Mar’ah karya Ibnu Taimiyah hal. 6 disebutkan, “Zhahir (yang tampak) pada Madzhab Imam Ahmad adalah bahwa semua bagian wanita adalah aurat termasuk kukunya. Ini merupakan pendapat Imam Malik.”

Imam Syaukni dalam Nailul Awthar menukil dari Ibnu Ruslan, bahwa kaum muslimin sepakat dilarangnya wanita keluar dalam keadaan terbuka muka, apalagi ketika banyak orang-orang yang fasik.

Al Qadhi Ibnul Arabi dalam Ahkamul Qur’an berkata, “Wanita seluruhnya adalah aurat baik fisik maupun suaranya, sehingga tidak boleh ditampakkan kecuali karena darurat.” (Al Lubab fi Fardhiyyatn Niqab hal. 139)

Namun pendapat yang sahih, bahwa suara wanita bukan aurat dengan syarat tidak dilembutkan.

Madzhab Syafi’i

Al Baidhawi rahimahullah berkata, “Semua fisik wanita merdeka adalah aurat, tidak halal bagi selain suami dan mahram melihat sesuatu pun daripadanya kecuali karena darurat.”

Imam Nawawi dalam Al Minhaj menyebutkan haramnya membuka wajah bagi wanita dan telapak tangannya meskipun aman dari fitnah dan aman dari syahwat. Ini adalah pendapat Al Ishthakhiri, Thabari, dan yang ditetapkan oleh Abu Ishaq Asy Syirazi, Ar Ruyani, dan lain-lain.

Imam As Suyuthi rahimahullah berkata, “Ini adalah ayat hijab yang berlaku untuk semua wanita muslimah. Di dalamnya terdapat kewajiban menutup kepala dan wajahnya.”

Madzhab Hanbali

Telah disebutkan pernyataan Ibnu Taimiyah dalam Hijabul Mar’ah, bahwa zhahir (yang tampak) pada Madzhab Imam Ahmad adalah bahwa semua bagian wanita adalah aurat termasuk kukunya.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Wanita merdeka diperbolehkan shalat dalam keadaan terbuka wajah dan kedua telapak tangan, namun ia tidak boleh keluar ke pasar dan perkumpulan manusia dalam keadaan seperti itu (terbuka wajah dan kedua telapak tangan), wallahu a’lam.” (Audatul Hijab hal. 193)

Dalam Al Iqna’ disebutkan, “Wanita merdeka yang baligh semuanya adalah aurat dalam shalat termasuk kuku dan rambutnya selain mukanya.” Banyak ulama berkata, “Termasuk kedua telapak tangannya,” Namun keduanya menjadi aurat di luar shalat dari sisi nazhar (dilihat) seperti badannya yang lain.”

Sifat Hijab Yang Syar’i

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Hijab yang syar’i adalah seorang wanita menutup semua badannya dari laki-laki, baik kepala, wajah, dada, kaki, dan tangan, karena semuanya adalah aurat terhadap laki-laki yang bukan mahram, berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ

“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri- istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (Qs. Al Ahzaab: 53)

Firman-Nya, “Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka,” maksudnya adalah istri-istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan kaum wanita mukminah juga masuk dalam hukum tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menerangkan bahwa berhijab lebih menyucikan hati laki-laki dan wanita, dan lebih jauh dari fitnah.

Allah Subahnahu wa Ta’ala juga berfirman,

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali suami mereka, ayah mereka...dst.” (Qs. An Nuur: 31)

Wajah merupakan perhiasan besar, demikian pula rambut dan tangan. Dan wanita bisa menutup mukanya dengan niqab yang hanya menampilkan kedua matanya atau salah satunya, sehingga wajahnya adalam keadaan tertutup, karena wanita perlu menampakkan matanya agar dapat melihat jalan, dan bisa juga berhijab dengan selain niqab seperti cadar yang tidak menghalanginya dari melihat jalan, akan tetapi ia tetap menutup perhiasannya, kepala, dan seluruh tubuhnya.

Wanita juga harus menjauhi mengenakan wewangian saat keluar ke pasar, masjid, atau tempat ia bekerja jika sebagai pegawai, karena hal itu termasuk sebab fitnah.” (Majmu Fatawa wa Maqalat Syaikh Ibni Baz 6/24)

Sebagian ulama menyebutkan sifat hijab syar’i, yaitu: menutupi seluruh tubuhnya, hijabnya bukan sebagai perhiasan, tebal dan tidak tipis, longgar dan tidak ketat, tidak diberi wewangian, tidak menyerupai pakaian wanita kafir, tidak menyerupai pakaian laki-laki, dan tidak berupa pakaian ketenaran.

Hukum Mencukur Jenggot atau Janggut

Mencukur jenggot hukumnya haram. Ini merupakan pendapat mayoritas Ahli Ilmu, bahkan sebagian ulama ada yang memasukkan ke dalam ijma. Dalilnya adalah hadits berikut:

Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ، وَأَوْفُوا اللِّحَى»

“Selisihilah orang-orang musyrik, potong kumis (yang melewati bibir) dan biarkanlah janggut.” (Hr. Muslim, Tirmidzi, dan Nasa’i)

Membiarkan janggut maksudnya membiarkannya tanpa mencukur habis atau tanpa memendekkannya.

Ibnu Hazm menukil ijma, bahwa memotong kumis dan membiarkan janggut adalah fardhu (wajib), ia berdalil dengan sejumlah hadits, di antaranya hadits di atas dan hadits Zaid bin Arqam, bahwa Nabi shallalahu alaihi wa sallam bersabda,

«مَنْ لَمْ يَأْخُذْ مِنْ شَارِبِهِ فَلَيْسَ مِنَّا»

“Barang siapa yang tidak memotong kumisnya, maka ia bukan termasuk golongan kami.” (Hr. Tirmidzi, dan ia menshahihkannya)

Dalam Al Furu disebutkan, “Shighat (bentuk kalimat) ini menurut kawan-kawan kami –yakni dari kalangan madzhab Hanbali- menunjukkan haram (mencukur janggut).”

Abul Hasan Ibnul Qaththan Al Maliki berkata, “Mereka (para ulama) sepakat bahwa mencukur janggut adalah pencacatan yang tidak diperbolehkan.”

(Al Iqna’ fi Masa’ilil Ijma)

Imam Ibnu Abdil Bar dalam At Tamhid berkata, “Haram mencukur janggut.”

Syaikh Ali Mahfuzh salah seorang ulama Al Azhar berkata, “Madzhab yang empat sepakat wajibnya melebatkan jangut dan haram mencukur habis.” (Al Ibda’ fi Madhaarril Ibtida’)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam syarah Al Umdah berkata, “Adapun mencukur janggut, maka sama seperti wanita mencukur rambutnya, bahkan lebih keras lagi, karena ia termasuk pencacatan yang dilarang, dan hal itu haram.”

Ia juga berkata dalam Al Fatawa Al Kubra, “Diharamkan mencukur janggut dan wajib berkhitan.”

Al Haththab Al Maliki dalam syarah Khalil berkata, “Mencukur habis janggut tidak diperbolehkan. Demikian pula kumis. Ia merupakan pencacatan, bid’ah, dan orang yang mencukur habis janggut atau kumis diberi pelajaran, kecuali jika ia hendak ihram haji dan khawatir kumisnya panjang.”

Ibnu Abidin Al Hanafi berkata dalam Raddul Mukhtar, “Maksud membiarkan janggut adalah membiarkannya dengan tidak memotong sebagian besarnya atau semuanya sebagaimana yang dilakukan orang-orang Majusi dari kalangan ajam (non Arab) yang menghabiskan janggutnya.

Makna ini juga diperkuat oleh riwayat Muslim dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«جُزُّوا الشَّوَارِبَ، وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ»

“Ratakanlah kumus dan biarkanlah janggut. Selisihilah orang-orang Majusi.”

Kalimat ini menempati posisi menerangkan sebab, sedangkan memotong yang merupakan di bawah itu, maka tidak ada seorang pun yang membolehkannya.”

Imam Ibnu Abdil Bar berkata, “Diharamkan mencukur janggut, dan tidak ada yang melakukannya selain laki-laki yang banci.”

Dalam Shahih Muslim dari Jabir disebutkan, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam lebat janggutnya.

Kesimpulan

Mencukur janggut hukumnya haram menurut ulama madzhab Hanafi, Maliki, Hanbali, dan salah satu dari pendapat ulama madzhab Syafi’i. Ini pula yang dipegang oleh Al Qaffal Asy Syasyi, Al Hulaimi, dan dibenarkan oleh Al Adzra’i. Adapun menurut salah satu madzhab Syafi’i yang terpandang adalah makruh. Inilah yang dinyatakan oleh dua Syaikh, yaitu Ar Rafi’i dan Nawawi.

Ibnu Hajar Al Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj berkata, “Dua syaikh tersebut berkata, “Makruh mencukur janggut,” akan tetapi Ibnur Rif’ah menolaknya dalam Hasyiyah Al Kafiyah, bahwa Imam Syafi’i rahimahullah dalam Al Umm menyatakan haram. Az Zarkasyi berkata, “Demikian pula menurut Al Hulaimi dalam Syu’abul Iman dan menurut gurunya yaitu Al Qaffal dalam Mahasinusy Syariah.” Al Adzra’i berkata, “Yang benar haramnya mencukur habis secara garis besar.”

Adapun memotong janggut melebihi segenggam, maka mayoritas  Ahli Fiqih membolehkannya dan tidak menganggap makruh. Bahkan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam Al Mushannaf, bahwa memotong janggut melebihi segenggam diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Abdulah bin Umar bin Khaththab, Thawus, dan Al Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar.”

Atha bin Abi Rabah berkata, “Mereka (kaum salaf) suka membiarkan janggut kecuali dalam haji dan umrah.”

Al Hasan berkata, “Mereka memberikan keringanan memotong janggut melebihi segenggam.”

Ibnu Muflih dalam Al Adab Asy Syar’iyyah berkata, “Dan disunnahkan membiarkan janggutnya. Ada yang mengatakan, “Seukuran genggaman boleh dipotong.” Membiarkannya ada dalil. Ada pula yang mengatakan, bahwa membiarkanya lebih utama.”

Hukum Celana Cingkrang (Tidak Isbal)

Isbal (melabuhkan kain) melewati mata kaki karena sombong hukumnya haram bahkan termasuk dosa besar sebagaimana disebutkan oleh Adz Dzahabi dalam Al Kabair, dan Al Haitami dalam Az Zawajir. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ، لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ القِيَامَةِ»

“Barang siapa yang melabuhkan kainnya karena sombong, maka Allah tidak akan memperhatikannya pada hari Kiamat.” (Hr. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar)

Tetapi jika isbal dilakukan bukan karena sombong, maka terdapat khilaf di kalangan ulama. Di antara mereka ada yang mengatakan haram, dan ada pula yang mengatakan makruh dan tidak makruh. Meskipun yang selamat dari perselisihan adalah dengan tidak melakukan isbal.

Ibnu Qudamah berkata, “Dan dimakruhkan isbal pada gamis, kain, dan celana, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyuruh menaikkan kain. Tetapi jika dilakukan karena sombong, maka hukumnya haram.”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«مَا أَسْفَلَ مِنَ الكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِي النَّارِ»

“Kain yang melewati kedua mata kaki di neraka.” (Hr. Bukhari dari Abu Hurairah)

«إِزْرَةُ الْمُسْلِمِ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ، وَلَا حَرَجَ - أَوْ لَا جُنَاحَ - فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ، مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ، مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ»

“Kain orang muslim sampai setengah betis, dan tidak mengapa atau tidak ada dosa antara batas itu dengan kedua mata kaki. Yang melewati mata kaki itu di neraka, dan barang yang siapa yang melabuhkan kainnya karena sombong, maka Allah tidak akan memperhatikannya.” (Hr. Abu Dawud dari Abu Sa’id Al Khudri, dishahihkan oleh Al Albani)

Hadits di atas menunjukkan haramnya isbal meskipun tidak karena sombong, sedangkan jika ditambah sombong maka lebih dosa lagi.

Dalam hadits Abu Juray Jabir bin Sulaim secara marfu disebutkan,

وَارْفَعْ إِزَارَكَ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ، فَإِنْ أَبَيْتَ فَإِلَى الْكَعْبَيْنِ، وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ، فَإِنَّهَا مِنَ المَخِيلَةِ، وَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ

 “Naikkanlah kainmu hingga pertengahan betis. Jika engkau tidak mau, maka sampai kedua mata kaki. Jauhilah olehmu melabuhkan kain, karena hal itu termasuk kesombingan, dan sesungguhnya Allah tidak menyukai kesombongan.” (Hr. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al Albani)

Ulama terdahulu yang mengharamkan isbal secara mutlak (baik karena sombong maupun tidak) di antaranya adalah Ibnul Arabi, Adz Dzahabiy, dan Ibnu Hajar Al Asqalani.

Ibnu Hajar berkata, “Dalam hadits-hadits ini menunjukkan bahwa melabuhkan kain karena sombong termasuk dosa besar, adapun jika tidak karena sombong, maka zhahir hadits-hadits yang ada menunjukkan haram juga.”

Mereka yang mengatakan bahwa haramnya karena sombong karena membawa kemutlakan hadits larangan isbal dengan sombong di hadits yang lain. Demikian pula berdalil dengan hadits Ibnu Umar, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang melabuhkan kainnya karena sombong, maka Allah tidak akan memperhatikannya pada hari Kiamat.” Lalu Abu Bakar berkata, “Sesungguhnya salah satu bagian kainku menjulur ke bawah kecuali jika aku terus perhatikan.” Maka Beliau bersabda, “Sesungguhnya engkat tidak termasuk orang yang melakukannya karena sombong.”

Ibnu Abdil Bar berkata, “Mafhum hadits ini adalah bahwa orang yang melabuhkan kainnya bukan karena sombong, maka tidak terkena ancaman itu, namun tercela.”

Imam Nawawi berkata, “Hal ini hukumnya makruh, dan inilah pernyataan Imam Syafi’i.”

Namun pendapat tersebut dikritik oleh Imam Ibnul Arabi rahimahullah berikut, ia berkata,

“Tidak boleh bagi seorang melabuhkan kainnya sampai melewati mata kaki, dan ia tidak berhak berkata, ‘Saya melakukannya bukan karena sombong’ karena larangan ini terkena kepadanya secara lafaz, dan tidak boleh bagi orang yang terkena lafaz hadits itu menyelisihinya. Bahkan memanjangkan kainnya menunjukkan kesombongannya. Intinya, bahwa isbal menghendaki melabuhkan kain, sedangkan melabuhkan kain menghendaki sikap sombong meskipun pelakunya tidak bermaksud demikian. Kalau seseorang melabuhkan kainnya dan berkata, “Saya tidak melakukannya karena sombong,” sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar bukan karena sombong, maka pernyataan ini butuh tazkiyah (rekomendasi) dari seseorang sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam mentazkiyah Abu Bakar. Yang menunjukkan tidak dibatasi ‘karena sombong’ adalah hadits yang diriwayatkan oleh para pemilik kitab sunan yang empat selain Ibnu Majah dari Jabir bin Sulaim yang di sana disebutkan,

وَارْفَعْ إِزَارَكَ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ، فَإِنْ أَبَيْتَ فَإِلَى الْكَعْبَيْنِ، وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ، فَإِنَّهَا مِنَ المَخِيلَةِ، وَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ

“Naikkanlah kainmu hingga pertengahan betis. Jika engkau tidak mau, maka sampai kedua mata kaki. Jauhilah olehmu melabuhkan kain, karena hal itu termasuk kesombongan, dan sesungguhnya Allah tidak menyukai kesombongan.”

Di samping itu, Abu Bakar tidak bermaksud isbal dan telah berusaha mengangkatnya, namun tiba-tiba turun kainnya, mungkin karena rampingnya fisik Beliau, wallahu a’lam.

Pendapat yang mengatakan bahwa larangan isbal adalah jika dilakukan karena sombong juga dikritik oleh Syaikh Ibnu Utsaimin ia berkata,

"Menjulurkan kain bagi laki-laki adalah haram baik karena sombong maupun tidak. Akan tetapi, jika karena sombong hukumannya lebih keras dan lebih besar berdasarkan hadits Abu Dzar yang tercantum dalam Shahih Muslim, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

«ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ»

"Tiga orang yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, tidak diperhatikan, tidak disucikan dan bagi mereka azab yang pedih."

Abu Dzar berkata, "Siapa mereka wahai Rasulullah, mereka celaka dan rugi?" Beliau menjawab,

« الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ » .

Orang yang menjulurkan kain (melewati mata kaki), orang yang menyebut-nyebut pemberian dan orang yang melariskan barang dagangannya dengan sumpah palsu."

Hadits ini adalah mutlak, akan tetapi ditaqyid (dibatasi) dengan hadits Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Beliau bersabda,

« مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Barangsiapa yang menjulurkan kainnya dengan sombong, maka Allah tidak akan memperhatikannya pada hari Kiamat."

Sehingga kemutlakan yang ada di hadits Abu Dzar ditaqyid dengan hadits Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, yakni apabila dilakukan karena sombong, maka Allah tidak akan memperhatikannya, menyucikannya dan baginya azab yang pedih. Hukuman ini lebih besar daripada hukuman yang menerangkan tentang orang yang menjulurkan kainnya melewati mata kaki  bukan karena sombong. Terhadap hal ini, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

«مَا أَسْفَلَ مِنَ الكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِي النَّارِ»

"Kain apa saja yang melewati mata kaki tempatnya di neraka."

Dikarenakan hukuman keduanya berbeda, maka untuk yang ini tidak berlaku hamlul mutlak 'alal muqayyad (yang mutlak dibawa kepada yang muqayyad), karena kaidah hamlul mutlak alal muqayyad  di antara syaratnya adalah bersamaan nashnya dalam hal hukum (masalah). Adapun jika ternyata berbeda hukumnya, maka tidak bisa yang satu ditaqyid oleh yang lain. Oleh karena itu, kita tidak mentaqyid ayat tayammum, dimana Allah Ta'ala berfirman,

فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ

"Maka sapulah mukamu dan tanganmu dengan (debu) itu." (Qs. Al Maa'idah: 6)

Kita tidak mentaqyidnya dengan ayat wudhu', dimana Allah Ta'ala berfirman,

فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ

"Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku." (Qs. Al Maa'idah: 6)

Sehingga tayammum itu mengusapnya tidak sampai siku (karena berbeda hukum/masalah). Dalil yang menunjukkan demikian adalah hadits yang diriwayatkan oleh Malik dan lainnya dari hadits Abu Sa'id Al Khudri bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sarung seorang mukmin sampai pertengahan betisnya, dan apa saja yang melewati mata kaki, maka tempatnya di neraka. Serta siapa saja yang menjulurkan kainnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihat kepadanya."

Dalam satu hadits, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membuatkan dua permisalan dan menerangkan perbedaan hukumnya karena perbedaan ancaman, keduanya berbeda dalam fi'il (praktek) dan berbeda dalam hukum dan ancamannya. Dengan demikian, keliru orang yang mentaqyid sabda Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, "Kain apa saja yang melewati mata kaki tempatnya di neraka." Dengan sabda Beliau, "Barangsiapa yang menjulurkan kainnya dengan sombong, maka Allah tidak akan memandangnya pada hari kiamat."

Selain itu, terkadang sebagian orang ketika diingkari karena melakukan isbal, ia berkata: "Saya melakukannya bukan karena sombong." Maka kami katakan kepadanya: "Isbal itu ada dua macam; ada yang diberi hukuman sebatas pelanggaran yang dilakukannya saja, yaitu dengan diancam neraka sebagai balasan karena melanggar, yaitu seorang yang menjulurkan kain melewati mata kaki (dengan tidak sombong), pelakunya tidak diancam dengan ancaman Allah tidak memperhatikannya pada hari kiamat, tidak menyucikannya dan baginya azab yang pedih. Bahkan hal ini hanya bagi orang yang menjulurkan kainnya karena sombong. Demikianlah jawaban kami kepadanya.

Wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa

Maraji’: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/8287/%D8%AD%D9%83%D9%85-%D8%A7%D9%84%D9%86%D9%82%D8%A7%D8%A8-%D9%88%D8%A7%D9%84%D8%A3%D8%AF%D9%84%D8%A9-%D8%B9%D9%84%D9%89-%D9%88%D8%AC%D9%88%D8%A8-%D8%A7%D9%84%D8%B3%D8%AA%D8%B1, https://www.alukah.net/sharia/0/109790/ , http://www.saaid.net/female/h43.htm, https://www.islamweb.net/ar/fatwa/14055/%D8%A3%D9%82%D9%88%D8%A7%D9%84-%D8%A7%D9%84%D8%B9%D9%84%D9%85%D8%A7%D8%A1-%D9%81%D9%8A-%D8%A7%D9%84%D8%A3%D8%AE%D8%B0-%D9%85%D9%86-%D8%A7%D9%84%D9%84%D8%AD%D9%8A%D8%A9, https://www.islamweb.net/ar/fatwa/2711/%D8%AD%D9%84%D9%82-%D8%A7%D9%84%D9%84%D8%AD%D9%8A%D8%A9-%D9%85%D8%AD%D8%B1%D9%85-%D8%B9%D9%84%D9%89-%D8%A7%D9%84%D8%B5%D8%AD%D9%8A%D8%AD-%D9%85%D9%86-%D9%85%D8%B0%D8%A7%D9%87%D8%A8-%D8%A7%D9%84%D8%B9%D9%84%D9%85%D8%A7%D8%A1 , https://www.islamweb.net/ar/fatwa/14055/%D8%A3%D9%82%D9%88%D8%A7%D9%84-%D8%A7%D9%84%D8%B9%D9%84%D9%85%D8%A7%D8%A1-%D9%81%D9%8A-%D8%A7%D9%84%D8%A3%D8%AE%D8%B0-%D9%85%D9%86-%D8%A7%D9%84%D9%84%D8%AD%D9%8A%D8%A9, Risalatul Hijab (Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin), https://www.islamweb.net/ar/fatwa/5943/%D8%AD%D9%83%D9%85-%D8%A5%D8%B3%D8%A8%D8%A7%D9%84-%D8%A7%D9%84%D8%AB%D9%8A%D8%A7%D8%A8-%D8%AE%D9%8A%D9%84%D8%A7%D8%A1-%D9%88%D8%BA%D9%8A%D8%B1-%D8%AE%D9%8A%D9%84%D8%A7%D8%A1 Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger