Keteladanan Kaum Salaf Dalam Keikhlasan

Sabtu, 22 Februari 2014
بسم الله الرحمن الرحيم
Keteladanan Kaum Salaf Dalam Keikhlasan
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman Salafush Shalih merupakan bahtera penyelamat bagi orang yang menginginkan keselamatan bagi dirinya. Dan yang dimaksud dengan As Salafush Shalih adalah tiga generasi pertama Islam di bawah bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang setelahnya, yaitu para sahabat dan para tabi’in.
Ada hal penting berkaitan dengan manhaj Salafush Shalih yang kurang mendapatkan perhatian, padahal kita semua menyadari kadar urgensinya dan bahwa itu termasuk asas manhaj mereka. Hal tersebut adalah akhlak dan etika para salafush shalih. Sudah menjadi maklum, bahwa ketika kita membicarakan manhaj Salafush shalih, maka yang dimaksud bukan hanya ilmu saja, tetapi mencakup akidah, cara pandang, tingkah laku, dan akhlak mereka. Oleh karena itu, para ulama Ahlussunnah ketika menyampaikan materi akidah Ahlussunnah, maka mereka menyertakan pula materi akhlak Ahlussunnah. Hal ini sebagaimana yang termaktub dalam beberapa kitab akidah, seperti Aqidah Wasithiyyah, Aqidah Thahawiyyah, Aqidatussalaf wa Ashabil hadits, dan lain-lain.
Imam Ash Shabuni berkata, “Mereka saling mengingatkan untuk melakukan qiyamullail setelah tidur, menyambung tali silaturrahim dalam berbagai keadaan, menyebarkan salam, memberikan makan, menyayangi kaum fakir-miskin dan anak yatim...dst.” (Aqidatussalaf wa Ashabil Hadits hal. 86 Cet. Mu’assasah Al Basya’ir Al ‘Alamiyyah)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah setelah menyebutkan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah berkata, “Kemudian setelah mereka meyakini prinsip-prinsip ini, mereka melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar sebagaimana yang diperintahkan syariat, memandang wajibnya haji, berjihad, berjamaah, dan berhari raya bersama pemerintah yang baik maupun yang buruk. Mereka juga menjaga shalat berjamaah dan memberikan nasihat kepada umat, serta menghayati kandungan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang mukmin satu sama lain seperti bangunan yang tersusun; satu sama lain saling menguatkan,” kemudian Beliau menganyam jari-jemarinya...dst.” (Syarhul Aqidatil Wasithiyyah hal. 155 cet. Idarah Ihya’is Sunnah). [i]
Berikut ini contoh keteladanan kaum Salaf dalam keikhlasan yang kami ambil dari kitab Aina Nahnu Min Akhlaqis Salaf karya Abdul Aziz Al Julail dan Bahauddin Aqil, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Keteladanan kaum salaf dalam keikhlasan
Ar Rabi’ bin Khutsaim pernah berkata, “Semua yang tidak diniatkan karena mencari keridhaan Allah Azza wa Jalla akan sia-sia.” (Shifatush Shafwah 3/61).
Bakr bin Ma’iz pernah berkata, “Ar Rabi’ tidak pernah terlihat shalat sunat di masjid kampungnya kecuali sekali.” (Shifatush Shafwah 3/61).
Sufyan berkata, “Budak Ar Rabi’ bin Khutsaim pernah berkata, “Amal yang dilakukan Ar Rabi’ semuanya tersembunyi. Pernah ada seorang yang datang saat ia membuka mushaf, lalu ia tutup dengan bajunya.” (Shifatush Shafwah 3/61)
Musa bin Mu’alla pernah berkata, “Hudzaifah pernah menasihatiku, “Wahai Musa, ada tiga hal. Jika ketiga hal itu ada pada dirimu, maka tidak ada kebaikan yang turun dari langit kecuali engkau memperoleh bagiannya; hendaknya amal yang kamu lakukan ikhlas karena Allah Azza wa Jalla, hendaknya kamu mencintai kebaikan untuk manusia sebagaimana kamu mencintai kebaikan  untuk dirimu, dan hendaknya makananmu adalah makanan yang telah engkau jamin kehalalannya semampumu.” (Shifatush Shafwah 4/269).
Abu Ja’far Al Hadzdza’ berkata, “Aku mendengar Ibnu Uyaynah berkata, “Jika batin sama dengan lahiriah, maka itulah adil. Jika batin lebih baik daripada lahiriah, maka itulah keutamaan. Dan jika lahiriah lebih utama daripada batinnya, maka itu adalah keculasan.” (Shifatush Shafwah 2/234)
Abu Hamzah Ats Tsumaliy berkata, “Ali bin Al Husain biasa membawa sekarung roti di atas punggungnya di malam hari, lalu ia sedekahkan.” Ia berkata, “Sesungguhnya sedekah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dapat memadamkan kemurkaan Ar Rabb Azza wa Jalla.” (Shifatush Shafwah 2/96).
Amr bin Tsabit berkata, “Ketika Ali bin Al Husain wafat, maka orang-orang memandikannya, dan mereka melihat ada bekas hitam di punggungnya, lalu mereka berkata, “Apa ini?” Lalu diberitahukan, “Dia biasa memikul karung berisi tepung di malam hari di atas punggungnya, lalu ia memberikannya kepada kaum fakir yang berada di Madinah.” (Shifatush Shafwah 2/96).
Ibnu Aisyah berkata, “Ayahku berkata, “Aku mendengar penduduk Madinah mengatakan, “Kami tidak kehilangan sedekah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi sampai wafat Ali bin Al Husain.” (Shifatush Shafwah 2/96).
Muhammad bin Malik bin Dhaigham berkata, “Telah menceritakan kepadaku maula (tuan) kita Abu Ayyub, “Suatu hari Abu Malik pernah berkata kepadaku, “Wahai Abu Ayyub, waspadailah bahaya nafsumu terhadap dirimu, karena aku melihat penderitaan kaum mukmin di dunia tidak ada habis-habisnya. Demi Allah, jika akhirat tidak datang kepada seorang mukmin dengan membawa kebahagiaan, maka akan berkumpul padanya dua perkara; penderitaan dunia dan kesengsaraan di akhirat.” Aku pun berkata, “Biarlah ayahku menjadi tebusanmu, bagaimana akhirat tidak datang kepada seorang mukmin dengan membawa kebahagiaan padahal ia telah bersusah payah menghadap Allah di dunia dan bekerja keras?” Ia menjawab, “Wahai Abu Ayyub, apakah sudah pasti diterima dan sudah pasti selamat?” Selanjutnya ia berkata, “Betapa banyak orang yang menyangka bahwa dirinya telah berbuat baik, berkurban dengan baik, berniat baik, dan beramal baik, lalu semua itu dikumpulkan pada hari Kiamat dan dilempar ke mukanya (tidak diterima).” (Sifatush Shofwah 3/360)
Adz Dzahabiy berkata, “Telah menceritakan kepada kami Ahmad, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Ayyub, ia berkata, “Aku pernah mendapatkan ada  orang di sini yang ucapannya, “Jika sudah diputuskan dan ditakdirkan...dst.” Orang itu juga mengatakan, “Hendaklah seseorang bertakwa kepada Allah. Janganlah ia menjadikan zuhud[ii] yang dilakukannya sebagai kesusahan bagi manusia. Sungguh, jika seseorang menyembunyikan zuhudnya jauh lebih baik daripada ia menampakkannya.” (Siyar A’laamin Nubala 6/19).
Muhammad bin Al Mutsanna berkata, “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Sinan, ia berkata, “Aku pernah bersama Ibnul Mubarak dan Mu’tamir bin Sulaiman di Tharsus, lalu orang-orang berteriak, “Musuh!” Maka Ibnul Mubarak pun keluar bersama kaum muslimin. Ketika dua pasukan saling berhadapan, maka ada seorang tentara Romawi maju dan menantang berduel. Maka, salah seorang tentara muslim maju melayaninya, tetapi laki-laki itu berhasil membunuhnya. Hal itu berlangsung terus sehingga ia berhasil membunuh enam orang tentara muslim. Dengan sombong ia berdiri di antara dua barisan perang sambil menantang duel, namun tidak ada ada tentara muslim yang berani maju, maka Abdullah bin Al Mubarak menoleh kepadaku dan berkata, “Wahai fulan! Kalau aku terbunnuh, maka lakukanlah pesanku ini dan itu.” Kemudian Ibnul Mubarak memacu kudanya dan menyerang tentara kafir tersebut, akhirnya ia berhasil membunuhnya. Lalu ia menantang berduel tentara Romawi lainnya, maka keluarlah tentara Romawi lainnya, tetapi Beliau berhasil membunuhnya, sehingga ia berhasil membunuh enam orang tentara kafir. Beliau terus menantang duel, tetapi mereka menjadi pengecut. Beliau pun memacu kudanya dan membelah dua pasukan, lalu menghilang, sehingga kami seperti tidak merasakan apa-apa. Ketika Beliau telah berada di tempat semula, maka ia berkata kepadaku, “Wahai hamba Allah! Selama aku masih hidup, jangan engkau ceritakan kejadian ini kepada seorang pun.” Kemudian Beliau menyebutkan beberapa kata.” (Siyar A’lamin Nubala 8/408-409).
Disebutkan, bahwa Abdullah bin Mubarak mempunyai murid yang sudah lama absen. Setelah diselidiki, ternyata murid tersebut absen karena mempunyai banyak hutang, maka Abdullah mendatangi si pemberi hutang dan melunasinya sambil mengingatkan agar jangan memberitahukan si murid siapa yang melunasi hutangnya. Setelah itu si murid kembali aktif belajar tanpa tahu siapa yang melunasi hutangnya hingga sang guru, Abdullah bin Mubarak meninggal dunia (Sebagaimana diceritakan oleh Muhammad bin Isa, lihat Shifatush Shafwah 4/141-142).
Dari Abdush Shamad bin Abdul Warits, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Dzakwan, telah menceritakan kepada kami Khalid bin Shafwan, ia berkata, “Aku pernah menemui Maslamah bin Abdul Malik, ia berkata, “Wahai Khalid, beritahukanlah kepadaku tentang Al Hasan penduduk Basrah?” Aku menjawab, “Semoga Allah memperbaikimu. Aku akan memberitahukan kepadamu berdasarkan pengetahuanku. Aku adalah tetangganya, teman duduk di majlisnya, dan orang yang lebih tahu tentangnya. Dia adalah orang yang paling mirip keadaan batin dengan luarnya dan paling mirip ucapan dengan perbuatannya. Jika selesai terhadap suatu  urusan, dia kerjakan urusan yang lain, dan jika sedang mengerjakan urusan, maka dia menuntaskannya hingga selesai. Jika dia memerintahkan sesuatu, maka dia adalah orang paling melaksanakannya, dan jika melarang sesuatu, maka dia adalah orang yang paling menjauhinya. Aku melihatnya tidak butuh kepada manusia, tetapi aku melihat manusia membutuhkannya.” Maslamah berkata, “Cukup, bagaimana sebuah kaum bisa tersesat jika ada orang seperti ini di tengah-tengah mereka.” (Siyar A’lamin Nubala 2/576).
Aun bin Umarah berkata, “Aku mendengar Hisyam Ad Dastuwa’i berkata, “Demi Allah, aku tidak mampu mengatakan, bahwa aku pernah pergi satu hari untuk mencari hadits karena mengharap keridhaan Allah Azza wa Jalla.”
Adz Dzahabiy berkata, “Demi Allah, aku juga sama. Dahulu kaum salaf mencari ilmu karena Allah sehingga mereka menjadi orang mulia dan menjadi imam yang diikuti. Kemudian ada orang yang mencari ilmu awalnya tidak ikhlas karena Allah, lalu mereka memperolehnya dan beristiqamah. Kemudian mereka mengintrospeksi diri mereka, sehingga ilmu itu menyeret mereka untuk berlaku ikhlas di pertengahan jalan. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Mujahid dan lainnya, “Kami mencari ilmu ini, padahal kami tidak memiliki niat yang besar. Setelah itu, Allah mengaruniakan niat (yang benar).” Sebagian mereka berkata, “Kami mencari ilmu ini karena selain Allah. Namun Allah tidak menghendaki kecuali dilakukan karena-Nya.” Ini juga baik. Kemudian mereka menyebarkan ilmu dengan niat yang baik.”
Fudhail bin Iyadh berkata, “Wahai orang malang, kamu jahat, tetapi menyangka bahwa dirimu adalah orang baik. Kamu bodoh, tetapi kamu menyangka bahwa dirimu orang berilmu. Kamu orang bakhil, namun kamu menyangka bahwa dirimu orang dermawan. Kamu orang dungu, namun kamu menyangka bahwa dirimu orang cerdas. Umurmu pendek, namun angan-anganmu panjang.”
Adz Dzahabi berkata, “Ya, demi Allah, ia benar. Kamu orang yang zalim, namun kamu menyangka dirimu terzalimi. Kamu memakan harta yang haram, namun kamu menyangka dirimu sebagai orang yang wara’. Kamu fasik namun kamu menyangka bahwa dirimu orang yang adil. Dan kamu mencari ilmu karena dunia, tetapi kamu menyangka bahwa kamu mencarinya karena Allah.”
Diriwayatkan, bahwa ada salah seorang tukang cerita yang duduk di dekat Muhammad bin wasi’ dan berkata, “Mengapa saya melihat hati manusia tidak tunduk, mata tidak menangis, dan kulit tidak merinding?” Muhammad berkata, “Wahai fulan, mereka hanyalah yang datang kepadamu saja. Sungguh, peringatan yang keluar dari lubuk hati akan menancap di hati.” (Siyar A’lamin Nuabala 6/122)
Abdullah bin Mubarak berkata, “Hamdun bin Ahmad pernah ditanya, “Mengapa ucapan kaum salaf lebih bermanfaat daripada ucapan kita?” Ia menjawab, “Karena mereka berbicara untuk kemuliaan Islam dan menyelamatkan jiwa serta mencari keridhaan Ar Rahman, tetapi kita berbicara untuk kemuliaan diri, mencari dunia, dan keridhaan manusia.” (Shifatush Shafwah 4/122).
Wallahu a’lam shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahabihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Aina Nahnu min Akhlaqis salaf (Abdul ’Aziz Al Jalil dan Baha’uddin Aqil), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.


[i] Diringkas dari mukadimah kitab Aina nahnu min Akhlaqis salaf karya Abdul Aziz Nashir Al Julail dan Baha’udin Fatih Aqil.
[ii] Zuhud artinya sikap tidak tertarik terhadap dunia.

Fiqh Wudhu (2)

Rabu, 19 Februari 2014
بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Wudhu (2)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'd:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang fiqh wudhu. Semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Pembatal-pembatal wudhu
Hal-hal yang membatalkan wudhu adalah:
1.     Keluarnya sesuatu dari dua jalan (qubul dan dubur).
Sesuatu yang keluar bisa berupa air kencing, kotoran, mani, madzi, darah istihadhah, dan angin; baik banyak maupun sedikit. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
“Atau salah seorang di antara kamu datang dari tempat buang air.” (Terj. QS. An Nisaa’: 43)
Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
«لَا تُقْبَلُ صَلَاةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ»
“Shalat salah seorang di antara kamu tidaklah diterima ketika berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Muslim)
Demikian pula sabda Beliau shallallahu alaihi wa sallam tentang orang yang ragu-ragu; apakah; ia buang angin atau tidak,
فَلاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتاً أَوْ يَجِدَ رِيْحاً
“Maka janganlah ia keluar (dari shalatnya) sampai ia mendengar suara atau mencium baunya.” (Muttafaq ‘alaih)
2.     Keluarnya najis dari badannya.
Jika berupa air kencing atau kotoran, maka batal secara mutlak. Tetapi jika selainnya seperti darah dan muntah, maka jika banyak sebaiknya ia berwudhu untuk kehati-hatian, tetapi jika ringan atau sedikit, maka tidak perlu berwudhu berdasarkan kesepakatan para ulama.
3.     Hilang akal baik karena pingsan atau tidur.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«وِكَاءُ السَّهِ الْعَيْنَانِ، فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ»
“Tali pengikat dubur itu kedua mata. Barang siapa yang tidur, maka hendaklah ia berwudhu.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Al Albani).
Adapun gila, pingsan, mabuk, dan sebagainya, maka semua ini membatalkan berdasarkan ijma’.
Dan tidur yang membatalkan adalah tidur nyenyak, dimana seseorang sudah tidak sadar lagi. Adapun tidur yang ringan, maka tidaklah membatalkan wudhu karena para sahabat radhiyallahu ‘anhum pernah menunggu waktu shalat sampai mengantuk, lalu mereka bangun dan shalat tanpa berwudhu terlebih dahulu (sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim).  
4.     Memegang kemaluan tanpa penghalang.
Hal ini berdasarkan hadits Busrah binti Shafwan radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ»
“Barang siapa yang memegang kemaluannya, maka hendaknya ia berwudhu.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Tirmidzi, ia berkata, “Hadits hasan shahih,” Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Al Irwa’ 1/150).
Dalam hadits Abu Ayyub dan Ummu Habibah disebutkan,
«مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ، فَلْيَتَوَضَّأْ»
“Barang siapa yang memegang farjinya, maka hendaknya ia berwudhu.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Al Irwa’ (1/151), adapun hadits Abu Ayyub, Al Albani berkata, “Saya belum mengetahui isnadnya.” Al Irwa’ (1/151))
5.     Memakan daging unta.
Hal ini berdasarkan hadits Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada seorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah kami perlu berwudhu karena memakan daging kambing?” Beliau menjawab,
«إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ، وَإِنْ شِئْتَ فَلَا تَوَضَّأْ»
“Jika kamu mau silahkan berwudhu, dan jika kamu mau, boleh tidak berwudhu.”
Lalu orang itu bertanya lagi, “Apakah kami perlu berwudhu karena memakan daging unta?” Beliau menjawab,
«نَعَمْ فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ»
“Ya. Berwudhulah karena memakan daging unta.” (HR. Muslim).
6.     Riddah (murtad)
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ
“Dan barang siapa yang kafir setelah beriman, maka akan hapuslah amalnya.” (Terj. QS. Al Ma’idah: 5)
Demikian pula semua yang mengharuskan untuk mandi juga sama mengharuskan untuk wudhu, selain karena meninggal dunia.
Perbuatan yang mengharuskan wudhu
Ada beberapa perbuatan yang mengharuskan seseorang untuk berwudhu terlebih dahulu, yaitu:
1.     Shalat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat tidaklah diterima tanpa bersuci, dan sedekah tidaklah diterima dari harta ghulul (khianat dalam ghanimah).” (HR. Muslim).
2.     Thawaf di Baitullah, baik thawaf wajib maupun sunat.
Hal ini karena praktek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berwudhu terlebih dahulu, lalu berthawaf di Baitullah (sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhari (1614) dan Muslim (1235)). Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اَلطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلاَةٌ إِلَّا أَنَّ اللهَ أَبَاحَ فِيْهِ الْكَلاَمَ
“Thawaf di Baitullah adalah shalat, hanyasaja Allah menghalalkan berbicara di sana.” (HR. Ibnu Hibban, Baihaqi, Hakim, ia menshahihkannya dan disepakati oleh Adz Dzahabi, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Al Irwa’ no. 121).
Demikian pula karena larangan Beliau shallalalhu ‘alaihi wa sallam kepada wanita yang haidh melakukan thawaf sampai suci (Lihat Shahih Bukhari no. 305 dan Shahih Muslim no. 1211).
3.     Menyentuh mushaf secara langsung tanpa penghalang.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ
“Tidak ada yang menyentuh Al Qur’an, kecuali orang yang suci.” (HR. Malik, Daruquthni, Baihaqi, Hakim dan ia menshahihkannya, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Al Irwa’ no. 122).
Sebagian ulama berpendapat, bahwa lafaz ‘thahir’ (orang yang suci) di sini adalah lafaz yang musytarak (mengandung banyak arti), bisa tertuju kepada orang yang suci dari hadats besar, orang yang suci dari hadats kecil, orang mukmin, dan orang yang tidak bernajis. Meskipun begitu, sebaiknya seseorang membacanya dalam keadaan suci dari hadats kecil apalagi dari hadats besar.
Perbuatan yang dianjurkan agar berwudhu terlebih dahulu
Ada beberapa perbuatan yang dianjurkan berwudhu terlebih dahulu, yaitu:
1.     Ketika berdzikr dan membaca Al Qur’an.
Hal ini berdasarkan hadits Muhajir bin Qunfudz, ia berkata,
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ، فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ السَّلَامَ، فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ وُضُوئِهِ، قَالَ: «إِنَّهُ لَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ أَنْ أَرُدَّ عَلَيْكَ إِلَّا أَنِّي كُنْتُ عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ»
“Aku pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Beliau sedang berwudhu, lalu aku mengucapkan salam kepadanya, namun ia tidak menjawab salamku. Ketika Beliau telah selesai berwudhu, maka Beliau bersabda, “Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku untuk menjawab salammu, kecuali karena aku tidak berada di atas wudhu.” (HR. Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani).
2.     Ketika setiap kali hendak shalat.
Hal ini karena Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam rutin melakukannya sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu setiap kali shalat.” (HR. Bukhari)
3.     Berwudhu bagi yang junub ketika hendak mengulangi jima’, atau ketika hendak tidur, makan, atau minum.
Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ، ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُودَ، فَلْيَتَوَضَّأْ»
“Jika salah seorang di antara kamu mendatangi istrinya dan hendak mengulangi lagi, maka hendaklah ia berwudhu.” (HR. Muslim)
Demikian juga berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
«كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ جُنُبًا، فَأَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ أَوْ يَنَامَ، تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ»
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila junub dan hendak makan atau tidur, maka Beliau berwudhu seperti wudhu untuk shalat.” (HR. Muslim)
4.     Berwudhu sebelum mandi
Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
«كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ. ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ. ثُمَّ يَتَوَضَّأُ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ...
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mandi karena junub, maka Beliau memulai membasuh kedua tangannya, lalu menuangkan (air) dengan tangan kanannya ke tangan kirinya, kemudian membasuh farjinya, lalu berwudhu seperti wudhu untuk shalat...dst.” (HR. Muslim)
5.     Ketika hendak tidur
Hal ini berdasarkan hadits Al Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ، فَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلاَةِ، ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ الأَيْمَنِ...
“Apabila engkau mendatangi tempat tidurmu, maka berwudhulah seperti wudhu untuk shalat, lalu berbaringlah di atas rusukmu yang kanan...dst.” (HR. Bukhari)
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Fiqhul Muyassar (Beberapa ulama, KSA), Al Wajiz (Dr. Abdul ‘Azhim bin Badawi), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.

Fiqh Wudhu (1)

بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Wudhu (1)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'd:
Berikut ini pembahasan tentang fiqh wudhu. Semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Ta’rif (definisi) wudhu dan hukumnya
Wudhu secara bahasa berasal dari kata wadha’ah yang artinya bersih dan indah. Secara syara’, wudhu adalah menggunakan air untuk empat anggota (wajah, kedua tangan, kepala, dan kedua kaki) dengan cara tertentu yang diterangkan dalam syariat sebagai bentuk beribadah kepada Allah Ta’ala.
Wudhu hukumnya wajib bagi orang yang berhadats apabila dia hendak shalat atau melakukan perbuatan yang dihukumi dengan shalat, seperti thawaf.
Dalil wajibnya wudhu
Dalil wajibnya wudhu adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.” (QS. Al Ma’idah: 6)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ
“Shalat tidaklah diterima tanpa bersuci, dan sedekah tidaklah diterima dari harta ghulul (khianat dalam ghanimah).” (HR. Muslim)
«لَا تُقْبَلُ صَلَاةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ»
“Shalat salah seorang di antara kamu tidaklah diterima ketika berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Muslim)
Dalil sifat wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ - رضى الله عنه - دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم « مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ » . قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَكَانَ عُلَمَاؤُنَا يَقُولُونَ هَذَا الْوُضُوءُ أَسْبَغُ مَا يَتَوَضَّأُ بِهِ أَحَدٌ لِلصَّلاَةِ . 
Dari Humran Maula (budak yang dimerdekakan) Utsman, bahwa Utsman bin Affan radhiyallahu 'anhu pernah meminta dibawakan air wudhu, ia pun berwudhu, membasuh kedua telapak tangannya tiga kali, lalu berkumur-kumur dan menghembuskan air dari hidung, dan membasuh mukanya tiga kali, kemudian membasuh tangan kanan sampai siku tiga kali, yang kiri juga seperti itu. Kemudian ia mengusap kepalanya, lalu membasuh kaki kanannya sampai mata kaki tiga kali, kaki kiri pun sama seperti itu. Setelah itu, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang berwudhu seperti wudhuku ini, lalu berdiri shalat dua rakaat dengan khusyu’, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.
Ibnu Syihab berkata, “Para ulama kami berkata, “Wudhu ini merupakan wudhu paling sempurna yang dilakukan seseorang ketika hendak shalat.” (HR. Bukhari, Muslim (ini adalah lafaznya), Abu Dawud dan Nasa’i).
Kepada siapa wudhu diwajibkan, dan kapan wudhu menjadi wajib?
Wudhu wajib bagi seorang muslim yang baligh dan berakal ketika hendak shalat atau melakukan perbuatan yang dihukumi  dengan shalat. Dan wudhu ini wajib apabila telah masuk waktu shalat atau ketika seseorang hendak melakukan perbuatan yang disyaratkan harus berwudhu yang tidak terikat dengan waktu, seperti berthawaf.
Syarat sah wudhu
Ada beberapa syarat sahnya wudhu, yaitu:
1.    Islam, berakal, dan tamyiz (sudah mampu membedakan). Oleh karena itu, tidak sah wudhu dari orang kafir dan orang gila, dan tidak dipandang dari anak kecil yang di bawah usia tamyiz.
2.    Niat. Hal ini berdasarkan hadits “Innamal a’maalu bin niyyat,” (artinya: sesungguhnya amal tergantung niat, HR. Bukhari dan Muslim), dan niat ini tempatnya di hati, sehingga tidak perlu dilafazkan, karena tidak ada riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melafazkan.
3.    Menggunakan air yang thahur (suci lagi menyucikan), adapun air yang bernajis, maka tidak sah berwudhu dengannya.
4.    Menyingkirkan segala yang menghalangi sampainya air ke kulit, seperti lilin dan semisalnya.
5.    Sebelumnya melakukan istinja atau istijmar[i] ketika ada sebabnya (mengharuskan melakukan demikian).
6.    Muwalah (berturut-turut).
7.    Tertib.
Hal itu, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berwudhu selalu tertib. Namun di antara ulama ada yang tidak memasukkan tertib ke dalam syarat sah wudhu berdasarkan hadits Miqdam bin Ma’dikarib, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah dibawakan air wudhu, lalu Beliau berwudhu, mencuci kedua telapak tangannya tiga kali, membasuh mukanya tiga kali, kemudian membasuh kedua tangannya tiga kali, lalu berkumur-kumur dan menghembuskan air dari hidung tiga kali, kemudian Beliau mengusap kepala dan kedua telinganya...dst.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al Albani).
8.    Membasuh anggota badan yang wajib dibasuh.
Fardhu-fardhu wudhu
Fardhu wudhu ada enam, yaitu:
1.    Membasuh muka secara sempurna.  Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala di surat Al Ma’idah ayat 6 yang telah disebutkan ayatnya. Menurut sebagian ulama, termasuk membasuh muka adalah berkumur-umur dan beristinsyaq (menghirup air ke hidung), karena mulut dan hidung bagian dari wajah.
2.    Membasuh kedua tangan sampai kedua sikut. Dalilnya QS. Al Ma’idah: 6.
3.    Mengusap kepala beserta kedua telinga. Dalilnya QS. Al Ma’idah: 6.
Adapun dalil bahwa kedua telinga juga harus dibasuh adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اَلْأُذُنَانِ مِنَ الَّرأْسِ
“Kedua telinga termasuk kepala.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani).
Oleh karena itu, tidak cukup hanya mengusap sebagian kepala dan meninggalkan sebagian yang lain.
4.    Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki. Dalilnya QS. Al Ma’idah: 6.
5.    Muwalah (berturut-turut), yakni tidak memutuskan dengan perbuatan yang lain di luar wudhu atau membasuh anggota wudhu yang lain tidak ditunda; tidak langsung segera.
Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berwudhu  selalu muwalah. Demikian juga berdasarkan hadits Khalid bin Ma’dan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seorang laki-laki yang shalat sedangkan di punggung kakinya ada bagian seukuran dirham yang tidak terkena air, maka Beliau menyuruh orang itu untuk mengulangi wudhunya.  (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al Albani).
Sunah-Sunah Wudhu
Sunah-sunah wudhu maksudnya perkara yang dianjurkan dilakukan, dimana pelakunya mendapatkan pahala dan orang yang meninggalkannya tidak berdosa. Sunah-sunah itu adalah:
1.     Tasmiyah (Membaca basmalah) di awal wudhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ وُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ
“Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah padanya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Hakim dan lainnya dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu. Hadits ini dihasankan oleh Ibnush Shalah, Ibnu Katsir, Al Iraqi, dan Al Albani. Dikuatkan oleh Al Mundziriy dan Ibnu Hajar)
2.     Bersiwak. Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوءٍ
“Kalau bukan karena khawatir aku memberatkan umatku, tentu aku akan memerintahkan mereka bersiwak setiap kali wudhu.” (HR. Bukhari secara mu’allaq dan dimaushulkan oleh Nasa’i, lihat Fathul Bari 4/159).
3.     Membasuh dua telapak tangan tiga kali di awal wudhu sebagaimana disebutkan dalam dalil sifat wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
4.     Bersungguh-sungguh dalam berkumur-kumur dan beristinsyaq (menghirup air ke hidung) bagi yang tidak berpuasa. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَبَالِغْ فِي الْاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِماً
“Dan bersungguh-sungguhlah ketika beristinsyaq kecuali jika engkau berpuasa.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, dan dishahihkan oleh Al Albani).
5.     Dalk (menggosok-gosok dalam membasuh anggota wudhu) dan menyela-nyela janggut yang lebat dengan air sehingga air masuk ke bagian dalamnya.
Hal ini berdasarkan praktek Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berwudhu, dimana Beliau ketika berwudhu menggosok kedua tangannya (HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya, Ahmad, Baihaqi dalam Al Kubra, Hakim dalam Mustadraknya dan ia menshahihkannya, serta dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah).
6.     Mendahulukan bagian kanan daripada bagian kiri dalam membasuh tangan dan kaki.
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam suka mendahulukan bagian yang kanan, baik ketika memakai sandal, menyisir, bersuci, dan dalam semua urusannya.” (HR.  Bukhari dan Muslim)
7.     Membasuh wajah, tangan, dan kaki tiga kali. Yang wajib adalah sekali, dan dianjurkan tiga kali. Telah shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau pernah berwudhu sekali-sekali, dua kali-dua kali, dan tiga kali-tiga kali (sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim).
8.     Membaca doa setelah wudhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ, فَيُسْبِغُ اَلْوُضُوءَ, ثُمَّ يَقُولُ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ, إِلَّا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ اَلْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ، يَدْخُلُ مِنْ أَيَّهَا شَاءَ"
“Tidak ada seorang pun di antara kamu yang berwudhu, lalu ia menyempurnakan wudhunya kemudian mengucapkan, “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya, kecuali akan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang berjumlah delapan, dimana ia bisa masuk melalui pintu mana saja.” (HR. Ahmad, Muslim, dan Tirmidzi, Tirmidzi menambahkan,
اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنْ اَلتَّوَّابِينَ, وَاجْعَلْنِي مِنْ اَلْمُتَطَهِّرِينَ
 “Ya Allah, jadikan aku termasuk orang-orang yang bertobat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bersuci.” (Tambahan ini dishahihkan oleh Al Albani, Al Irwa’ No. 96)).
Bersambung...
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Fiqhul Muyassar (Beberapa ulama, KSA), Al Wajiz (Dr. Abdul ‘Azhim bin Badawi), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.


[i] Istinja’ artinya membersihkan sesuatu yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur) dengan menggunakan air.
Istijmar artinya mengusap sesuatu yang keluar dari dua jalan itu dengan sesuatu yang suci, mubah, lagi membersihkan seperti batu dan semisalnya.
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger