بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqh Siwak
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan
tentang fiqh siwak. Semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Ta’rif
siwak
Siwak maksudnya menggunakan
kayu atau semisalnya untuk menghilangkan sesuatu yang menempel di gigi atau
gusi berupa makanan atau berupa bau yang tidak sedap.
Hukum
siwak
Bersiwak
hukumnya sunnah menurut jumhur ulama. Bersiwak dianjurkan dalam setiap waktu
meskipun ketika seseorang berpuasa. Oleh karena itu, seorang yang berpuasa
boleh bersiwak baik di awal siang, tengahnya, maupun di akhirnya. Tirmidzi
berkata, “Imam Syafi’i tidak menganggap ada masalah bersiwak di awal siang
(hari puasa) dan di akhirnya.”
Hal itu, karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan bersiwak secara mutlak dan
tidak membatasi pada waktu tertentu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda,
«السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ
لِلرَّبِّ»
“Siwak itu
menyucikan mulut dan membuat Allah ridha.” (HR. Bukhari secara mu’allaq dengan
shighat jazm (menunjukkan shahih), juga diriwayatkan oleh Ahmad, dan Nasa’i,
dan dishahihkan oleh Al Albani)
Beliau
shallallhu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda,
«لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ
عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلاَةٍ»
“Kalau bukan
karena aku khawatir memberatkan umatku atau memberatkan manusia, tentu aku
perintahkan mereka bersiwak ketika hendak shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)[i]
Dalam Al
Badrul Munir disebutkan, “Telah disebutkan tentang siwak lebih dari seratus
hadits. Namun sungguh aneh, sunnah yang banyak hadits-haditsnya ini diremehkan
oleh banyak orang, bahkan oleh banyak para fuqaha. Ini adalah kerugian yang
besar.”
Kapankah
siwak ini ditekankan (sunnah mu’akkadah)?
Siwak lebih
ditekankan ketika hendak berwudhu, ketika bangun tidur, ketika hendak membaca
Al Qur’an, ketika hendak shalat, ketika masuk masjid atau rumah, ketika bau
mulut telah berubah, ketika lama diam, dan ketika gigi menguning.
Berikut ini di
antara dalil ditekankannya bersiwak dalam keadaan di atas:
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ
عِنْدَ كُلِّ وُضُوءٍ
“Kalau bukan
karena aku khawatir memberatkan umatku, tentu aku perintahkan mereka bersiwak
ketika hendak wudhu.” (HR. Bukhari secara mu’allaq dengan shighat jazm, Ibnu
Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani).
Imam Bukhari dan
Muslim meriwayatkan dari Hudzaifah, ia berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «إِذَا قَامَ مِنَ
اللَّيْلِ، يَشُوصُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ»
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila bangun malam (untuk bertahajjud), menggosok
giginya dengan siwak.”
Imam Baihaqi
meriwayatkan dari Ali radhiyallahu ‘anhu ia berkata,
أَمَرَنَا بِالسِّوَاكِ وَقَالَ : إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا قَامَ يُصَلِّي
أَتَاهُ الْمَلَكُ فَقَامَ خَلْفَهُ يَسْتَمِعُ الْقُرْآنَ وَيَدْنُوْ، فَلاَ يَزَالُ
يَسْتَمِعُ وَيَدْنُوْ حَتَّى يَضَعَ فَاهُ عَلَى فِيْهِ فَلاَ يَقْرَأُ آيَةً إِلاَّ
كَانَتْ فِي جَوْفِ الْمَلَكِ "
“Beliau
memerintahkan kami bersiwak, dan bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba apabila
berdiri shalat, maka malaikat akan mendatanginya dan berdiri di belakangnya
mendengarkan Al Qur’an dan mendekat. Ia terus mendengar dan mendekat sehingga
meletakkan mulutnya ke mulutnya, maka tidaklah ia membaca sebuah ayat,
melainkan ayat itu berada di dalam rongga malaikat.” (Hadits ini shahih
ligharih, lihat Ash Shahihah no. 1213)
Imam Muslim
meriwayatkan dari Miqdam bin Syuraih dari ayahnya, dari Aisyah radhiyallahu
‘anha,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كَانَ إِذَا
دَخَلَ بَيْتَهُ بَدَأَ بِالسِّوَاكِ»
“Bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila masuk ke rumahnya, memulai dengan
bersiwak (terlebih dahulu).”(Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu
Majah, dan Nasa’i).
Menyikat
lidah dengan siwak
Dari Abu Musa Al
Asy’ariy radhiyallahu anhu ia berkata,
عَنْ أَبِي مُوسَى الأَشْعَرِي -رَضِيَ اللهُ عَنْه-ُ قـَالَ: « أَتَيْتُ
النَّبِيَّ -ﷺ- وَهُوَ يَسْتَاكُ بِسِوَاكٍ رَطْبٍ قـَالَ: وَطَرْفُ
السِّوَاكِ عَلَى لِسَانِهِ وَهُوَ يَقُوْلُ أُعْ أُعْ وَالسِّوَاكُ فِي فِيْهِ وَكَأَنَّهُ
يَتَهَوَّعُ.
“Aku pernah mendatangi
Nabi shallallahu alaihi wa sallam saat Beliau menyikat gigi dengan siwak basah.
Ketika itu ujung siwak pada lidah Beliau sedang (dari mulut) Beliau terdegar
suara u’-u’, saat itu siwak itu di mulutnya seakan-akan Beliau muntah.” (Hr. Bukhari
dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan,
bahwa sunnahnya bersiwak dengan siwak basah, bersiwak pula pada bagian lisan, dan
sungguh-sungguh ketika bersiwak, dan bolehnya bersiwak di hadapan manusia.
Dengan
benda apa bersiwak dilakukan?
Dianjurkan
bersiwak dengan menggunakan kayu yang basah dan lembut, tidak kasar yang dapat
melukai mulut. Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersiwak
dengan menggunakan kayu ‘arak’ .
Seseorang yang
bersiwak boleh menggunakan tangannya yang kanan atau yang kiri. Dan dalam
masalah ini adalah kelonggaran[ii].
Jika seseorang
tidak mempunyai kayu atau sikat untuk menggosok gigi, maka seseorang bisa
bersiwak menggunakan jarinya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Ali
radhiyallahu ‘anhu tentang sifat wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (HR.
Ahmad, dan dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam At Talkhish (1/70).
Dan dianjurkan
setelah menggunakan siwak, ia mencucinya agar bersih. Hal ini berdasarkan
hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
«كَانَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَسْتَاكُ، فَيُعْطِينِي السِّوَاكَ لِأَغْسِلَهُ، فَأَبْدَأُ بِهِ
فَأَسْتَاكُ، ثُمَّ أَغْسِلُهُ وَأَدْفَعُهُ إِلَيْهِ»
“Nabiyyullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersiwak, lalu memberikan kepadaku siwaknya agar
aku cuci, kemudian aku mulai bersiwak terlebih dahulu lalu mencucinya, dan
menyerahkan kembali kepada Beliau.” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi, dan dihasankan
oleh Al Albani).
Seseorang juga
boleh bersiwak menggunakan siwak saudaranya. Imam Abu Dawud meriwayatkan dengan
sanadnya yang sampai kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
«كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَسْتَنُّ وَعِنْدَهُ رَجُلَانِ، أَحَدُهُمَا أَكْبَرُ مِنَ الْآخَرِ،
فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَيْهِ فِي فَضْلِ السِّوَاكِ، أَنْ كَبِّرْ أَعْطِ
السِّوَاكَ أَكْبَرَهُمَا»
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersiwak, sedangkan di dekat Beliau ada dua
orang, dimana yang satu lebih tua daripada yang lain, lalu Allah mewahyukan
kepada Beliau tentang keutamaan siwak, isinya juga “Dahulukan yang tua,” yakni
berikan kepada yang lebih tua di antara keduanya.” (Hadits ini dinyatakan shahih oleh Al Albani)[iii].
Faedah
siwak
Di antara faedah
siwak adalah menyucikan mulut dan membuat ridha Allah Azza wa Jalla. Oleh
karena itu, seorang muslim perlu memperhatikan Sunnah ini dan tidak
meninggalkannya, karena faedahnya yang besar.
Di antara faedah
siwak lainnya adalah bahwa dengan bersiwak menguatkan gigi dan gusi,
menjernihkan suara, membuat seorang hamba semakin semangat, dan membuat seseorang
semakin percaya diri.
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad wa
'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Fiqhul Muyassar (Beberapa Ulama, KSA), Fiqhussunnah
(S. Sabiq), Aunul Ma’bud (M. Asyraf Al Azhim Abadi), Minhajul Muslim
(Abu Bakar Al Jaza’iriy), Maktabah Syamilah versi 3.45, Subulussalam
(Ash Shan’ani), dll.
[i] Ibnu Daqiqil Ied berkata, “Rahasia di sana, yakni bersiwak ketika hendak
shalat adalah karena kita diperintahkan dalam setiap bentuk taqarrub kepada
Allah berada dalam keadaan sempurna dan bersih untuk menampakkan keistimewaan
ibadah.”
Namun ada yang
berpendapat, bahwa bersiwak dilakukan karena terkait dengan malaikat, dimana ia
meletakkan mulutnya di mulut orang yang membaca Al Qur’an dan merasa terganggu
dengan bau yang tidak enak.” Oleh karena itu, disunnahkan siwak karena sebab
ini. Dan ini adalah pendapat yang bagus.
[ii] Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Para ulama berbeda
pendapat, apakah bersiwak itu menggunakan tangan kanan atau tangan kiri?”
Sebagian
mereka berpendapat, “Dengan tangan kanan, karena bersiwak itu suatu sunnah, dan
sunnah merupakan ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah Ta’ala, sehingga
tidak menggunakan tangan kiri, karena tangan kiri didahulukan dalam hal yang
kotor berdasarkan kaedah “Tangan kiri didahulukan untuk hal yang kotor,
sedangkan tangan kanan untuk selain itu.” Jika siwak merupakan ibadah, maka
yang utama adalah menggunakan tangan kanan.”
Sebagian lagi
berpendapat, “Bahkan dengan tangan kiri lebih utama, dan inilah madzhab yang
masyhur, karena siwak menyingkirkan kotoran, sedangkan menyingkirkan kotoran
itu dengan tangan kiri sebagaimana istinja dan istijmar.”
Sebagian ulama
madzhab Maliki memberikan perincian, yaitu jika bersiwak untuk membersihkan
mulut seperti ketika bangun dari tidur atau membersihkan sisa makanan dan
minuman, maka dengan tangan kiri, karena menyingkirkan kotoran. Tetapi jika
seseorang bersiwak untuk mengamalkan sunnah, maka dengan tangan kanan, karena
ia merupakan ibadah, seperti ketika hendak wudhu ia bersiwak, lalu ia
mendatangi shalat dalam waktu yang berdekatan, ia pun bersiwak untuk
mengamalkan sunnah.”
Namun dalam
masalah ini terdapat kelonggaran karena tidak ada nash yang jelas dalam hal
tersebut.” (Lihat Asy Syarhul Mumti’ Alaa Zadil Mustaqni’ jilid 2 hal.
155-156).
[iii] Para ulama berkata, “Dalam hadits tersebut terdapat dalil
mendahulukan yang lebih tua dalam hal siwak, demikian pula dalam hal makan,
minum, berjalan, dan berbicara. Hal ini apabila kaum itu tidak duduk secara
tertib. Jika mereka tertib, maka sunnahnya mendahulukan yang berada di sebelah
kanan. Hadits tersebut juga menunjukkan, bahwa menggunakan siwak orang lain
dengan keridhaannya baik secara tegas atau uruf (biasanya ridha) tidaklah
makruh.”
0 komentar:
Posting Komentar