Terjemah Umdatul Ahkam (34)

Jumat, 30 Agustus 2019

بسم الله الرحمن الرحيم
نتيجة بحث الصور عن كتاب الحدود
Terjemah Umdatul Ahkam (34)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan terjemah Umdatul Ahkam karya Imam Abdul Ghani Al Maqdisi (541 H – 600 H) rahimahullah. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penerjemahan kitab ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Kitab Qishas
350 - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: ((اقْتَتَلَتْ امْرَأَتَانِ مِنْ هُذَيْلٍ. فَرَمَتْ إحْدَاهُمَا الأُخْرَى بِحَجَرٍ , فَقَتَلَتْهَا وَمَا فِي بَطْنِهَا فَاخْتَصَمُوا إلَى النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَضَى رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -: أَنَّ دِيَةَ جَنِينِهَا غُرَّةٌ - عَبْدٌ , أَوْ وَلِيدَةٌ - وَقَضَى بِدِيَةِ الْمَرْأَةِ عَلَى عَاقِلَتِهَا , وَوَرَّثَهَا وَلَدَهَا وَمَنْ مَعَهُمْ , فَقَامَ حَمَلُ بْنُ النَّابِغَةِ الْهُذَلِيُّ , فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ , كَيْفَ أَغْرَمُ مَنْ لاشَرِبَ وَلا أَكَلَ , وَلا نَطَقَ وَلا اسْتَهَلَّ , فَمِثْلُ ذَلِكَ يُطَلُّ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -: إنَّمَا هُوَ مِنْ إخْوَانِ الْكُهَّانِ)) مِنْ أَجْلِ سَجْعِهِ الَّذِي سَجَعَ.
350. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, “Ada dua wanita dari Hudzail yang berkelahi, lalu salah satunya melempar yang lain dengan batu dan membuat wanita yang dilempar batu itu tewas berikut janinnya. Akhirnya keluarga korban melaporkan kejadian itu kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menetapkan, bahwa diyat janinnya adalah ghurrah budak laki-laki atau perempuan[1]. Beliau juga menetapkan bahwa diyat wanita yang menjadi korban ini ditanggung kerabat si pelaku. Sedangkan yang mewarisinya adalah anak dan orang yang bersama mereka, lalu Hamal bin Nabighah Al Hudzalliy berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana saya harus menanggung orang yang belum bisa makan dan minum, belum bisa bicara atau menjerit sama sekali. Bukankah hal itu termasuk kecelakaan yang seharusnya dibebaskan?” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Orang ini termasuk saudara dukun.” Pernyataan Beliau ini karena mendengar kalimat bersajak yang disampaikannya.
351 - عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ - رضي الله عنه - ((أَنَّ رَجُلاً عَضَّ يَدَ رَجُلٍ , فَنَزَعَ يَدَهُ مِنْ فِيهِ , فَوَقَعَتْ ثَنِيَّتُهُ , فَاخْتَصَمَا إلَى النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ: يَعَضُّ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ كَمَا يَعَضُّ الْفَحْلُ , لا دِيَةَ لَك)) .
351. Dari Imran bin Hushain radhiyallahu anhu, bahwa ada seorang yang menggigit tangan orang lain, lalu orang itu menarik tangannya dari mulut yang menggigitnya sehingga lepaslah gigi depannya. Keduanya kemudian melaporkan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maka Beliau bersabda, “Apakah salah seorang di antara kamu menggigit saudaranya sebagaimana yang dilakukan hewan jantan?! Tidak ada diyat untukmu.”
352 - عَنْ الْحَسَنِ بْنِ أَبِي الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ - رحمه الله تعالى - قَالَ: حَدَّثَنَا جُنْدُبٌ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ , وَمَا نَسِينَا مِنْهُ حَدِيثاً , وَمَا نَخْشَى أَنْ يَكُونَ جُنْدُبٌ كَذَبَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -: ((كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ بِهِ جُرْحٌ فَجَزِعَ , فَأَخَذَ سِكِّيناً فَحَزَّ بِهَا يَدَهُ , فَمَا رَقَأَ الدَّمُ حَتَّى مَاتَ. قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: عَبْدِي بَادَرَنِي بِنَفْسِهِ , حَرَّمْتُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ))
352. Dari Al Hasan bin Abil Hasan Al Bashri rahimahullah ia berkata, “Telah menceritakan kepada kami Jundub di masjid ini dan kami tidak melupakan haditsnya, dan kami tidak khawatir kalau Jundub berdusta atas nama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (karena tidak mungkin ia berani berdusta), ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Dahulu di zaman sebelum kalian ada seorang yang terluka, ia keluh kesah terhadap lukanya, maka diambilnya pisau kemudian ia potong urat nadi tangannya sehingga darah terus keluar sampai orang tersebut mati. Allah Azza wa Jalla berfirman terhadapnya, “Hamba-Ku mendahului-Ku terhadap jiwanya, maka Aku haramkan baginya memperoleh surga.”
Kitab Hudud
353 - عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ - رضي الله عنه - قَالَ: ((قَدِمَ نَاسٌ مِنْ عُكْلٍ - أَوْ عُرَيْنَةَ - فَاجْتَوَوُا الْمَدِينَةَ , فَأَمَرَ لَهُمْ النَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - بِلِقَاحٍ , وَأَمَرَهُمْ أَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا فَانْطَلَقُوا. فَلَمَّا صَحُّوا قَتَلُوا رَاعِيَ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - وَاسْتَاقُوا النَّعَمَ، فَجَاءَ الْخَبَرُ فِي أَوَّلِ النَّهَارِ , فَبَعَثَ فِي آثَارِهِمْ. فَلَمَّا ارْتَفَعَ النَّهَارُ جِيءَ بِهِمْ , فَأَمَرَ بِهِمْ: فَقُطِّعَتْ أَيْدِيهمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلافٍ , وَسُمِرَتْ أَعْيُنُهُمْ , وَتُرِكُوا فِي الْحَرَّةِ  يَسْتَسْقُونَ , فَلا يُسْقَوْنَ. قَالَ أَبُو قِلابَةَ: فَهَؤُلاءِ سَرَقُوا وَقَتَلُوا وَكَفَرُوا بَعْدَ إيمَانِهِمْ , وَحَارَبُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ)) . أَخْرَجَهُ الْجَمَاعَةُ.
353. Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu ia berkata, “Ada beberapa orang dari Ukl atau Urainah yang datang ke Madinah, maka mereka merasa tidak nyaman di Madinah (karena ada penyakit pada perut mereka), lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan mereka mendatangi unta yang banyak susunya dan menyuruh mereka meminum kencing dan susunya, maka mereka pun melakukannya. Ketika mereka telah sehat, maka mereka membunuh penggembala milik Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan membawa hewan ternaknya. Berita itu kemudian sampai kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam di pagi hari, lalu Beliau mengirim orang untuk menangkap mereka. Di siang hari mereka pun dibawa ke hadapan Beliau, lalu Beliau memerintahkan untuk dipotong tangan dan kaki mereka secara bersilang dan dicukil mata mereka, lalu mereka dibiarkan di tanah berbatu hitam kehausan meminta air namun tidak diberi minum.” Abu Qilabah berkata, “Mereka telah melakukan pencurian, pembunuhan, dan kafir setelah beriman, serta memerangi Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.” (Hr. Jamaah Ahli Hadits)
354 - عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَزَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ رضي الله عنهما , أَنَّهُمَا قَالا: ((إنَّ رَجُلاً مِنَ الأَعْرَابِ أَتَى رَسُولَ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ , أَنْشُدُك اللَّهَ إلاَّ قَضَيْتَ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ. فَقَالَ الْخَصْمُ الآخَرُ - وَهُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ - نَعَمْ , فَاقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ , وَأْذَنْ لِي. فَقَالَ النَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم -: قُلْ , فَقَالَ: إنَّ ابْنِي كَانَ عَسِيفاً عَلَى هَذَا , فَزَنَى بِامْرَأَتِهِ , وَإِنِّي أُخْبِرْت أَنَّ عَلَى ابْنِي الرَّجْمَ , فَافْتَدَيْت مِنْهُ بِمِائَةِ شَاةٍ وَوَلِيدَةٍ , فَسَأَلْتُ أَهْلَ الْعِلْمِ فَأَخْبَرُونِي أَنَّمَا عَلَى ابْنِي جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ , وَأَنَّ عَلَى امْرَأَةِ هَذَا الرَّجْمَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -: وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللَّهِ , الْوَلِيدَةُ وَالْغَنَمُ رَدٌّ عَلَيْك وَعَلَى ابْنِك جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ. وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ - لِرَجُلٍ مِنْ أَسْلَمَ - عَلَى امْرَأَةِ هَذَا , فَإِنْ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا , فَغَدَا عَلَيْهَا , فَاعْتَرَفَتْ , فَأَمَرَ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَرُجِمَتْ))
354. Dari Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud, dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid Al Juhanniy radhiyallahu anhuma, keduanya menyampaikan, bahwa seorang Arab badui datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku meminta kepada engkau dengan nama Allah agar engkau memutuskan di antara kami dengan kitab Allah!” Lawan bicaranya –dimana ia lebih faham agama daripada yang lain- berkata, “Ya. Putuskanlah di antara kami dengan kitab Allah dan berilah izin kepadaku untuk berbicara.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Katakanlah!” Ia berkata, “Sesungguhnya putraku ini menjadi pekerja terhadap laki-laki ini, lalu ia berzina dengan istrinya. Aku diberitahukan, bahwa anakku harus dirajam, lalu aku tebus dengan 100 ekor kambing dan satu budak. Aku pun bertanya kepada Ahli Ilmu tentang hal itu, lalu mereka memberitahukan aku bahwa anakku cukup didera (dicambuk) seratus kali dan diasingkan setahun, sedangkan terhadap istri orang ini harus dirajam.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun bersabda, “Demi Allah yang nyawaku di Tangannya, aku akan putuskan masalah kamu berdua dengan kitab Allah.  Budak dan kambing dikembalikan kepadamu, dan anakmu mesti dicambuk seratus kali dan diasingkan setahun, dan wahai Unais –seorang yang berasal dari suku Aslam- pergilah mendatangi istri orang ini. Jika ia mengaku, maka rajamlah.” Maka Unais pergi mendatanginya, ia pun mengaku, lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk dirajam.”
355 - عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُقْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَزَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ رضي الله عنهما قَالا: ((سُئِلَ النَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - عَنِ الأَمَةِ إذَا زَنَتْ وَلَمْ تُحْصَنْ؟ قَالَ: إنْ زَنَتْ فَاجْلِدُوهَا , ثُمَّ إنْ زَنَتْ فَاجْلِدُوهَا , ثُمَّ إنْ زَنَتْ فَاجْلِدُوهَا , ثُمَّ بِيعُوهَا وَلَوْ بِضَفِيرٍ)) .
قالَ ابنُ شِهابٍ: «ولاأَدري، أَبَعْدَ الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعةِ»
355. Dari Ubaidullah bin Uqbah bin Mas’ud, dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid Al Juhanniy, keduanya berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang budak wanita yang berzina dan belum menikah, Beliau menjawab, “Jika ia berzina, maka cambuklah. Jika berzina lagi, maka cambuklah, dan jika berzina lagi, maka cambuklah, lalu juallah walaupun dengan harga seikat tali.” Ibnu syihab berkata, “Aku tidak tahu, Beliau mengucapkan kata itu ‘dijual’ setelah ketiga atau keempat kali zina.”
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Penerjemah:
Marwan bin Musa


[1] Ghurrah menurut istilah Ahli Fiqih adalah budak perempuan atau budak laki-laki kecil yang sudah tamyiz yang selamat dari cacat yang mengurangi nilainya. Inilah yang wajib dikeluarkan pelaku jinayat untuk diserahkan kepada Ahli Waris, dan jika tidak ada ghurrah, maka diyat janin berupa 1/10 dari diyat wanita. Sebagian ulama memperkirakan bahwa nilainya kurang lebih 213 gram emas. 

Kaum Salaf Dalam Menjaga Lisan

Senin, 26 Agustus 2019
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫حفظ اللسان‬‎
Kaum Salaf Dalam Menjaga Lisan
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut contoh keteladanan kaum Salaf dalam menjaga lisan yang kami ambil dari kitab Aina Nahnu Min Akhlaqis Salaf, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Keteladanan kaum salaf dalam menjaga lisan
Dari Maimun bin Mihran ia berkata, “Ada seorang yang datang kepada Salman Al Farisi dan berkata, “Berilah aku nasihat!” Ia menjawab, “Jangan berbicara.” Orang itu berkata, “Tidak mungkin orang yang bergaul dengan orang lain untuk tidak berbicara.” Ia menjawab, “Jika engkau ingin berbicara, maka bicaralah yang benar atau diam.” Ia lanjut berkata, “Tambahkanlah nasihatmu!” Salman menjawab, “Jangan engkau marah.” Orang itu berkata, “Terkadang aku dihadapi masalah yang aku tidak sanggup menahannya.” Salman berkata, “Jika engkau marah, maka tahanlah lisan dan tanganmu.” Ia lanjut berkata, “Tambahkanlah nasihatmu!” Salman berkata, “Jangan engkau campuri urusan orang lain.” Orang itu berkata, “Tidak mungkin orang yang bergaul dengan orang lain tidak mencampuri urusan mereka.” Salman berkata, “Jika engkau harus mencampuri urusan mereka, maka berkatalah yang jujur dan tunaikanlah amanah.” (Shifatush Shofwah 1/549)
Menghormati Orang Yang Bicara
Dari Mu’adz bin Sa’id ia berkata, “Kami pernah berada di dekat Atha bin Abi Rabah, lalu ada seorang yang berbicara, tetapi pembicaraannya dipotong oleh yang lain, maka Atha berkata, “Subhanallah! Akhlak apa ini? Akhlak semacam apa ini? Sesungguhnya aku mendengar pembicaraan seseorang meskipun aku lebih tahu tentangnya, namun aku memperlihatkan kepadanya seakan-akan aku tidak lebih baik daripadanya.” (Shifatush Shofwah 2/214)
Dari Khalaf bin Tamim, ia berkata, “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad, dari Al Auza’i, ia berkata, “Umar bin Abdul Aziz pernah menulis surat kepada kami dimana tidak ada yang hafal isinya selain aku dan Makhul, yaitu:
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّهُ مَنْ أَكْثَرَ ذِكْرَ المَوْتِ، رَضِيَ مِنَ الدُّنْيَا بِاليَسِيْرِ، وَمَنْ عَدَّ كَلاَمَهُ مِنْ عَمَلِهِ، قَلَّ كَلاَمُهُ إِلاَّ فِيْمَا يَنْفَعُهُ، وَالسَّلاَمُ
“Amma ba’du, sesungguhnya orang yang sering mengingat kematian akan ridha ketika menerima yang sedikit dari dunia ini, dan orang yang menganggap bahwa bicaranya termasuk amalnya, maka akan sedikit bicara kecuali untuk hal yang bermanfaat baginya, was salam.” (Siyar A’lamin Nubala 5/133)
Setiap Ucapan Akan Dicatat Oleh Malaikat
Dari Ya’la bin Ubaid ia berkata, “Kami pernah menemui Muhammad bin Sauqah lalu ia berkata, “Aku akan menyampaikan sebuah riwayat yang mudah-mudahan bermanfaat bagi kalian, karena riwayat itu bermanfaat bagiku, “Atha bin Abi Rabah pernah berkata kepada kami, “Wahai para putra saudaraku, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian tidak suka berlebihan dalam bicara. Mereka menganggap berlebihan dalam berbicara ketika digunakan untuk selain kitab Allah Azza wa Jalla, selain beramar ma’ruf dan bernahi munkar, atau selain berbicara untuk hal-hal terkait kebutuhan hidup. Apakah kalian mengingkari adanya para malaikat mulia yang siap mencatat amal kalian, yang duduk di sebelah kanan dan kiri kalian, tidak ada satu ucapan pun yang disampaikan melainkan di sisinya ada malaikat yang mengawasi dan siap mencatat? Tidak malukah salah seorang di antara kalian ketika dibuka catatan amal ternyata sepanjang harinya diisi untuk hal yang tidak ada manfaat bagi agama maupun dunianya?” (Shifatush Shofwah 2/213)
Fudhail bin Iyadh berkata, “Jika engkau duduk lalu berbicara tanpa mempedulikan orang yang mencela dan memujimu, maka bicaralah.” (Siyar A’lamin Nubala 8/433)
Al Fudhai bin Iyadh pernah ditanya, “Apakah zuhud itu? Ia menjawab, “Sifat Qana’ah (menerima apa adanya).” Ia ditanya lagi, “Apa itu wara?” Ia menjawab, “Menjauhi yang haram.” Ia ditanya lagi, “Apa itu ibadah?” Ia menjawab, “menjalankan kewajiban.” Ia ditanya lagi, “Apa itu tawadhu?” Ia menjawab, “Engkau tunduk kepada kebenaran.” Fudhail juga berkata, “Wara yang paling berat adalah dalam menjaga lisan.”
Imam Adz Dzahabi berkata, “Memang demikian adanya. Terkadang engkau melihat seseorang wara dalam hal makan, pakaian, dan pergaulannya, tetapi ketika ia berbicara, ada hal lain yang tidak seharusnya disertakan, namjun ia sertakan juga dalam pembicaraannya. Jika ia berusaha memilih kejujuran, maka kejujurannya tidak sempurna. Jika ia jujur, maka ucapannya akan dihiasnya lalu dirinya dipuji karena fasihnya, dan terkadang ia tampakkan ucapan terbaiknya agar dimuliakan, atau ia diam pada keadaan-keadaan yang seharusnya ia berbicara akhirnya ia disanjung. Obat terhadap semua itu adalah meninggalkan manusia kecuali terhadap jamaah kaum muslimin.” (Siyar A’amin Nubala 8/434)
Umar bin Abdul Aziz berkata, “Kami mendapati kaum Salaf, bahwa mereka tidak memandang ibadah hanya pada puasa dan shalat saja, tetapi termasuk pula menjaga lisan dari mencela kehormatan manusia, karena orang yang melakukan Qiyamullail dan berpuasa di siang hari, jika tidak menjaga lisannya akan bangkrut pada hari Kiamat." (Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya dalam Dzammul Ghibah)
Berhati-Hati dalam memberi nasihat
Ahmad bin Abil Hawariy pernah berkata, “Telah menceritakan kepada kami Abu Abdillah Al Anthakiy ia berkata, “Fudhail dan Sufyan Ats Tsauriy pernah berkumpul bersama, lalu keduanya saling mengingatkan, lalu Sufyan tersentuh hatinya dan menangis, kemudian berkata, “Aku harapkan majlis ini menjadi rahmat dan keberkahan bagi kita.” Lalu Fudhail berkata kepadanya, “Wahai Abu Abdillah, akan tetapi aku takut tidak ada yang lebih berbahaya daripadanya. Bukankah engkau menyampaikan perkataan terbaikmu, dan aku pun menyampaikan perkataan terbaikku, engkau hias kata-kata itu untukku sebagaimana aku hias kata-kata itu untukmu?” Maka Sufyan Ats Tsauriy berkata, “Engkau telah menghidupkan hatiku, maka semoga Allah menghidupkan hatimu.” (Siyar A’lamin Nubala 8/439)
Dari Abu Bakar bin Ayyasy ia berkata, “Manfaat paling kecil dari diam adalah selamat, dan itu sudah cukup sebagai keamanan, sedangkan bahaya yang paling kecil dari berbicara adalah menjadi terkenal, dan cukuplah hal itu sebagai ccobaan.” (Siyar A’lamin Nubala 8/501)
Tips menjalan lisan
Ubayah bin Kulaib berkata, “Aku mendengar Ibnus Samak berkata, “Binatang buasmu ada di antara kedua janggutmu (mulut), engkau dapat memakan (menggunjing) orang yang lewat di hadapanmu. Engkau telah mengganggu penduduk kampung di kampung mereka bahkan sampai mengganggu orang-orang yang telah berada di kubur. Engkau pun tidak menyesali kematian mereka, padahal mereka telah lama menderita. Namun di sini engkau malah membongkar kuburan mereka. Padahal cukup bagimu tiga hal ini untuk meninggalkan pembicaraan terhadap saudaramu, yaitu: Pertama, boleh jadi engkau menyebutkan satu kekurangannya yang ternyata ada pula dalam dirimu, maka bagaimana nantinya engkau di hadapan Rabbmu jika engkau menyebutkan kekurangan pada saudaramu yang dirimu juga memilikinya? (Kedua) Boleh jadi engkau menyebutkan kekurangannya padahal dirimu memiliki kekurangan yang jauh lebih besar dari itu? Maka sudah barang tentu, hal itu lebih membuat Rabbmu murka kepadamu, atau (ketiga) engkau menyebutkan kekurangannya yang Allah jaga dirimu daripadanya, lalu pantaskah engkau balas dengan menyebut kekurangannya padahal Allah telah membersihkan dirimu. Tidakkah engkau mendengar pernyataan ‘sayangilah saudaramu dan pujilah Allah yang telah menjagamu’?” (Shifatush Shafwah 3/176)
Bakar bin Munir berkata, “Aku mendengar Abu Abdillah Al Bukhari berkata, “Aku ingin menghadap Allah dalam keadaan aku tidak dihisab-Nya karena mengghibahi (menggunjing) seseorang.”
Imam Adz Dzahabi berkata, “Benarlah ucapannya –semoga Allah merahmatinya-. Barang siapa yang memperhatikan ucapan beliau dalam jarh wat ta’dil, maka ia akan tahu kewaraannya (kehati-hatiannya) dalam berbicara terhadap manusia dan keadilan sikapnya terhadap orang yang didhaifkannya, bahkan ucapannya yang paling sering adalah ‘perawi yang mungkar (aneh) haditsnya’, ‘para ulama tidak mengomentarinya’, ‘perawi ini perlu diteliti kembali’, dsb. Jarang sekali ia berkata, “Si fulan pendusta atau pemalsu hadits’, bahkan ia sempat berkata, “Apabila aku berkata, “Si fulan pada haditsnya perlu diteliti’ maka berarti orang ini tertuduh dusta atau lemah. Demikianlah maksud pernyataan beliau ‘dalam keadaan aku tidak dihisab-Nya karena mengghibahi (menggunjing) seseorang,’ demi Allah, sikap ini betul-betul wara.” (Siyar A’lamin Nubala 12/439, 441)
Dari Sahl bin Abdullah At Tustari ia berkata, “Termasuk akhlak para shiddiqin adalah mereka tidak mudah bersumpah atas nama Allah, tidak suka menggunjing, tidak membiarkan adanya orang yang menggunjing di hadapannya, tidak pernah kenyang, apabila berjanji tidak mengingkari, dan tidak suka bercanda.” (Siyar A’lamin Nubala 13/332)
Wallahu a’lam shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahabihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Aina Nahnu min Akhlaqis Salaf (Abdul Aziz Al Julail dan Bahauddin Aqil), Maktabah Syamilah versi 3.44, dll.

Fiqih Zakat (6)

Jumat, 23 Agustus 2019

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫زكاة التجارة‬‎
Fiqih Zakat (6)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang fiqih zakat yang kami banyak merujuk kepada kitab Fiqhussunnah karya Syaikh As Sayyid Sabiq, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Zakat Maskawin
Menurut Abu Hanifah bahwa maskawin wanita tidak ada zakatnya kecuali jika ia telah menerimanya. Hal itu, karena maskawin merupakan pengganti atau imbalan dari selain harta, sehingga tidak wajib padanya zakat sebelum menerimanya seperti halnya utang kitabah (utang yang menjadi beban seorang budak yang harus ia bayar kepada tuannya agar ia merdeka).
Disyaratkan setelah menerimanya bahwa maskawin itu sudah mencapai nishab dan berlalu haul padanya, kecuali jika si wanita yang berhak menerima maskawin itu memiliki nishab harta lainnya selain mahar, maka ketika ia telah menerimanya dari maskawin itu, ia gabungkan dengan harta yang telah mencapai nishab itu dan mengeluarkan zakat mengikuti haulnya.
Menurut Imam Syafi’i, bahwa seorang wanita berkewajiban mengeluarkan zakat maskawin ketika berlalu haul  dan wajib mengeluarkan dari semua hartanya (yang kena zakat) di akhir haul meskipun belum dukhul (berduaan dengannya). Kewajiban zakat ini tidak terpengaruh dengan kemungkinan gugurnya maskawin karena fasakh (pembatalan nikah) yang disebabkan murtad atau lainnya atau gugur separuhnya karena talak.
Menurut ulama madzhab Hanbali, bahwa maskawin yang berada dalam tanggungan (belum diterima) seperti utang yang menjadi hak wanita. Hukumnya seperti utang. Oleh karena itu, apabila orang yang berkewajiban membayarkan maskawin itu kaya, maka wajib zakat padanya saat telah diterima untuk waktu yang telah terlewati, tetapi jika ditanggung oleh orang yang susah atau mengingkari, maka menurut Al Kharqi tetap wajib zakat padanya. Dan tidak ada bedanya antara sebelum dukhul maupun setelahnya.
Apabila gugur separuhnya karena talak sebelum dukhul dan si wanita mengambil separuhnya, maka ia berkewajiban zakat pada maskawin yang telah diterimanya tidak pada maskawin yang tidak diterimanya.
Demikian pula ketika semua maskawin gugur sebelum diterima karena pembatalan nikah dari pihak si wanita, maka si wanita tidak berkewajiban mengeluarkan zakatnya.
Zakat Upah Rumah Yang Disewakan (Dikontrakkan)
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa orang yang menyewakan sesuatu tidak berhak mendapatkan upah karena adanya akad, bahkan ia berhak setelah habisnya masa persewaan. Atas dasar ini, maka barang siapa yang menyewakan rumah, maka tidak wajib zakat pada upah atau hasil sewaannya sampai ia menerima dan berlalu haul padanya serta telah mencapai nishab.
Ulama madzhab Hanbali berpendapat, bahwa orang yang menyewakan sesuatu berhak mendapatkan upah sejak diadakan akad sewa. Oleh karena itu, barang siapa yang menyewakan rumahnya, maka wajib zakat pada upahnya ketika telah mencapai nishab dan berlalu haul padanya. Hal itu karena orang yang menyewakan berhak bertindak terhadap upah itu dengan berbagai tindakan. Keadaan persewaan meskipun siap dibatalkan tidak menghalangi wajibnya zakat seperti halnya maskawin sebelum dukhul, dan ketika ia telah menerima upah sewa, maka ia keluarkan zakatnya. Jika masih bersifat utang maka seperti zakat pada utang baik pembayarannya segera atau lambat, yakni ia keluarkan zakatnya saat menerimanya untuk masa yang telah berlalu sejak dimulai akad baik telah berlalu satu haul atau lebih.
Dalam kitab Al Majmu karya Imam Nawawi disebutkan, bahwa apabila seseorang menyewakan rumahnya atau selainnya dengan bayaran kontan dan ia telah menerimanya, maka ia wajib mengeluarkan zakatnya tanpa adanya khilaf di kalangan ulama.”
Zakat Perniagaan
Jumhur (mayoritas) ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, dan para Ahli Fiqih setelahnya berpendapat wajibnya zakat pada barang-barang dagangan. Hal ini berdasarkan riwayat Abu Dawud dan Baihaqi dari Samurah bin Jundab ia berkata, “Amma ba’du, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kami mengeluarkan zakat dari barang-barang yang kami siapkan untuk dijual-belikan.” (Namun hadits ini didhaifkan oleh Al Albani dalam Adh Dha’ifah no. 1178)
Daruquthni dan Baihaqi meriwayatkan dari Abu Dzar, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyatakan, bahwa unta ada zakatnya, kambing ada zakatnya, sapi ada zakatnya, pakaian (yang dijual-belikan) ada zakatnya.” (Namun hadits ini didhaifkan oleh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil no. 827)
Imam Syafi’i meriwayatkan dengan sanad yang shahih dalam Al Umm dari Abdullah bin Umar ia berkata, “Tidak ada pada barang-barang zakatnya kecuali yang dipersiapkan untuk didagangkan.”
Imam Syafi’i, Ahmad, Abu Ubaid, Daruquthni, Baihaqi, dan Abdurrazzaq meriwayatkan dari Abu Amr bin Hamas dari ayahnya ia berkata, “Aku menjual kulit dan tempat anak panah, lalu Umar bin Khathtahb radhiyallahu anhu lewat kepadaku dan berkata, “Tunaikanlah zakat hartamu!” Aku berkata, “Wahai Amirul Mukminin, ini sekedar kulit.” Ia berkata, “Nilailah, lalu keluarkan zakatnya.”
Dalam Al Mugnni disebutkan, bahwa kisah tersebut adalah kisah yang masyhur dan tidak diingkari sehingga menjadi ijma.
Ulama madzhab Zhahiri berpendapat, bahwa tidak ada zakat perniagaan.
Ibnu Rusyd berkata, “Sebab perbedaan mereka adalah terkait perselisihan mereka tentang mewajibkan zakat berdasarkan qiyas. Demikian pula perbedaan mereka dalam penshahihkan hadits Samurah dan hadits Abu Dzar.”
Adapun qiyas yang dipegang jumhur adalah karena harta perdagangan adalah harta yang maksudnya untuk dikembangkan, sehingga ia serupa dengan tiga jenis harta yang terkena zakat yang telah disepakati ulama –yaitu harta pertanian, ternak, emas dan perak.”
Dalam kitab Al Manar disebutkan, bahwa jumhbur ulama umat ini berpendapat wajibnya zakat pada barang-barang perdagangan, namun tidak ada nash yang qath’i (pasti) dari Al Qur’an maupun Sunnah tentang kewajibannya selain berdasarkan riwayat-riwayat dimana yang satu menguatkan yang lainnya di samping pemahaman-pemahaman yang bersandar kepada nash-nash, yakni bahwa barang-barang dagangan yang biasa dimaksud untuk meraih keuntungan seperti mata uang, tidak ada perbedaan dengan dirham dan dinar yang menjadi harga atau pembayarannya selain keadaan nishabnya yang mencakup alat pembayaran yaitu uang dan barang yang dihargai yaitu barang. Jika zakat tidak wajib pada perdagangan, tentu semua orang kaya atau mayoritas mereka akan melakukan perniagaan pada uang-uang mereka dan berusaha agar uangnya yang sudah sampai nishab tidak memenuhi syarat haul (karena dirubah menjadi barang sehingga mereka dapat lolos dari zakat), sehingga kewajiban zakat tidak mengena kepada uang mereka.”
Alasan utama yang logis mengenai masalah wajibnya zakat perniagaan adalah karena Allah Ta’ala mewajibkan zakat pada harta orang-orang kaya untuk membantu orang-orang fakir atau yang semisal dengan mereka serta untuk memenuhi kemaslahatan umum, memberikan faedah untuk kaum fakir-miskin dan lainnya, membantu mereka yang mendapatkan musibah di samping untuk menutup jalan ke arah kerusakan ketika harta menumpuk dan hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. Inilah yang diisyaratkan oleh firman Allah Ta’ala terkait pembagian harta Fai’,
كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
Agar harta tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu.” (Qs. Al Hasyr: 7)
Maka apakah masih diterima secara akal jika melihat kepada maqashidh syar’iyyah (tujuan syariat) tadi, bahwa para pedagang lolos dari kewajiban zakat yang boleh jadi kekayaan umat terbesar ada pada mereka?”
Syarat Barang Perdagangan
Penyusun kitab Al Mughni menyatakan, “Harta tidaklah menjadi harta perdagangan kecuali dengan dua syarat:
Pertama, barang itu dimilikinya dengan tindakannya seperti dengan jual-beli, pernikahan, khulu, menerima hibah, wasiat, ghanimah, usaha-usaha yang halal. Hal itu karena sesuatu yang tidak dizakati ketika menjadi miliknya, juga tidak wajib dizakati dengan sekedar niat seperti ibadah puasa. Tidak ada bedanya, baik ia memilikinya dengan adanya ganti atau tidak, karena ia memilikinya dengan tindakannya seperti halnya harta warisan.
Kedua, ketika memilikinya ia berniat untuk memperdagangkannya. Jika ia tidak meniatkan demikian saat memilikinya, maka tidak menjadi barang perniagaan meskipun ia meniatkan setelahnya.
Jika seseorang memilikinya dengan cara mewarisi dan bermaksud untuk diperdagangkan, maka tidak menjadi barang perniagaan (yang dikenai zakat) karena hukum asal harta warisan adalah untuk dimiliki (pribadi) bukan untuk diperdagangkan, sedangkan untuk perdagangan adalah hal yang baru datang, maka tidak bisa menjadi barang dagangan (yang kena zakat) hanya sekedar niat, sebagaimana kalau seseorang berniat safar, maka belum berlaku hukum safar tanpa adanya praktek, sehingga jika seseorang membeli barang untuk didagangkan tetapi niatnya untuk pribadi, maka barang-barang itu menjadi barang-barang pribadi dan gugurlah zakat daripadanya.
Bagaimanakah Mengeluarkan Zakat Perdagangan?
Barang siapa yang memiliki barang dagangan yang telah mencapai nishab dan telah berlalu haul baginya, maka ia menilainya di akhir tahun dan ia keluarkan zakatnya 1/40 dari nilai(jumlah keseluruhan)nya.
Demikianlah yang dilakukan oleh seorang pedagang dalam harta dagangannya setiap tahun, dan tidak dimulai haul sampai harta dagangan miliknya itu mencapai nishab[1].  Oleh karena itu, apabila seseorang memiliki harta yang nilainya di bawah nishab, lalu berlalu beberapa bulan dan dalam keadaan seperti itu, kemudian nilai atau harganya naik sehingga mencapai nishab atau ia menjual dengan bayaran yang seharga nishab, atau di sela-sela setahun itu ia memiliki harta dagangan lainnya atau bayaran yang menjadikannya mencapai nishab, maka ketika itu dihitunglah awal haulnya sedangkan sebelumnya tidak dihitung. Ini adalah pendapat Tsauri, ulama madzhab Hanafiyyah, Syafi’i, Ishaq, Abu Ubaid, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir.
Lalu apabila  berkurang nishab di sela-sela haul namun sempurna di kedua penghujungnya (awal dan akhir), maka menurut Imam Abu Hanifah haulnya tidak terputus, karena persyaratan bahwa nishab harus terpenuhi dalam seluruh haulnya  sangat sulit.
Adapun menurut ulama madzhab Hanbali, bahwa jika terjadi kekurangan di sela-sela haul lalu bertambah lagi mencapai nishab, maka dimulai haulnya ketika telah bertambah mencapai nishab itu, karena menjadi terputus haulnya saat berkurang dari nishab di sela-sela haul.
Bersambung...
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Tamamul Minnah (Syaikh M. Nashiruddin Al Albani), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.


[1] Imam Malik berpendapat, bahwa haul (zakat perdagangan) bisa dimulai meskipun belum mencapai nishab, dimana jika akhir tahun telah mencapai nishab, maka ia keluarkan zakatnya.

Cinderamata Untuk Mereka Yang Tidak Punya

Senin, 19 Agustus 2019

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫هدية للمساكين‬‎
Cinderamata Untuk Mereka Yang Tidak Punya
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut cinderamata untuk saudara kami yang kekurangan harta, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Orang-Orang Miskin adalah Mayoritas Ahli Surga
Dari Imran bin Hushain dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam Beliau bersabda,
اطَّلَعْتُ فِي الجَنَّةِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا الفُقَرَاءَ، وَاطَّلَعْتُ فِي النَّارِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ
“Aku melihat surga[i], dan kulihat bahwa mayoritas penghuninya adalah orang-orang fakir (miskin), dan kulihat neraka, ternyata mayoritas penghuninya adalah kaum wanita[ii].” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Mengapa orang-orang fakir-miskin sebagai penghuni surga terbanyak?
Jawab: Di antara sebabnya adalah karena harta mereka yang sedikit sehingga hisabnya lebih ringan, mereka sebagai orang yang tidak punya sehingga tidak bisa berbuat banyak, dan jauh dari kesombongan. Di samping itu, adanya harta yang banyak biasanya membuat manusia jauh dan lupa dari Allah Azza wa Jalla.
Oleh karena itulah orang-orang miskin lebih dulu masuk surga. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«يَدْخُلُ فُقَرَاءُ المُسْلِمِينَ الجَنَّةَ قَبْلَ أَغْنِيَائِهِمْ بِنِصْفِ يَوْمٍ وَهُوَ خَمْسُمِائَةِ عَامٍ»
“Kaum fakir dari kalangan kaum muslimin lebih dulu setengah hari masuk ke dalam surga sebelum kalangan yang kaya. Setengah hari itu lamanya lima ratus tahun.” (Hr. Tirmidzi dari Abu Hurairah, dinyatakan ‘hasan shahih’ oleh Tirmidzi dan Al Albani)
Kaum fakir lebih dulu masuk surga karena mereka kehilangan memperoleh berbagai kenikmatan dunia di samping hisab mereka yang lebih ringan daripada orang-orang kaya.
Tentunya orang miskin yang menjadi Ahli Surga adalah mereka yang beriman (muslim) dan beramal saleh; bukan orang yang tidak beriman dan beramal saleh.
Oleh karena itu, jagalah keimanan. Jangan sampai dijual keimanan itu hanya untuk memperoleh kehidupan dunia yang rendah dan sementara ini. Demikian pula, tetaplah beramal saleh dan mengerjakan kewajiban agama agar engkau memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ketahuilah, bahwa di kalangan orang-orang miskin ada juga yang menjadi penghuni neraka, yaitu ketika melakukan perbuatan maksiat, seperti ketika meninggalkan kewajiban agama dan bersikap sombong. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ  وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ: شَيْخٌ زَانٍ، وَمَلِكٌ كَذَّابٌ، وَعَائِلٌ مُسْتَكْبِرٌ
“Ada tiga orang yang tidak diajak bicara oleh Allah, tidak dibersihkan-Nya, tidak diperhatikan-Nya, dan bagi mereka azab yang pedih; orang tua berzina, raja berdusta, dan orang miskin yang sombong.” (Hr. Muslim)
Dunia hanya sementara
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ
“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu.” (Qs. Al Anbiya: 34)
Ya, tidak ada orang yang hidup kekal di dunia ini meskipun diberi usia yang panjang. Mereka yang berada di kubur, dahulu keadaannya seperti kita, bersenang-senang menikmati kesenangan dunia, namun ajal pun tiba dan sekarang mereka hanya tinggal namanya. Di antara mereka ada yang berbahagia dan di antara mereka ada yang menyesal sejadi-jadinya.
Mereka yang berbahagia adalah mereka yang membawa bekal yang cukup ketika di dunia.
Sedangkan mereka yang menyesal sejadi-jadinya adalah mereka yang membawa bekal yang kurang, dan mereka sudah tidak memiliki kesempatan lagi untuk menyiapkan bekal.
Oleh karena itu, mumpung Allah Azza wa Jalla masih memberikan kesempatan kepada kita hidup di dunia, maka perbanyaklah bekal untuk menghadapi alam kubur dan alam akhirat; dan tidak ada bekal yang lebih baik melebihi takwa. Allah Azza wa Jalla berfirman,
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
“Berbekallah. Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Qs. Al Baqarah: 197)
Takwa adalah melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla dan menjauhi larangan-Nya.
Sukses Hakiki
Saudaraku, dengan takwa engkau akan memperoleh surga, dan inilah kesuksesan hakiki. Allah Azza wa Jalla berfirman,
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Setiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Qs. Ali Imran: 185)
Orang yang meraih surga itulah orang yang sukses.
Hal itu, karena ketika seseorang masuk surga, maka apa yang diinginkannya ada. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman,
وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الْأَنفُسُ وَتَلَذُّ الْأَعْيُنُ وَأَنتُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
"Dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kamu kekal di dalamnya." (Terj. QS. Az Zukhruf: 71)
Kenimatan-kenikmatan yang ada di dalamnya kekal dan sempurna. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
" يُنَادِي مُنَادٍ: إِنَّ لَكُمْ أَنْ تَصِحُّوا فَلَا تَسْقَمُوا أَبَدًا، وَإِنَّ لَكُمْ أَنْ تَحْيَوْا فَلَا تَمُوتُوا أَبَدًا، وَإِنَّ لَكُمْ أَنْ تَشِبُّوا فَلَا تَهْرَمُوا أَبَدًا، وَإِنَّ لَكُمْ أَنْ تَنْعَمُوا فَلَا تَبْأَسُوا أَبَدًا
“Nanti ada yang menyeru (kepada penghuni surga), “Sesungguhnya kalian akan sehat selama-lamanya dan tidak akan sakit. Kalian akan hidup selama-lamanya dan tidak akan mati. Kalian akan muda selama-lamanya dan tidak akan tua. Kalian akan bahagia dan tidak akan sengsara selama-lamanya.” (Hr. Muslim)
Sedangkan kenikmatan-kenikmatan yang ada di dunia ini tidak sempurna; setelah hidup dilanjutkan oleh kematian, ketika sehat diiringi sakit, ketika senang disudahi kesedihan, setelah muda dilanjutkan oleh masa tua. Hal ini menunjukkan keterbatasan kenikmatan dunia dan tidak patutnya dijadikan sebagai tempat tujuan.
Jalan orang-orang yang sukses
Masuk surga adalah kesuksesan paling besar, akan tetapi untuk memasukinya seseorang harus menempuh jalannya. Jalan tersebut telah Allah Subhaanahu wa Ta'ala terangkan dalam firman-Nya:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (1) الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ (2) وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ (3) وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ (4) وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (7) وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ (8) وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ (9) أُولَئِكَ هُمُ الْوَارِثُونَ (10) الَّذِينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (11)
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,--(yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya,--Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna,--Dan orang-orang yang menunaikan zakat,--Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,--Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak terceIa.—Barang siapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.--Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.--Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.--Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi,--(yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya." (Terj. QS. Al Mu'minun: 1-11)
Apa yang disebutkan dalam ayat di atas adalah jalan orang-orang yang sukses. Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba menimbang dirinya dengan beberapa ayat di atas, dimana dengannya mereka dapat mengetahui sejauh mana keimanan mereka, bertambah atau kurang, banyak atau sedikit.
Orang kaya bisa membayar zakat dan bersedekah, sedangkan kami kaum fakir-miskin tidak bisa
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Dzar bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepada beliau, "Wahai Rasulullah, orang-orang kaya dapat memperoleh pahala yang lebih banyak. Mereka shalat seperti kami shalat, puasa seperti kami puasa dan bersedekah dengan kelebihan harta mereka." Maka Beliau bersabda,
أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا
"Bukankah Allah telah menjadikan berbagai macam cara kepada kalian untuk bersedekah? Setiap kalimat tasbih adalah sedekah, setiap kalimat takbir adalah sedekah, setiap kalimat tahmid adalah sedekah, setiap kalimat tahlil adalah sedekah, amar ma'ruf nahi munkar adalah sedekah, bahkan pada kemaluan seorang dari kalian pun terdapat sedekah." Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, jika salah seorang di antara kami menyalurkan syahwatnya, apakah akan mendapatkan pahala?" Beliau menjawab, "Bagaimana sekiranya kalian meletakkannya pada sesuatu yang haram, bukankah kalian berdosa? Begitu pun sebaliknya, jika kalian meletakkannya pada tempat yang halal, maka kalian akan mendapatkan pahala[iii]."
Imam Tirmidzi meriwayatkan pula dari Abu Dzar, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ وَأَمْرُكَ بِالْمَعْرُوفِ وَنَهْيُكَ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَإِرْشَادُكَ الرَّجُلَ فِي أَرْضِ الضَّلَالِ لَكَ صَدَقَةٌ وَبَصَرُكَ لِلرَّجُلِ الرَّدِيءِ الْبَصَرِ لَكَ صَدَقَةٌ وَإِمَاطَتُكَ الْحَجَرَ وَالشَّوْكَةَ وَالْعَظْمَ عَنْ الطَّرِيقِ لَكَ صَدَقَةٌ وَإِفْرَاغُكَ مِنْ دَلْوِكَ فِي دَلْوِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ
"Senyummu kepada saudaramu merupakan sedekah, engkau menyuruh yang ma'ruf dan melarang dari kemungkaran juga sedekah, engkau menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat juga sedekah, engkau menuntun orang yang buta juga sedekah, menyingkirkan batu, duri dan tulang dari jalan merupakan sedekah, dan engkau menuangkan air dari embermu ke ember saudaramu juga sedekah." (Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, lihat Ash Shahiihah (572))
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,
كُلُّ سُلاَمَى مِنَ النَّاسِ عَلَيْهِ صَدَقَةٌ، كُلُّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيْهِ الشَّمْسُ تَعْدِلُ بَيْنَ اثْنَيْنِ صَدَقَةٌ، وَتُعِيْنُ الرَّجُلَ فِي دَابَّتِهِ فَتَحْمِلُهُ عَلَيْهَا أَوْ تَرْفَعُ لَهُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ، وَبِكُلِّ خُطْوَةٍ تَمْشِيْهَا إِلَى الصَّلاَةِ صَدَقَةٌ وَ تُمِيْطُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ صَدَقَةٌ
“Setiap anggota tubuh manusia harus bersedekah di setiap hari di mana matahari terbit. Kamu menyelesaikan secara adil terhadap dua orang (yang bertikai) adalah sedekah, kamu menolong seseorang yang berkendaraan dengan menaikkannya ke atas kendaraannya atau mengangkatkan barangnya adalah sedekah, ucapan yang baik[iv] adalah sedekah, setiap langkah menuju shalat adalah sedekah dan menghilangkan gangguan dari jalan adalah sedekah.” (HR. Bukhari-Muslim)
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Musa Al Asy'ariy dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda:
«عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ صَدَقَةٌ» ، فَقَالُوا: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، فَمَنْ لَمْ يَجِدْ؟ قَالَ: «يَعْمَلُ بِيَدِهِ، فَيَنْفَعُ نَفْسَهُ وَيَتَصَدَّقُ» قَالُوا: فَإِنْ لَمْ يَجِدْ؟ قَالَ: «يُعِينُ ذَا الحَاجَةِ المَلْهُوفَ» قَالُوا: فَإِنْ لَمْ يَجِدْ؟ قَالَ: «فَلْيَعْمَلْ بِالْمَعْرُوفِ، وَلْيُمْسِكْ عَنِ الشَّرِّ، فَإِنَّهَا لَهُ صَدَقَةٌ»
"Seorang muslim mesti bersedekah." Maka para sahabat bertanya, "Wahai Nabi Allah, kalau ia tidak memperoleh (sesuatu yang ia sedekahkan)?" Beliau bersabda, "Ia bekerja dengan tangannya sendiri lalu ia berikan manfaat buat dirinya dan bersedekah." Para sahabat bertanya lagi, "Bagaimana kalau ia tidak memperoleh juga (sesuatu yang ia sedekahkan)?" Beliau menjawab, "Ia bantu orang yang butuh dan terzalimi." Para sahabat bertanya lagi, "Bagaimana kalau ia tidak memperoleh juga (sesuatu yang ia sedekahkan)?" Beliau bersabda, "Hendaknya ia mengerjakan yang ma'ruf dan menahan diri dari perbuatan buruk, sesungguhnya hal itu adalah sedekah baginya." (Hadits ini diriwayatkan pula oleh Muslim dan Nasa'i)
Hadits-hadits tersebut menunjukkan betapa luasnya makna sedekah, tidak sebatas apa yang dikeluarkan oleh seseorang berupa harta. Hadits-hadits di atas juga sebagai penyejuk mata orang-orang yang tidak mampu, dimana sedekah itu tidak mesti dengan harta, tetapi bisa dengan mengerjakan perintah Allah yang lain. Lebih dari itu, bersedekah dengan selain harta bisa lebih mulia, seperti amr ma’ruf-nahi munkar, mengajarkan ilmu yang bermanfaat, membacakan dan mengajarkan Al Qur’an, menyingkirkan hal yang menggangu orang lain dari jalan, mendoakan kaum muslimin dan memintakan ampunan untuk mereka.
Mana yang lebih utama; orang kaya bersyukur atau orang miskin yang sabar?
Ibnul Qayyim dalam Bada’iul Fawaid (3/162) berkata, “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang hal ini, maka ia menjawab, “Yaitu paling bertakwa di antara keduanya. Jika kedua-duanya sama takwanya, maka sama pula derajatnya.”
Doa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
Dari Anas, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مِسْكِينًا وَأَمِتْنِي مِسْكِينًا وَاحْشُرْنِي فِي زُمْرَةِ المَسَاكِينِ يَوْمَ القِيَامَةِ»
“Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin. Wafatkanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku bersama rombongan orang-orang miskin pada hari Kiamat.”
Aisyah bertanya, “Mengapa demikian wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,
«إِنَّهُمْ يَدْخُلُونَ الجَنَّةَ قَبْلَ أَغْنِيَائِهِمْ بِأَرْبَعِينَ خَرِيفًا، يَا عَائِشَةُ لَا تَرُدِّي المِسْكِينَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ، يَا عَائِشَةُ أَحِبِّي المَسَاكِينَ وَقَرِّبِيهِمْ فَإِنَّ اللَّهَ يُقَرِّبُكِ يَوْمَ القِيَامَةِ»
“Sesungguhnya mereka akan masuk surga empat puluh tahun lebih dulu daripada orang-orang kaya[v]. Wahai Aisyah, janganlah menolak memberikan sesuatu kepada orang miskin meskipun hanya separuh kurma. Wahai Aisyah, cintailah orang-orang miskin dan dekatilah mereka, niscaya Allah akan mendekatkanmu kepada-Nya pada hari Kiamat.” (Hr. Tirmidzi, Ibnu Majah,  dishahihkan oleh Al Albani)
Hadits ini menerangkan betapa zuhudnya Beliau terhadap dunia dan berpaling dari perhiasan dunia dan kesenangannya. Demikian pula menunjukkan tawadhunya Beliau alahish shalatu was salam. Hadits ini juga menunjukkan tingginya derajat orang-orang miskin dan dekatnya mereka dengan Allah Azza wa Jalla. Di samping menunjukkan pula bahwa kaum muhajirin yang miskin lebih dulu masuk surga dibanding yang kaya di antara mereka.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa


[i] Saat israa-mi’raj atau ketika mimpi, dan mimpi para nabi adalah hak (benar).
[ii] Karena mereka kufur (tidak berterima kasih) terhadap kebaikan suami.
[iii] Hadits ini menunjukkan bahwa membatasi diri dengan yang halal dapat menjadi ibadah. Demikian juga mengingatkan kepada kita untuk menghadirkan niat yang baik ketika mengerjakan perbuatan mubah agar menjadi ibadah. Misalnya ketika hendak berjima’ dengan istri, ia niatkan di hatinya untuk memenuhi hak istri, menggaulinya secara ma’ruf sesuai yang diperintahkan Allah Ta’ala, meniatkan untuk mendapatkan anak yang saleh, meniatkan untuk menjaga kehormatan dirinya dan istrinya dan niat baik lainnya. Hadits riwayat Muslim di atas juga menunjukkan bolehnya qiyas, adapun riwayat dari ulama salaf tentang dibencinya qiyas adalah jika qiyas tersebut berbenturan dengan nash.
[iv] Ucapan yang baik atau disebut kalimah thayyibah adalah setiap kalimah yang mendekatkan diri kita kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala, seperti tasbih, tahlil, takbir, tahmid, amr ma’ruf dan nahi munkar, membaca Al Qur’an, menyampaikan ilmu, dsb.
[v]  Bagaimana menggabungkan antara hadits yang menyebutkan 40 tahun dengan 500 tahun yakni perbedaan jarak antara orang miskin dengan orang kaya dalam hal masuk surga? Jawab: Jumlah tersebut bukanlah pembatasan, sebelumnya Beliau menyebutkan 40 tahun, selanjutnya Beliau menyebutkan 500 tahun adalah sebagai tambahan karena keutamaan kaum fakir-miskin. Intinya minimal perbedaannya adalah 40 tahun, dan maksimal 500 tahun. Hal ini ditunjukkan oleh riwayat Thabrani dari Maslamah bin Makhlad, bahwa rombongan pertama kaum muhajirin 40 tahun lebih dulu masuk surga daripada orang-orang yang kayanya, lalu rombongan kedua 100 tahun lebih dulu masuk surga daripada rombongan yang kayanya, wallahu a’lam.
Sebagian ulama berdalih dengan hadits ini, bahwa orang miskin yang bersabar lebih utama daripada orang kaya yang bersyukur.

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger