Fatwa-Fatwa Ulama Seputar Shalat Ied

Rabu, 28 Juni 2017
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫فاسألوا اهل الذكر ان كنتم لاتعلمون‬‎
Fatwa-Fatwa Ulama Seputar Shalat Ied
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Allah Subhaanahu wa Ta’ala memerintahkan kita bertanya kepada para ulama jika kita tidak mengetahui, Dia berfirman,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (Qs. An Nahl: 43 dan Al Anbiya: 7)
Berikut kami hadirkan fatwa-fatwa ulama seputar shalat Ied yang kami terjemahkan dari media telegram Fawaid wa Durar dan situs saaid.net , semoga Allah menjadikan penerjemahan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Fatwa-fatwa ulama seputar shalat Ied
1. Pertanyaan: Apa pendapat Anda tentang hukum shalat Ied?
Jawab: Menurutku, shalat Ied hukumnya fardhu ain, dan tidak boleh bagi kaum lelaki meninggalkannya, bahkan mereka harus menghadirinya, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk menghadirinya, bahkan memerintahkan kaum wanita baik yang gadis maupun yang dipingit untuk keluar ke (lapangan) shalat Ied. Beliau juga memerintahkan wanita haidh untuk keluar menuju (lapangan) shalat Ied, akan tetapi mereka menyingkir dari tempat shalat. Ini menunjukkan penekanannya. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa wa Rasail jilid 16, kitab Shalatul Iedain)
Menurut kami, bahwa kaum wanita diperintahkan diperintahkan juga untuk shalat Ied menyaksikan kebaikan dan ikut serta dengan kaum muslimin (yang laki-laki) dalam shalat mereka serta dalam doa mereka. Akan tetapi wajib bagi mereka keluar tanpa mengenakan wewangian dan tidak bertabarruj (bersolek), sehingga mereka dapat memadukan antara mengerjakan Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan menjauhi fitnah. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/211)
2. Pertanyaan: Apa saja adab di hari raya?
Jawab: (1) Dianjurkan bertakbir, (2) memakan kurma dalam jumlah ganjil sebelum berangkat shalat Ied (pada saat Iedul Fitri), (3) mengenakan pakaian yang indah, namun ini bagi kaum lelaki, adapun bagi wanita maka tidak mengenakan pakaian menarik ketika keluar ke lapangan shalat Ied, (4) mandi untuk shalat Ied, (5) mengucapkan selamat antara yang satu dengan yang lain, (6) bagi yang berangkat shalat Ied disyariatkan menempuh suatu jalan dan pulang melalui jalan yang lain. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/216-223)
Thabrani dalam Al Kabir meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Habib bin Umar Al Anshariy dari ayahnya, ia berkata, “Aku pernah bertemu dengan Watsilah pada hari raya, lalu aku mengucapkan “Taqabbalallahu minna wa minka” (artinya: semoga Allah menerima amal ibadah kami dan kamu), lalu  ia menjawab, “Ya, taqabbalallahu minna wa minka,” (Mu’jam Kabir 22/52)
3. Pertanyaan: Apakah sunnahnya berangkat ke lapangan shalat Ied sambil berjalan ataukah menaiki kendaraan?
Jawab: Sunnahnya berjalan kaki kecuali jika butuh naik kendaraan, maka tidak mengapa. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/235).
4. Pertanyaan: Apa hikmah menempuh jalan yang berbeda pada hari raya?
Jawab: (1) Mengikuti Nabi shallallahu alaihi wa sallam, karena ini termasuk sunnah Beliau (2) menampakkan salah satu syiar, dan itu merupakan salah satu syiar shalat Ied di seluruh pasar yang ada di suatu negeri, (3) memperhatikan penduduk pasar yang terdiri dari kaum fakir dan lainnya, (4) kedua jalan yang dilaluinya itu akan memberikan kesaksian untuknya pada hari Kiamat, (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/237).
5. Kapan takbir dimulai pada hari raya Idul Fitri, dan kapan berakhirnya?
Jawab: Takbir pada hari raya (Idul Fitri) dimulai dari sejak tenggelam matahari akhir bulan Ramadhan hingga imam datang untuk shalat Ied. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/259).
6. Pertanyaan: Apa hukum shalat Ied di masjid?
Jawab: Makruh mengadakan shalat Ied di masjid-masjid kecuali ada uzur, karena sunnahnya adalah mengerjakannya di lapangan. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/230).
7. Pertanyaan: Kapankah waktu shalat Ied?
Jawab: Waktu shalat Ied dimulai dari naiknya matahari setinggi satu tombak (kira-kira 15 menit setelah syuruq/matahari terbit) sampai tergelincir matahari (Zhuhur), hanyasaja dianjurkan shalat Idul Adhha dimajukan, sedangkan shalat Idul Fitri ditunda berdasarkan riwayat bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan shalat Iedul Adhha ketika matahari setinggi satu tombak, dan melakukan shalat Idul Fitri ketika matahari setinggi dua tombak (kira-kira setengah jam setelah syuruq -pent). (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/229).
8. Pertanyaan: Apa hukum mendahulukan khutbah Ied sebelum shalat?
Jawab: Mendahulukan khutbah Iedain sebelum shalat adalah bid’ah yang diingkari oleh para sahabat radhiyallahu anhum. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/249).
9. Pertanyaan: Apakah dalam pelaksanaan Ied ada dua kali khutbah atau satu kali?
Jawab: Sunnahnya khutbah Ied sekali saja, tetapi jika dilakukan dua kali maka tidak mengapa. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/248).
10. Pertanyaan: Apakah dalam shalat Ied ada azan dan iqamat?
Jawab: Dalam shalat Ied tidak ada azan dan iqamat. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/237)
11. Pertanyaan: Apa hukum panggilan (seperti Ash Shalatu Jami’ah, dsb.) untuk shalat Ied?
Jawab: Panggilan untuk shalat Ied (seperti yang disebutkan) adalah bid’ah yang tidak ada dasarnya.” (Ibnu Baz, Majmu Fatawa 23/13)
Panggilan untuk shalat Iedain dengan ucapan ‘Ash Shalatu Jami’ah’ dan kalimat semisalnya tidak diperbolehkan, bahkan hal itu merupakan bid’ah yang diada-adakan. (Fatawa Lajnah Daimah 8/316)
12. Pertanyaan: Bagaimanakah tatacara shalat Ied?
Rakaat pertama, dia bertakbir dengan takbiratul ihram, lalu membaca doa istiftah, kemudian bertakbir sebanyak enam kali. Setelah itu membaca surat Al Fatihah ditambah surat Al A’la atau surat Qaaf pada rakaat pertama.
Rakaat kedua, saat bangkit dari sujud ia bertakbir, kemudian bertakbir lagi sebanyak lima kali takbir ketika telah berdiri, lalu membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya. Jika pada rakaat pertama ia membaca surat Al A’la (setelah Al Fatihah), maka pada rakaat kedua ia membaca surat Al Ghasyiyah. Namun jika pada rakaat pertama ia membaca surat Qaaf (setelah Al Fatihah), maka pada rakaat kedua ia membaca surat ‘Iqtarabatis sa’atu wansyaqqal qamar’ (surat Al Qamar). (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/223)
13. Pertanyaan: Apa hukum shalat Ied yang hanya membaca takbiratul ihram pada shalatnya?
Jawab: Shalatnya sah jika hanya membaca takbiratul ihram, karena takbir tambahan setelahnya adalah sunah. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/238)
14. Pertanyaan: Kapan dimulai membaca doa istiftah dalam shalat Ied?
Jawab: Dimulai membaca doa istiftah setelah takbiratul ihram. Namun dalam masalah ini ada kelonggaran, sehingga jika seseorang menundanya dan memulainya setelah takbir terakhir, maka tidak mengapa. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/240)
15. Pertanyaan: Apa bacaan antara masing-masing takbir dalam shalat Iedain?
Jawab: Tidak ada dzikir tertentu di antara takbir-takbir itu, tetapi ia bisa memuji Allah, menyanjung-Nya dan bershalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan cara yang ia kehendaki, dan jika ia tidak membacanya juga tidak mengapa, karena hal itu hukumnya sunah. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/241)
Disyariatkan baginya memuji Allah, mensucikan-Nya, mengagungkan-Nya, dan bershalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam antara masing-masing takbir. (Lajnah Daimah 8/302)
16. Pertanyaan: Apa hukumnya jika seorang lupa mengucapkan beberapa takbir (setelah takbiratul ihram) sehingga ia langsung membaca surat?
Jawab: Jika seorang lupa mengucapkan beberapa takbir dalam shalat Ied sehingga langsung memulai membaca surat, maka telah gugur (terlewat), karena hal itu hanyalah suatu sunah yang terlewatkan, sebagaimana seseorang ketika lupa membaca doa istiftah, lalu ia langsung membaca surat, maka gugur pula (membacanya). (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/244).
17. Pertanyaan: Apa hukumnya jika saya mendapatkan imam dan telah terlewatkan beberapa takbir tambahan?
Jawab: Jika engkau masuk dalam shalat bersama Imam di sela-sela takbir, maka terlebih dahulu bertakbirlah engkau sebagai takbiratul ihram, lalu sellebihnya ikutilah imam dan yang telah lewat menjadi gugur bagimu. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/245).
18. Pertanyaan: Bagaimana jika seseorang tertinggal dari mengucapkan beberapa takbir dalam shalat Ied?
Jawab: Menjadi gugur baginya dan ia tidak perlu mengqadhanya. Demikian pula ketika ia lupa atau lupa sebagiannya sehingga langsung memulai membaca, maka ia tidak perlu membacanya, karena takbir itu hanya sunah dan telah lewat tempatnya. Adapun jika ia terlambat (masbuq) sehingga terlewatkan satu rakaat secara sempurna bersama imam, maka ia bertakbir dengan mengucapkan beberapa takbir rakaat yang tertinggal itu. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/241).
19. Pertanyaan: Jika seorang masuk ke dalam shalat Ied, sedangkan imam telah selesai dari rakaat pertama, bagaimanakah mengqadhanya?
Jawab: Mengqadhanya setelah imam selesai salam sesuai pratek yang dilakukannya, yakni mengqadhanya dengan mengikuti takbir yang diucapkan imam. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/256)
20. Pertanyaan: Apakah khatib memulai khutbah Ied dengan istighfar atau dengan takbir?
Jawab: Adapun dengan istighfar, maka tidak demikian, dan aku tidak mengetahui adanya ulama yang berpendapat demikian, sedangkan dengan tahmid atau takbir, maka para ulama berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat, dimulai dengan takbir, dan ada pula yang berpendapat, dimulai dengan tahmid. Namun dalam hal ini terdapat kelonggaran. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/248).
21. Pertanyaan: Apa hukum menghadiri khutbah Ied?
Jawab: Menghadirinya tidak wajib. Barang siapa yang ingin menghadirinya, menyimak dan mengambil manfaat silahkan, dan barang siapa yang ingin pergi juga silahkan. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/249).  
22. Pertanyaan: Apakah sunnahnya khatib berdiri dalam shalat Ied ataukah duduk?
Jawab: Sunnahnya baik dalam khutbah Ieda maupun khutbah Jumat adalah khatib berdiri. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/247).
23. Pertanyaan: Apakah sunnahnya bagi imam berkhutbah di atas mimbar dalam shalat Ied?
Jawab: Sebagian ulama menganggap sunnah, namun ulama yang lain berpendapat bahwa lebih utama khutbah Ied tanpa mimbar. Namun dalam hal ini terdapat kelonggaran. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/250).
24. Apa hukum takbir secara jama’i (bersama-sama) dalam hari raya?
Jawab: Takbir jama’i dalam hari raya tidak disyariatkan. Sunnahnya adalah manusia bertakbir dengan suara keras, dimana masing-masing mereka bertakbir. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/268).
25. Pertanyaan: Di tempat kami pada sebagian masjid seorang muazin mengeraskan takbir dengan pengeras suara, lalu orang-orang yang berada di belakangnya mengikuti ucapannya, apakah ini termasuk bid’ah ataukah dibolehkan?
Jawab: Ini termasuk bid’ah, karena yang sudak maklum dari petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam hal dzikr adalah masing-masing orang berdzikir menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, tidak sepatutnya keluar dari petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya. (Ibnu Utsaimin, As’ilah wa Ajwibah fi Shalatil Iedain hal. 31).
26. Pertanyaan: Seperti apa lafaz takbir dalam dua hari raya?
Jawab: Lafaznya ‘Allahu akbar, Allahu akbar, Laailaahaillallahu wallahu akbar, Allahu akbar walillahil hamd’ atau ‘Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, Laailaahaillallahu wallahu akbar, Allahu akbar walillahil hamd.’ (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/259)
27. Pertanyaan: Saya pergi ke lapangan shalat Ied, namun saya dapatkan imam telah selesai shalat Ied dan mulai melakukan khutbah Ied, apakah saya harus mengqadha?
Jawab: Barang siapa yang tertinggal shaat Ied berjamaah, maka dianjurkan baginya untuk mengqadhanya kapan saja, pada hari itu yang masih tersisa, besoknya, atau lusanya. Akan tetapi para Ahli Fiqih berbeda pendapat tentang tatacara mengqadhanya, ada yang berpendapat mengqadhanya empat rakaat dengan satu salam atau dua salam. Namun yang raiih (kuat) adalah pendapat jumhur (mayoritas) para Ahli Fiqih, yaitu bahwa shalat Ied diqadha sesuai praktek shalat Ied, sehingga engkau lakukan dua rakaat dengan tujuh kali takbir pada rakaat pertama, dan lima kali takbir pada rakaat kedua. Dan mengqadhanya bisa sendiri-sendiri atau berjamaah. (Dr. Hisam Affanah, dosen Fiqih dan Ushul Fiqih di Univ. Al Quds, Palestina).
28. Apabila kaum muslimin telah melakukan shalat Ied atau istisqa di luar kota di lapangan, maka tidak disyariatkan bagi orang yang mendatangi lapangan melakukan shalat sunah terlebih dahulu, baik tahiyyatul masjid maupun lainnya. Hal ini merupakan bentuk pengamalan terhadap hadits dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah keluar (ke lapangan) pada hari raya Idul Fitri, lalu shalat dua rakaat, dan tidak melakukan shalat apa-apa baik sebelumnya maupun setelahnya. Akan tetapi jika shalat Iedain atau shalat istisqa ditegakkan di salah satu masjid di kota itu, maka tidak mengapa melakukan shalat tahiyyatul masjid saat masuk, tetapi ia tidak melakukan shalat sunah lainnya. (Lajnah Daimah no. 12515)
29. Pertanyaan: Apa hukum shalat Ied bagi musafir?
Jawab: Tidak disyariatkan bagi musafir melakukan shalat Ied, akan tetapi apabila musafir berada di suatu kota yang ditegakkan shalat Ied di sana, maka ia diperintahkan untuk shalat bersama kaum muslimin. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/236).
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Penerjemah:
Marwan bin Musa
Maraji’: Telegram Fawaid wa Durar, Maktabah Syamilah versi 3.45, https://saaid.net/mktarat/eid/103.htm dll.

Terjemah Umdatul Ahkam (16)

Selasa, 27 Juni 2017
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫الزكاة‬‎
Terjemah Umdatul Ahkam (16)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan terjemah Umdatul Ahkam karya Imam Abdul Ghani Al Maqdisi (541 H – 600 H) rahimahullah. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penerjemahan kitab ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Kitab Zakat
176 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - لِمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ - حِينَ بَعَثَهُ إلَى الْيَمَنِ -: ((إنَّك سَتَأْتِي قَوْماً أَهْلَ كِتَابٍ. فَإِذَا جِئْتَهُمْ: فَادْعُهُمْ إلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لا إلَهَ إلاَّ اللَّهُ , وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُولُ اللَّهِ. فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ: أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ. فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَك بِذَلِكَ , فَأَخْبِرْهُمْ: أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً , تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ. فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَك بِذَلِكَ , فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ. وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ. فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ)) .
176. Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Mu’adz bin Jabal saat Beliau mengutusnya ke Yaman, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi segolongan Ahli Kitab. Jika engkau telah mendatangi mereka, maka ajaklah mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Jika mereka mau menaatimu, maka sampaikan kepada mereka, bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari-semalam pada setiap harinya. Jika mereka mau menaatimu, maka sampaikan kepada mereka, bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat yang diambil dari orang kaya dan diserahkan kepada kaum fakir mereka. Jika mereka mau menaatimu, maka berhati-hatilah terhadap harta berharga mereka, dan berhati-hatilah terhadap doa orang yang dizalimi, karena antara doanya dengan Allah tidak ada penghalang.”
177- عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ  رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -: ((لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ. وَلا فِيمَا دُونَ خَمْسِ ذَوْدٍ صَدَقَةٌ. وَلا فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ)) .
177. Dari Abu Sa’id Al Khudriy radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak kena zakat pada harta yang kurang dari 5 Uqiyah (200 dirham/595 gram perak). Tidak ada zakat pada unta yang kurang dari 5 ekor, dan tidak kena zakat (pada biji dan buah-buahan) jika kurang dari 5 wasaq (300 sha/612 Kg).”
178 - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: ((لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ فِي عَبْدِهِ وَلا فَرَسِهِ صَدَقَةٌ)) . وَفِي لَفْظٍ: ((إلاَّ زَكَاةَ الْفِطْرِ فِي الرَّقِيقِ)) .
178. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada zakat atas seorang muslim pada budak dan kudanya.” Dalam sebuah lafaz disebutkan, “Kecuali zakat fitri pada budak.”
179 - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه -: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: ((الْعَجْمَاءُ جُبَارٌ. وَالْبِئْرُ جُبَارٌ. وَالْمَعْدِنُ جُبَارٌ. وَفِي الرِّكَازِ الْخُمْسُ))
179. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tindakan hewan (yang menciderai seseorang) itu tidak dijamin, (tercebur ke dalam) sumur tidak dijamin, (kecelakaan dalam) barang tambang tidak dijamin, dan pada rikaz (harta karun) ada zakat 1/5.”
180 - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: ((بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - عُمَرَ - رضي الله عنه - عَلَى الصَّدَقَةِ. فَقِيلَ: مَنَعَ ابْنُ جَمِيلٍ وَخَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ , وَالْعَبَّاسُ عَمُّ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مَا يَنْقِمُ ابْنُ جَمِيلٍ , إلاَّ أَنْ كَانَ فَقِيراً: فَأَغْنَاهُ اللَّهُ؟ وَأَمَّا خَالِدٌ: فَإِنَّكُمْ تَظْلِمُونَ خَالِداً. وَقَدْ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتَادَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ. وَأَمَّا الْعَبَّاسُ: فَهِيَ عَلَيَّ وَمِثْلُهَا. ثُمَّ قَالَ: يَا عُمَرُ , أَمَا شَعَرْتَ أَنَّ عَمَّ الرَّجُلِ صِنْوُ أَبِيهِ؟)) .
180. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mengutus Umar untuk memungut zakat, lalu disampaikan, bahwa Ibnu Jamil, Khalid bin Walid, dan Abbas paman Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam menolak mengeluarkannya, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ibnu Jamil tidaklah mengingkari melainkan karena dahulu ia sebagai orang miskin, lalu Allah mencukupkannya. Adapun Khalid, maka kalian telah menzaliminya, karena ia telah mewaqafkan baju besi dan peralatan perangnya di jalan Allah, sedangkan Abbas maka aku yang menanggung dan yang semisalnya.” Selanjutnya Beliau bersabda, “Wahai Umar, tidakkah engkau tahu, bahwa paman seseorang itu seperti ayahnya?”
181 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَاصِمٍ قَالَ: ((لَمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ يَوْمَ حُنَيْنٍ: قَسَمَ فِي النَّاسِ , وَفِي الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَلَمْ يُعْطِ الأَنْصَارَ شَيْئاً. فَكَأَنَّهُمْ وَجَدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ , إذْ لَمْ يُصِبْهُمْ مَا أَصَابَ النَّاسَ. فَخَطَبَهُمْ , فَقَالَ: يَا مَعْشَرَ الأَنْصَارِ , أَلَمْ أَجِدْكُمْ ضُلاَّلاً فَهُدَاكُمْ اللَّهُ بِي؟ وَكُنْتُمْ مُتَفَرِّقِينَ فَأَلَّفَكُمْ اللَّهُ بِي؟ وَعَالَةً فَأَغْنَاكُمْ اللَّهُ بِي؟ . كُلَّمَا قَالَ شَيْئاً، قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمَنُّ. قَالَ: مَا يَمْنَعُكُمْ أَنْ تُجِيبُوا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمَنُّ. قَالَ: لَوْ شِئْتُمْ لَقُلْتُمْ: جِئْتَنَا كَذَا وَكَذَا. أَلا تَرْضَوْنَ أَنْ يَذْهَبَ النَّاسُ بِالشَّاةِ وَالْبَعِيرِ , وَتَذْهَبُونَ بِرَسُولِ اللَّهِ إلَى رِحَالِكُمْ؟ لَوْلا الْهِجْرَةُ لَكُنْتُ امْرَأً مِنْ الأَنْصَارِ، وَلَوْ سَلَكَ النَّاسُ وَادِياً أَوْ شِعْباً لَسَلَكْتُ وَادِيَ الأَنْصَارِ وَشِعْبَهَا. الأَنْصَارُ شِعَارٌ , وَالنَّاسُ دِثَارٌ. إنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً، فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الْحَوْضِ))
181. Dari Abdullah bin Zaid bin Ashim ia berkata, “Saat Allah memberikan harta fai kepada Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam pada perang Hunain, maka Beliau membagikannya kepada manusia serta kepada mereka yang sedang dilunakkan hatinya, dan tidak memberikan apa-apa kepada kaum Anshar, namun sepertinya mereka kesal terhadap diri mereka sendiri, karena mereka tidak mendapatkan apa yang didapatkan oleh orang lain, maka Beliau berkhutbah kepada mereka dan bersabda, “Wahai kaum Anshar, bukankah aku mendapatkan kalian dalam keadaan tersesat, lalu Allah menunjuki kalian melalui aku? Kalian berpecah-belah lalu Allah menyatukan kalian melalui diriku? Kalian dalam keadaan miskin lalu Allah mencukupkan kalian melalui aku?” Setiap kali Beliau bersabda demikian, mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih banyak memberikan nikmat kepada kami.” Beliau bersabda, “Apa yang membuat kalian tidak mau menyambut Rasulullah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih banyak memberikan nikmat kepada kami.” Beliau bersabda, “Jika kalian mau tentu kalian akan mengatakan, “Engkau datang kepada kami dalam keadaan begini dan begitu. Tidakkah kalian ridha ketika manusia membawa pergi kambing dan unta, namun kalian membawa Rasulullah ke tempat kalian? Kalau bukan hijrah tentu aku menjadi seorang Anshar, dan kalau sekiranya manusia menempuh sebuah lembah atau jalan di perbukitan, tentu aku akan menempuh lembah kaum Anshar dan jalannya. Anshar adalah pakaian dalam, manusia yang lain seperti tambahan. Sesungguhnya kalian akan menemukan setelahku sikap mementingkan diri sendiri (terhadap sesuatu milik bersama), maka bersabarlah sampai kalian menemuiku di haudh (telaga).”
Bab Zakat Fitri
182 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ: ((فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - صَدَقَةَ الْفِطْرِ - أَوْ قَالَ رَمَضَانَ - عَلَى الذَّكَرِ وَالأُنْثَى وَالْحُرِّ وَالْمَمْلُوكِ: صَاعاً مِنْ تَمْرٍ , أَوْ صَاعاً مِنْ شَعِيرٍ. قَالَ: فَعَدَلَ النَّاسُ بِهِ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ , عَلَى الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ)) . وَفِي لَفْظٍ: ((أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إلَى الصَّلاةِ)) .
182. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri atau zakat Ramadhan bagi laki-laki dan wanita, orang merdeka dan budak, satu sha’ (4 mud, 1 mud = 1 kaupan tangan orang dewasa) kurma atau satu sha’ syair (di antara jenis beras).” Ia berkata, “Lalu orang-orang beralih ke setengah sha’ bur (gandum) bagi anak-anak dan orang dewasa.” Dalam sebuah lafaz disebutkan, “Agar zakat itu dibayarkan sebelum manusia keluar untuk shalat (Ied).”
183 - عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ - رضي الله عنه - قَالَ: ((كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَنِ - صلى الله عليه وسلم - صَاعاً مِنْ طَعَامٍ , أَوْ صَاعاً مِنْ شَعِيرٍ , أَوْ صَاعاً مِنْ أَقِطٍ , أَوْ صَاعاً مِنْ زَبِيبٍ. فَلَمَّا جَاءَ مُعَاوِيَةُ , وَجَاءَتِ السَّمْرَاءُ , قَالَ: أَرَى مُدَّاً مِنْ هَذِهِ يَعْدِلُ مُدَّيْنِ. قَالَ أَبُو سَعِيدٍ: أَمَّا أَنَا: فَلا أَزَالُ أُخْرِجُهُ كَمَا كُنْتُ أُخْرِجُهُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -)) .
183. Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu anhu ia berkata, “Kami mengeluarkan zakat fitri di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam satu sha’ makanan (pokok) atau satu sha’ syair, satu sha’ aqith (susu kering), atau satu sha’ kismis. Saat Muawiyah datang dan ada Samra (gandum dari Syam) ia berkata, “Menurutku 1 mud makanan ini seimbang dengan dua mud.” Abu Sa’id berkata, “Adapun aku, maka aku mengeluarkannya (satu sha’) sebagaimana aku keluarkan di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Penerjemah:
Marwan bin Musa

Khutbah Idul Fitri 1438 H (Mari Merenung Sejenak!)

Jumat, 23 Juni 2017
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫عيد الفطر‬‎
Khutbah Idul Fitri 1438 H
Mari Merenung Sejenak!
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ اَللَّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ :  
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Laailaahaillallahu wallahu akbar. Allahu akbar walillahil hamd.
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar kabira.
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar walillahil hamd. Allahu akbar wa ajallu. Allahu akbar ‘ala maa hadaanaa.
Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat
Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!
Kita memuji Allah Azza wa Jalla atas nikmat-nikmat-Nya yang banyak tidak terhingga kepada kita, di antaranya adalah nikmat Islam dan taufiq; dijadikan-Nya kita sebagai kaum muslimin dan diberikan kepada kita kemudahan oleh-Nya untuk dapat menjalankan ajaran Islam.
Di antara taufiq dan pertolongan Allah kepada kita adalah Dia memudahkan kita menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh, dimana tujuannya adalah agar kita menjadi hamba-hamba-Nya yang bertakwa. Maka dari itu, jangan sampai setelah kita menjalankan ibadah puasa, kita kembali lagi berbuat maksiat; kita kembali lagi meninggalkan shalat, kita kembali lagi durhaka kepada kedua orang tua, kita kembali lagi bergaul dengan orang lain menggunakan akhlak tercela, dan wanita-wanita kita kembali lagi melepas jilbab dan membuka aurat.
Ketahuilah wahai kaum muslimin, bahwa tanda diterimanya amal seseorang adalah diberikan taufiq oleh Allah untuk beramal saleh selanjutnya.
Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat
Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!
Setelah kita selesai menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh, Allah Subhaanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk mengagungkan-Nya, Dia berfirman,
Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.” (Terj. QS. Al Baqarah: 185)
Kita mulai mengagungkan-Nya dengan bertakbir setelah terbenam matahari hingga tiba di lapangan shalat Ied, yaitu dengan mengucapkan takbir, yang lafaznya sudah khatib sampaikan di awal khutbah (lafaznya telah ditebalkan); seseorang boleh memilih mana saja dari tiga lafaz itu.
Telah diriwayatkan dari Imam Syafi’i, Ibnul Musayyib, Urwah, dan Abu Salamah, bahwa mereka bertakbir pada malam Idul Fitri dengan menjahar(keras)kan takbirnya.
Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat
Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!
Dengan tibanya malam Idul Fitri, maka kita diwajibkan membayar zakat fitri, yaitu satu sha’ (4 mud/kaupan tangan orang dewasa) makanan pokok yang diberikan kepada kaum fakir dan miskin agar tidak ada lagi seseorang yang berkelilig meminta-minta pada hari itu. Seseorang boleh mengeluarkan zakatnya sehari atau dua hari sebelum hari raya sebagaimana praktek Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dan lebih utama setelah shalat Subuh pada hari raya sampai menjelang shalat Ied.
Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat
Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!
Sekarang kita berkumpul di tempat ini, di antara kita ada yang lemah dan ada yang kuat, ada yang masih muda dan ada yang suda tua, ada yang menjadi atasan dan ada yang menjadi bawahan, ada yang kaya dan ada yang miskin, setelah itu kita akan pulang ke rumah kita masing-masing. Ingatlah, kita juga akan berkumpul lagi di suatu tempat dengan jumlah yang lebih banyak dari ini, yaitu di padang mahsyar untuk dihisab (diperiksa amal) oleh Allah Azza wa Jalla. Selanjutnya masing-masing kita akan pulang, ada yang pulangnya ke neraka –wal 'iyadz billah-, dan ada yang pulang ke surga. Maka dari itu, hendaklah masing-masing kita memperhatikan dirinya; apakah dia sudah berada di atas ketaatan kepada Allah ataukah masih berada di atas kemaksiatan? Jika dirinya bergelimang di atas kemaksiatan, maka berarti dia telah bersiap-siap pulang ke neraka dan menjadi bahan bakarnya, dan jika dirinya berada di atas ketaatan, maka berarti dia telah bersiap-siap pulang ke surga. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Terj. QS. Al Hasyr: 18)
Kita meminta kepada Allah agar tempat kembali kita adalah ke surga dan tidak ke neraka. Maka perbaikilah amal kita dari sekarang dan jangan menunda!
Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat
Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!
Sebagian manusia ketika diajak menaati Allah dan Rasul-Nya masih berat melakukannya, padahal itu pertanda bahwa dirinya tidak mendapatkan taufiq dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala, Dia berfirman,
“Barang siapa yang Allah kehendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (menjalankan agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit.” (QS. Al An’aam: 125)
Ada pula yang belum siap menaati Allah dan Rasul-Nya karena menyangka dirinya masih jauh dari kematian; dirinya masih muda dan sehat, di samping ingin memanfaatkan masa muda dengan bersenang-senang.
Kita katakan kepadanya, “Saudaraku, sesungguhnya kematian jika datang tidak memperhatikan orang yang dijemput, baik muda atau tua, masih sehat atau sedang sakit, ia bisa mendatanginya. Dan jika kematian telah datang kepadanya sedangkan masa mudanya hanya ia isi dengan bersenang-senang dan hal yang sia-sia, maka dia akan menyesal sekali; saat itu ia pun sadar. Padahal ketika kematian telah datang, maka penyesalan dan sikap sadar tidak berguna lagi, Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan pada hari itu sadarlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi kesadaran itu baginya.--Dia mengatakan, "Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.” (QS. Al Fajr: 23-24)
Saudaraku, menaati Allah dan Rasul-Nya tidak menghalangimu untuk bersenang-senang menikmati masa muda dan menikmati kesenangan dunia. Waktu yang Allah berikan kepadamu cukup banyak. Amalan yang Allah wajibkan kepadamu sedikit dan disesuaikan kemampuan. Contohnya shalat yang lima waktu, ternyata hanya sebentar dan tidak menghabiskan waktu-waktu kita, di samping sebagai bentuk syukur kepada Allah yang telah mengaruniakan berbagai nikmat kepada kita. Demikian pula zakat, Allah tidak menuntut kita mengeluarkan semua harta kita, tetapi sebagian kecil daripadanya. Allah Subhaanahu wa Ta’ala membebankan kita beribadah di dunia karena untuk itulah kita diciptakan, dan Dia sudah menyiapkan kenikmatan yang sempurna dan kekal abadi, yaitu surga. Akankah surga itu diraih dengan diam saja dan tidak beramal? Akankah seorang karyawan berhak mendapatkan gaji sedangkan ia tidak bekerja?
Saudaraku kaum muslimin! Untuk memperoleh kenikmatan dunia saja seseorang harus keluar dari rumahnya mencari rezeki; tidak mungkin dia santai dan berleha-leha tiba-tiba turun rezeki dari langit. Apalagi surga? Akankah kita memperoleh surga sedangkan kita tidak beramal? Saat azan memanggil kita untuk beribadah kepada Allah, namun kita memilih tinggal di rumah dan enggan mendatanginya?
Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat
Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!
Meskipun bulan Ramadhan telah berlalu, namun kesempatan meraih pahala yang banyak masih ada, di antaranya adalah dengan melanjutkan berpuasa selama enam hari di bulan Syawwal, di mana bagi mereka yang melakukannya akan dianggap seperti berpuasa setahun. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian mengiringinya dengan berpuasa enam hari di bulan Syawwal, maka ia seperti berpuasa setahun.” (HR. Jama’ah Ahli Hadits selain Bukhari dan Nasa’i)
Sungguh sangat beruntung orang yang memanfaatkan kesempatan ini untuk berpuasa sebelum waktunya habis.
Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat
Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal," (Terj. Qs. Ali Imran: 190)
Ya, pada penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah, ilmu-Nya yang sempurna, hikmah-Nya yang dalam, dan rahmat-Nya yang luas.
Allah Ta'ala menjadikan malam dan siang sebagai kesempatan beramal, tahapan menuju ajal, ketika tahapan yang satu lewat, maka akan diiringi oleh tahapan selanjutnya. Siapa saja di antara mereka yang tidak sempat memperbanyak amal di malam harinya, ia bisa mengejar di siang hari. Ketika tidak sempat di siang hari, ia bisa mengejar di malam hari,
"Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur. (Terj. Qs. Al Furqan: 62)
Oleh karena itu, sudah sepatutnya seorang mukmin mengambil pelajaran dari pergantian malam dan siang, karena malam dan siang membuat sesuatu yang baru menjadi bekas, mendekatkan hal yang sebelumnya jauh, memendekkan umur, membuat muda anak-anak, membuat binasa orang-orang yang tua, dan tidaklah hari berlalu kecuali membuat seseorang jauh dari dunia dan dekat dengan akhirat. Orang yang berbahagia adalah orang yang menghisab dirinya, memikirkan umurnya yang telah dihabiskan, ia pun memanfaatkan waktunya untuk hal yang memberinya manfa'at baik di dunia maupun akhiratnya. Jika dirinya kurang memenuhi kewajiban, ia pun bertobat dan berusaha menutupinya dengan amalan sunat. Jika dirinya berbuat zhalim dengan mengerjakan larangan, ia pun berhenti sebelum ajal menjemput, dan barang siapa yang dianugerahi istiqamah oleh Allah Ta'ala, maka hendaknya ia memuji Allah serta meminta keteguhan kepada-Nya hingga akhir hayat.
Ya Allah, jadikanlah amalan terbaik kami adalah pada bagian akhirnya, umur terbaik kami adalah pada bagian akhirnya, hari terbaik kami adalah hari ketika kami bertemu dengan-Mu, Allahumma aamiin.
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَّمَدٍ ، وَعَلَى آلِ بَيْتِهِ ، وَعَلَى الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ ، وَاجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِناً مُطْمَئِناًّ وَسَائِرَ بِلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلاَةَ أُمُوْرِنَا ، وَاجْعَلْ وِلاَيَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ ، وَنَعُوْذُ بِكَ مِنَ النَّارِ ، اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِيْنَ غَيْرَ ضَالِّيْنَ وَلاَ مُضِلِّيْنَ ، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
Marwan Hadidi, M.PdI
Telegram: @Pena_Islam

Doa Untuk Orang Yang Membayar Zakat

Kamis, 22 Juni 2017
بسم الله الرحمن الرحيم
Doa Untuk Orang Yang Membayar Zakat
Hasil gambar untuk ‫خذ من أموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها‬‎
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang doa untuk orang yang membayar zakat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Doa untuk orang yang membayar zakat
Dianjurkan mendoakan orang yang membayar zakat saat diambil zakat darinya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka. Berdoalah untuk mereka, sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman bagi jiwa mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. At Taubah: 103)
Dari Abdullah bin Abi Aufa, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika kedatangan sedekah (zakat), Beliau berdoa,
«اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِمْ»
“Ya Allah, berilah rahmat kepada mereka.”
Suatu ketika ayahku datang membawa zakat, maka Beliau berdoa,
«اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ أَبِي أَوْفَى»
“Ya Allah, berilah rahmat kepada keluarga Abu Aufa.” (HR. Ahmad, Bukhari, dan Muslim)
Nasa’i meriwayatkan dari Wail bin Hujr ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda terhadap seseorang yang mengeluarkan unta yang bagus dalam zakat,
اللَّهُمَّ بَارِكْ فِيهِ وَفِي إِبِلِهِ
“Ya Allah, berilah keberkahan pada dirinya dan pada untanya.” (Dinyatakan shahih isnadnya oleh Syaikh Al Albani)
Dan boleh dengan doa selain itu, misalnya doa yang disampaikan oleh Imam Syafi’i rahimahullah. Ia berkata, “Sunnahnya bagi imam ketika mengambil zakat mendoakan orang yang mengeluarkan zakat dengan berkata,
آجَرَكَ اللهُ فِيْمَا أَعْطَيْتَ، وَبَارَكَ لَكَ فِيْمَا أَبْقَيْتَ
“Semoga Allah memberi pahala terhadap harta yang engkau berikan, dan semoga Dia memberkahi hartamu yang masih tersisa.”
Hukum mendoakannya adalah sunah, meskipun ada di antara ulama madzhab Syafi’i yang mengatakan wajib.
Ibnu Hajar berkata, “Hal itu, karena jika wajib tentu Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengajarkannya kepada para pemungut zakat, di samping itu semua yang diterima oleh imam baik berupa kaffarat, hutang, dan lain sebagainya tidak harus ada doa di dalamnya. Demikian pula dalam hal zakat.”
Penyusun Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah berkata, “Dianjurkan bagi yang memberikan (zakat) untuk mengucapkan,
اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا مَغْنَمًا وَلاَ تَجْعَلْهَا مَغْرَمًا
“Ya Allah, jadikanlah ia sebagai sesuatu yang menguntungkan dan jangan Engkau jadikan sebagai sesuatu yang merugikan.” (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah juz 15/95).
Akan tetapi hadits yang dijadikan sandaran dalam Sunan Ibnu Majah yang berbunyi, “Jika kalian menyerahkan zakat, maka jangan kalian lupakan pahalanya. Oleh karena itu, ucapkanlah Allahummaj’al’haa maghnaman...dst.” (seperti pada doa di atas).” Adalah hadits yang maudhu (palsu) sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Al Albani. Dalam sanadnya terdapat Al Walid bin Muslim Ad Dimasyqi seorang mudallis dan telah melakukan ‘an’anah. Di samping itu, Al Bakhtari telah disepakati tentang kedhaifannya.
Menurut Imam Nawawi, dianjurkan bagi orang yang membayar zakat, sedekah, nadzar, atau kaffarat mengucapkan doa,
رَبَّنا تَقَبَّلْ مِنَّا إنَّكَ أنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيْمُ
“Wahai Rabb kami, terimalah amal kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan doa itu yang dipanjatkan oleh Ibrahim, Ismail alaihimash shalatu was salam, serta istri Imran. (Al Adzkar hal. 187)
Kesimpulan:
Dianjurkan mendoakan orang yang membayar zakat untuk menentramkan hati mereka, dan doanya bisa seperti doa-doa yang telah disebutkan di atas, wallahu a’lam.
Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Tamamul Minnah (Syaikh Al Albani), Maktabah Syamilah versi 3.45, Al Adzkar (Imam Nawawi), Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah (Kementrian Waqaf dan Urusan Keislaman Kuwait) , dll.
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger