Fawaid Riyadhush Shalihin (14)

Rabu, 24 Februari 2016
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫عليكم بالصدق‬‎
Fawaid Riyadhush Shalihin (14)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut Fawaid (Kandungan Hadits) Riyadhush Shalihin yang banyak kami rujuk dari kitab Syarh Riyadhush Shalihin karya Syaikh Faishal bin Abdul Aziz An Najdiy, kitab Bahjatun Nazhirin karya Syaikh Salim bin Ied Al Hilaliy,  dan lainnya. Hadits-hadits di dalamnya banyak merujuk kepada kitab Riyadhush Shalihin, akan tetapi kami mengambil matannya dari kitab-kitab hadits induk. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
عَنْ سَهْلِ ابْنِ حُنَيْفٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أنَّ النَّبيَّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «مَنْ سَأَلَ اللهَ تَعَالَى الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ»
(57) Dari Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang meminta mati syahid kepada Allah Ta’ala dengan jujur, maka Allah akan menyampaikannya kepada kedudukan para syuhada meskipun ia wafat di atas kasurnya.” (HR. Muslim)
Fawaid:
1. Keutamaan jujur.
2. Kejujuran di hati sebab untuk mencapai tujuan, dan bahwa barang siapa yang berniat melakukan kebaikan, maka dia akan diberi balasan meskipun ia belum mampu, atau telah berusaha namun belum berhasil.
3. Anjuran meminta syahid dan ikhlas di dalamnya, karena seorang hamba akan memperoleh kedudukan tersebut ketika memiliki niat untuk itu dengan jujur.
4. Nikmat besar dari Allah Ta’ala untuk umat ini; Dia memberikan untuk umat ini derajat yang tinggi di surga meskipun amalnya kurang.
5. Para syuhada ada banyak macamnya, di antaranya: orang yang meninggal dunia karena wabah tha’un, para ulama, karena penyakit di perut, karena terbakar, karena tetimpa reruntuhan, karena tenggelam, orang yang terbunuh karena membela harta, jiwa, dan keluarganya, orang yang dibunuh secara zalim, dan orang yang gugur di jalan Allah dalam berperang. Tingkatan syuhada paling tinggi adalah gugur dalam berperang di jalan Allah Azza wa Jalla (lihat Syarh Riyadhush Shalihin karya Syaikh Ibnu Utsaimin).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَزَا نَبِيٌّ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ فَقَالَ لِقَوْمِهِ لَا يَتْبَعْنِي رَجُلٌ قَدْ مَلَكَ بُضْعَ امْرَأَةٍ وَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يَبْنِيَ بِهَا وَلَمَّا يَبْنِ وَلَا آخَرُ قَدْ بَنَى بُنْيَانًا وَلَمَّا يَرْفَعْ سُقُفَهَا وَلَا آخَرُ قَدْ اشْتَرَى غَنَمًا أَوْ خَلِفَاتٍ وَهُوَ مُنْتَظِرٌ وِلَادَهَا قَالَ فَغَزَا فَأَدْنَى لِلْقَرْيَةِ حِينَ صَلَاةِ الْعَصْرِ أَوْ قَرِيبًا مِنْ ذَلِكَ فَقَالَ لِلشَّمْسِ أَنْتِ مَأْمُورَةٌ وَأَنَا مَأْمُورٌ اللَّهُمَّ احْبِسْهَا عَلَيَّ شَيْئًا فَحُبِسَتْ عَلَيْهِ حَتَّى فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ قَالَ فَجَمَعُوا مَا غَنِمُوا فَأَقْبَلَتْ النَّارُ لِتَأْكُلَهُ فَأَبَتْ أَنْ تَطْعَمَهُ فَقَالَ فِيكُمْ غُلُولٌ فَلْيُبَايِعْنِي مِنْ كُلِّ قَبِيلَةٍ رَجُلٌ فَبَايَعُوهُ فَلَصِقَتْ يَدُ رَجُلٍ بِيَدِهِ فَقَالَ فِيكُمْ الْغُلُولُ فَلْتُبَايِعْنِي قَبِيلَتُكَ فَبَايَعَتْهُ قَالَ فَلَصِقَتْ بِيَدِ رَجُلَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ فَقَالَ فِيكُمْ الْغُلُولُ أَنْتُمْ غَلَلْتُمْ قَالَ فَأَخْرَجُوا لَهُ مِثْلَ رَأْسِ بَقَرَةٍ مِنْ ذَهَبٍ قَالَ فَوَضَعُوهُ فِي الْمَالِ وَهُوَ بِالصَّعِيدِ فَأَقْبَلَتْ النَّارُ فَأَكَلَتْهُ فَلَمْ تَحِلَّ الْغَنَائِمُ لِأَحَدٍ مِنْ قَبْلِنَا ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى رَأَى ضَعْفَنَا وَعَجْزَنَا فَطَيَّبَهَا لَنَا
(58) Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda, “Ada seorang Nabi di antara Nabi-Nabi Allah yang ingin berperang. Dia berkata kepada kaumnya, 'Tidak boleh ikut bersamaku (dalam peperangan ini) seorang laki-laki yang baru menikah sedangkan ia ingin menggauli istrinya, namun belum sempat menggauli, demikian juga orang yang telah membangun rumah tetapi atapnya belum selesai. Juga orang yang telah membeli kambing atau unta bunting yang dia tunggu kelahiran anaknya.” Maka berangkatlah Nabi itu berjihad, dia sudah berada di dekat daerah yang dia tuju saat tiba shalat Ashar atau hampir tiba, lalu dia berkata kepada matahari, “Wahai matahari! Engkau diperintah dan aku pun diperintah. Ya Allah, tahanlah matahari itu untukku sejenak (agar tidak terbenam).” Maka ditahanlah matahari untuknya sehingga Allah menaklukkan daerah tersebut untuknya. Setelah itu balatentaranya mengumpulkan semua harta rampasan (di sebuah tempat), kemudian ada api yang datang untuk memakannya, namun ia tidak mau melalapnya. Maka Nabi itu berkata, “Di antara kamu ada yang khianat (masih menyimpan sebagian dari harta rampasan). Oleh karena itu, seseorang dari setiap kabilah hendaknya  membaiatku,” lalu mereka membaiatnya,  tiba-tiba ada seseorang yang tangannya menempel pada tangan Nabi itu, kemudian Nabi itu berkata, “Di antara kalian ada yang berkhianat, maka kabilahmu hendaknya membai’atku,” maka dibai’atlah dia (Nabi tersebut). Tiba-tiba tangan Nabi itu lengket pada tangan dua atau tiga orang di antara mereka, ia berkata, “Di antara kalian ada yang berkhianat. Kalianlah yang berkhianat.” Lalu mereka mengeluarkan emas sebesar kepala sapi. Emas itu kemudian mereka taruh di harta rampasan lain (yang telah dikumpulkan sebelumnya) di sebuah lapangan. Maka datanglah api menyambar dan melalapnya. Harta rampasan tidak dihalalkan untuk seorang pun sebelum kita, tetapi Allah melihat kelemahan dan ketidakmampuan kita sehingga Dia menghalalkannya untuk kita." (HR. Bukhari dan Muslim).
Fawaid:
1. Nabi yang disebutkan dalam hadits di atas adalah Nabi Yusya’ bin Nun ‘alaihis salam murid Nabi Musa ‘alaihis salam berdasarkan riwayat yang lain.
2. Fitnah dunia mendorong seseorang untuk bersikap tamak dan mengutamakan dunia.
3. Urusan penting hendaknya tidak diserahkan kecuali kepada orang yang siap dan fokus.
4. Imam Al Qurthubi berkata, “Nabi tersebut melarang kaumnya mengikutinya saat berada dalam keadaan seperti ini karena hati orang tersebut bergantung kepadanya, sehingga semangatnya dalam berjihad dan mencari syahid melemah. Bahkan terkadang sikap itu sampai berlebihan sehingga membuatnya enggan berjihad dan berat mengerjakan perbuatan baik.”
5. Adanya mukjizat untuk para nabi ‘alaihimush shalatu was salam.
6. Harta rampasan perang di zaman dahulu dilarang untuk diambil, namun dihalalkan untuk umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
7. Allah menutup aib umat ini dan menyayanginya, berbeda dengan umat-umat terdahulu yang jika terjadi tindakan ghulul atau kemaksiatan, maka Allah akan membuka aibnya.
عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا»
(59) Dari Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda, “Dua orang penjual dan pembeli berhak khiyar selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan menerangkan apa adanya, maka akan diberkahi jual belinya, tetapi jika keduanya berdusta dan menyembunyikan (cacat), maka akan dicabut keberkahan jual belinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Fawaid:
1. Adanya khiyar majlis (hak melanjutkan dan membatalkan jual beli selama berada di majlis).
2. Wajibnya menerangkan cacat pada barang dan haramnya menyembunyikan. Jika ada cacat, maka ia berhak khiyar untuk membatalkan jual beli.
3. Berkahnya sebuah amal saleh.
4. Keburukan maksiat, yang ternyata menghilangkan keberkahan.
 Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji': Tathriz Riyadh Ash Shalihin (Syaikh Faishal bin Abdul Aziz An Najdiy), Syarh Riyadh Ash Shalihin (Muhammad bin Shalih Al Utsaimin),  Bahjatun Nazhirin (Salim bin ’Ied Al Hilaliy), Al Maktabatusy Syamilah versi 3.45, dll.

Fiqih Shalat Sunah Witir (2)

Selasa, 23 Februari 2016
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫صلاة الوتر‬‎
Fiqih Shalat Sunah Witir (2)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan fiqih shalat sunah witir, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Bacaan dalam shalat witir
Dipersilahkan membaca surat apa saja setelah Al Fatihah dalam shalat witir. Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidak ada ayat Al Qur’an yang ditinggalkan, maka berwitirlah dengan ayat mana saja yang engkau mau.”
Akan tetapi, dianjurkan jika berwitir tiga rakaat, untuk rakaat pertama setelah Al Fatihah adalah membaca surat Al A’la, rakaat kedua membaca surat Al Kafirun, sedangkan rakaat ketiga membaca surat Al Ikhlas, Al Falaq, dan An Naas. Hal ini berdasarkan riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi –ia menghasankannya- dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca pada rakaat pertama (setelah Al Fatihah) surat Sabbihismarabbikal a’la, rakaat kedua membaca Qul yaa ayyuhal kaafirun, sedangkan rakaat ketiga membaca surat Qulhuwallahu ahad dan surat mu’awwidzatain (Al Falaq dan An Naas).
Qunut dalam shalat witir
Disyariatkan melakukan qunut dalam shalat witir. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Ahmad, para pemilik kitab Sunan, dan lainnya dari hadits Al Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengajarkanku beberapa kalimat yang aku ucapkan dalam shalat witir, yaitu:
اَللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
“Ya Allah, tunjukkanlah aku ke dalam golongan orang yang Engkau tunjuki, lindungilah aku ke dalam golongan yang Engkau lindungi, pimpinlah aku ke dalam golongan orang yang Engkau pimpin, lindungilah aku dari keburukan yang Engkau tetapkan, karena Engkau menetapkan dan tidak ada yang memberikan ketetapan untuk-Mu, sesungguhnya tidak akan hina orang yang Engkau pimpin, dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Mahasuci Engkau dan Maha Tinggi.”
Tirmidzi berkata, “Hadits ini hadits hasan. Dan kami tidak mengetahui dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang qunut riwayat yang lebih baik daripada ini.” Para Ahli Ilmu berbeda pendapat tentang qunut dalam shalat witir, menurut Abdullah bin Mas’ud bahwa qunut berlaku dalam setahun penuh, dan ia memilih untuk melakukan qunut sebelum ruku. Ini merupakan pendapat sebagian Ahli Ilmu, dan ini pula yang dipegang oleh Sufyan Ats Tsauriy, Ibnul Mubarak, Ishaq, dan penduduk Kufah. Ada riwayat dari Ali bin Abi Thalib, bahwa ia tidak melakukan qunut kecuali pada pertengahan kedua bulan Ramadhan, dan ia melakukan qunut setelah ruku. Sebagian Ahli Ilmu berpendapat demikian, dan inilah yang dipegang oleh Imam Syafi’i dan Ahmad.”
Dalam riwayat Nasa’i ada tambahan di akhir qunut, “Wa shallallahu ‘alan Nabi Muhammad,” tetapi tambahan ini menurut Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah adalah dhaif sebagaimana yang dinyatakan Al Hafizh Ibnu Hajar, Al Qasthalani, dan Az Zarqaniy, dan dalam sanadnya terdapat kemajhulan dan terputus. Akan tetapi menurut Syaikh Al Albani, tidak mengapa mengamalkannya karena kaum salaf melakukannya sebagaimana ia terangkan dalam Talkhish Shifatis Shalat.
Imam Syafi’i dan ulama lainnya berpendapat, bahwa seseorang tidak melakukan qunut dalam shalat witir kecuali pada pertengahan kedua bulan Ramadhan. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud, bahwa Umar bin Khaththab pernah mengumpulkan manusia dengan imamnya adalah Ubay bin Ka’ab, ia melakukan shalat untuk mereka selama dua puluh malam, dan ia tidak melakukan qunut kecuali pada pertengahan kedua bulan Ramadhan.
Muhammad bin Nashr meriwayatkan, bahwa ia pernah bertanya kepada Sa’id bin Jubair tentang awal dilakukan qunut pada shalat witir, ia menjawab, “Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah mengirimkan pasukan, lalu mereka terjepit, dan Umar mengkhawatirkan kondisi mereka, maka pada pertengahan kedua bulan Ramadhan ia melakukan qunut mendoakan mereka.
Posisi melakukan qunut
Diperbolehkan melakukan qunut sebelum ruku setelah selesai membaca ayat Al Qur’an, sebagaimana boleh juga setelah bangkit dari ruku. Dari Humaid ia berkata, “Aku bertanya kepada Anas tentang qunut; apakah sebelum ruku atau setelah ruku?” Ia menjawab, “Kami melakukannya sebelum dan setelah ruku.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Muhammad bin Nashr. Al Hafizh dalam Al Fat-h berkata, “Isnadnya kuat.”).
Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah berkata, “Apabila seseorang melakukan qunut sebelum ruku, maka ia bertakbir sambil mengangkat kedua tangannya seusai membaca surat, demikian pula ia bertakbir lagi setelah selesai qunut. Demikianlah yang diriwayatkan dari sebagian sahabat.”
Sebagian ulama menganjurkan mengangkat kedua tangan ketika qunut, sedangkan sebagian lagi tidak menganjurkannya.
Adapun mengusap muka dengan kedua tangan (setelah qunut), Imam Baihaqi berkata, “Sebaiknya tidak dilakukan dan hendaknya ia membatasi diri dengan apa yang dilakukan kaum salaf radhiyallahu ‘anhum, yaitu hanya mengangkat kedua tangan tanpa mengusapnya ke wajah dalam shalat.”
Doa setelah witir
Dianjurkan setelah seseorang selesai shalat witir mengucapkan “Subhaanal malikil quddus,” (artinya: Mahasuci Allah; Raja yang Mahasuci dari kekurangan) sebanyak tiga kali, dan ia keraskan suaranya pada yang ketiga kalinya sambil menambahkan, “Rabbil Malaaikati war Ruuh” (artinya: Tuhan para malaikat dan malaikat Jibril). Hal ini berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud dan Nasa’i dari hadits Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat witir membaca “Sabbihismarabbikal a’la,” membaca “Qul Yaa ayyuhal kafirun,” dan membaca, “Qulhuwallahu ahad.” Setelah Beliau salam, Beliau mengucapkan,
سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ
“Mahasuci Allah Raja lagi Mahasuci dari kekurangan.”
Beliau memanjangkan dan mengeraskan suaranya pada ucapan yang ketiga.” Daruqutni menambahkan, “Beliau juga mengucapkan, “Rabbil Malaaikati war Ruuh.
Setelah itu dianjurkan seseorang berdoa dengan doa yang diriwayatkan oleh Ahmad dan para pemilik kitab Sunan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhir witirnya membaca,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سُخْطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ، لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu, dan kepada perlindungan-Mu dari siksa-Mu. Aku berlindung kepada-Mu dari azab-Mu. Aku tidak mampu menjumlahkan pujian untuk-Mu, bahkan Engkau sebagaimana yang Engkau puji terhadap Diri-Mu.” (Dishahihkan oleh Al Albani).
Tidak ada dua witir dalam satu malam
Barang siapa yang telah shalat witir, lalu ia bangun malam ingin shalat, maka ia boleh melakukannya, namun tidak mengulangi lagi shalat witirnya. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud, Nasa’i, Tirmidzi dan ia menghasankannya, dari Ali radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ
“Tidak ada dua witir dalam satu malam.”
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam dengan ucapan yang terdengar oleh kami, kemudian Beliau melakukan shalat dua rakaat setelah salam sambil duduk.” (HR. Muslim)
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat dua rakaat setelah witir dalam keadaan duduk.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya).
Mengqadha shalat witir
Jumhur ulama berpendapat disyariatkannya mengqadha shalat sunah witir. Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَامَ عَنْ وِتْرِهِ، أَوْ نَسِيَهُ، فَلْيُصَلِّهِ إِذَا ذَكَرَهُ
“Barang siapa yang tertidur hingga tidak sempat shalat witir atau lupa, maka hendaklah ia shalat ketika ingat.” (HR. Ahmad, para pemilik kitab Sunan, dan Hakim, Al Iraqi berkata, “Isnadnya shahih.” Dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6562)
Dalam hadits riwayat Ahmad dan Thabrani dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ، فَيُوتِرُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berada di waktu Subuh, lalu Beliau berwitir.” (Hadits ini dinyatakan isnadnya hasan oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah)
Para ulama berbeda pendapat tentang waktu mengqadha shalat sunah witir.
Menurut ulama madzhab Hanafi, bahwa shalat witir diqadha pada bukan waktu terlarang.
Menurut ulama madzhab Syafi’i, bahwa shalat witir diqadha pada waktu kapan saja baik di malam maupun di siang hari.
Menurut Imam Malik dan Ahmad, bahwa shalat witir diqadha setelah terbit fajar selama belum shalat Subuh.
Qunut pada shalat lima waktu
Disyariatkan qunut secara jahar pada shalat yang lima waktu ketika terjadi nawazil (musibah dan penindasan yang menimpa kaum muslimin). Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata,
قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَصَلَاةِ الصُّبْحِ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ، إِذَا قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ، يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ، عَلَى رِعْلٍ، وَذَكْوَانَ، وَعُصَيَّةَ، وَيُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut selama sebulan secara berturut-turut baik pada shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya, dan Subuh di akhir setiap shalat, yaitu ketika Beliau mengucapkan “Sami’allahu liman hamidah” di rakaat terakhir, maka Beliau mendoakan keburukan untuk beberapa suku Bani Salim, yaitu suku Ri’il, Dzakwan, dan Ushayyah, dan diaminkan oleh makmum yang berada di belakangnya.” (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Al Albani. Imam Ahmad menambahkan, “Beliau mengutus kepada mereka beberapa orang sahabat untuk mengajak kepada Islam, lalu mereka membunuhnya.” Ikrimah berkata, “Inilah awal mula qunut.”)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak mendoakan keburukan untuk seseorang atau kebaikan bagi seseorang, maka Beliau melakukan qunut setelah ruku. Abu Hurairah juga berkata, “Ketika Beliau mengucapkan, “Sami’allahu liman hamidah,” Beliau mengucapkan,
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، اللهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ، وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ، وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ، وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ، اللهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ، وَاجْعَلْهَا سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ
Rabbanaa walakal hamdu. Ya Allah, selamatkanlah Al Walid bin Al Walid, Salamah bin Hisyam, Ayyasy bin Abi Rabi’ah, dan kaum mukmin yang lemah. Ya Allah, keraskanlah hukuman-Mu kepada suku Mudhar, dan berikanlah kepadanya kemarau panjang seperti kemarau panjang Yusuf.”
Abu Hurairah berkata, “Beliau menjaharkan(mengeraskan suara)nya, dan Beliau mengucapkan pada sebagian shalatnya, yaitu shalat Subuh, “Ya Allah, laknatlah si fulan dan si fulan dari penduduk Arab,” sehingga Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat,
لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ
“Tidak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.” (QS. Ali Imran: 128)
(HR. Ahmad dan Bukhari)
Catatan:
-       Sunnahnya, qunut karena nawazil tidak terlalu panjang.
-       Qunut karena nawazil dilakukan ketika ada nazilah atau bencana, ketika hilang, maka berhenti dari qunut.
-       Qunut Nawazil tidak ada shighat (bacaan) khusus, bahkan sesuai dengan kondisi yang terjadi ketika itu. Adapun doa, “Allahummah dini fiiman hadait…dst.” Maka dibaca pada shalat witir.
-       Disunnahkan doa qunut nawazil diaminkan oleh makmum.
-       Disunnahkan mengangkat tangan dalam doa qunut Nazilah. Hal ini berdasarkan hadits Anas radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Aku tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan duka cita yang dalam seperti halnya yang menimpa mereka -para penghapal Al Qur’an yang dibunuh kaum musyrik-. Sungguh, aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat Subuh mengangkat tangannya mendoakan kebinasaan terhadap mereka (musuh).” (HR. Ahmad dengan isnad yang shahih. Imam Nawawi berkata, “Diriwayatkan oleh Baihaqi dengan isnad yang shahih atau hasan.”).
-       Tidak disyariatkan mengusap muka setelah membaca doa qunut. Imam Baihaqi berkata, “Adapun mengusap muka setelah selesai berdoa, maka saya tidak hapal adanya riwayat dari salah seorang kaum salaf dalam doa qunut. Meskipun ada riwayat dari sebagian mereka dalam doa di luar shalat. Ada riwayat tentang mengusap dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun di dalamnya terdapat kelemahan (dhaif), meskipun dilakukan oleh sebagian mereka (kaum salaf) di luar shalat. Adapun dalam shalat, maka praktek tersebut tidak ada khabar dan atsar yang sahih, demikian pula tidak ditunjukkan oleh qiyas. Oleh karena itu, sebaiknya tidak melakukannya dan hanya melakukan yang diamalkan kaum salaf radhiyallahu ‘anhum, yaitu mengangkat kedua tangan tanpa mengusapnya ke muka dalam shalat, wa billahit taufiq.” (Sunan Al Baihaqi 2/212).
-       Tidak mesti dalam qunut nazilah diakhiri dengan shalawat, karena shalawat dibaca pada qunut witir; bukan qunut nazilah.
-       Sunnahnya qunut nazilah pada shalat lima waktu dalam shalat berjamaah. Adapun dalam shalat Jum’at, shalat sunah, dan shalat sendiri, maka belum kami dapatkan hadits atau atsar yang menunjukkan demikian.
Qunut dalam shalat Subuh
Qunut pada shalat Subuh tidaklah disyariatkan kecuali ketika terjadi nazilah (musibah yang menimpa umat Islam), maka dilakukan qunut pada shalat Subuh dan shalat lima waktu lainnya sebagaimana telah diterangkan sebelumnya.
Dari Abu Malik Al Asyja’iy ia berkata, “Ayahku shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar, dan Utsman saat usianya 16 tahun, lalu aku bertanya, “Apakah mereka melakukan qunut?” Ia menjawab, “Tidak wahai puteraku. Itu adalah hal yang diada-adakan.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi, ia menshahihkannya).
Ibnu Hibban, Al Khathib, Ibnu Khuzaimah dan ia menshahihkannya meriwayatkan dari Anas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan qunut pada shalat Subuh kecuali apabila Beliau mendoakan kebaikan bagi suatu kaum atau mendoakan keburukan bagi suatu kaum (Ini adalah lafaz Ibnu Hibban, adapun lafaz yang lain tanpa menyebutkan shalat Subuh).
Dan diriwayatkan dari Az Zubair dan tiga khalifah, bahwa mereka tidak melakukan qunut pada shalat Fajar. Ini pula yang menjadi madzhab ulama Hanafi, ulama Hanbali, Ibnul Mubarak, Ats Tsauriy, dan Ishaq.
Adapun menurut ulama madzhab Syafi’i, bahwa qunut pada shalat Subuh setelah ruku dari rakaat kedua merupakan Sunnah.
Hal ini berdasarkan riwayat Jamaah Ahli Hadits selain Tirmidzi dari Ibnu Sirin, bahwa Anas bin Malik pernah ditanya, “Apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut pada shalat Subuh?” Ia menjawab, “Ya.” Lalu ia ditanya, “Sebelum ruku atau setelahnya?” Ia menjawab, “Setelah ruku.”
Demikian pula berdasarkan hadits riwayat Ahmad, Al Bazzar, Daruquthni, Baihaqi, dan Hakim; ia menshahihkannya dari Anas ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa qunut pada shalat Fajar sampai Beliau meninggal dunia.”
Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah berkata, “Berdalih dengan riwayat di atas perlu dikaji kembali, karena qunut yang ditanyakan (kepada Anas) tersebut adalah qunut nazilah sebagaimana ditegaskan dalam riwayat Bukhari dan Muslim. Adapun hadits kedua (di atas), maka dalam sanadnya terdapat Abu Ja’far Ar Raziy seorang yang tidak kuat, dan haditsnya ini tidak bisa dijadikan hujjah, karena tidak mungkin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut di shalat Subuh sepanjang hidupnya, namun ditinggalkan oleh para khalifah setelahnya. Bahkan Anas sendiri tidak melakukan qunut dalam shalat Subuh sebagaimana telah sah riwayat darinya. Kalau pun kita menerima hadits itu shahih, maka maksud qunut dalam hadits tersebut adalah bahwa Beliau memperlama berdiri setelah ruku untuk berdoa dan memuji Allah hingga Beliau meninggal dunia, karena ini termasuk salah satu arti qunut, dan dalam hal ini lebih tepat.”
Wallahu waliyyut taufiq.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Al Fiqhul Muyassar fii Dhau’il Kitab wa Sunnah (Tim Ahli Fiqh, KSA), Qunutun Nawazil (Yusuf bin Abdullah Al Ahmad), Mausu’ah Ruwathil Hadits (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur’ani was Sunnah),  Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.

Fiqih Shalat Sunah Witir (1)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫صلاة الوتر‬‎
Fiqih Shalat Sunah Witir (1)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Pada risalah ini, kita akan mempelajari fiqih shalat sunah witir, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Hukum shalat witir dan keutamaannya
Shalat witir hukumnya sunah mu’akkadah (yang ditekankan). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong kita untuk melakukannya.
Dari Ali radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Sssungguhnya shalat witir itu tidak wajib seperti shalat fardhu kalian, akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat witir, Beliau bersabda,
يَا أَهْلَ الْقُرْآنِ أَوْتِرُوا؛ فَإِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ
“Wahai Ahli Al Qur’an! Berwitirlah, karena Allah ganjil (Esa), menyukai yang ganjil.”
Nafi berkata, “Ibnu Umar tidaklah melakukan sesuatu melainkan memilih yang ganjil.” (HR. Ahmad, para pemilik kitab Sunan, dihasankan oleh Tirmidzi, diriwayatkan pula oleh Hakim, dan ia menshahihkannya).
Adapun pendapat Imam Abu Hanifah yang menyatakan bahwa witir itu wajib, maka pendapat yang lemah. Ibnul Mundzir berkata, “Aku tidak mengetahui adanya seseorang yang sepakat dengan Abu Hanifah tentang masalah ini.”
Dalam riwayat Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah disebutkan, bahwa seorang yang berasal dari Bani Kinanah yang dipanggil dengan nama Al Mukhdajiy mendengar seseorang di Syam dengan panggilan Abu Muhammad menyatakan, bahwa shalat witir itu wajib, maka Al Mukhdajiy pergi mendatangi Ubadah bin Ash Shamit radhiyallahu ‘anhu yang sedang menuju ke Masjid dan menyampaikan pernyataan Abu Muhammad. Ubadah pun menjawab, “Abu Muhammad dusta. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ مَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ، وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ
“Lima shalat yang Allah wajibkan kepada hamba. Barang siapa yang melakukan semua itu tanpa meninggalkannya karena meremehkan haknya, maka Allah berjanji akan memasukkannya ke surga. Tetapi barang siapa yang tidak melakukan shalat itu, maka tidak ada janji dari Allah (untuk memasukkan ke surga). Jika Dia menghendaki, maka Dia akan azab, dan jika Dia menghendaki, maka Dia akan masukkan ke surga.” (Dishahihkan oleh Al Albani)
Dalam riwayat Bukhari dan Muslim dari hadits Thalhah bin Ubaidillah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada lima shalat yang Allah wajibkan sehari-semalam.” Lalu orang Arab badui berkata, “Apakah ada yang lain.” Beliau menjawab, “Tidak ada, kecuali jika engkau mau melakukan yang sunah.”
Waktu shalat witir
Para ulama sepakat, bahwa waktu shalat witir setelah shalat Isya sampai tiba fajar.
Dari Abu Tamim Al Jaisyani, bahwa Amr bin Ash pernah berkhutbah pada hari Jum’at dan berkata, “Sesungguhnya Abu Basrah menyampaikan kepadaku, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ زَادَكُمْ صَلَاةً، وَهِيَ الْوِتْرُ، فَصَلُّوهَا فِيمَا بَيْنَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلَاةِ الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Allah telah menambah untukmu shalat, yaitu shalat witir, maka lakukanlah antara shalat Isya sampai shalat Fajar.”
Abu Tamim berkata, “Lalu Abu Dzar memegang tanganku dan berjalan di masjid menuju Abu Basrah, kemudian ia berkata, “Apakah engkau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda seperti yang disampaikan Amr?” Abu Basrah menjawab, “Aku mendengar kalimat itu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Hadits ini dinyatakan isnadnya shahih oleh Pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah).
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Pada setiap malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat witir di awal malam, di tengahnya, dan di akhirnya. Witirnya berakhir sampai waktu sahur (menjelang Subuh).” (HR. Muslim)
Dari Abdullah bin Abi Qais ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang witir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia menjawab, “Terkadang Beliau berwitir di awal malam dan terkadang di akhirnya.” Aku bertanya lagi, “Bagaimana bacaan Beliau; apakah Beliau mensirr(pelan)kan bacaan atau menjahar(keras)kan?” Ia menjawab, “Semuanya pernah dilakukan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terkadang Beliau mensirrkan dan terkadang menjaharkan. Terkadang Beliau mandi lalu tidur, dan terkadang wudhu kemudian tidur (setelah junub).” (HR. Abu Dawud. Dan diriwayatkan pula oleh Ahmad, Muslim, dan Tirmidzi).
Menyegerakan shalat witir dan menundanya
Dianjurkan menyegerakan shalat witir di awal malam bagi yang merasa tidak bangun di akhir malam, dan dianjurkan menunda di akhir malam bagi yang merasa akan bangun di akhir malam.
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
مَنْ خَافَ أَنْ لَا يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ أَوَّلَهُ، وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ، فَإِنَّ صَلَاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ، وَذَلِكَ أَفْضَل
“Barang siapa yang khawatir tidak bangun di akhir malam, maka berwitirlah di awalnya. Dan barang siapa yang merasa akan bangun di akhir malam, maka hendaklah ia berwitir di akhirnya, karena shalat di akhir malam itu disaksikan (para malaikat rahmat), dan hal itu lebih utama.” (HR. Ahmad, Muslim, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abu Bakar, “Kapan engkau berwitir?” Ia menjawab, “Di awal malam setelah Isya.” Kemudian Beliau bersabda kepada Umar, “Bagaimana denganmu wahai Umar?” Ia menjawab, “Di akhir malam.” Beliau pun bersabda,
أَمَّا أَنْتَ يَا أَبَا بَكْرٍ، فَأَخَذْتَ بِالثِّقَةِ، وَأَمَّا أَنْتَ يَا عُمَرُ، فَأَخَذْتَ بِالْقُوَّةِ
 “Adapun engkau wahai Abu Bakar, maka engkau telah pegang sikap hati-hati, sedangkan engkau wahai Umar telah memegang sikap yang kuat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim, ia berkata, “Shahih sesuai syarat Muslim.”)
Dan akhir keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berwitir di waktu sahur (menjelang Subuh), karena hal itu lebih utama. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Pada setiap malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat witir di awal malam, di tengahnya, dan di akhirnya. Witirnya berakhir sampai waktu sahur (menjelang Subuh).” (HR. Jamaah Ahli Hadits)
Meskipun begitu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada sebagian sahabatnya agar tidak tidur sebelum shalat witir sebagai bentuk sikap jaga-jaga atau hati-hati. Oleh karena itu, Sa’ad bin Abi Waqqash pernah shalat Isya di masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian berwitir satu rakaat dan tidak menambahnya, lalu ia ditanya, “Apakah engkau berwitir satu rakaat saja dan tidak menambahnya wahai Abu Ishaq?” Ia menjawab, “Ya. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الَّذِي لَا يَنَامُ حَتَّى يُوتِرَ حَازِمٌ
“Orang yang tidak tidur kecuali setelah berwitir adalah orang yang waspada.” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5493).
Jumlah rakaat shalat witir
Imam Tirmidzi berkata, “Telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwitir dengan jumlah tiga belas rakaat, sebelas rakaat, sembilan rakaat, tujuh rakaat, lima rakaat, tiga rakaat, dan satu rakaat.”
Ishaq bin Ibrahim berkata, “Maksud riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan witir tiga belas rakaat adalah bahwa Beliau melakukan shalat malam tiga belas rakaat beserta witirnya, lalu dihubungkan shalat malam dengan shalat witir.”
Dan dibolehkan melaksanakan shalat witir dengan cara shalat dua rakaat (mengucapkan salam di setiap dua rakaat), kemudian shalat satu rakaat dengan diakhiri tasyahhud dan salam.
Demikian pula boleh melakukan semua itu dengan dua kali tasyahhud dan satu salam, yaitu ia sambung semua rakaat antara yang satu dengan yang lain tanpa bertasyahhud selain pada rakaat sebelum akhir, lalu ia bertasyahhud di sana kemudian bangun ke rakaat terakhir, lalu ia akhiri dengan tasyahhud dan salam.
Boleh juga melakukan semua itu dengan satu kali tasyahhud dan salam di rakaat terakhir. Semua itu boleh dilakukan dan berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sunnah yang shahih tegas lagi jelas menyebutkan witir lima rakaat sekaligus dan tujuh rakaat sekaligus. Misalnya hadits Ummu Salamah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwitir tujuh rakaat dan lima rakaat; Beliau tidak memisahkannya dengan salam dan kalimat apa pun (Diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i, dan Ibnu Majah dengan sanad yang jayyid). Demikian pula hadits Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat malam tiga belas rakaat, Beliau melakukan witirnya lima rakaat dan tidak duduk kecuali di rakaat terakhir (HR. Bukhari dan Muslim). Demikian pula hadits Aisyah lainnya yang menerangkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat malam sembilan rakaat, dan tidak duduk kecuali pada rakaat kedelapan, Beliau berdzikr kepada Allah, memuji-Nya, dan berdoa kepada-Nya, kemudian bangkit tanpa mengucapkan salam, dan melanjutkan ke rakaat kesembilan, lalu duduk dan bertasyahhud, kemudian mengucapkan salam yang terdengar oleh kami, lalu Beliau shalat dua rakaat setelah salam sambil duduk, sehingga jumlahnya sebelas rakaat. Tetapi ketika usia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin tua dan badan Beliau semakin gemuk, maka Beliau berwitir tujuh rakaat dan melakukan pada dua rakaat seperti yang dilakukan di awalnya. Dalam sebuah lafaz disebutkan, “Ketika usia Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin tua dan badan Beliau semakin gemuk, maka Beliau berwitir tujuh rakaat, Beliau tidak duduk kecuali pada rakaat keenam dan ketujuh, dan tidak salam kecuali pada rakaat ketujuh.” Dalam lafaz lain disebutkan, “Beliau melakukan tujuh rakaat dan tidak duduk kecuali pada rakaat terakhir.” (HR. Jamaah). Semua hadits ini adalah shahih, tegas, dan jelas, tidak ada yang menyelisihinya selain sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat.” Itu hadits shahih juga, namun Beliau yang bersabda demikian melakukan witir dengan tujuh rakaat dan lima rakaat. Semua sunnah itu adalah benar; satu sama lain saling membenarkan.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjawab orang yang bertanya tentang shalat malam, bahwa pelaksanaannya dua rakaat-dua rakaat, namun orang itu tidak bertanya tentang witir. Adapun tujuh, lima, sembilan, dan satu adalah shalat witir. Witir adalah sebutan untuk satu yang terpisah dengan sebelumnya, demikian sebutan untuk lima, tujuh, dan sembilan yang menyatu sekaligus seperti halnya Maghrib sebutan untuk tiga rakaat yang menyatu. Jika lima rakaat dan tujuh rakaat dipisah dengan dua kali salam seperti sebelas rakaat, maka witir adalah sebutan untuk rakaat yang dipisah secara sendiri sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat. Jika seseorang khawatir tiba waktu Subuh, maka ia berwitir satu rakaat untuk mengganjilkan shalatnya.” Dengan demikian, sejalanlah antara sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perbuatan Beliau, dan bahwa satu sama lain saling membenarkan.”
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Al Fiqhul Muyassar fii Dhau’il Kitab wa Sunnah (Tim Ahli Fiqh, KSA), Qunutun Nawazil (Yusuf bin Abdullah Al Ahmad), Mausu’ah Ruwathil Hadits (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur’ani was Sunnah),  Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger