Fiqih Shalat Sunah Witir (2)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫صلاة الوتر‬‎
Fiqih Shalat Sunah Witir (2)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan fiqih shalat sunah witir, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Bacaan dalam shalat witir
Dipersilahkan membaca surat apa saja setelah Al Fatihah dalam shalat witir. Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidak ada ayat Al Qur’an yang ditinggalkan, maka berwitirlah dengan ayat mana saja yang engkau mau.”
Akan tetapi, dianjurkan jika berwitir tiga rakaat, untuk rakaat pertama setelah Al Fatihah adalah membaca surat Al A’la, rakaat kedua membaca surat Al Kafirun, sedangkan rakaat ketiga membaca surat Al Ikhlas, Al Falaq, dan An Naas. Hal ini berdasarkan riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi –ia menghasankannya- dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca pada rakaat pertama (setelah Al Fatihah) surat Sabbihismarabbikal a’la, rakaat kedua membaca Qul yaa ayyuhal kaafirun, sedangkan rakaat ketiga membaca surat Qulhuwallahu ahad dan surat mu’awwidzatain (Al Falaq dan An Naas).
Qunut dalam shalat witir
Disyariatkan melakukan qunut dalam shalat witir. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Ahmad, para pemilik kitab Sunan, dan lainnya dari hadits Al Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengajarkanku beberapa kalimat yang aku ucapkan dalam shalat witir, yaitu:
اَللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
“Ya Allah, tunjukkanlah aku ke dalam golongan orang yang Engkau tunjuki, lindungilah aku ke dalam golongan yang Engkau lindungi, pimpinlah aku ke dalam golongan orang yang Engkau pimpin, lindungilah aku dari keburukan yang Engkau tetapkan, karena Engkau menetapkan dan tidak ada yang memberikan ketetapan untuk-Mu, sesungguhnya tidak akan hina orang yang Engkau pimpin, dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Mahasuci Engkau dan Maha Tinggi.”
Tirmidzi berkata, “Hadits ini hadits hasan. Dan kami tidak mengetahui dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang qunut riwayat yang lebih baik daripada ini.” Para Ahli Ilmu berbeda pendapat tentang qunut dalam shalat witir, menurut Abdullah bin Mas’ud bahwa qunut berlaku dalam setahun penuh, dan ia memilih untuk melakukan qunut sebelum ruku. Ini merupakan pendapat sebagian Ahli Ilmu, dan ini pula yang dipegang oleh Sufyan Ats Tsauriy, Ibnul Mubarak, Ishaq, dan penduduk Kufah. Ada riwayat dari Ali bin Abi Thalib, bahwa ia tidak melakukan qunut kecuali pada pertengahan kedua bulan Ramadhan, dan ia melakukan qunut setelah ruku. Sebagian Ahli Ilmu berpendapat demikian, dan inilah yang dipegang oleh Imam Syafi’i dan Ahmad.”
Dalam riwayat Nasa’i ada tambahan di akhir qunut, “Wa shallallahu ‘alan Nabi Muhammad,” tetapi tambahan ini menurut Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah adalah dhaif sebagaimana yang dinyatakan Al Hafizh Ibnu Hajar, Al Qasthalani, dan Az Zarqaniy, dan dalam sanadnya terdapat kemajhulan dan terputus. Akan tetapi menurut Syaikh Al Albani, tidak mengapa mengamalkannya karena kaum salaf melakukannya sebagaimana ia terangkan dalam Talkhish Shifatis Shalat.
Imam Syafi’i dan ulama lainnya berpendapat, bahwa seseorang tidak melakukan qunut dalam shalat witir kecuali pada pertengahan kedua bulan Ramadhan. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud, bahwa Umar bin Khaththab pernah mengumpulkan manusia dengan imamnya adalah Ubay bin Ka’ab, ia melakukan shalat untuk mereka selama dua puluh malam, dan ia tidak melakukan qunut kecuali pada pertengahan kedua bulan Ramadhan.
Muhammad bin Nashr meriwayatkan, bahwa ia pernah bertanya kepada Sa’id bin Jubair tentang awal dilakukan qunut pada shalat witir, ia menjawab, “Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah mengirimkan pasukan, lalu mereka terjepit, dan Umar mengkhawatirkan kondisi mereka, maka pada pertengahan kedua bulan Ramadhan ia melakukan qunut mendoakan mereka.
Posisi melakukan qunut
Diperbolehkan melakukan qunut sebelum ruku setelah selesai membaca ayat Al Qur’an, sebagaimana boleh juga setelah bangkit dari ruku. Dari Humaid ia berkata, “Aku bertanya kepada Anas tentang qunut; apakah sebelum ruku atau setelah ruku?” Ia menjawab, “Kami melakukannya sebelum dan setelah ruku.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Muhammad bin Nashr. Al Hafizh dalam Al Fat-h berkata, “Isnadnya kuat.”).
Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah berkata, “Apabila seseorang melakukan qunut sebelum ruku, maka ia bertakbir sambil mengangkat kedua tangannya seusai membaca surat, demikian pula ia bertakbir lagi setelah selesai qunut. Demikianlah yang diriwayatkan dari sebagian sahabat.”
Sebagian ulama menganjurkan mengangkat kedua tangan ketika qunut, sedangkan sebagian lagi tidak menganjurkannya.
Adapun mengusap muka dengan kedua tangan (setelah qunut), Imam Baihaqi berkata, “Sebaiknya tidak dilakukan dan hendaknya ia membatasi diri dengan apa yang dilakukan kaum salaf radhiyallahu ‘anhum, yaitu hanya mengangkat kedua tangan tanpa mengusapnya ke wajah dalam shalat.”
Doa setelah witir
Dianjurkan setelah seseorang selesai shalat witir mengucapkan “Subhaanal malikil quddus,” (artinya: Mahasuci Allah; Raja yang Mahasuci dari kekurangan) sebanyak tiga kali, dan ia keraskan suaranya pada yang ketiga kalinya sambil menambahkan, “Rabbil Malaaikati war Ruuh” (artinya: Tuhan para malaikat dan malaikat Jibril). Hal ini berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud dan Nasa’i dari hadits Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat witir membaca “Sabbihismarabbikal a’la,” membaca “Qul Yaa ayyuhal kafirun,” dan membaca, “Qulhuwallahu ahad.” Setelah Beliau salam, Beliau mengucapkan,
سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ
“Mahasuci Allah Raja lagi Mahasuci dari kekurangan.”
Beliau memanjangkan dan mengeraskan suaranya pada ucapan yang ketiga.” Daruqutni menambahkan, “Beliau juga mengucapkan, “Rabbil Malaaikati war Ruuh.
Setelah itu dianjurkan seseorang berdoa dengan doa yang diriwayatkan oleh Ahmad dan para pemilik kitab Sunan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhir witirnya membaca,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سُخْطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ، لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu, dan kepada perlindungan-Mu dari siksa-Mu. Aku berlindung kepada-Mu dari azab-Mu. Aku tidak mampu menjumlahkan pujian untuk-Mu, bahkan Engkau sebagaimana yang Engkau puji terhadap Diri-Mu.” (Dishahihkan oleh Al Albani).
Tidak ada dua witir dalam satu malam
Barang siapa yang telah shalat witir, lalu ia bangun malam ingin shalat, maka ia boleh melakukannya, namun tidak mengulangi lagi shalat witirnya. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud, Nasa’i, Tirmidzi dan ia menghasankannya, dari Ali radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ
“Tidak ada dua witir dalam satu malam.”
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam dengan ucapan yang terdengar oleh kami, kemudian Beliau melakukan shalat dua rakaat setelah salam sambil duduk.” (HR. Muslim)
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat dua rakaat setelah witir dalam keadaan duduk.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya).
Mengqadha shalat witir
Jumhur ulama berpendapat disyariatkannya mengqadha shalat sunah witir. Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَامَ عَنْ وِتْرِهِ، أَوْ نَسِيَهُ، فَلْيُصَلِّهِ إِذَا ذَكَرَهُ
“Barang siapa yang tertidur hingga tidak sempat shalat witir atau lupa, maka hendaklah ia shalat ketika ingat.” (HR. Ahmad, para pemilik kitab Sunan, dan Hakim, Al Iraqi berkata, “Isnadnya shahih.” Dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6562)
Dalam hadits riwayat Ahmad dan Thabrani dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ، فَيُوتِرُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berada di waktu Subuh, lalu Beliau berwitir.” (Hadits ini dinyatakan isnadnya hasan oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah)
Para ulama berbeda pendapat tentang waktu mengqadha shalat sunah witir.
Menurut ulama madzhab Hanafi, bahwa shalat witir diqadha pada bukan waktu terlarang.
Menurut ulama madzhab Syafi’i, bahwa shalat witir diqadha pada waktu kapan saja baik di malam maupun di siang hari.
Menurut Imam Malik dan Ahmad, bahwa shalat witir diqadha setelah terbit fajar selama belum shalat Subuh.
Qunut pada shalat lima waktu
Disyariatkan qunut secara jahar pada shalat yang lima waktu ketika terjadi nawazil (musibah dan penindasan yang menimpa kaum muslimin). Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata,
قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَصَلَاةِ الصُّبْحِ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ، إِذَا قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ، يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ، عَلَى رِعْلٍ، وَذَكْوَانَ، وَعُصَيَّةَ، وَيُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut selama sebulan secara berturut-turut baik pada shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya, dan Subuh di akhir setiap shalat, yaitu ketika Beliau mengucapkan “Sami’allahu liman hamidah” di rakaat terakhir, maka Beliau mendoakan keburukan untuk beberapa suku Bani Salim, yaitu suku Ri’il, Dzakwan, dan Ushayyah, dan diaminkan oleh makmum yang berada di belakangnya.” (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Al Albani. Imam Ahmad menambahkan, “Beliau mengutus kepada mereka beberapa orang sahabat untuk mengajak kepada Islam, lalu mereka membunuhnya.” Ikrimah berkata, “Inilah awal mula qunut.”)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak mendoakan keburukan untuk seseorang atau kebaikan bagi seseorang, maka Beliau melakukan qunut setelah ruku. Abu Hurairah juga berkata, “Ketika Beliau mengucapkan, “Sami’allahu liman hamidah,” Beliau mengucapkan,
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، اللهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ، وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ، وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ، وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ، اللهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ، وَاجْعَلْهَا سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ
Rabbanaa walakal hamdu. Ya Allah, selamatkanlah Al Walid bin Al Walid, Salamah bin Hisyam, Ayyasy bin Abi Rabi’ah, dan kaum mukmin yang lemah. Ya Allah, keraskanlah hukuman-Mu kepada suku Mudhar, dan berikanlah kepadanya kemarau panjang seperti kemarau panjang Yusuf.”
Abu Hurairah berkata, “Beliau menjaharkan(mengeraskan suara)nya, dan Beliau mengucapkan pada sebagian shalatnya, yaitu shalat Subuh, “Ya Allah, laknatlah si fulan dan si fulan dari penduduk Arab,” sehingga Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat,
لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ
“Tidak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.” (QS. Ali Imran: 128)
(HR. Ahmad dan Bukhari)
Catatan:
-       Sunnahnya, qunut karena nawazil tidak terlalu panjang.
-       Qunut karena nawazil dilakukan ketika ada nazilah atau bencana, ketika hilang, maka berhenti dari qunut.
-       Qunut Nawazil tidak ada shighat (bacaan) khusus, bahkan sesuai dengan kondisi yang terjadi ketika itu. Adapun doa, “Allahummah dini fiiman hadait…dst.” Maka dibaca pada shalat witir.
-       Disunnahkan doa qunut nawazil diaminkan oleh makmum.
-       Disunnahkan mengangkat tangan dalam doa qunut Nazilah. Hal ini berdasarkan hadits Anas radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Aku tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan duka cita yang dalam seperti halnya yang menimpa mereka -para penghapal Al Qur’an yang dibunuh kaum musyrik-. Sungguh, aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat Subuh mengangkat tangannya mendoakan kebinasaan terhadap mereka (musuh).” (HR. Ahmad dengan isnad yang shahih. Imam Nawawi berkata, “Diriwayatkan oleh Baihaqi dengan isnad yang shahih atau hasan.”).
-       Tidak disyariatkan mengusap muka setelah membaca doa qunut. Imam Baihaqi berkata, “Adapun mengusap muka setelah selesai berdoa, maka saya tidak hapal adanya riwayat dari salah seorang kaum salaf dalam doa qunut. Meskipun ada riwayat dari sebagian mereka dalam doa di luar shalat. Ada riwayat tentang mengusap dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun di dalamnya terdapat kelemahan (dhaif), meskipun dilakukan oleh sebagian mereka (kaum salaf) di luar shalat. Adapun dalam shalat, maka praktek tersebut tidak ada khabar dan atsar yang sahih, demikian pula tidak ditunjukkan oleh qiyas. Oleh karena itu, sebaiknya tidak melakukannya dan hanya melakukan yang diamalkan kaum salaf radhiyallahu ‘anhum, yaitu mengangkat kedua tangan tanpa mengusapnya ke muka dalam shalat, wa billahit taufiq.” (Sunan Al Baihaqi 2/212).
-       Tidak mesti dalam qunut nazilah diakhiri dengan shalawat, karena shalawat dibaca pada qunut witir; bukan qunut nazilah.
-       Sunnahnya qunut nazilah pada shalat lima waktu dalam shalat berjamaah. Adapun dalam shalat Jum’at, shalat sunah, dan shalat sendiri, maka belum kami dapatkan hadits atau atsar yang menunjukkan demikian.
Qunut dalam shalat Subuh
Qunut pada shalat Subuh tidaklah disyariatkan kecuali ketika terjadi nazilah (musibah yang menimpa umat Islam), maka dilakukan qunut pada shalat Subuh dan shalat lima waktu lainnya sebagaimana telah diterangkan sebelumnya.
Dari Abu Malik Al Asyja’iy ia berkata, “Ayahku shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar, dan Utsman saat usianya 16 tahun, lalu aku bertanya, “Apakah mereka melakukan qunut?” Ia menjawab, “Tidak wahai puteraku. Itu adalah hal yang diada-adakan.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi, ia menshahihkannya).
Ibnu Hibban, Al Khathib, Ibnu Khuzaimah dan ia menshahihkannya meriwayatkan dari Anas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan qunut pada shalat Subuh kecuali apabila Beliau mendoakan kebaikan bagi suatu kaum atau mendoakan keburukan bagi suatu kaum (Ini adalah lafaz Ibnu Hibban, adapun lafaz yang lain tanpa menyebutkan shalat Subuh).
Dan diriwayatkan dari Az Zubair dan tiga khalifah, bahwa mereka tidak melakukan qunut pada shalat Fajar. Ini pula yang menjadi madzhab ulama Hanafi, ulama Hanbali, Ibnul Mubarak, Ats Tsauriy, dan Ishaq.
Adapun menurut ulama madzhab Syafi’i, bahwa qunut pada shalat Subuh setelah ruku dari rakaat kedua merupakan Sunnah.
Hal ini berdasarkan riwayat Jamaah Ahli Hadits selain Tirmidzi dari Ibnu Sirin, bahwa Anas bin Malik pernah ditanya, “Apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut pada shalat Subuh?” Ia menjawab, “Ya.” Lalu ia ditanya, “Sebelum ruku atau setelahnya?” Ia menjawab, “Setelah ruku.”
Demikian pula berdasarkan hadits riwayat Ahmad, Al Bazzar, Daruquthni, Baihaqi, dan Hakim; ia menshahihkannya dari Anas ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa qunut pada shalat Fajar sampai Beliau meninggal dunia.”
Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah berkata, “Berdalih dengan riwayat di atas perlu dikaji kembali, karena qunut yang ditanyakan (kepada Anas) tersebut adalah qunut nazilah sebagaimana ditegaskan dalam riwayat Bukhari dan Muslim. Adapun hadits kedua (di atas), maka dalam sanadnya terdapat Abu Ja’far Ar Raziy seorang yang tidak kuat, dan haditsnya ini tidak bisa dijadikan hujjah, karena tidak mungkin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut di shalat Subuh sepanjang hidupnya, namun ditinggalkan oleh para khalifah setelahnya. Bahkan Anas sendiri tidak melakukan qunut dalam shalat Subuh sebagaimana telah sah riwayat darinya. Kalau pun kita menerima hadits itu shahih, maka maksud qunut dalam hadits tersebut adalah bahwa Beliau memperlama berdiri setelah ruku untuk berdoa dan memuji Allah hingga Beliau meninggal dunia, karena ini termasuk salah satu arti qunut, dan dalam hal ini lebih tepat.”
Wallahu waliyyut taufiq.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Al Fiqhul Muyassar fii Dhau’il Kitab wa Sunnah (Tim Ahli Fiqh, KSA), Qunutun Nawazil (Yusuf bin Abdullah Al Ahmad), Mausu’ah Ruwathil Hadits (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur’ani was Sunnah),  Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger