Fiqih Shalat Sunah Witir (1)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫صلاة الوتر‬‎
Fiqih Shalat Sunah Witir (1)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Pada risalah ini, kita akan mempelajari fiqih shalat sunah witir, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Hukum shalat witir dan keutamaannya
Shalat witir hukumnya sunah mu’akkadah (yang ditekankan). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong kita untuk melakukannya.
Dari Ali radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Sssungguhnya shalat witir itu tidak wajib seperti shalat fardhu kalian, akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat witir, Beliau bersabda,
يَا أَهْلَ الْقُرْآنِ أَوْتِرُوا؛ فَإِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ
“Wahai Ahli Al Qur’an! Berwitirlah, karena Allah ganjil (Esa), menyukai yang ganjil.”
Nafi berkata, “Ibnu Umar tidaklah melakukan sesuatu melainkan memilih yang ganjil.” (HR. Ahmad, para pemilik kitab Sunan, dihasankan oleh Tirmidzi, diriwayatkan pula oleh Hakim, dan ia menshahihkannya).
Adapun pendapat Imam Abu Hanifah yang menyatakan bahwa witir itu wajib, maka pendapat yang lemah. Ibnul Mundzir berkata, “Aku tidak mengetahui adanya seseorang yang sepakat dengan Abu Hanifah tentang masalah ini.”
Dalam riwayat Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah disebutkan, bahwa seorang yang berasal dari Bani Kinanah yang dipanggil dengan nama Al Mukhdajiy mendengar seseorang di Syam dengan panggilan Abu Muhammad menyatakan, bahwa shalat witir itu wajib, maka Al Mukhdajiy pergi mendatangi Ubadah bin Ash Shamit radhiyallahu ‘anhu yang sedang menuju ke Masjid dan menyampaikan pernyataan Abu Muhammad. Ubadah pun menjawab, “Abu Muhammad dusta. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ مَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ، وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ
“Lima shalat yang Allah wajibkan kepada hamba. Barang siapa yang melakukan semua itu tanpa meninggalkannya karena meremehkan haknya, maka Allah berjanji akan memasukkannya ke surga. Tetapi barang siapa yang tidak melakukan shalat itu, maka tidak ada janji dari Allah (untuk memasukkan ke surga). Jika Dia menghendaki, maka Dia akan azab, dan jika Dia menghendaki, maka Dia akan masukkan ke surga.” (Dishahihkan oleh Al Albani)
Dalam riwayat Bukhari dan Muslim dari hadits Thalhah bin Ubaidillah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada lima shalat yang Allah wajibkan sehari-semalam.” Lalu orang Arab badui berkata, “Apakah ada yang lain.” Beliau menjawab, “Tidak ada, kecuali jika engkau mau melakukan yang sunah.”
Waktu shalat witir
Para ulama sepakat, bahwa waktu shalat witir setelah shalat Isya sampai tiba fajar.
Dari Abu Tamim Al Jaisyani, bahwa Amr bin Ash pernah berkhutbah pada hari Jum’at dan berkata, “Sesungguhnya Abu Basrah menyampaikan kepadaku, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ زَادَكُمْ صَلَاةً، وَهِيَ الْوِتْرُ، فَصَلُّوهَا فِيمَا بَيْنَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلَاةِ الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Allah telah menambah untukmu shalat, yaitu shalat witir, maka lakukanlah antara shalat Isya sampai shalat Fajar.”
Abu Tamim berkata, “Lalu Abu Dzar memegang tanganku dan berjalan di masjid menuju Abu Basrah, kemudian ia berkata, “Apakah engkau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda seperti yang disampaikan Amr?” Abu Basrah menjawab, “Aku mendengar kalimat itu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Hadits ini dinyatakan isnadnya shahih oleh Pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah).
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Pada setiap malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat witir di awal malam, di tengahnya, dan di akhirnya. Witirnya berakhir sampai waktu sahur (menjelang Subuh).” (HR. Muslim)
Dari Abdullah bin Abi Qais ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang witir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia menjawab, “Terkadang Beliau berwitir di awal malam dan terkadang di akhirnya.” Aku bertanya lagi, “Bagaimana bacaan Beliau; apakah Beliau mensirr(pelan)kan bacaan atau menjahar(keras)kan?” Ia menjawab, “Semuanya pernah dilakukan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terkadang Beliau mensirrkan dan terkadang menjaharkan. Terkadang Beliau mandi lalu tidur, dan terkadang wudhu kemudian tidur (setelah junub).” (HR. Abu Dawud. Dan diriwayatkan pula oleh Ahmad, Muslim, dan Tirmidzi).
Menyegerakan shalat witir dan menundanya
Dianjurkan menyegerakan shalat witir di awal malam bagi yang merasa tidak bangun di akhir malam, dan dianjurkan menunda di akhir malam bagi yang merasa akan bangun di akhir malam.
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
مَنْ خَافَ أَنْ لَا يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ أَوَّلَهُ، وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ، فَإِنَّ صَلَاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ، وَذَلِكَ أَفْضَل
“Barang siapa yang khawatir tidak bangun di akhir malam, maka berwitirlah di awalnya. Dan barang siapa yang merasa akan bangun di akhir malam, maka hendaklah ia berwitir di akhirnya, karena shalat di akhir malam itu disaksikan (para malaikat rahmat), dan hal itu lebih utama.” (HR. Ahmad, Muslim, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abu Bakar, “Kapan engkau berwitir?” Ia menjawab, “Di awal malam setelah Isya.” Kemudian Beliau bersabda kepada Umar, “Bagaimana denganmu wahai Umar?” Ia menjawab, “Di akhir malam.” Beliau pun bersabda,
أَمَّا أَنْتَ يَا أَبَا بَكْرٍ، فَأَخَذْتَ بِالثِّقَةِ، وَأَمَّا أَنْتَ يَا عُمَرُ، فَأَخَذْتَ بِالْقُوَّةِ
 “Adapun engkau wahai Abu Bakar, maka engkau telah pegang sikap hati-hati, sedangkan engkau wahai Umar telah memegang sikap yang kuat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim, ia berkata, “Shahih sesuai syarat Muslim.”)
Dan akhir keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berwitir di waktu sahur (menjelang Subuh), karena hal itu lebih utama. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Pada setiap malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat witir di awal malam, di tengahnya, dan di akhirnya. Witirnya berakhir sampai waktu sahur (menjelang Subuh).” (HR. Jamaah Ahli Hadits)
Meskipun begitu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada sebagian sahabatnya agar tidak tidur sebelum shalat witir sebagai bentuk sikap jaga-jaga atau hati-hati. Oleh karena itu, Sa’ad bin Abi Waqqash pernah shalat Isya di masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian berwitir satu rakaat dan tidak menambahnya, lalu ia ditanya, “Apakah engkau berwitir satu rakaat saja dan tidak menambahnya wahai Abu Ishaq?” Ia menjawab, “Ya. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الَّذِي لَا يَنَامُ حَتَّى يُوتِرَ حَازِمٌ
“Orang yang tidak tidur kecuali setelah berwitir adalah orang yang waspada.” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5493).
Jumlah rakaat shalat witir
Imam Tirmidzi berkata, “Telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwitir dengan jumlah tiga belas rakaat, sebelas rakaat, sembilan rakaat, tujuh rakaat, lima rakaat, tiga rakaat, dan satu rakaat.”
Ishaq bin Ibrahim berkata, “Maksud riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan witir tiga belas rakaat adalah bahwa Beliau melakukan shalat malam tiga belas rakaat beserta witirnya, lalu dihubungkan shalat malam dengan shalat witir.”
Dan dibolehkan melaksanakan shalat witir dengan cara shalat dua rakaat (mengucapkan salam di setiap dua rakaat), kemudian shalat satu rakaat dengan diakhiri tasyahhud dan salam.
Demikian pula boleh melakukan semua itu dengan dua kali tasyahhud dan satu salam, yaitu ia sambung semua rakaat antara yang satu dengan yang lain tanpa bertasyahhud selain pada rakaat sebelum akhir, lalu ia bertasyahhud di sana kemudian bangun ke rakaat terakhir, lalu ia akhiri dengan tasyahhud dan salam.
Boleh juga melakukan semua itu dengan satu kali tasyahhud dan salam di rakaat terakhir. Semua itu boleh dilakukan dan berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sunnah yang shahih tegas lagi jelas menyebutkan witir lima rakaat sekaligus dan tujuh rakaat sekaligus. Misalnya hadits Ummu Salamah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwitir tujuh rakaat dan lima rakaat; Beliau tidak memisahkannya dengan salam dan kalimat apa pun (Diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i, dan Ibnu Majah dengan sanad yang jayyid). Demikian pula hadits Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat malam tiga belas rakaat, Beliau melakukan witirnya lima rakaat dan tidak duduk kecuali di rakaat terakhir (HR. Bukhari dan Muslim). Demikian pula hadits Aisyah lainnya yang menerangkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat malam sembilan rakaat, dan tidak duduk kecuali pada rakaat kedelapan, Beliau berdzikr kepada Allah, memuji-Nya, dan berdoa kepada-Nya, kemudian bangkit tanpa mengucapkan salam, dan melanjutkan ke rakaat kesembilan, lalu duduk dan bertasyahhud, kemudian mengucapkan salam yang terdengar oleh kami, lalu Beliau shalat dua rakaat setelah salam sambil duduk, sehingga jumlahnya sebelas rakaat. Tetapi ketika usia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin tua dan badan Beliau semakin gemuk, maka Beliau berwitir tujuh rakaat dan melakukan pada dua rakaat seperti yang dilakukan di awalnya. Dalam sebuah lafaz disebutkan, “Ketika usia Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin tua dan badan Beliau semakin gemuk, maka Beliau berwitir tujuh rakaat, Beliau tidak duduk kecuali pada rakaat keenam dan ketujuh, dan tidak salam kecuali pada rakaat ketujuh.” Dalam lafaz lain disebutkan, “Beliau melakukan tujuh rakaat dan tidak duduk kecuali pada rakaat terakhir.” (HR. Jamaah). Semua hadits ini adalah shahih, tegas, dan jelas, tidak ada yang menyelisihinya selain sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat.” Itu hadits shahih juga, namun Beliau yang bersabda demikian melakukan witir dengan tujuh rakaat dan lima rakaat. Semua sunnah itu adalah benar; satu sama lain saling membenarkan.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjawab orang yang bertanya tentang shalat malam, bahwa pelaksanaannya dua rakaat-dua rakaat, namun orang itu tidak bertanya tentang witir. Adapun tujuh, lima, sembilan, dan satu adalah shalat witir. Witir adalah sebutan untuk satu yang terpisah dengan sebelumnya, demikian sebutan untuk lima, tujuh, dan sembilan yang menyatu sekaligus seperti halnya Maghrib sebutan untuk tiga rakaat yang menyatu. Jika lima rakaat dan tujuh rakaat dipisah dengan dua kali salam seperti sebelas rakaat, maka witir adalah sebutan untuk rakaat yang dipisah secara sendiri sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat. Jika seseorang khawatir tiba waktu Subuh, maka ia berwitir satu rakaat untuk mengganjilkan shalatnya.” Dengan demikian, sejalanlah antara sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perbuatan Beliau, dan bahwa satu sama lain saling membenarkan.”
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Al Fiqhul Muyassar fii Dhau’il Kitab wa Sunnah (Tim Ahli Fiqh, KSA), Qunutun Nawazil (Yusuf bin Abdullah Al Ahmad), Mausu’ah Ruwathil Hadits (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur’ani was Sunnah),  Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger