Terjemah Bulughul Maram (6)

Selasa, 13 Februari 2024

 

بسم الله الرحمن الرحيم



Terjemah Bulughul Maram (6)

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Berikut lanjutan terjemah Bulughul Maram karya Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penerjemahan buku ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Dalam menyebutkan takhrijnya, kami banyak merujuk kepada dua kitab; Takhrij dari cetakan Darul ‘Aqidah yang banyak merujuk kepada kitab-kitab karya Syaikh M. Nashiruddin Al Albani rahimahullah, dan Buluughul Maram takhrij Syaikh Sumair Az Zuhairiy –hafizhahullah- yang kami singkat dengan ‘TSZ’.

بَابُ نَوَاقِضِ اَلْوُضُوءِ

Bab Pembatal-Pembatal Wudhu

72- عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ t قَالَ: كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اَللَّهِ r -عَلَى عَهْدِهِ- يَنْتَظِرُونَ اَلْعِشَاءَ حَتَّى تَخْفِقَ رُؤُوسُهُمْ, ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّئُونَ .  أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اَلدَّارَقُطْنِيّ ُ وَأَصْلُهُ فِي مُسْلِم

72. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di zaman Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam biasanya menunggu shalat Isya sampai kepala mereka miring (seperti mau jatuh), kemudian mereka shalat tanpa berwudhu.” (Hr. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Daruquthni, asal hadits ini ada di Muslim)[i]

73-وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: , جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ إِلَى اَلنَّبِيِّ r فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنِّي اِمْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُ, أَفَأَدَعُ اَلصَّلَاةَ? قَالَ: "لَا. إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ, وَلَيْسَ بِحَيْضٍ, فَإِذَا أَقْبَلَتْ حَيْضَتُكِ فَدَعِي اَلصَّلَاةَ, وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ اَلدَّمَ, ثُمَّ صَلِّي -  مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ

73. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Fathimah binti Abi Hubaisy pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku seorang wanita yang terkena darah istihadhah (penyakit) sehingga aku tidak suci, apakah aku boleh meninggalkan shalat?” Beliau menjawab, “Tidak boleh. Itu hanyalah sekedar urat (yang memancar darinya darah istihadhah-pent), dan bukan haid, apabila datang haidmu maka tinggalkanlah shalat dan apabila telah hilang maka cucilah darah itu darimu lalu shalatlah.” (Muttafaq ‘alaih)[ii]

74- وَلِلْبُخَارِيِّ: , ثُمَّ تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ - وَأَشَارَ مُسْلِمٌ إِلَى أَنَّهُ حَذَفَهَا عَمْدًا

74. Dan dalam lafaz Bukhari disebutkan, “Kemudian wudhulah untuk setiap kali shalat.” Muslim mengisyaratkan bahwa ia menghilangkan lafaz itu secara sengaja.[iii]

75- وَعَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ t قَالَ: كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً, فَأَمَرْتُ اَلْمِقْدَادَ بْنَ اَلْأَسْوَدِ أَنْ يَسْأَلَ اَلنَّبِيَّ r فَسَأَلَهُ ? فَقَالَ: "فِيهِ اَلْوُضُوءُ.  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيّ ِ

75. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Aku adalah seorang laki-laki yang banyak keluar madzi, aku pun menyuruh Al Miqdad bin Al Aswad untuk menanyakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al Miqdad lalu menanyakan kepada Beliau, maka Beliau bersabda, “Pada madzi harus wudhu.” (Muttafaq ‘alaih, lafaz ini adalah lafaz Bukhari)[iv]

76- وَعَنْ عَائِشَةَ, رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا; أَنَّ اَلنَّبِيَّ r قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ, ثُمَّ خَرَجَ إِلَى اَلصَّلَاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ .  أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ, وَضَعَّفَهُ اَلْبُخَارِيّ ُ

76. Dari Aisyah radhiiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium sebagian istrinya, lalu keluar untuk shalat dan tidak wudhu’ lagi.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, namun didhaifkan oleh Bukhari)[v]

77-وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ t قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r : إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا, فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ: أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ, أَمْ لَا? فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ اَلْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا, أَوْ يَجِدَ رِيحًا -  أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ

77.                Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu merasakan sesuatu dalam perutnya, ia pun bingung; apakah keluar sesuatu darinya apakah tidak? Maka janganlah sekali-kali ia keluar dari masjid sampai ia mendengar suara ataupun mencium baunya.” (Hr. Muslim)[vi]

78-وَعَنْ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ t قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: مَسَسْتُ ذَكَرِي أَوْ قَالَ اَلرَّجُلُ يَمَسُّ ذَكَرَهُ فِي اَلصَّلَاةِ, أَعَلَيْهِ وُضُوءٍ ? فَقَالَ اَلنَّبِيُّ r "لَا, إِنَّمَا هُوَ بَضْعَةٌ مِنْكَ . أَخْرَجَهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ وَقَالَ ابْنُ اَلْمَدِينِيِّ: هُوَ أَحْسَنُ مِنْ حَدِيثِ بُسْرَةَ.

78. Dari Thalq bin Ali radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Ada seseorang yang berkata, “Aku menyentuh kemaluanku” atau ia mengatakan “Seseorang menyentuh kemaluannya dalam shalat, apakah ia wajib berwudhu’?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak, itu hanyalah bagian anggota (badan)mu.” (Hr. Lima Imam Ahli Hadits dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Ibnul Madini berkata, “Hadits ini lebih baik daripada hadits Busrah.”)[vii]

79- وَعَنْ بُسْرَةَ بِنْتِ صَفْوَانَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ r قَالَ: "مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ" . أَخْرَجَهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ حِبَّان وَقَالَ اَلْبُخَارِيُّ: هُوَ أَصَحُّ شَيْءٍ فِي هَذَا الْبَابِ.

79. Dari Busrah binti Shafwan radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang menyentuh kemaluannya, maka hendaknya ia berwudhu’.” (Hr. Lima Imam Ahli Hadits, dan dishahihkkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Hibban, Bukhari berkata, “Hadits ini adalah hadits paling shahih tentang masalah ini.”)[viii]

80- وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: , مَنْ أَصَابَهُ قَيْءٌ أَوْ رُعَافٌ, أَوْ قَلَسٌ, أَوْ مَذْيٌ فَلْيَنْصَرِفْ فَلْيَتَوَضَّأْ, ثُمَّ لِيَبْنِ عَلَى صَلَاتِهِ, وَهُوَ فِي ذَلِكَ لَا يَتَكَلَّمُ . أَخْرَجَهُ اِبْنُ مَاجَه وَضَعَّفَهُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ.

80. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang muntah (dari perut) atau mengeluarkan darah dari hidung atau muntah (dari tenggorokan) ataupun mengeluarkan madzy maka hendaknya ia keluar dari shalat dan berwudhu, lalu ia lanjutkan shalatnya, namun sebelumnya ia tidak boleh berkata apa-apa.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan didha’ifkan oleh Ahmad serta yang lainnya)[ix]

81- وَعَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ اَلنَّبِيَّ r أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ اَلْغَنَمِ? قَالَ: إِنْ شِئْتَ قَالَ: أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ اَلْإِبِلِ ? قَالَ: نَعَمْ . أَخْرَجَهُ مُسْلِم ٌ

81. Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ada seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah saya harus berwudhu’ setelah makan daging kambing?” Beliau menjawab, “Jika kamu mau,” lalu ia bertanya lagi, “Apakah saya harus berwudhu setelah makan daging unta?” Beliau menjawab “Ya.” (HR. Muslim)[x]

82- وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ t قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r , مَنْ غَسَّلَ مَيْتًا فَلْيَغْتَسِلْ, وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ -  أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ, وَالنَّسَائِيُّ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ وَقَالَ أَحْمَدُ: لَا يَصِحُّ فِي هَذَا اَلْبَابِ شَيْءٌ.

82. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang memandikan mayit maka mandilah, dan barang siapa yang membawanya maka hendaknya dia berwudhu’.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i, Tirmidzi dan ia menghasankannya, Ahmad berkata, “Tidak ada satupun yang shahih dalam masalah ini.”)[xi]

83- وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ tُ; أَنَّ فِي اَلْكِتَابِ اَلَّذِي كَتَبَهُ رَسُولُ اَللَّهِ r لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ: أَنْ لَا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ . رَوَاهُ مَالِكٌ مُرْسَلاً, وَوَصَلَهُ النَّسَائِيُّ, وَابْنُ حِبَّانَ, وَهُوَ مَعْلُولٌ.

83. Dari Abdullah bin Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, bahwa dalam tulisan yang ditulis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Amr bin Hazm disebutkan, “Jangan menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” (Hr. Malik secara mursal, dimaushulkan oleh Nasa’i dan Ibnu Hibban, namun ia berillat(bercacat))[xii]

84- وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: , كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ r يُذْكُرُ اَللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ -  رَوَاهُ مُسْلِمٌ, وَعَلَّقَهُ اَلْبُخَارِيّ ُ

84. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdzikr kepada Allah di setiap waktunya.” (Diriwayatkan oleh Muslim, dan Bukhari menyebutkannya secara mu’allaq)[xiii]

85- وَعَنْ أَنَسِ]بْنِ مَالِكٍ] t , أَنَّ اَلنَّبِيَّ r اِحْتَجَمَ وَصَلَّى, وَلَمْ يَتَوَضَّأْ -  أَخْرَجَهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَلَيَّنَه

85. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam lalu shalat dan tidak berwudhu’ lagi.” (Diriwayatkan oleh Daruquthni dan ia melembekkannya)[xiv]

86- وَعَنْ مُعَاوِيَةَ t قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r : الْعَيْنُ وِكَاءُ السَّهِ, فَإِذَا نَامَتِ الْعَيْنَانِ اِسْتَطْلَقَ اَلْوِكَاءُ . رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَالطَّبَرَانِيُّ

86. Dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mata (terbuka-pent) itu pengikat dubur. Apabila mata tidur maka lepaslah pengikatnya.” (HR. Ahmad dan Thabrani)[xv]

87-وَزَادَ : وَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ. وَهَذِهِ اَلزِّيَادَةُ فِي هَذَا اَلْحَدِيثِ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ مِنْ حَدِيثِ عَلِيٍّ دُونَ قَوْلِهِ: اِسْتَطْلَقَ اَلْوِكَاءُ . وَفِي كِلَا الْإِسْنَادَيْنِ ضَعْف ٌ

87. Ia (Thabrani) menambahkan, “Dan barang siapa yang tidur maka hendaknya ia berwudhu,” tambahan dalam hadits ini ada pada Abu Dawud dari hadits Ali tanpa ada kata-kata “maka lepaslah pengikatnya,” namun pada kedua isnadnya ada kelemahan.[xvi]

88- وَلِأَبِي دَاوُدَ أَيْضًا, عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ مَرْفُوعًا: إِنَّمَا اَلْوُضُوءُ عَلَى مَنْ نَامَ مُضْطَجِعًا . وَفِي إِسْنَادِهِ ضَعْفٌ أَيْضًا

88.                Sedangkan dalam riwayat Abu Dawud juga dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’, “Wudhu itu dilakukan hanyalah bagi yang tidur telentang,” namun dalam sanadnya ada kelemahan juga.[xvii]

89- وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ r قَالَ: , يَأْتِي أَحَدَكُمُ الشَّيْطَانُ فِي صَلَاتِهِ, فَيَنْفُخُ فِي مَقْعَدَتِهِ فَيُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ أَحْدَثَ, وَلَمْ يُحْدِثْ, فَإِذَا وَجَدَ ذَلِكَ فَلَا يَنْصَرِفُ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا -  أَخْرَجَهُ اَلْبَزَّار ُ

89. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setan akan datang kepada salah seorang di antara kamu dalam shalatnya lalu ia meniup duburnya maka terbayang olehnya bahwa ia telah berhadats padahal belum hadats. Apabila ada yang merasakan begitu, maka janganlah ia batalkan shalatnya sampai ia mendengar suara atau mencium baunya.” (Hr. Al Bazzar)[xviii]

90- وَأَصْلُهُ فِي اَلصَّحِيحَيْنِ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ زَيْد ٍ

90. Asal hadits ini ada pada Shahihain (Bukhari dan Muslim) dari hadits Abdullah bin Zaid.[xix]

91- وَلِمُسْلِمٍ: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ نَحْوُهُ.

91. Dan dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah sama seperti itu.[xx]

92- وَلِلْحَاكِمِ. عَنْ أَبِي سَعِيدٍ مَرْفُوعًا: إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمُ الشَّيْطَانُ, فَقَالَ: إِنَّكَ أَحْدَثْتَ, فَلْيَقُلْ: كَذَبْتَ . وَأَخْرَجَهُ ابْنُ حِبَّانَ بِلَفْظِ: فَلْيَقُلْ فِي نَفْسِهِ)

92. Sedangkan dalam riwayat Hakim dari Abu Said secara marfu’ disebutkan, “Apabila setan mendatangi salah seorang di antara kamu lalu mengatakan “Kamu telah berhadats,” maka jawablah, “Kamu bohong.” (Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban dengan lafadz “Maka jawablah dalam hatinya.”)[xxi]

Bersambung….

Wa shallallahu 'alaa Nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Alih Bahasa:

Marwan bin Musa


[i] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (376) dalam Al Haidh, Abu ‘Uwanah dalam Shahihnya, Abu Dawud (200) dalam Ath Thaharah, Daruquthni dengan lafaz “ لقد رأيت أصحاب رسول الله صلى الله عليه و سلم يوقظون للصلاة حتى اني لأسمع لأحدهم غطيطا ثم يصلون و لا يتوضؤون”. Namun dalam Muslim tidak ada kata-kata “kepala mereka miring”. Al ‘Allamah Al Albani mengatakan, “Berpegang dengan hadits ini menghendaki menolak hadits-hadits yang mengharuskan memilih pendapat batal (yakni batalnya wudhu karena tidur), ini tidak boleh dilakukan, karena ada kemungkinan bahwa hadits ini sebelum diwajibkan (berwudhu’ bagi yang tidur) berdasarkan Al Baraa’ah Al Asliyyah (hukum asalnya tidak ada kewajiban) lalu datang hadits yang memerintahkan berwudhu’ karenanya (yakni karena tidur), Wallahu a’lam.” [Al Irwaa’ (114)] dan Shahih Abu Dawud (200) .

Dalam TSZ disebutkan lafaz riwayat Muslim yaitu,

كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم ينامون ثم يصلون ولا يتوضأون

Para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tertidur, lalu bangun tanpa berwudhu’ lagi.”

[ii] Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (228) dalam Al Haidh, Muslim (333, 334) dalam Al Haidh.

[iii] Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (228) dalam Al Haidh, Abu Dawud (298) [lihat Nashbur Raayah ( 1/96)] .

Dalam TSZ disebutkan bahwa Muslim mengatakan “Dalam hadits Hammad bin zaid ada tambahan satu kata yang tidak kami sebutkan.” Sumair Az Zuhairiy mengatakan, “Demikian juga yang dikatakan Nasa’i, namun Hammad tidaklah menyendiri dalam meriwayatkan tambahan ini sebagaimana yang saya jelaskan dalam asalnya.”

[iv] Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (132) dalam Al Wudhu’, Muslim (303) dalam Al Haidh, lafaz ini adalah lafaz Bukhari.

[v] Shahih, diriwayatkan oleh Ahmad (25238), Tirmidzi (86) dari Aisyah, Tirmidzi berkata, "Dan aku mendengar Muhammad bin Isma’il mendhaifkan hadits ini, ia mengatakan, “Habib bin Abi Tsabit tidak mendengar dari Urwah.” Tirmidzi mengatakan, "Dan tidak ada yang shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang masalah ini”, namun dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi (86), hadits tersebut ada dalam Al ‘Ilalul Mutanaahiyah karya Ibnul Jauziy .

Sumair Az Zuhairiy mengatakan, “Hadits ini meskipun didha'ifkan oleh Bukhari dan dianggap cacat oleh yang lain, namun di sana ada yang menshahihkan, inilah yang benar.”

[vi] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (362) dalam Al Haidh.

[vii] Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (182, 183) dalam Ath Thaharah, Tirmidzi (85) dalam Abwaabuth Thaharah, Nasa’i (165) dalam Ath Thaharah, Ibnu Majah (483) dalam Ath Thaharah, Ahmad (15857), Al Albani berkata dalam Shahih Abu Dawud, “Shahih.”.

Menurut Sumair Az Zuhairiy, bahwa perlu diketahui, hadits ini mansukh (sudah dihapus), karena Ibnu Hazm dalam Al Muhalla (139) menyatakan, “Hadits ini –yakni hadits Thalq- adalah shahih, hanyasaja tidak ada hujjah bagi mereka (yang mengatakan tidak batal wudhu) karena beberapa alasan: Pertama, bahwa hadits ini sesuai keadaan para sahabat dahulu sebelum datangnya perintah untuk berwudhu jika menyentuh kemaluan, hal ini tidak diragukan lagi. Jika demikian, maka hukum hadits tersebut secara yakin sudah mansukh pada saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh berwudhu’ bagi yang memegang kemaluan, dan tidak halal meninggalkan yang memang sudah yakin bahwa hadits itu –yakni hadits Busrah- memansukhkannya, serta berpegang dengan hadits yang sudah mansukh. Kedua, bahwa sabda Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, “Bukankah itu bagian badanmu?” adalah dalil yang tegas bahwa hal itu sebelum ada perintah berwudhu’, karena kalau seandainya (hadits ini) datang setelahnya tentu Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengatakan kata-kata ini, bahkan menerangkan bahwa hal itu sudah dimansukh, kata-kata Beliau ini menunjukkan bahwa dahulu tidak dihukumi apa-apa dan bahwa kemaluan seperti anggota badan yang lain.”

[viii] Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (181), Tirmidzi (82), Nasa’i (163), Ibnu Majah (479) semuanya dalam Ath Thaharah, Ahmad (26749), Ibnu Hibban dalam Shahihnya (212), dishahihkan oleh Ibnu Ma’in, Baihaqi serta dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abu Dawud (181).

[ix] Dha’if, diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1221) dalam Iqamatush shalaah bab maa jaa’a fil binaa’ ‘alash shalaah, dan didhaifkan oleh Al Albani dalam Dha’if Ibnu Majah no. (225).

[x] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (360) dalam Al Haidh.

[xi] Shahih, disebutkan oleh Al Allaamah Al Albani dalam Ahkaamul Janaa’iz hal. 71, ia katakan di sana, “Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1/62-63), Tirmidzi (2/132) dan ia menghasankannya, Ibnu Hibban dalam Shahihnya (751-Mawaarid), Thayaalisiy (2314) dan Ahmad (2/280, 433, 454, 472) dari beberapa jalan dari Abu Hurairah, sebagian jalan-jalannya hasan sedangkan sebagiannya lagi shahih sesuai syarat Muslim. “ sedangkan dalam Al Irwaa’ (1/175) ia (Al Albani) mengatakan dalam mengomentari hadits ini, “Tetapi, perintah di sini sunah bukan wajib, karena telah sah dari sahabat bahwa mereka apabila memandikan mayyit ada yang mandi dan ada juga yang tidak.”

Dalam TSZ disebutkan, “Hadits tersebut telah dianggap cacat oleh jama’ah Ahli Hadits seperti Imam Ahmad (993) sebagaimana dinukilkan oleh Al Haafizh, akan tetapi jalan-jalan hadits tersebut dan syahidnya yang banyak membuat keraguan sedikit tentang keshahihannya hilang, silahkan lihat kepada asalnya jika anda ingin mengetahui hal itu.”  Catatan: Al Hafizh keliru menisbatkan hadits ini kepada Nasa’i (yakni tidak ada dalam riwayat Nasa’i)–Wallahu a’lam-."

[xii] Shahih, diriwayatkan oleh Malik dalam Al Muwaththa’ (468) dalam bagian Al Qur’an (secara mursal), diriwayatkan juga oleh Al Atsram dan Daruquthni secara bersambung (muttashil). Al Albani menyebutkan dalam Al Irwaa’ jalan-jalan yang banyak namun tidak lepas dari kelemahan yang ringan, yang karena jalan-jalan itu ia shahihkan hadits ini. [Al Irwaa’ (122)].

[xiii] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (373) dalam Al Haidh dan Bukhari secara mu’allaq dalam Al Adzaan, Tirmidzi (3384) dalam Ad Da’aawaat, Abu Dawud (18) dan Ibnu Majah (302).

[xiv] Dha’if, diriwayatkan oleh Daruquthni (1/151-152) dalam Sunannya dari Shalih bin Muqaatil, telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud Al Qurasyiy, telah menceritakan kepada kami Humaid Ath Thawil dari Anas bin Malik. Daruquthni berkata, “Shalih bin Muqatil tidak kuat, bapaknya tidak dikenal sedangkan Sulaiman bin Dawud adalah majhul. Baihaqi meriwayatkan juga dari jalan Daruquthni, ia katakan, “Dalam isnadnya ada kelemahan.” (lihat Nashbur Raayah (1/100)) .

[xv] Shahih karena syawaahidnya, diriwayatkan oleh Ahmad (16427), juga Baihaqi dari Baqiyyah dari Abu Bakr bin Abi Maryam dari ‘Athiyyah bin Qais dari Mu’awiyah dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Diriwayatkan juga oleh Thabrani dalam Mu’jamnya dan ia menambahkan,  Barang siapa yang tidur, maka hendaknya ia berwudhu.” Hadits ini dianggap cacat karena dua sisi: salah satunya adalah adanya pembicaraan terhadap Abu Bakr bin Abi Maryam, Abu Hatim dan Abu Zur’ah mengatakan, “Ia tidak kuat,” sedangkan yang kedua, Marwan bin Janah yang diriwayatkannya dari ‘Athiyyah bin Qais dari Mu’awiyah secara mauquf, seperti inilah yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Addiy, ia katakan, “Marwan itu lebih kuat dari Abu Bakr bin Abi Maryam, yang shahih adalah (hadits ini) mauquf. [Nashbur Raayah (1/104)]. Sedangkan dalam Al Misykaat (315) Al Albani mengatakan, “Diriwayatkan oleh Darimiy dalam Sunannya (1/184), juga Ahmad dalam Musnadnya (4/96-97), namun anaknya Abdullah mengatakan, “Sesungguhnya bapaknya meniggalkannya dalam kitabnya.” Menurutku (Syaikh Al Albani), “Hal itu karena di dalamnya ada Abu Bakr bin Abi Maryam, ia adalah dha’if karena hapalannya bercampur, namun ada syahid dari hadits Ali dan hadits Shafwan bin ‘Asal.

[xvi] Hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud (203) dalam Ath Thaharah, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih Abu Dawud (203), selain Abu Dawud, yang meriwayatkannya juga adalah Ibnu Majah, Daruquthni dan Hakim dalam “Uluumul hadits,” juga Ahmad dari beberapa jalan dari Baqiyyah dari Al Wadhiin dari ‘Athaa’ dari Mahfuzh dari ‘Alqamah dari Abdurrahman bin ‘A’idz dari Ali bin Abi Thalib secara marfu’. [Al Irwaa’ (113)].

[xvii] Dha’if, diriwayatkan oleh Abu Dawud (202) bab Fil wudhu’ minan naum, Tirmidzi (77) dan didha'ifkan oleh Al Albani dalam Dha’if Abu Dawud (202), ia juga mengisyaratkan kelemahan riwayat Tirmidzi, lihat Al Misykaat (318).

[xviii] Shahih dengan syahid-syahidnya, diriwayatkan oleh Al Bazzar dalam Musnadnya (1/147/281) dari jalan Isma’il bin Shabiih: telah menceritakan kepada kami Abu Uwais –namanya Abdullah bin Abdullah bin Uwais- dari Tsaur bin Zaid, hadits ini memiliki syahid (penguat dari jalan lain) dari hadits Abdullah bin Zaid dan Abu Hurairah yang nanti akan disebutkan [Ash Shahiihah ( 3026)] .

[xix] Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (177) dalam Al Wudhu’, Muslim (361) dalam Al Haidh, Abu Dawud (176), Syafi’i (1/99), Nasa’i (1/37), Ibnu Majah (1/185), Baihaqi (1/114) dan Ahmad (4/40), lihat Al Irwaa' (107).

Lafaz hadits tersebut adalah,

شكي إلى النبي صلى الله عليه وسلم: الرجل يخيل إليه أن يجد الشيء في الصلاة؟ قال: "لا ينصرف حتى سمع صوتا، أو يجد ريحا

Ada seseorang yang mengeluhkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa ia dibayang-bayang keluar sesuatu dalam shalat? Beliau menjawab, “Tidak boleh ia keluar (dari shalat) sampai mendengar suara atau mencium baunya.” –TSZ-.

[xx] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (362) dan Abu ‘Uwaanah, Tirmidzi mengatakan, " Hadits hasan shahih”. [Al Irwaa’ (1/144)] .

[xxi] Dha’if, diriwayatkan oleh Hakim (134) dan Ibnu Hibban (2666), lengkapnya dalam riwayat keduanya “Sehingga terdengar suara oleh telinganya atau tercium baunya oleh hidungnya.” –TSZ-.

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger