Terjemah Umdatul Ahkam (20)

Selasa, 31 Oktober 2017
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫وأتموا الحج والعمرة لله‬‎
Terjemah Umdatul Ahkam (20)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan terjemah Umdatul Ahkam karya Imam Abdul Ghani Al Maqdisi (541 H – 600 H) rahimahullah. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penerjemahan kitab ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
KITAB HAJJI
Bab Pakaian Yang Dipakai Oleh Orang Yang Ihram
220 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما: ((أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ , مَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ مِنْ الثِّيَابِ؟ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -: لايَلْبَسُ الْقَمِيصَ , وَلا الْعَمَائِمَ , وَلا السَّرَاوِيلاتِ , وَلا الْبَرَانِسَ , وَلا الْخِفَافَ , إلاَّ أَحَدٌ لا يَجِدُ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ , وَلا يَلْبَسْ مِنْ الثِّيَابِ شَيْئاً مَسَّهُ زَعْفَرَانٌ أَوْ وَرْسٌ)) . وَلِلْبُخَارِيِّ: ((وَلا تَنْتَقِبِ الْمَرْأَةُ. وَلا تَلْبَسِ الْقُفَّازَيْنِ)) .
220. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, bahwa ada seorang yang berkata, “Wahai Rasulullah, pakaian mana yang boleh dipakai oleh orang yang ihram?” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang ihram tidak boleh memakai gamis, sorban, celana, mantel yang bertudung kepala, dan sepatu, kecuali seorang yang tidak mendapatkan dua sandal, maka pakailah sepatu namun potonglah bagian atasnya hingga berada di bawah kedua mata kaki. Orang yang ihram juga tidak boleh memakai pakaian yang telah dikenai Za’faran dan Waras (tanaman kuning yang wangi, yang biasa dipakai sebagai perwarna pakaian).” Imam Bukhari menambahkan, “Wanita tidak boleh memakai cadar dan memakai sarung tangan.”
221 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: ((سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَخْطُبُ بِعَرَفَاتٍ: مَنْ لَمْ يَجِدْ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسِ الْخُفَّيْنِ , وَمَنْ لَمْ يَجِدْ إزَاراً فَلْيَلْبَسْ السَّرَاوِيلَ لِلْمُحْرِمِ)) .
221. Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkhutbah di Arafah bersabda, “Barang siapa yang tidak mendapatkan dua sandal, maka pakaialah kedua khuf (sepatu). Dan barang siapa yang tidak mendapatkan kain (penutup bawah), maka pakailah celana bagi orang yang ihram.”
222 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما: ((أَنَّ تَلْبِيَةَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -: لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ , لَبَّيْكَ لا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ , إنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لا شَرِيكَ لَكَ)) . قَالَ: وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ يَزِيدُ فِيهَا «لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ , وَسَعْدَيْكَ , وَالْخَيْرُ بِيَدَيْكَ , وَالرَّغْبَاءُ إلَيْكَ وَالْعَمَلُ» .
222. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, bahwa ucapan talbiyah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah, Labbaikallahumma labbaik…sampai Laa syariika lak. (artinya: Aku menyambut panggilan-Mu ya Allah. Aku menyambut panggilan-Mu ya Allah; yang tidak ada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya pujian, nikmat, dan kerajaan hanya milik-Mu; tidak ada sekutu bagi-Mu). Perawi (periwayat hadits ini, yaitu Nafi) berkata, “Abdullah bin Umar menambahkan ‘Labbaik, Labbaik wa Sa’daik, wal khairu biyadaik, war raghbaa ilaika wal ‘amal’ (artinya: aku sambut panggilan-Mu dan memohon bantuan-Mu. Semua kebaikan di Tangan-Mu, sambil berharap dan beramal karena-Mu).
223 - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -: ((لا يَحِلُّ لامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إلاَّ وَمَعَهَا حُرْمَةٌ)) . وَفِي لَفْظِ الْبُخَارِيِّ: ((لا تُسَافِرُ مَسِيرَةَ يَوْمٍ إلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ)) .
223. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu dia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir mengadakan safar sejauh perjalanan sehari-semalam kecuali didampingi mahramnya.” Dalam lafaz Bukhari disebutkan, “Wanita tidak boleh mengadakan safar yang memakan waktu sehari kecuali disertai mahram.”
Bab Fidyah
224 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَعْقِلٍ قَالَ: ((جَلَسْتُ إلَى كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ. فَسَأَلَتْهُ عَنِ الْفِدْيَةِ؟ فَقَالَ: نَزَلَتْ فِي خَاصَّةً. وَهِيَ لَكُمْ عَامَّةً. حُمِلْتُ إلَى رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - وَالْقَمْلُ يَتَنَاثَرُ عَلَى وَجْهِي. فَقَالَ: مَا كُنْتُ أُرَى الْوَجَعَ بَلَغَ بِكَ مَا أَرَى - أَوْ مَا كُنْتُ أُرَى الْجَهْدَ بَلَغَ بِكَ مَا أَرَى - أَتَجِدُ شَاةً؟ فَقُلْتُ: لا. فَقَالَ: صُمْ ثَلاثَةَ أَيَّامٍ , أَوْ أَطْعِمْ سِتَّةَ مَسَاكِينَ , لِكُلِّ مِسْكِينٍ نِصْفَ صَاعٍ)) . وَفِي رِوَايَةٍ: ((فَأَمَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَنْ يُطْعِمَ فَرَقاً بَيْنَ سِتَّةٍ , أَوْ يُهْدِيَ شَاةً , أَوْ يَصُومَ ثَلاثَةَ أَيَّامٍ)) .
224. Dari Abdullah bin Ma’qil ia berkata, “Aku pernah duduk di samping Ka’ab bin Ujrah, lalu aku bertanya kepadanya tentang fidyah, maka ia menjawab, “Ayat berkenaan dengan itu telah turun kepadaku secara khusus, namun untuk kalian secara umum. Suatu ketika aku dibawa ke hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, sedangkan kutu bertaburan di wajahku, Beliau pun bersabda, “Aku tidak menyangka penyakitmu seperti yang aku lihat – atau (Beliau bersabda) ‘aku belum pernah diperlihatkan kesulitan seperti yang menimpamu (saat ini), apakah engkau mampu menyembelih kambing?” Aku menjawab, “Tidak.” Kalau begitu berpuasalah tiga hari atau berilah makan enam orang miskin, dimana masing-masingnya memperoleh setengah sha (dua mud).” jawab Rasulullah. Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kepadanya untuk memberikan satu farq (takaran seukuran 3 sha) untuk enam orang miskin, atau menyembelih hadyu, atau berpuasa tiga hari.”
Bab Tanah Haram Mekkah
225 - عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ - خُوَيْلِدِ بْنِ عَمْرٍو - الْخُزَاعِيِّ الْعَدَوِيِّ رضي الله عنه: أَنَّهُ قَالَ لِعَمْرِو بْنِ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ - وَهُوَ يَبْعَثُ الْبُعُوثَ إلَى مَكَّةَ - ائْذَنْ لِي أَيُّهَا الأَمِيرُ أَنْ أُحَدِّثَكَ قَوْلاً قَامَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - الْغَدَ مِنْ يَوْمِ الْفَتْحِ. فَسَمِعَتْهُ أُذُنَايَ، وَوَعَاهُ قَلْبِي، وَأَبْصَرَتْهُ عَيْنَايَ , حِينَ تَكَلَّمَ بِهِ: ((أَنَّهُ حَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ. ثُمَّ قَالَ: إنَّ مَكَّةَ حَرَّمَهَا اللَّهُ تَعَالَى , وَلَمْ يُحَرِّمْهَا النَّاسُ. فَلا يَحِلُّ لامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ: أَنْ يَسْفِكَ بِهَا دَماً , وَلا يَعْضِدَ بِهَا شَجَرَةً. فَإِنْ أَحَدٌ تَرَخَّصَ بِقِتَالِ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَقُولُوا: إنَّ اللَّهَ قَدْ أَذِنَ لِرَسُولِهِ , وَلَمْ يَأْذَنْ لَكُمْ. وَإِنَّمَا أُذِنَ لِي سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ. وَقَدْ عَادَتْ حُرْمَتُهَا الْيَوْمَ كَحُرْمَتِهَا بِالأَمْسِ. فَلْيُبَلِّغْ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ. فَقِيلَ لأَبِي شُرَيْحٍ: مَا قَالَ لَكَ؟ قَالَ: أَنَا أَعْلَمُ بِذَلِكَ مِنْكَ يَا أَبَا شُرَيْحٍ، إنَّ الْحَرَمَ لا يُعِيذُ عَاصِياً , وَلا فَارَّاً بِدَمٍ وَلا فَارَّاً بِخَرْبَةٍ)) .
225. Dari Abu Syuraih Khuwailid bin Amr Al Khuza’iy Al Adawiy radhiyallahu anhu, bahwa ia pernah berkata kepada Amr bin Sa’id bin Ash saat ia mengirim rombongan pasukan ke Mekah, “Wahai amir (paduka), izinkan aku menyampaikan kepadamu ucapan yang pernah disampaikan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada pagi hari penaklukan Mekkah, aku mendengarnya dengan kedua telingaku, meresapinya dengan hatiku, dan melihatnya dengan kedua mataku saat Beliau berbicara; Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya, selanjutnya Beliau bersabda, “Sesungguhnya Mekkah telah disucikan Allah, bukan oleh manusia. Oleh karena itu, tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir menumpahkan darah di sana dan menebang pohonnya. Jika ada seorang yang merasa mendapatkan rukhshah karena peperangan yang dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi  wa sallam, maka katakanlah, “Sesungguhnya Allah mengizinkan Rasul-Nya dan tidak mengizinkan dirimu.” (Beliau melanjutkan sabdanya), “Sesungguhnya hal itu diizinkan kepadaku sesaat di siang hari, dan kesuciannya kembali lagi seperti sebelumnya. Hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.” Lalu Abu Syuraih ditanya, “Apa jawaban Amr?” Ia menjawab, “Aku lebih tahu darimu wahai Abu Syuraih, sesungguhnya tanah haram tidak melindungi pelaku maksiat, orang yang menumpahkan darah dan orang yang melakukan pengkhianatan.”
226 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ - ((لا هِجْرَةَ بَعْدَ الفَتْحِ , وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ. وَإِذَا اُسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا , وَقَالَ: يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ: إنَّ هَذَا الْبَلَدَ حَرَّمَهُ اللَّهُ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ. فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. وَإِنَّهُ لَمْ يَحِلَّ الْقِتَالُ فِيهِ لأَحَدٍ قَبْلِي , وَلَمْ يَحِلَّ لِي إلاَّ سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. لا يُعْضَدُ شَوْكُهُ , وَلا يُنَفَّرُ صَيْدُهُ , وَلا يَلْتَقِطُ لُقْطَتَهُ إلاَّ مَنْ عَرَّفَهَا. وَلا يُخْتَلَى خَلاهُ. فَقَالَ الْعَبَّاسُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ , إلاَّ الإِذْخِرَ. فَإِنَّهُ لِقَيْنِهِمْ وَبُيُوتِهِمْ. فَقَالَ: إلاَّ الإِذْخِرَ)) .
226. Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda pada saat Fathu Makkah, “Tidak ada hijrah setelah penaklukkan (Mekkah), yang ada adalah jihad dan niat. Jika kalian diminta berangkat, maka berangkatlah.” Beliau juga bersabda pada saat Fathu Makkah, “Sesungguhnya negeri ini telah Allah sucikan sejak Dia menciptakan langit dan bumi. Ia tetap suci dengan kesucian yang diberikan Allah sampai pada hari Kiamat. Tidak dihalalkan berperang di tanah itu untuk seorang pun sebelumku, dan tidak halal untukku kecuali sesaat di siang hari. Tanah itu tetap suci dengan kesucian yang diberikan Allah sampai pada hari Kiamat. Durinya tidak boleh dipotong, hewan buruannya tidak boleh dibuat lari (apalagi sampai dibunuh), tidak ada yang boleh mengambil barang temuannya kecuali orang yang akan mengumumkannya, dan rerumputannya tidak boleh dipotong,” Al Abbas berkata, “Wahai Rasulullah, kecuali idzkhir (rumput yang wangi), karena itu dibutuhkan oleh tukang besi dan untuk kebutuhan rumah.” Beliau bersabda, “Kecuali idzkhir.”
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Penerjemah:
Marwan bin Musa

Serba-Serbi Puasa Ramadhan (2)

Senin, 23 Oktober 2017
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫صيام رمضان‬‎
Serba-Serbi Puasa Ramadhan (2)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang serba-serbi puasa Ramadhan yang banyak kami rujuk dari kitab 70 Masalah Fish Shiyam karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Munajjid hafizhahullah, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Puasa orang yang sudah lanjut usia
30. Orang yang telah lanjut usia atau tua renta yang telah hilang kemampuannya, maka tidak wajib berpuasa, ia boleh berbuka ketika puasa terasa berat baginya. Adapun bagi lansia yang sudah pikun dan tidak mampu membedakan lagi (hilang tamyiznya), maka puasa tidak wajib baginya, dan keluarganya pun tidak berkewajiban apa-apa, karena bebannya telah gugur.
31. Barang siapa yang memerangi musuh, atau musuh mengepung negerinya, dan puasa membuat dirinya lemah untuk melawan musuh, maka boleh baginya berbuka meskipun ia tidak dalam keadaan safar. Demikian pula jika ia perlu berbuka sebelum berperang, maka boleh berbuka.
32. Siapa saja yang memiliki sebab berbuka yang tampak, seperti orang yang sakit, maka boleh berbuka secara tampak terlihat. Tetapi, siapa saja yang sebab berbukanya tersembunyi, seperti wanita haidh, maka lebih utama berbuka secara sembunyi agar tidak mendapatkan tuduhan.
Niat dalam puasa
33. Disyaratkan niat dalam puasa Ramadhan, dan pada semua puasa wajib lainnya, seperti puasa qadha dan kaffarat. Dan boleh memasang niat di bagian mana saja dari malam hari meskipun hanya sesaat sebelum terbit fajar. Niat adalah keinginan dalam hati untuk melakukan suatu perbuatan. Melafazkannya adalah perkara bid’ah, dan orang yang berpuasa Ramadhan tidak harus meperbaharui niat pada setiap malam bulan Ramadhan, bahkan cukup baginya niat untuk berpuasa Ramadhan ketika telah masuk bulan Ramadhan.
34. Puasa sunah mutlak tidak disyaratkan memasang niat di malam hari. Adapun puasa sunah khusus, yang lebih hati-hati adalah memasang niat di malam hari.
35. Siapa saja yang memulai puasa wajib, seperti puasa qadha, nadzar, dan kaffarat, maka ia harus menyempurnakannya, dan tidak boleh membatalkannya tanpa udzur. Adapun puasa sunah, maka dia boleh memilih antara berpuasa atau tidak meskipun tanpa udzur.
36. Barang siapa yang tidak mengetahui masuknya bulan Ramadhan kecuali setelah terbit fajar, maka ia harus menahan diri pada sisa-sisa hari itu, dan ia harus mengqadha menurut jumhur ulama.
37. Orang yang dipenjara atau ditahan jika mengetahui masuknya bulan Ramadhan dengan menyaksikan langsung atau mendapatkan berita dari orang yang terpercaya, maka ia wajib berpuasa. Jika tidak, maka ia berijtihad untuk dirinya dan beramal dengan perkiraan kuatnya.
Berpuasa dan berbuka
38. Jika telah hilang seluruh bulatan matahari, maka orang yang berpuasa telah berhak berbuka, dan warna merah yang sangat di ufuk langit tidak dianggap.
39. Jika fajar telah terbit, maka orang yang berpuasa wajib menahan diri pada saat itu juga, baik ia mendengar azan atau belum. Adapun sikap hati-hati dengan berimsak sebelum tiba waktu fajar, misalnya 10 menit sebelum Subuh dan sebagainya adalah perkara bid’ah.
40. Negeri yang di sana siang dan malamnya selama 24 jam, maka kaum muslimin di sana wajib berpuasa meskipun siang harinya lama.
Hal-hal yang membatalkan puasa
41. Semua yang membatalkan selain haid dan nifas tidak membuat orang yang berpuasa batal kecuali setelah terpenuhi tiga syarat: mengetahuinya, ingat; tidak lupa, dan atas dasar pilihannya; tidak dipaksa. Di antara hal yang membatalkan itu adalah berjima, muntah dengan sengaja, datang haidh, berbuka, makan dan minum.
42. Hal-hal yang membatalkan puasa yang tergolong ke dalam makanan dan minuman misalnya adalah obat-obatan dan pil yang ditelan melalui mulut, jarum yang mengandung gizi (infus), suntik/injeksi darah dan transfusi darah (jika sebagai pengganti makanan dan minuman). Adapun yang bukan sebagai pengganti makanan dan minuman, akan tetapi sebagai pengobatan, maka tidak membatalkan puasa, demikian pula cuci ginjal.
Pendapat yang rajih (kuat) bahwa enema (memasukkan sesuatu melaui anus), tetes mata dan telinga, mencabut gigi, dan mengobati luka tidaklah membatalkan puasa. Demikian pula semprotan untuk penyakit asma, mengambil darah untuk cek darah, menggunakan obat kumur selama tidak tertelan, menyumbat gigi dengan obat gigi, lalu ia mendapatkan rasanya di kerongkonngan juga sama tidak membuat puasanya batal.
43. Barang siapa yang makan atau minum dengan sengaja di siang bulan Ramadhan tanpa udzur, maka dia telah melakukan dosa besar, dan wajib bertaubat serta mengqadhanya.
44. Jika seorang lupa, lalu makan dan minum, maka hendaknya ia lanjutkan puasanya, karena hal itu berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala memberinya makan dan minum. Dan jika seseorang melihat orang lain yang sedang berpuasa lupa makan atau minum, maka hendaknya ia mengingatkannya.
45. Barang siapa yang butuh berbuka karena hendak menyelamatkan orang yang terpelihara darahnya dari kebinasaan, maka ia boleh berbuka dan melakukan qadha.
46. Barang siapa yang berkewajiban puasa Ramadhan, lalu ia melakukan jima di siang hari dengan sengaja dan atas dasar pilihannya, maka ia telah merusak puasanya, ia wajib bertaubat, menyempurnakan puasa pada hari itu, mengqadhanya, dan melakukan kaffarat berat. Dalam hal ini sama saja, baik melakukan hubungan dengan berzina, liwath (homoseks), maupun mendatangi hewan.
47. Jika seorang ingin menjimai istrinya, lalu ia berbuka terlebih dahulu dengan makan, maka dosanya lebih berat lagi, karena ia telah menodai kemuliaan bulan Ramadhan dua kali, yaitu karena makan dan karena jima, dan kaffarat berat lebih berhak dia terima.
48. Mencium, bersentuhan, berpelukan, serta memandang beberapa kali kepada istri atau budaknya jika ia mampu menahan dirinya boleh, tetapi jika dirinya mudah naik syahwatnya dan tidak menguasai dirinya, maka tidak boleh.
49. Jika seorang berjima, lalu terbit fajar, maka ia harus segera melepasnya, dan puasanya tetap sah, meskipun setelah dilepas maninya keluar. Tetapi jika dia terus berjima setela terbit fajar, maka ia batal. Oleh karenanya, ia harus bertaubat, mengqadhanya, dan melakukan kaffarat berat.
50. Jika di Subuh hari ia masih dalam keadaan junub (karena di malam hari), maka tidak mengapa pada puasanya. Karena tidak mengapa menunda mandi janabat, mandi haidh dan nifas setelah terbit fajar. Akan tetapi, hendaknya ia segera mandi agar tidak terlambat shalatnya.
51. Apabila orang yang berpuasa tidur, lalu bermimpi (hingga keluar mani), maka puasanya tidak batal berdasarkan ijma.
52. Barang siapa yang melakukan onani di siang bulan Ramadhan dengan sesuatu yang sebenarnya ia mampu menjaga diri darinya, seperti menyentuh dan memandang beberapa kali, maka ia wajib bertaubat dan menahan diri pada sisa-sisa harinya, dan mengqadha hari tersebut.
53. Barang siapa yang terdesak untuk muntah, maka ia tidak berkewajiban mengqadha. Barang siapa yang berusaha muntah atau sengaja muntah, maka ia harus mengqadha. Jika ia terdesak untuk muntah, lalu muntah itu kembali ke dalam, maka tidak batal. Adapun mengunyah, jika bagian dari yang dikunyah itu terurai, atau ada rasa yang timbul, atau ada manisnya, maka haram dikunyah. Jika yang dikunyah itu masuk ke kerongkongan, maka ia batal. Sedangkan dahak, jika ia telan sebelum naik ke mulut, maka tidak batal puasanya. Tetapi ketika ia telah setelah sampai di mulut, lalu ia telan, maka ia batal, dan dimakruhkan mencicipi makanan tanpa ada keperluan.
54. Siwak merupakan perkara sunnah bagi orang yang berpuasa di siang hari.
55. Apa saja yang menimpa orang yang berpuasa seperti luka, mimisan, kemasukan air atau bensin ke kerongkongan tanpa ada keinginan darinya, maka tidak membatalkan puasa. Demikian pula tidak mengapa air mata turun sampai ke kerongkongan, atau ketika ia meminyaki rambut atau kumisnya, atau mewarnainya dengan inai, lalu ia mendapatkan rasanya pada kerongkongannya. Demikian pula tidak batal memakai inai, celak, dan minyak rambut, dan memakai salep yang basah dan licin untuk kulit. Dan dibolehkan juga mencium wewangian dan aroma dupa, akan tetapi hendaknya ia berhati-hati dari masuknya asap ke kerongkongan.
56. Sikap yang lebih hati-hati bagi orang yang berpuasa adalah tidak berbekam. Dalam masalah ini ada khilaf yang dalam.
57. Merokok termasuk hal-hal yang membatalkan, dan bukan sebagai udzur untuk meninggalkan puasa.
58. Menyelam ke dalam air atau berselimut dengan kain basah untuk mendinginkan badan tidak mengapa bagi orang yang berpuasa.
59. Jika seorang makan atau minum, atau berjima karena mengira keadaan masih malam, namun ternyata fajar telah terbit, maka ia tidak terkena kewajiban apa-apa.
60. Jika seorang berbuka, karena mengira matahari telah tenggelam padahal belum, maka menurut jumhur (mayoritas ulama) ia harus mengqadha.
61. Jika fajar telah terbit, sedangkan di mulutnya masih ada makanan atau minuman, maka para ahli fiqih sepakat, bahwa ia harus membuangnya, dan puasanya tetap sah.
Hukum-hukum seputar puasa bagi wanita
62. Wanita yang ternyata telah baligh, namun malu menyatakannya sehingga ia berbuka, maka ia wajib bertaubat dan mengqadha puasanya itu di samping menambah memberi makan orang miskin setiap hari tidak berpuasa sebagai kaffaratnya karena menundanya sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya sedangkan ia belum mengqadha.
63. Wanita tidak boleh berpuasa selain puasa Ramadhan saat suaminya ada di rumah kecuali dengan izinnya. Jika ia safar, maka tidak mengapa.
64. Wanita haidh ketika melihat ada lendir putih yang menunjukkan bahwa dirinya telah suci, maka ia meniatkan puasa dari malam hari dan berpuasa. Jika ia tidak mengetahui sudah suci atau belum, maka ia letakkan semacam kapas dan semisalnya. Jika ia keluarkan ternyata bersih, maka ia berpuasa. Jika wanita haidh atau nifas telah berhenti darahnya di malam hari, maka ia pasang niat puasa, dan jika fajar telah terbit sedangkan ia belum mandi, maka menurut para ulama seluruhnya puasanya sah.
65. Wanita yang mengetahui bahwa haidhnya biasanya besok datang, maka ia meneruskan niat dan puasanya, dan tidak berbuka sampai melihat darah.
66. Yang paling utama bagi wanita haidh adalah tetap dengan keadaannya secara tabiat, ridha dengan ketetapan Allah, dan tidak perlu mengkonsumsi pil pencegah haidh.
67. Jika wanita hamil keguguran, sedangkan janinnya mulai berbentuk manusia, maka darahnya adalah darah nifas sehingga ia tidak berpuasa. Jika belum terbentuk, maka darahnya adalah darah istihadhah ia wajib berpuasa jika mampu. Wanita yang terkena nifas jika suci sebelum 40 hari, maka ia berpuasa dan mandi untuk shalat. Tetapi jika melebihi 40 hari, maka ia berniat puasa dan mandi, darah yang keluar di atas 40 hari adalah darah istihadhah.
68. Darah istihadhah tidak berpengaruh apa-apa terhadap keabsahan puasa.
69. Menurut sebagian ulama, bahwa wanita hamil dan menyusui diqiaskan dengan orang yang sakit, keduanya boleh berbuka dan berkewajiban mengqadha, baik mengkhawatirkan terhadap keadaan dirinya maupun janinnya.
70. Wanita yang berkewajiban puasa jika dijimai suaminya di siang hari Ramadhan dengan keridhaannya, maka hukumnya seperti hukum suami (tekena kaffarat di samping wajib mengqadha), tetapi jika ia dipaksa, maka istri hendaknya berusaha menolaknya dan ia tidak terkena kaffarat.
Demikianlah ringkasan seputar puasa, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membantu kita untuk terus mengingat-Nya, bersyukur kepada-Nya, dan memperbaiki ibadah kepada-Nya, aamiin.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Sab’una mas’alatan fish shiyam (M. Shalih Al Munajjid), dll.

Serba-Serbi Puasa Ramadhan (1)

Rabu, 18 Oktober 2017
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫رمضان مبارك‬‎
Serba-Serbi Puasa Ramadhan (1)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang serba-serbi puasa Ramadhan yang banyak kami rujuk dari kitab 70 Masalah Fish Shiyam karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Munajjid, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Ta’rif (definisi) puasa
1. Puasa secara bahasa artinya menahan diri. Secara istilah, puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan dari mulai terbit fajar hingga tenggelam matahari disertai niat (di hati).
Hukum puasa Ramadhan
2. Para ulama sepakat, bahwa puasa Ramadhan hukumnya wajib. Oleh karena itu, meninggalkannya tanpa udzur merupakan dosa yang sangat besar dan kesalahan yang sangat fatal.
Keutamaan puasa
3. Puasa adalah untuk Allah, dan bahwa Dia sendiri yang akan membalasnya sehingga pelakunya memperoleh pahala tanpa batas ukuran.
Doa orang yang berpuasa mustajab.
Orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan; kegembiraan pada saat berbuka, dan kegembiraan pada saat berjumpa dengan Allah Azza wa Jalla.
Puasa akan memberikan syafaat kepada pelakunya.
Bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi pada hari Kiamat di sisi Allah daripada wanginya minyak kesturi.
Puasa adalah perisai dan benteng yang kokoh dari masuk ke neraka.
Siapa saja yang berpuasa di jalan Allah (atau ikhlas karena-Nya), maka Allah akan menjauhkan wajahnya dari neraka sejauh perjalanan tujuh puluh tahun.
Di surga ada sebuah pintu bernama Ar Rayyan yang disiapkan untuk orang-orang yang berpuasa.
Keutamaan puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan termasuk rukun Islam.
Al Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan.
Di bulan Ramadhan terdapat malam yang lebih baik daripada seribu bulan, yaitu malam Lailatul Qadr.
Ketiba tiba bulan Ramadhan, maka pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, setan-setan dibelenggu, dan bahwa berpuasa Ramadhan seimbang dengan berpuasa selama sepuluh bulan, karena satu kebaikan dibalas Allah dengan sepuluh kebaikan.
Faedah dan manfaat puasa
4. Faedah puasa sangat banyak, di antaranya: menjadikan seseorang sebagai orang yang bertakwa, mengalahkan setan, mematahkan syahwat, menjaga anggota badan, membangun kehendak agar menjauhi maksiat dan menjauhi hawa nafsu, membiasakan diri menaati Allah dan menjauhi larangan-Nya, melatih kedisiplinan dan tepat waktu, serta peringatan agar kaum muslimin tetap bersatu.
Adab berpuasa dan sunnah-sunnahnya
5. Adab tersebut ada yang wajib dan ada yang sunah, di antaranya:
(a) Melakukan makan sahur dan mengakhirkannya.
(b) Menyegerakan berbuka. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
“Manusia tetap berada di atas kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Nabi shallallahu alaihi wa sallam berbuka terlebih dahulu sebelum shalat dengan kurma matang, jika tidak ada dengan kurma kering, dan jika tidak ada dengan meneguk minum (sebagaimana dalam riwayat Tirmidzi), dan pada saat berbuka, Beliau mengucapkan,
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ
“Telah hilang rasa haus, telah basah urat-urat, dan semoga pahala tetap didapat insya Allah.” (Hadits hasan, diiriwayatkan oleh Abu Dawud)
(c) Menjauhi rafats yaitu perbuatan sia-sia dan ucapan kotor.
(d) Tidak terlalu banyak makan, karena ada hadits yang menerangkan, bahwa tidak wadah yang lebih buruk diisi daripada perut manusia (sebagaimana dalam hadits shahih riwayat Tirmidzi).
(e) Dermawan, baik dalam ilmu, harta, kedudukan, badan, dan akhlak mulia. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan dalam kebaikan, terutaman pada bulan Ramadhan (sebagaimaa dalam riwayat Bukhari).
(f) Di antara perkara yang dapat menghilangkan kebaikan dan mendatangkan keburukan adalah sibuk menonton televisi, sinetron, film, perlombaan, duduk-duduk di pinggir jalan (nongkrong), dan jalan-jalan untuk ‘cuci mata’ di sore hari.
Perbuatan yang patut dilakukan pada bulan Ramadhan
Hendaknya seseorang mempersiap diri dan kondisi untuk beribadah, segera bertaubat dan kembali kepada Allah, bergembira karena datangnya bulan Ramadhan, sungguh-sungguh menjalankan puasa, khusyu dalam shalat tarawih, tidak loyo pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan, mencari malam Lailatul Qadr, dan melakukan I’tikaf.
Dan tidak mengapa mengucapkan selamat terhadap datangnya bulan Ramadhan, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberikan kabar gembira kepada para sahabatnya dengan kedatangan bulan Ramadhan serta mendorong mereka memperhatikannya.
Hukum-hukum seputar puasa
6. Di antara macam-macam puasa; ada yang wajib dilakukan secara berurutan dan ada yang tidak wajib berurutan. Yang wajib berurutan adalah puasa Ramadhan, puasa karena kaffarat pembunuhan tidak sengaja (khatha), puasa sebagai kaffarat zhihar, puasa sebagai kaffarat dari berjima di siang hari bulan Ramadhan, dsb. Ada pula yang tidak wajib berurutan, seperti mengqadha hutang puasa Ramadhan, berpuasa sepuluh hari bagi orang yang tidak memperoleh hadyu, dsb.
7. Faedah puasa sunah adalah untuk menutupi kekurangan puasa wajib.
8. Ada larangan mengkhususkan hari Jum’at atau hari Sabtu untuk berpuasa. Demikian pula ada larangan puasa sepanjang tahun, larangan puasa wiishal (menyambung puasa tanpa berbuka), larangan puasa pada dua hari raya, dan larangan puasa pada hari-hari tasyriq.
Cara mengetahui masuknya bulan Ramadhan
9. Masuknya bulan Ramadhan ditetapkan dengan ru’yatul hilal (terlihat bulan sabit tanda tanggal satu), atau dengan menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Adapun menggunakan hisab untuk menentukan awal bulan, maka termasuk perkara bid’ah.
Kepada siapakah puasa diwajibkan?
10. Puasa wajib bagi setiap muslim yang baligh, berakal, mukim (tidak safar), mampu, dan tidak ada penghalang seperti haidh dan nifas.
11. Meskipun demikian, anak kecil diperintahkan berpuasa saat usianya tujuh tahun ketika ia mampu. Sebagian Ahli ilmu menyampaikan, bahwa ketika usianya sepuluh tahun, dipukul jika meninggalkannya sebagaimana shalat.
12. Jika orang kafir masuk Islam, anak kecil menjadi baligh, atau orang gila tersadar di siang hari, maka mereka harus menahan diri dari berbuka pada sisa-sisa hari itu, dan mereka tidak diharuskan mengqadha terhadap bulan Ramadhan sebelumnya yang telah berlalu.
13. Orang gila tidak dikenakan kewajiban. Jika keadaannya kadang-kadang gila, kadang-kadang sadar, maka ia harus berpuasa pada saat sadarnya; tidak pada saat gilanya. Berlaku seperti ini orang yang terkena penyait ayan.
14. Barang siapa yang meninggal dunia di pertengahan bulan Ramadhan, maka dia dan walinya tidak berkewajiban apa-apa untuk sisa dari bulan Ramadhan tersebut.
15. Barang siapa yang tidak mengetahui kewajiban puasa Ramadhan, atau tidak mengetahui haramnya makan atau berhubungan intim di siang bulan Ramadhan, maka menurut jumhur ulama ia mendapatkan udzur, jika orang yang semisalnya juga mendapatkan udzur. Adapun jika ia tinggal di tengah-tengah kaum muslimin, dan memungkinkan dia untuk bertanya dan belajar, maka tidak mendapatkan udzur.
Puasa bagi musafir
16. Disyaratkan boleh berbuka bagi musafir adalah ketika ia bepergian dengan jarak safar atau dianggap sebagai safar oleh uruf (kebiasaan yang berlaku), melewati negerinya dan telah melewati bangunan yang menempel dengannya, safarnya bukan maksiat (ini adalah syarat yang dipegang jumhur ulama), dan maksud safarnya bukanlah untuk bisa berbuka.
17. Boleh berbuka bagi musafir berdasarkan kesepakatan ulama, baik ia mampu berpuasa maupun tidak, dan baik terasa berat menjalankan puasa maupun tidak.
18. Barang siapa yang berniat safar pada bulan Ramadhan, maka dia tidaklah berniat buka sampai ia bersafar.
19. Ketika matahari telah tenggelam, lalu ia berbuka di bumi, kemudian naik pesawat, ternyata dilihatnya matahari, maka dia tidak wajib melanjutkan puasanya, karena dia telah menyempurnakan puasa pada hari itu.
20. Barang siapa yang sampai ke sebuah negeri dan berniat tinggal di sana lebih dari empat hari, maka dia harus berpuasa menurut jumhur (mayoritas ulama).
21. Barang siapa yang berpuasa ketika ia masih mukim, lalu di tengah hari, ia pun bersafar, maka boleh baginya berbuka.
22. Boleh berbuka bagi orang yang biasa bersafar ketika ia memiliki negeri tempat dirinya pulang, misalnya pengirim paket pos, sopir taksi, dan pilot, meskipun safarnya hanya sehari, namun mereka wajib mengqadha. Demikian pula nahkoda jika memiliki tempat tinggal di daratan yang ia tempati.
23. Jika musafir sudah tiba dari safarnya di tengah hari, maka yang lebih hati-hati baginya adalah menahan diri dari makan dan minum untuk menghormati kemuliaan bulan Ramadhan, akan tetapi ia wajib mengqadha baik menahan diri maupun tidak.
24. Jika di suatu negeri telah mulai berpuasa, lalu ia bersafar ke negeri lain, dimana penduduknya telah berpuasa sebelum atau setelahnya, maka hukumnya seperti orang yang bersafar ke negeri mereka.
Puasa orang yang sakit
25. Setiap sakit yang membuat seseorang keluar dari batasan sehat, maka boleh berbuka. Adapun sakit yang ringan, seperti batuk dan pusing, maka tidak boleh baginya berbuka. Dan jika berdasarkan kedokteran atau seseorang mengetahui berdasarkan kebiasaan dan pengalamannya, atau berdasarkan perkiraan kuat bahwa berpuasa dalam keadaan ini membuatnya malah sakit, menambahnya, atau menunda kesembuhannya, maka boleh baginya berbuka, bahkan makruh berpuasa.
26. Jika berpuasa menyebabkan dirinya pingsan, maka ia berbuka dan mengqadhanya. Tetapi jika ia pingsan di tengah hari, lalu sadar sebelum Maghrib atau setelahnya, maka puasanya sah selama ia dalam keadaan tetap berpuasa. Dan jika seseorang pingsan dari Fajar sampai Maghrib, maka menurut jumhur ulama puasanya tiidak sah. Adapun mengqadha bagi orang yang pingsan, maka hukumnya wajib menurut jumhur ulama betapa pun lama masa pingsannya.
27. Barang siapa yang berada dalam kondisi sangat lapar atau haus yang sangat, dan dia mengkhawatirkan dirinya binasa, atau mengakibatkan sebagian kemampuan inderanya hilang menurut perkiraan kuatnya, bukan sekedar wahm (perkiraan biasa), maka dia berbuka dan wajib mengqadha. Adapun para pekerja berat, maka tidak boleh berbuka. Jika meninggalkan pekerjaan itu membuat mereka tertimpa madharat dan mereka menghawatirkan kebinasaan terhadap diri mereka di siang hari, maka mereka berbuka dan wajib mengqadha. Perlu diketahui, bahwa ujian sekolah bukanlah udzur untuk berbuka di bulan Ramadhan.
28. Seorang yang sakit yang masih bisa dharap kesembuhannya, maka menunggu hingga sembuh lalu mengqadhanya, dan tidak boleh membayar fidyah. Adapun orang yang sakit menahun yang tidak diharapkan kesembuhannya, demikian pula orang yang sudah lanjut usia yang kondisinya lemah, maka boleh membayar fidyah dengan memberi   makan sehari satu orang miskin seukuran kurang lebih setengah sha (2 mud) makanan pokok daerah setempat. Menurut sebagian ulama, karena ukuran dan jenis fidyah tidak disebutkan dalam Al Qur’an dan As Suannah, maka dikembalikan kepada ‘urf/kebiasaan yang berlaku[i]).
29. Barang siapa yang sakit, lalu sembuh, dan mampu mengqadha, tetapi belum sempat mengqadha ia wafat, maka dikeluarkan dari hartanya fidyah untuk setiap hari ia tidak berpuasa, dan jika salah satu kerabatnya ada yang berpuasa untuknya, maka sah.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Sab’una mas’alatan fish shiyam (M. Shalih Al Munajjid), dll.


[i] Oleh karena itu dikatakan sah dalam membayar fidyah, apabila kita sudah memberikan makan kepada seorang miskin baik berupa makanan yang siap makan ataupun memberikan kepada mereka bahan makanan pokok. Ada beberapa pendapat tentang ukurannya:
a.     Ukurannya 1 mud (kira-kira 510 hingga 625 gram), jenisnya makanan pokok daerah setempat.
b.    2 mud
c.     Makanan yang biasa dia makan.
Namun ketiganya bisa dipakai. Waktu membayarnya bisa pada hari ia tidak berpuasa dan bisa juga diakhirkan hingga hari terakhir bulan Ramadhan. Boleh dilakukan secara terpisah (per-hari) atau dikumpulkan sekaligus (misalnya memberi makan 10 orang untuk 10 hari yang ditinggalkan).
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger