Syarah Kitab Tauhid (38)

Rabu, 27 Desember 2017
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫الرياء في العبادة‬‎
Syarah Kitab Tauhid (38)
(Riya)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah, yang banyak kami rujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
**********
Bab : Riya
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Esa.” Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Qs. Al Kahfi: 110)
Penjelasan:
Oleh karena riya termasuk perkara yang dapat menodai tauhid seseorang dan menghapuskan amalnya, maka penyusun (Syaikh M. At Tamimi) mengingatkan masalah ini di kitab Tauhidnya.
Riya artinya beramal saleh dengan maksud mendapatkan pujian manusia.
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam untuk menyampaikan kepada manusia, bahwa dirinya adalah manusia sebagaimana mereka. Beliau tidak memiliki sifat-sifat ketuhanan sama sekali dan tidak berhak disembah. Tugas Beliau hanyalah menyampaikan wahyu yang Allah berikan kepadanya. Di antara wahyu yang paling agung yang disampaikan kepada Beliau adalah bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah saja, dan bahwa Dia tidak boleh disekutukan. Demikian pula mengingatkan, bahwa kita semua akan kembali kepada-Nya pada hari Kiamat. Seorang yang menginginkan keselamatan dari azab Allah pada hari itu hendaknya beramal saleh; yaitu amal yang sesuai sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan janganlah menyekutukan Allah dalam beramal saleh seperti berbuat riya.
Kesimpulan:
1.      Pokok agama adalah mengesakan Allah Ta’ala dalam ibadah.
2.      Riya termasuk syirik.
3.      Syirik yang dilakukan kaum musyrik adalah syirik dalam beribadah.
4.      Tidak boleh di samping beribadah kepada Allah, beribadah pula kepada selain-Nya.
**********
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu secara marfu (dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam) Beliau bersabda,
قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي، تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, “Aku adalah Tuhan yang tidak membutuhkan sekutu. Barang siapa yang beramal dengan menyertakan yang lain di samping-Ku, maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya.” (Hr. Muslim)
**********
Penjelasan:
Hadits di atas diriwayatkan oleh Muslim no. 2985, Ahmad 2/301, 435, Ibnu Majah no. 4202, dan Ibnu Khuzaimah no. 938.
Hadits di atas termasuk hadits qudsi, yaitu hadits yang lafaz dan maknanya dari Allah Ta’ala, namun tidak dipakai untuk beribadah, tidak seperti Al Qur’an.
Dalam hadits di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan berlepas dari amal yang dilakukan karena selain-Nya seperti karena riya.
Kesimpulan:
1.      Peringatan terhadap perbuatan syirik dengan segala bentuknya.
2.      Syirik menghalangi diterima amal.
3.      Wajibnya mengikhlaskan amal karena Allah Ta’ala.
4.      Menetapkan sifat ‘kaya’ dan ‘berbicara’ bagi Allah Ta’ala.
**********
Dari Abu Sa’id radhiyallahu anhu secara marfu (dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam), Beliau bersabda,
"أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِيْ مِنَ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ؟ " قَالُوْا: بَلَى. قَالَ: "اَلشِّرْكُ الْخَفِيُّ، يَقُوْمُ الرَّجُلُ فَيُصَلِّي، فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ، لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ"
“Maukah aku beritahukan kepadamu sesuatu yang lebih kutakuti menimpa kalian daripada Al Masih Ad Dajjal?” Para sahabat menjawab, “Ya, mau.” Beliau menjawab, “Yaitu syirik yang tersembunyi. Seseorang berdiri shalat, lalu ia memperbagus shalatnya karena merasa diperhatikan orang lain.” (Diriwayatkan oleh Ahmad)
**********
Penjelasan:
Hadits di atas disebutkan oleh Ibnu Majah no. 4204 dan Ahmad no. 11252. Al Albani dan Ahmad Syakir menghasankan hadits di atas, namun pentahqiq Musnad Ahmad menyatakan isnadnya dhaif karena kelemahan Katsir bin Ziyad Al Aslamiy dan Rubaih bin Abdurrahman. Al Buwshairi dalam Misbahuz Zujajah 3/296 berkata, “Ini adalah isnad yang hasan, Katsir bin Zaid dan Rubaih bin Abdurrahman diperselisihkan.” Menurut Usamah Al Utaibiy dalam tahqiqnya terhadap kitab Taisirul Azizil Hamid, bahwa hadits tersebut tidak turun dari derajat hasan.
Al Masih Ad Dajjal adalah seorang pembawa fitnah besar yang keluar di akhir zaman, sebagai salah satu tanda besar hari Kiamat. Matanya buta sebelah, dan di dahinya tertulis ‘ka fa ra’ (kafir) yang dapat dibaca oleh seorang muslim. Disebut Al Masih karena mata yang satunya buta, atau karena ia dapat berjalan dengan cepat di muka bumi, wallahu a’lam. Disebut Dajjal karena sebagai seorang pembohong besar, dan nantinya dia akan dibunuh oleh Nabi Isa alaihis salam setelah Beliau turun ke bumi.
Dajjal memiliki banyak pengikut karena keajaiban-keajaiban yang ditunjukkannya sebagai cobaan dari Allah Azza wa Jalla kepada umat manusia yang masih hidup di zaman itu. Di antara keajaibannya adalah ia dapat berjalan cepat seperti air hujan yang didorong angin, ia mengajak orang-orang untuk mengikuti ajakannya, lalu bagi orang-orang yang mau mengikutinya ia menyuruh langit untuk menurunkan hujan sehingga turunlah hujan, disuruhnya bumi menumbuhkan tanaman. maka tumbuhlah tanaman-tanaman, dan keajaiban-keajaiban lainnya yang ditunjukkan sehingga banyak yang percaya kepadanya.
Disebutkan dalam Shahih Muslim, bahwa keluarnya nanti selama 40 hari; di antara hari-hari itu, sehari bagaikan setahun, sehari bagaikan sebulan, dan sehari bagaikan sepekan, kemudian hari-hari lainnya seperti hari-hari biasanya.
Dalam hadits di atas diterangkan, bahwa saat para sahabat membicarakan tentang dajjal dan mereka takut terhadapnya, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menerangkan, bahwa ada perkara yang lebih berhak diwaspadai dan bahkan lebih Beliau takuti menimpa umat ini melebihi fitnah Al Masih Ad Dajjal, yaitu syirik yang tesembunyi, yakni syirik yang terkait niat dan tujuan yang tidak tampak oleh manusia, lalu Beliau menerangkan contohnya di hadits tersebut. Disebut syirik yang tersembunyi adalah karena pelakunya menampakkan bahwa amalnya dilakukan karena Allah, namun menyembunyikan di batinnya bahwa dirinya beramal karena selain-Nya.
Dalam hadits di atas terdapat peringatan terhadap riya dan contohnya. Demikian pula menunjukan sayangnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam kepada umatnya.
Catatan:
-       Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Adapun syirik kecil, maka misalnya riya yang ringan (menimpa pada sebagian amal), berpura-pura di hadapan makhluk, bersumpah atas nama selain Allah, pernyataan seseorang ‘atas kehendak Allah dan kehendakmu’, ‘ini dari Allah dan darimu’, ‘aku tergantung kepada Allah dan kamu’, ‘tidak ada bagiku kecuali Allah dan kamu’, ‘aku bertawakkal kepada Allah dan kamu’, ‘kalau bukan karena Allah dan kamu’, ‘kalau bukan karena Allah dan kamu tentu tidak akan terjadi ini dan itu’. Ini semua bisa berubah menjadi syirik akbar sesuai keadaan orang yang mengucapkan dan niatnya.”
-       Sebagian ulama menerangkan, bahwa amal yang dikerjakan karena selain Allah Ta’ala ada yang berupa riya murni seperti yang dilakukan kaum munafik, dan ada pula yang dilakukan karena Allah namun disertai riya. Jika disertai riya dari asal(awal)nya, maka nash-nash yang ada menunjukkan batilnya. Akan tetapi jika asalnya karena Allah, namun kedatangan riya, maka jika hanya terlintas lalu dilawan, maka hal itu tidak berpengaruh apa-apa terhadap amalnya, namun jika terbawa oleh riya, maka dalam hal ini ada khilaf di antara ulama. Di antara mereka ada yang berpendapat, bahwa amalnya tidak batal tetapi pahalanya berkurang sesuai riya’ yang menyusupinya, wallahu a’lam.
-       Jika suatu amal yang dasarnya ikhlas karena Allah namun disertai niat lain selain riya, misalnya jihad yang dilakukan karena Allah, kemudian ada keinginan pula memperoleh ghanimah, maka akan berkurang pahala jihadnya, wallahu a’lam.
-       Abdullah bin Amr radhiyallahu anhuma berkata, “Jika seseorang di antara kamu telah berniat perang (karena Allah), lalu Allah karuniakan rezeki, maka tidak mengapa mengambilnya. Adapun jika salah seorang di antara kamu akan berperang jika diberi beberapa dirham, dan jika tidak diberi, maka dia tidak akan berperang, maka tidak ada kebaikan pada yang demikian itu.”
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan), Fathul Majid (Abdurrahman bin Hasan), Taisirul Azizil Hamid (Sulaiman bin Abdullah bin Abdul Wahhab), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.

Terjemah Umdatul Ahkam (22)

Sabtu, 23 Desember 2017
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫وأتموا الحج والعمرة لله‬‎
Terjemah Umdatul Ahkam (22)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan terjemah Umdatul Ahkam karya Imam Abdul Ghani Al Maqdisi (541 H – 600 H) rahimahullah. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penerjemahan kitab ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Bab Tamattu (Melakukan umrah di bulan haji, setelah itu melakukan haji pada hari Tarwiyah)
238 - عَنْ حَفْصَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - أَنَّهَا قَالَتْ: ((يَا رَسُولَ اللَّهِ , مَا شَأْنُ النَّاسِ حَلُّوا مِنْ الْعُمْرَةِ وَلَمْ تَحِلَّ أَنْتَ مِنْ عُمْرَتِكَ فَقَالَ: إنِّي لَبَّدْتُ رَأْسِي , وَقَلَّدْتُ هَدْيِي , فَلا أَحِلُّ حَتَّى أَنْحَرَ)) .
238. Dari Hafshah istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam, ia berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa manusia telah tahallul dari umrah, sedangkan engkau belum?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku telah mengempalkan rambutku, dan menandai hewan hadyuku, sehingga aku tidak tahallul hingga aku menyembelih.”
239 - عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ: ((أُنْزِلَتْ آيَةُ الْمُتْعَةِ فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى. فَفَعَلْنَاهَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - وَلَمْ يَنْزِلْ قُرْآنٌ يُحَرِّمُهَا , وَلَمْ يَنْهَ عَنْهَا حَتَّى مَاتَ. قَالَ رَجُلٌ بِرَأْيِهِ مَا شَاءَ)) قَالَ الْبُخَارِيُّ " يُقَالُ: «إنَّهُ عُمَرُ» . وَلِمُسْلِمٍ ((نَزَلَتْ آيَةُ الْمُتْعَةِ - يَعْنِي مُتْعَةَ الْحَجِّ - وَأَمَرَنَا بِهَا رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - ثُمَّ لَمْ تَنْزِلْ آيَةٌ تَنْسَخُ آيَةَ مُتْعَةِ الْحَجِّ وَلَمْ يَنْهَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - حَتَّى مَاتَ)) وَلَهُمَا بِمَعْنَاهُ.
239. Dari Imran bin Hushain ia berkata, “Diturunkan ayat tentang tamattu dalam kitabullah (Qs. Al Baqarah: 196), lalu kami melakukannya bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan tidak turun ayat Al Qur’an yang melarangnya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga tidak melarangnya hingga Beliau wafat, lalu ada seorang yang berkata berdasarkan pendapatnya.” Bukhari berkata, “Disebutkan, bahwa ia adalah Umar.” Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Telah turun ayat tamattu, dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga memerintahkannya, serta tidak turun ayat yang menasakh (menghapus) tamattu haji, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga tidak melarangnya hingga Beliau wafat.” (Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan yang semakna dengan itu).
Bab Hadyu (Hewan yang disembelih di tanah haram dalam rangka ibadah haji)
240 - عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: ((فَتَلْتُ قَلائِدَ هَدْيِ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - ثُمَّ أَشْعَرْتُهَا وَقَلَّدَهَا - أَوْ قَلَّدْتُهَا - ثُمَّ بَعَثَ بِهَا إلَى الْبَيْتِ. وَأَقَامَ بِالْمَدِينَةِ , فَمَا حَرُمَ عَلَيْهِ شَيْءٌ كَانَ لَهُ حِلاًّ)) .
240. Dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata, “Aku mengikatkan kalung pada hewan hadyu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lalu aku menandainya dan Beliau mengikatkan kalungnya –atau aku mengikatkan kalungnya-, kemudian Beliau membawanya ke Baitullah, dan Beliau tinggal di Madinah, maka apa-apa yang diharamkan bagi Beliau setelah itu menjadi halal baginya.”
241 - عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: ((أَهْدَى رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مَرَّةً غَنَماً)) .
241. Dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mempersembahkan hewan hadyu berupa kambing.”
242 - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه -: ((أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - رَأَى رَجُلاً يَسُوقُ بَدَنَةً , فَقَالَ: ارْكَبْهَا. قَالَ: إنَّهَا بَدَنَةٌ. قَالَ ارْكَبْهَا. فَرَأَيْتُهُ رَاكِبَهَا , يُسَايِرُ النَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم -)) . وَفِي لَفْظٍ قَالَ فِي الثَّانِيَةِ , أَوْ الثَّالِثَةِ: ((ارْكَبْهَا. وَيْلَكَ , أَوْ وَيْحَكَ)) .
242. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Nabiyullah shallallahu alaihi wa sallam pernah melihat seseorang membawa seekor unta, maka Beliau bersabda, “Naikilah!” Lalu ia menjawab, “Ia adalah unta hadyu.” Beliau bersabda, “Naikilah!” Lalu aku lihat dia menaikinya dan berjalan bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” Dalam sebuah lafaz disebutkan, bahwa Beliau bersabda pada kedua atau ketiga kalinya, “Naikilah! Rugilah kamu atau kasihanilah dirimu.”
243 - عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ - رضي الله عنه - قَالَ: ((أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ , وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا , وَأَنْ لا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا شَيْئًا)) . وَقَالَ: نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا.
 243. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyuruhku untuk mengurus unta-untanya, bersedekah dengan dagingnya, kulitnya, dan kainnya, dan agar aku tidak memberikan kepada penjagal sesuatu (upah) dari hewan itu.” Ali berkata, “Kami yang memberikan upah kepadanya dari (harta) kami.”
244 - عَنْ زِيَادِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ: ((رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ أَتَى عَلَى رَجُلٍ قَدْ أَنَاخَ بَدَنَتَهُ , فَنَحَرَهَا. فَقَالَ ابْعَثْهَا قِيَاماً مُقَيَّدَةً سُنَّةَ مُحَمَّدٍ - صلى الله عليه وسلم -)) .
244. Dari Ziyad bin Jubair ia berkata, “Aku melihat Ibnu Umar mendatangi seseorang yang telah mendudukkan untanya, lalu ia menyembelihnya, maka Ibnu Umar berkata, “Bangunkan dia (dan sembelihlah) dalam posisi berdiri dan terikat sesuai sunnah Nabi Muhammad shalallahu alaihi  wa sallam.”
Bab Mandi Bagi Orang Yang Ihram
245 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حُنَيْنٍ: ((أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ وَالْمِسْوَرَ بْنَ مَخْرَمَةَ اخْتَلَفَا بِالأَبْوَاءِ. فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: يَغْسِلُ الْمُحْرِمُ رَأْسَهُ. وَقَالَ الْمِسْوَرُ: لا يَغْسِلُ رَأْسَهُ. قَالَ: فَأَرْسَلَنِي ابْنُ عَبَّاسٍ إلَى أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ - رضي الله عنه -. فَوَجَدْتُهُ يَغْتَسِلُ بَيْنَ الْقَرْنَيْنِ , وَهُوَ يُسْتَرُ بِثَوْبٍ. فَسَلَّمْت عَلَيْهِ. فَقَالَ: مَنْ هَذَا؟ فَقُلْت: أَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ حُنَيْنٍ , أَرْسَلَنِي إلَيْكَ ابْنُ عَبَّاسٍ , يَسْأَلُكَ: كَيْفَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَغْسِلُ رَأْسَهُ وَهُوَ مُحْرِمٌ؟ فَوَضَعَ أَبُو أَيُّوبَ يَدَهُ عَلَى الثَّوْبِ , فَطَأْطَأَهُ , حَتَّى بَدَا لِي رَأْسُهُ. ثُمَّ قَالَ لإِنْسَانٍ يَصُبُّ عَلَيْهِ الْمَاءَ: اُصْبُبْ , فَصَبَّ عَلَى رَأْسِهِ. ثُمَّ حَرَّكَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ , فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ. ثُمَّ قَالَ: هَكَذَا رَأَيْتُهُ - صلى الله عليه وسلم - يَغْتَسِلُ)) . وَفِي رِوَايَةٍ " فَقَالَ الْمِسْوَرُ لابْنِ عَبَّاسٍ: لا أُمَارِيكَ أَبَداً ".
245. Dari Abdullah bin Hunain, bahwa Abdullah bin Abbas dan Miswar bin Makhramah pernah berselisih di Abwa (sebuah tempat yang berada di antara Makah dan Madinah), lalu Ibnu Abbas berkata, “Orang yang ihram membasuh kepalanya.” Al Miswar berkata, “Ia tidak boleh membasuh kepalanya.” Maka Abdullah bin Abbas mengutusku menemui Abu Ayyub Al Anshariy radhiyallahu anhu dan kutemukan Beliau sedang mandi di antara dua tiang dan dalam keadaan ditutupi kain, lalu aku memberi salam kepadanya, maka ia bertanya, “Siapa ini?” Aku menjawab, “Abdullah bin Hunain. Ibnu Abbas mengutusku untuk menemuimu untuk bertanya, “Bagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membasuh kepalanya ketika sedang ihram?” Maka Abu Ayyub meletakkan tangannya ke kain dan menurunkannya sehingga tampak kepalanya, lalu ia berkata kepada seorang yang mengucurkan air kepadanya, “Kucurkanlah air itu!” maka dikucurkan air itu ke kepalanya, kemudian ia gerakkan kepalanya dengan kedua tangannya, lalu menarik tangannya ke depan dan ke belakang, ia berkata, “Demikianlah aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mandi.”
Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Maka Miswar berkata kepada Ibnu Abbas, “Aku tidak akan berdebat denganmu selamanya.”
Bab Membatalkan Haji Menjadi Umrah
246 - عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رضي الله عنهما قَالَ ((أَهَلَّ النَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - وَأَصْحَابُهُ بِالْحَجِّ وَلَيْسَ مَعَ أَحَدٍ مِنْهُمْ هَدْيٌ غَيْرَ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - وَطَلْحَةَ , وَقَدِمَ عَلِيُّ - رضي الله عنه - مِنْ الْيَمَنِ. فَقَالَ: أَهْلَلْتُ بِمَا أَهَلَّ بِهِ النَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - فَأَمَرِ النَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - أَصْحَابَهُ: أَنْ يَجْعَلُوهَا عُمْرَةً , فَيَطُوفُوا ثُمَّ يُقَصِّرُوا وَيَحِلُّوا , إلاَّ مَنْ كَانَ مَعَهُ الْهَدْيُ فَقَالُوا: نَنْطَلِقُ إلَى «مِنىً» وَذَكَرُ أَحَدِنَا يَقْطُرُ؟ فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ: لَوْ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ مَا أَهْدَيْتُ , وَلَوْلا أَنَّ مَعِي الْهَدْيَ لأَحْلَلْتُ. وَحَاضَتْ عَائِشَةُ. فَنَسَكَتِ الْمَنَاسِكَ كُلَّهَا , غَيْرَ أَنَّهَا لَمْ تَطُفْ بِالْبَيْتِ. فَلَمَّا طَهُرَتْ وَطَافَتْ بِالْبَيْتِ قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ , يَنْطَلِقُونَ بِحَجٍّ وَعُمْرَةٍ , وَأَنْطَلِقُ بِحَجٍّ فَأَمَرَ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِي بَكْرٍ: أَنْ يَخْرُجَ مَعَهَا إلَى التَّنْعِيمِ فَاعْتَمَرَتْ بَعْدَ الْحَجِّ)) .
246. Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya berniat untuk haji, namun tidak ada yang membawa hadyu selain Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Thalhah, dan Ali yang baru datang dari Yaman, lalu ia berkata, “Aku berihram sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam berihram,” maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan para sahabatnya agar menjadikan ihram mereka sebagai umrah; mereka thawaf di Baitullah, memendekkan rambut, dan tahallul kecuali orang yang membawa hadyu. Mereka berkata, “Apakah kami berangkat ke Mina sedangkan kami telah menggauli istri kami?” Maka kalimat itu pun sampai ke telinga Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu Beliau bersabda, “Kalau aku bisa mengulang kembali urusanku yang telah lewat, tentu aku tidak membawa hewan hadyu. Seandainya aku tidak membawa hadyu, tentu aku sudah bertahallul.” Kemudian Aisyah radhiyallahu anha mengalami haidh padahal ia telah menyelesaikan seluruh manasik namun ia belum berthawaf di Baitullah. Ketika ia telah suci dan melakukan thawaf di Baitullah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah mereka pulang dengan membawa amalan haji dan umrah, sedangkan aku hanya membawa amalan haji.” Maka Beliau memerintahkan Abdurrahman bin Abu Bakar untuk keluar menemaninya ke Tan’im dan berumrah setelah haji.”
247 - عَنْ جَابِرٍ - رضي الله عنه - قَالَ: ((قَدِمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - وَنَحْنُ نَقُولُ: لَبَّيْكَ بِالْحَجِّ. فَأَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَجَعَلْنَاهَا عُمْرَةً)) .
247. Dari Jabir radhiyallahu anhu ia berkata, “Kami datang bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sambil mengucapkan “Labbaika bilhajj” (artinya: aku sambut panggilan-Mu ya Allah untuk haji), maka Rasululllah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk menjadikannya umrah.”
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Penerjemah:
Marwan bin Musa

Fawaid Tentang Ilmu dan Ciri Ilmu Yang Bermanfaat

Sabtu, 16 Desember 2017
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫اللهم إني أعوذ بك من علم لا ينفع‬‎
Fawaid Tentang Ilmu dan Ciri Ilmu Yang Bermanfaat
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan ‘Fawaid Tentang Ilmu dan Ciri Ilmu Yang Bermanfaat’, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Ta’rif (definisi) ilmu
Ilmu secara bahasa adalah lawan dari kata jahl (tidak tahu). Ilmu artinya mengetahui sesuatu secara pasti sesuai dengan keadaannya, seperti air itu dingin, api itu panas, dsb.
Ilmu yang disebutkan dalam dalil-dalil syar’i tentang keutamaannya adalah ilmu syar’i (ilmu agama), yaitu ilmu terhadap apa yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa penjelasan  dan petunjuk. Ilmu syar’i adalah fiqih (memahami) kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ilmu selain ini, bisa sebagai sarana kepada kebaikan dan bisa sebagai sarana keburukan, maka hukumnya tergantung arahnya.
Untuk mendapatkan pemahaman yang benar terhadap Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, di antara caranya adalah dengan melihat pemahaman kaum salafush shalih, mempelajari ilmu Ushul Fiqih, melihat kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab syarah hadits, bertanya kepada ulama, serta mendalami bahasa Arab, wallahu a’lam.
Sebagian ulama ada yang menerangkan, bahwa arti ilmu adalah ma’rifatul haqqi bidalilih (mengetahui kebenaran dengan dalilnya), ini juga betul, wallahu a’lam.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَأَمَّا مَنْ عَدَلَ عَنْ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَأَقْوَالِ الصَّحَابَةِ وَعَنْ مَعْرِفَةِ الْحَقِّ بِالدَّلِيلِ مَعَ تَمَكُّنِهِ مِنْهُ إلَى التَّقْلِيدِ فَهُوَ كَمَنْ عَدَلَ إلَى الْمَيْتَةِ مَعَ قُدْرَتِهِ عَلَى الْمُذَكَّى
“Barang siapa yang berpaling dari Kitabullah, sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan pendapat para sahabat, serta berpaling dari mengetahui kebenaran berikut dalilnya padahal mampu mencarinya, lalu beralih kepada taqlid (ikut-ikutan), maka ia seperti orang yang mendatangi bangkai padahal mampu mendatangi hewan yang disembelih.” (I’lamul Muwaqqi’in juz 2/185)
Istilah-Istilah dalam ilmu
Ilmu : mengetahui sesuatu secara pasti sesuai dengan keadaannya.
Jahl Basith : sama sekali tidak mengetahui.
Jahl Murakkab : menyatakan mengetahui, tetapi tidak sesuai dengan keadaannya. Seperti menyatakan api itu dingin.
Wahm (persangkaan keliru) : merasa mengetahui sesuatu, tetapi ternyata keliru.
Syak (ragu-ragu) : merasa mengetahui sesuatu, namun dalam hal yang sama merasakan perbedaan.
Zhan (perkiraan kuat) : merasa mengetahui sesuatu, dan pengetahuan selain itu kalah kuat.
Di antara ilmu ada yang dharuri (diketahui dengan mudah tanpa perlu meneliti), dan ada pula yang nazhari (setelah dipelajari dan dikaji). Contoh ilmu dharuri adalah mengetahui batu itu keras, sedangkan contoh ilmu nazhari adalah seperti mengetahui wajibnya niat di hati ketika hendak berwudhu.
Hukum mempelajari ilmu syar’i
Mempelajari ilmu syar’i hukumnya bisa fardhu ain (masing-masing orang), bisa fardhu kifayah (sebagian manusia yang mengetahuinya sudah cukup), dan bisa menjadi sunah.
Menjadi fardhu ain, yaitu mempelajari ilmu tentang mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam, dan mengenal agamanya, atau mempelajari ilmu akidah, serta ilmu tentang kewajiban agama yang menuntut diamalkan segera (fiqih ibadah), seperti tatacara wudhu, shalat, dsb.
Menjadi fardhu kifayah, yaitu mempelajari ilmu untuk menunjang agama dan kehidupan di dunia. Yang menunjang agama yakni untuk menjaga dan menegakkan agama, seperti mendalami tafsir Al Qur’an, syarah hadits, fiqih, dsb. Sedangkan yang menunjang kehidupan di dunia misalnya ilmu kedokteran, matematika, dsb.
Menjadi sunah, yaitu pada ilmu yang hukumnya fardhu kifayah, dimana sebagian manusia sudah mengetahui, maka bagi yang lain hukumnya sunah, wallahu a’lam.
Pembagian Ilmu
Ilmu terbagi dua, yaitu ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang tidak bermanfaat.
Allah memuji ilmu yang bermanfaat dalam firman-Nya,
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
Katakanlah, "Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Qs. Az Zumar: 9)
dan mencela ilmu yang tidak bermanfaat dalam firman-Nya,
وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ
“Mereka mempelajari sesuatu (ilmu sihir) yang membahayakan mereka dan tidak memberikan manfaat.” (Qs. Al Baqarah: 102)
مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tidak memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (Qs. Al Jumu’ah: 5)
Maksud ayat ini mereka tidak mengamalkan isinya, di antaranya tidak membenarkan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Ini menunjukkan bahwa ilmu mereka tidak bermanfaat.
Contoh Ilmu yang tidak bermanfaat
Contoh ilmu yang tidak bermanfaat adalah ilmu sihir, ilmu nujum/ta’tsir, ilmu kalam (berbicara akidah berdasarkan akal dan filsafat), mendalami masalah takdir, ruh, dan menanyakan masalah yang belum terjadi.
Ciri ilmu yang bermanfaat
Berikut kami sampaikan secara ringkas ciri ilmu yang bermanfaat sebagaimana yang diterangkan Imam Ibnu Rajab Al Hanbali rahimahullah dalam kitabnya Fadhlu Ilmis Salaf ‘alal Khalaf, bahwa ilmu yang bermanfaat itu mempelajari Al Qur’an dan As Sunnah, memahami kandungannya, serta memahaminya dengan memperhatikan atsar dari para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in dalam memahami makna Al Qur’an dan hadits, serta mempelajari masalah halal dan haram, zuhud, kelembutan hati, ilmu, dan lain-lain dari mereka.
Tentunya dalam mempelajari hadits, memilah dulu mana yang shahih dan mana yang dhaif, lalu berusaha memahami maknanya. Barang siapa yang mempelajari itu semua dan mengikhlaskan niatnya karena Allah, serta memohon pertolongan kepada-Nya, maka Allah akan menolongnya, menunjukinya, dan memberinya taufik, serta memahamkannya. Saat itulah ilmu ini mengeluarkan buah khusus, yaitu khasyatullah (rasa takut kepada Allah) sebagaimana firman-Nya,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah orang-orang yang berilmu.” (Qs. Fathir: 28)
Dirinya pun tunduk menghinakan diri kepada Allah azza wa Jalla, mengagungkan-Nya, membesarkan-Nya, dan mencintai-Nya. Di samping itu, dirinya puas dengan yang halal dari dunia ini serta merasa cukup dengannya, serta bersikap zuhud terhadap dunia.
Setiap kali ilmunya bertambah, maka bertambah pula ketawadhuan, rasa takut, ketundukan, dan kerendahannya kepada Allah Azza wa Jalla.
Ilmu tersebut bermanfaat karena di dalamnya dapat mengenalkan kita kepada Allah Azza wa Jalla serta mengenalkan nama-Nya yang indah, sifat-Nya yang tinggi, dan perbuatan yang agung yang dimiliki-Nya, dimana itu semua membuat seseorang mengagungkan-Nya, takut kepada-Nya, mencintai-Nya, berharap kepada-Nya, bertawakkal kepada-Nya, ridha terhadap takdir-Nya, dan bersabar terhadap cobaan dari-Nya. Demikian pula di dalam ilmu itu seseorang mengetahui mana perkara yang dicintai-Nya dan mana perkara yang dibenci-Nya, baik berupa amalan hati, lisan, maupun anggota badan.
Dengan demikian, ilmu yang bermanfaat ini membuat seorang hamba kenal Rabbnya, merasa nyaman mendekatkan diri kepada-Nya, serta beribadah kepada-Nya seakan-akan melihat-Nya.
Siapa saja yang kehilangan ilmu yang bermanfaat ini, maka ia dirinya bisa jatuh ke dalam 4 perkara yang Nabi shallallahu alaihi wa sallam berlindung daripadanya, yaitu ilmu yang tidak bermanfaat sehingga menjadi petaka dan hujjah yang menimpa dirinya, hatinya tidak khusyu, jiwanya tidak puas, dan doanya tidak terkabul karena tidak melaksanakan perintah Allah dan tidak menjauhi larangan-Nya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdoa,
«اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْأَرْبَعِ، مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ، وَمِنْ دُعَاءٍ لَا يُسْمَعُ»
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari 4 perkara; dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu, jiwa yang tidak puas, dan doa yang tidak dikabulkan.” (Hr. Abu Dawud dan Nasa’i, dishahihkan oleh Al Albani)
Ilmu yang tidak bermanfaat membuat pemiliknya sombong dan mengingikan ketinggian di muka bumi, berbangga di hadapan para ulama, berdebat dengan orang-orang bodoh, ingin mengalihkan perhatian manusia kepadanya, ingin dihargai oleh para pejabat, dianggap baik oleh mereka, serta banyak pengikut, berbangga di hadapan manusia, tidak mau menerima kebenaran apalagi dari orang yang berada di bawahnya, bersikap sombong di hadapan manusia, menganggap dirinya sebagai orang luar biasa sebagaimana kaum Qaramithah dan Bathiniyyah; berbeda dengan kaum salaf yang merasa diri mereka penuh dengan kekurangan baik lahir maupun batin padahal mereka orang-orang mulia dan utama, tetap terus berada di atas kebatilan, dan terkadang mereka merendah diri dengan menyebutkan kekurangan dirinya agar mendapat pujian dari manusia serta dianggap sebagai orang yang tawadhu,  senang dipuji bahkan menginginkannya. 
Sebaliknya pemilik ilmu yang bermanfaat tidak suka suka pujian dan tidak sombong terhadap seorang pun.
Al Hasan berkata,
إِنَّمَا الْفَقِيْهُ الزَّاهِدُ فِي الدُّنْيَا الرَّاغِبُ فِي الْآخِرَةِ الْبَصِيْرُ بِدِيْنِهِ الْمُوَاظِبُ عَلَى عِبَادَةِ رَبِّهِ
“Sesungguhnya Ahli Fiqih adalah orang yang zuhud terhadap dunia, mencintai akhirat, pandangannya tajam terhadap agama, dan rutin beribadah kepada Rabbnya.”
Dalam salah satu riwayat dari beliau, bahwa Ahli Fiqih itu tidak hasad terhadap orang yang berada di atasnya dan tidak merendahkan orang yang berada di bawahnya, serta tidak mengambil upah terhadap ilmu yang Allah ajarkan kepadanya (menjadikannya sebagai mata pencaharian).
Ilmu yang bermanfaat juga membuat pemiliknya lari dari dunia ini, terutama dari ketinggian, ketenaran, dan pujian. Jika dirinya mendapatkan hal itu, maka ia mengkhawatirkan keadaan dirinya, dia khawatir kalau yang demikian merupakan makar atau istidraj (penundaan azab) sebagaimana Imam Ahmad mengkhawatirkan keadaan dirinya saat namanya menjadi terkenal.
Di antara tanda lain ilmu yang bermanfaat adalah dirinya tidak merasa berilmu, tidak membanggakan diri dengan ilmu itu di hadapan manusia, serta tidak menisbatkan kebodohan kecuali kepada orang yang menyelisihi Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maka ia berbicara terhadapnya sambil marah karena Allah, bukan karena dirinya, serta tidak bermaksud dirinya ditinggikan.
Adapun orang yang ilmunya tidak bermanfaat, maka tidak ada kesibukannya selain bersikap sombong terhadap ilmunya, menampakkan kelebihan dirinya, menisbatkan kebodohan kepada manusia serta mencela mereka agar dirinya tampak sebagai orang berilmu yang patut disegani.
Orang yang ilmunya bermanfaat juga bersu’uzhzhan (bersangka buruk) terhadap dirinya dan berhusnuzhzhan (bersangka baik) kepada para ulama sebelumnya (kaum salaf), serta mengetahui keutamaan mereka, dan bahwa dirinya merasa jauh untuk mendekati kadar mereka apalagi setara dengan mereka.
Sebaliknya orang yang ilmunya tidak bermanfaat, saat melihat dirinya memiliki kelebihan terhadap para ulama sebelumnya dalam pernyataan atau ucapannya, lalu ia meremehkan para ulama sebelumnya. Ia tidak mengetahui, bahwa sedikitnya pernyataan dan ucapan para ulama sebelumnya adalah karena wara dan takut kepada Allah Azza wa Jalla, dimana jika mereka mau berbicara panjang lebar, tentu mereka mampu, dan ia tidak akan sanggup mengimbangi mereka.
Siapa saja yang mengetahui keutamaan kaum salaf, tentu ia akan mengetahui bahwa diamnya mereka dari berbagai pernyataan, dari melakukan bantahan, serta tidak memperpanjang penjelasan melebihi kebutuhan, bukanlah sebagai aib, kebodohan, dan kekurangan ilmu. Akan tetapi sikap mereka didasari rasa wara (berhati-hati) dan takut kepada Allah Azza wa Jalla serta menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat daripada hal yang tidak bermanfaat.
Yang demikian adalah karena ilmu itu bukanlah banyaknya meriwayatkan dan banyaknya pernyataan, akan tetapi ilmu adalah cahaya yang ditanamkan ke dalam hati, dimana dengannya seorang hamba mengenali kebenaran, memilah yang hak dan yang batil, serta menerangkan dengan kalimat singkat yang mencapai kepada tujuan.
Bukankah khutbah Nabi shallallahu alaihi wa sallam singkat? Beliau ketika menyampaikan kata-kata, jika ada orang yang mau menghitungnya tentu mampu menghitungnya. Beliau juga menyatakan, bahwa di antara penjelasan itu ada yang menjadi sihir sebagai celaan terhadapnya. Oleh karena itu, kita harus tahu, bahwa tidak semua yang banyak berbicara dalam masalah ilmu berarti lebih banyak ilmunya.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu berkata, “Sesungguhnya kalian berada pada zaman yang para ulamanya banyak, namun para khatib (ahli pidato) sedikit. Tetapi akan datang zaman setelah kalian yang para ulamanya sedikit, namun khatibnya banyak.”
Oleh karena itu, barang siapa yang banyak ilmunya dan sedikit bicaranya, maka hal itu terpuji. Tetapi kebalikannya adalah tercela.
Para ulama salaf terdahulu lebih sedikit bicaranya namun dalam ilmunya. Ilmu mereka adalah ilmu yang bermanfaat; yang terhunjam dalam hati dan mereka ungkapkan sesuai kebutuhan.
Inilah fiqih dan ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang paling utama adalah tafsir Al Qur’an, syarah hadits, membicarakan halal dan haram (fiqih) yang diambil dari para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in hingga para imam kaum muslimin.
Sebagian kaum salaf berkata,
إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدٍ شَراًّ أَغْلَقَ عَنْهُ بَابَ الْعَمَلِ وَفَتَحَ لَهُ بَابَ الْجَدَلَ
“Apabila Allah hendak menimpakan keburukan kepada seorang hamba, maka Allah tutup pintu amal baginya dan membukakan pintu berdebat.”
Kita meminta kepada Allah agar diberikan ilmu yang bermanfaat, hati yang khusyu, jiwa yang puas, dan doa yang dikabulkan.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fadhlu Ilmis Salaf Alal Khalaf (Ibnu Rajab Al Hanbali), Kitabul Ilmi (Syaikh Ibnu Utsaimin), Syarh Tsalatsatil Ushul (Syaikh Ibnu Utsaimin), I’lamul Muwaqqi’in (Ibnu Qayyim Al Jauziyyah), Maktabah Syamilah versi 3.44 https://saaid.net/arabic/297.htm dll.
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger