Panduan Berkurban

Selasa, 21 Februari 2012


بسم الله الرحمن الرحيم

Hasil gambar untuk ‫أحكام الأضحية‬‎

Panduan Berkurban

Salah satu Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di hari raya Idul Adh-ha adalah berkurban. Berikut ini ahkam (hukum-hukum) singkat yang berkaitan dengan kurban.

Ta’rif (definisi) kurban

Kurban atau Al Udh-hiyyah adalah istilah untuk hewan yang disembelih pada hari nahar (10 Dzulhijjah) dan hari-hari tasyriq (11, 12 dan 13 Dzulhijjah) untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla.

Dalil disyari’atkannya berkurban

Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2)

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.--Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah. (Terj. Qs. Al Kautsar: 1-2)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang tafsir ayat tersebut, “Yakni sebagaimana Kami telah memberikan kepadamu kebaikan yang banyak, salah satunya adalah sungai (Al Kautsar di surga) yang telah disebutkan sifatnya, maka kerjakanlah shalat yang fardhu dan sunat karena Tuhanmu dan berkurbanlah dengan menyebut nama-Nya saja, tidak ada sekutu bagi-Nya.”

Hikmah berkurban

Di antara hikmahnya adalah untuk menghidupkan Sunnah bapak para nabi yaitu Ibrahim ‘alaihis salam, membantu fakir miskin dan menghibur mereka, merekatkan hubungan baik antara orang kaya dengan orang miskin, tanda syukur kepada Allah, dll.

Hukum berkurban

Para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, apakah wajib atau sunah? Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa hukumnya adalah wajib bagi yang mampu, berdasarkan hadits berikut:

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا

“Barang siapa yang memiliki kemampuan, namun tidak mau berkurban, maka janganlah sekali-kali mendekati tempat shalat kami (lapangan shalat ‘Iid).” (Hadits hasan, Shahih Ibnu Majah 2532)

Sedangkan yang lain berpendapat bahwa hukumnya sunah mu’akkadah (sunah yang sangat ditekankan) beralasan dengan hadits berikut:

« إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ » . 

“Apabila kalian melihat hilal (bulan sabit tanda tanggal satu) Dzulhijjah, sedangkan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka tahanlah (jangan dicabut) rambut dan kukunya.” (HR. Muslim)

Kata-kata “Salah seorang di antara kamu ingin berkurban” menunjukkan sunatnya.

Namun untuk kehati-hatian, hendaknya seorang muslim tidak meninggalkannya ketika ia mampu berkurban.

Bagi orang yang memiliki hutang, hendaknya mendahulukan membayar hutang karena wajibnya melepaskan dzimmah (tanggungan/beban) ketika sudah mampu.

Adapun berhutang untuk berkurban, maka jika tampaknya ia bisa membayar seperti orang yang memiliki penghasilan tetap, ia boleh berhutang untuk berkurban. Namun jika tampaknya ia agak kesulitan membayar hutang, maka ia tidak perlu berhutang agar ia tidak terbebani dengan hal yang syara’ memberikan keringanan dalam kondisi ini.

Hewan yang bisa dikurbankan

Hewan yang bisa dikurbankan hanyalah unta, sapi dan kambing atau domba. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

Dan bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), agar mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka,” (Terj. Qs. Al Hajj: 34)

Di antara hewan-hewan ini, yang paling utama adalah unta, sapi kemudian kambing. Namun kambing lebih utama daripada patungan tujuh orang untuk berkurban unta atau sapi.

Usia hewan yang akan dikurbankan

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَذْبَحُوْا إِلاَّ مُسِنَّةً ، فَإِنْ تَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَاذْبَحُوْا جَذَعَةً مِنَ الضَّأْنِ

“Janganlah kalian menyembelih kecuali yang musinnah. Namun jika kalian kesulitan, maka sembelihlah biri-biri (domba) yang jadza’ah.” (HR. Muslim dari Jabir radhiyallahu 'anhu)

Maksud “musinnah“ adalah hewan yang sudah cukup usianya. Jika berupa unta, maka usianya lima tahun atau lebih. Jika berupa sapi, usianya dua tahun atau lebih. Jika kambing maka usianya setahun atau lebih, tidak boleh usianya kurang dari yang disebutkan.

Dan jika berupa biri-biri/domba maka yang usianya setahun atau lebih di atas itu. Namun jika tidak ada biri-biri yang usianya setahun maka boleh yang mendekati setahun (9, 8, 7 atau 6 bulan), tidak boleh di bawah enam bulan –inilah yang dimaksud dengan jadza’ah-

Hewan yang tidak boleh dikurbankan

Termasuk syarat bisa dikurbankan adalah selamatnya hewan tersebut dari cacat, yakni cacat yang mengurangi dagingnya. Misalnya sakit, kurang anggota badannya dan kurus kering.

Berikut ini beberapa cacat yang menjadikan hewan tersebut tidak bisa dikurbankan:

1.   Hewan sakit, yang jelas sakitnya.

2.   Hewan buta sebelah, yang tampak jelas butanya.

3.   Hewan pincang, yang tampak jelas pincangnya.

4.   Hewan yang kurus tidak bersumsum.

Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

"أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي اْلاَضَاحِي: اَلْعَوْرَاءُ اَلْبَيِّنُ عَوَرُهَا, وَالْمَرِيضَةُ اَلْبَيِّنُ مَرَضُهَا, وَالْعَرْجَاءُ اَلْبَيِّنُ ظَلْعُهَا وَالْعَجْفَاءُ اَلَّتِي لَا تُنْقِي"

“Empat macam hewan yang tidak boleh dijadikan kurban, yaitu: hewan buta sebelah yang jelas butanya, hewan sakit yang jelas sakitnya, hewan pincang yang jelas pincangnya dan hewan kurus yang tidak bersumsum.” (HR. Tirmidzi, ia berkata, “Hasan shahih”)

Oleh karena itu, jika buta sebelah matanya tidak begitu jelas, misalnya di salah satu matanya ada putih-putih, namun tidak menutupi matanya, maka masih sah berkurban dengannya. Termasuk ke dalam hewan yang jelas buta sebelah adalah hewan yang kedua matanya buta, karena keadaannya lebih parah lagi.

Sedangkan yang jelas sakitnya adalah sakit yang tampak sekali pengaruhnya bagi hewan kurban tersebut. Misalnya membuat hewan tersebut tidak mau makan atau penyakit tersebut membuatnya semakin kurus. Termasuk ke dalam hewan yang jelas sakitnya adalah Al Jarbaa’, yakni hewan yang jelas berkudis.

Demikian pula termasuk ke dalam hewan yang jelas pincangnya adalah Az Zamnaa, yaitu hewan yang lemah dalam berjalan karena terserang penyakit, demikian juga hewan yang terpotong tangan atau kakinya.

Catatan:

Jika cacatnya ringan, maka tidak mengapa. Misalnya di matanya ada titik kecil, atau pincangnya tidak membuat hewan tersebut tertinggal dari sekawanan kambing lainnya, demikian juga jika kurusnya tidak terlalu kurus.

Hadits di atas berdasarkan mafhumnya, jika cacatnya selain empat hal tadi atau yang semakna dengannya maka sah saja untuk berkurban. Oleh karena itu, jika telinganya terbelah atau robek atau tanduknya patah, maka tidak mengapa dikurbankan, karena hal itu tidak mengurangi dagingnya, di samping itu cacat pada hal-hal tersebut sangat sering ditemukan, namun afdhalnya adalah selamatnya hewan tersebut dari cacat-cacat itu.

Catatan:

Jika hewan kurban itu cacat dengan cacat yang menjadikannya tidak sah, misalnya pincang (yang sebelumnya tidak), maka jika cacat pada hewan kurban itu karena keteledorannya, maka ia wajib menggantinya dengan hewan kurban yang tidak cacat, namun jika cacat itu bukan karena keteledorannya, maka bisa dikurbankan dan sah.

Waktu menyembelih

Menyembelih dilakukan setelah shalat ‘Ied dan tidak sah sebelumnya. Jundab radhiyallahu 'anhu berkata,

صَلَّى النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم يَوْمَ النَّحْرِ ثُمَّ خَطَبَ ، ثُمَّ ذَبَحَ فَقَالَ :« مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيَذْبَحْ أُخْرَى مَكَانَهَا ، وَمَنْ لَمْ يَذْبَحْ فَلْيَذْبَحْ بِاسْمِ اللَّهِ » . 

“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam shalat (‘Ied) pada hari nahar, lalu berkhutbah kemudian berkurban. Beliau bersabda, “Barang siapa yang menyembelih sebelum shalat, maka sembelihlah hewan lagi sebagai gantinya dan barang siapa yang menyembelih, maka sembelihlah dengan nama Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan boleh pada hari-hari tasyriq baik di malamnya maupun siangnya sampai habisnya hari-hari tasyriq, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Kullu ayyamittasayriq dzab-h.” (artinya: Setiap hari-hari tasyriq adalah (waktu) menyembelih). (HR. Ahmad, Baihaqi, Ibnu Hibban, Daruquthni. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 4537)

Cukupnya satu kurban untuk satu keluarga

Abu Ayyub radhiyallahu 'anhu berkata: “Dahulu seseorang di zaman Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam berkurban dengan seekor kambing untuk dirinya dan keluarganya. Mereka pun makan dari kurban itu dan memberi makan orang lain darinya, namun orang-orang sekarang bermegah-megah sehingga seperti yang kamu lihat.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi, Tirmidzi menshahihkannya, demikian pula Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah no. 2563)

Bolehnya patungan dalam kurban unta dan sapi

Boleh hukumnya patungan dalam kurban unta dan sapi dari tujuh orang -baik antara mereka ada hubungan kerabat maupun tidak- jika mereka semua bermaksud untuk berkurban dan mendekatkan diri kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Jabir radhiyallahu 'anhu berkata, “Kami berkurban unta dan sapi dari tujuh orang bersama Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam pada tahun Hudaibiyah.” (HR. Muslim)

Catatan:

Bolehkah dalam patungan kurban sapi jumlah anggotanya kurang dari 7 orang?

Jawab: Boleh, sebagaimana bolehnya seorang diri berkurban dengan sapi. Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Jika jumlah anggota kurang dari tujuh orang, maka sah, dan mereka melakukan amalan sunah karena kelebihan yang mereka berikan, sebagaimana sah kurban unta dari orang yang seharusnya berkurban dengan kambing, sehingga ia beramal sunah dengan kelebihan yang ia berikan.” (Al Umm 2/244)

Al Kasani dalam Bada’iush Shana’i (5/71) berkata, “Tidak diragukan lagi bolehnya kurban unta atau sapi ketika jumlah anggota kurang dari tujuh orang, misalnya hanya dua orang, tiga orang, empat, lima, atau enam orang pada hewan unta atau sapi. Hal itu, karena jika boleh tujuh orang, maka kurang dari itu lebih boleh lagi. Demikian pula boleh sama jumlah biaya atau berbeda yang dikeluarkan, misalnya sebagian di antara mereka ada yang separuh, ada pula yang sepertiga, atau seperenam ketika jumlahnya tujuh orang.”

Membagi-bagikan hewan kurban

Dianjurkan membagi-bagikan kurban tiga bagian. Misalnya sepertiga dimakan orang yang berkurban, sepertiga disedekahkan kepada orang fakir dan sepertiga lagi untuk dihadiahkan kepada kerabat dan teman-teman atau tetangga. Kalau pun disedekahkan semuanya maka tidak mengapa. Namun lebih utama adalah membagi menjadi tiga bagian. Karena sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كُلُوْا وَادَّخِرُوْا وَتَصَدَّقُوْا

“Makanlah, simpanlah dan sedekahkanlah.” (Bukhari dan Muslim)

Syaikh Al Albani rahimahullah berkata, “Hewan kurban harus ada yang disedekahkan tanpa ada batasan tertentu seperti yang disangka sebagian orang, bahwa kurban harus dibagi tiga; sepertiga dimakan pada hari raya, sepertiga disedekahkan, dan sepertiga lagi disimpan. Penetapan sepertiga ini tidak ada dasarnya, dibagi tiga tanpa batasan tertentu memang ada riwayatnya, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Dahulu aku melarang kalian menyimpan daging hewan kurban. Ingatlah, sekarang silahkan makan, sedekahkan, dan simpan.” (Hr. Muslim)

(Silsilatul Huda wan Nur kaset no. 20) 

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Bersedekah 1/3 dari hewan kurban tidaklah wajib. Engkau boleh makan sebagian besar daging kurban dan menyisakan sedikit untuk engkau sedekahkan, sedangkan sisanya engkau makan. Akan tetapi yang utama adalah engkau sedekahkan, engkau hadiahkan, dan engkau makan.” (Fatawa Nur Alad Darb kaset 321)

Catatan:

-     Sebaiknya ia berkurban di tempatnya tanpa mengirim uang ke suatu tempat yang terlihat sangat membutuhkan agar orang-orang di sana berkurban dengan uang itu. Hal itu karena kurban adalah salah satu syi’ar Islam, dengan menyembelihnya di tempatnya berarti ia telah menghidupkan syi’ar ini, dan tentu akan membuat gembira keluarganya.

-     Kurban yang dibagikan boleh sudah dimasak, boleh juga belum dimasak (dari Fatwa Lajnah Daa’imah).

-     Tidak boleh menjual bagian mana saja dari kurban itu, adapun bagi orang yang dihadiahkan kurban atau diberikan sedekah dari kurban itu, maka urusannya terserah dia, dia boleh menjualnya maupun menghibahkannya, karena itu miliknya tetapi ia tidak boleh menjualnya kepada orang menghadiahkannya atau menyedekahkannya.

-     Tukang yang menyembelihnya tidak boleh diberikan upah dari daging kurban itu, namun ia boleh diberi upah dari lainnya sebagai imbalan atas jasanya. Ali radhiyallahu 'anhu mengabarkan, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruhnya untuk mengurus unta-untanya dan menyuruhnya untuk dibagikan unta-unta itu baik dagingnya, kulitnya maupun pakaiannya kepada orang-orang miskin dan tidak memberikan jasa pemotongan dari kurban itu sedikitpun.” (HR. Muslim)

-     Diperbolehkan memberikan daging hewan kurban kepada orang kafir yang bukan kafir harbi (yang memerangi Islam), seperti kafir musta’min (meminta keamanan) dan kafir mu’ahad (mengadakan perjanjian damai). (lihat Majmu Fatawa Syaikh Ibnu Baz 18/47)

Dianjurkan menyembelih sendiri (tanpa mewakilkan)

Disunatkan bagi orang yang berkurban untuk menyembelih sendiri, meskipun boleh mewakilkannya kepada seorang muslim yang lain. Sebelumnya orang yang berkurban mengucapkan:

بِسْمِ اللهِ وَاللهُ اَكْبَرُ, اَللَّهُمَّ هَذَا عَنِّيْ وَعَنْ آلِ بَيْتِيْ

Artinya: “Dengan nama Allah, Allah Maha Besar. Ya Allah, ini dariku dan keluargaku.”

Atau jika diwakilkan, maka wakilnya mengucapkan:

بِسْمِ اللهِ وَاللهُ اَكْبَرُ, اَللَّهُمَّ هَذَا عَنْ...

Ia sebut nama orang yang berkurban.

karena Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam ketika menyembelih seekor kambing mengucapkan, “Dengan nama Allah, Allah Maha Besar. Ya Allah, ini dariku dan umatku yang tidak mampu berkurban.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Syaikh Al Albani berkata, “Kurban yang Beliau lakukan dengan menyebutkan juga dari umatnya yang belum sempat berkurban adalah termasuk kekhususan Beliau sebagaimana dikatakan Al Haafizh dalam Al Fat-h.”

Hukum menghadiahkan pahala kurban untuk mayit

Menurut jumhur fuqaha dari kalangan madzhab Hanafi, Maliki, Hanbali dan sebagian ulama madzhab Syafi’i, bahwa berkurban dari mayit hukumnya boleh meskipun si mayit tidak berwasiat demikian, dan bahwa pahalanya akan sampai kepadanya dengan izin Allah Ta’ala. Dalam Shahih Muslim dari Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah dihadirkan hewan kurban untuk disembelihnya, lalu Beliau membaringkannya dan mengucapkan,

بِاسْمِ اللهِ، اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ، وَآلِ مُحَمَّدٍ، وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ

“Dengan nama Allah. Ya Allah, terimalah dari Muhammad, keluarga Muhammad dan dari umat Muhammad.”

Lalu Beliau mengurbankannya.

Sudah menjadi maklum, bahwa umat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam termasuk pula mayitnya. Hal ini menunjukkan bolehnya berkurban dari mayit. Termasuk pula berpuasa untuk mayit juga boleh ketika si mayit meninggal dalam keadaan punya tanggungan puasa. Demikian pula haji. Jika puasa yang merupakan ibadah badan dan haji yang merupakan ibadah harta sampai pahalanya kepada mayit, maka sampainya pahala kurban kepada mayit lebih patut lagi. Di samping itu, para ulama juga berpendapat sampainya sedekah dari (atas nama) mayit, sedangkan kurban termasuk bagian sedekah.

Ulama madzhab Maliki berpendapat boleh secara umum namun masih bercampur makruh, mereka berkata –sebagaimana dalam Syarh Mukhtashar Khalil karya Al Khurasyi (3/42)- ,  “Makruh bagi seseorang berkurban dari mayit karena khawatir riya dan berbangga-bangga, dan karena tidak ada dalilnya terhadap hal itu.”

Pemilik kitab Al Uddah dan Imam Al Baghawi berkata, “Tidak sah berkurban dari mayit kecuali jika ia mewasiatkan, demikian yang dikuatkan oleh Ar Rafi’i.” (Al Majmu 8/380), wallahu a’lam.

Kurban Dulu atau Aqiqah?

Menurut Syaikh Mahmud Syalabi sekjen fatwa di Darul Ifta al Mishriyyah, ketika seseorang mendapatkan karunia Allah berupa kelahiran seorang anak dan bersamaan dengan itu disyariatkan berkurban, dan ia tidak mampu menyembelih untuk kedua-duanya (aqiqah dan kurban), maka kurban lebih didahulukan di samping karena terbatasnya waktu kurban dan luasnya waktu aqiqah (Lihat: https://www.elbalad.news/3380797 )

Demikian juga menurut ulama madzhab Maliki dan Syafi’i dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, bahwa tidak tidak bisa berkurban sekaligus sebagai aqiqah. Alasannya adalah karena masing-masing ada sunnah yang punya maksud berbeda.

Namun menurut ulama madzhab Hanafi –juga sebagai salah satu riwayat dari Imam Ahmad-, yang juga merupakan pendapat Al Hasan Al Bashri, Muhammad bin Sirin, dan Qatadah, bahwa sah berkurban sekaligus sebagai aqiqah. Alasannya adalah karena maksud dari keduanya adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih hewan, sehingga salah satunya bisa masuk ke yang lain sebagaimana shalat tahiyyatul masjid masuk ke shalat qabliyyah bagi orang yang baru masuk masjid.

Syaikh Muhammad bin Ibrahim juga berpendapat demikian, ia berkata, “Jika bersamaan antara kurban dengan aqiqah, maka sebuah keluarga cukup satu saja dengan niat kurban dari dirinya, lalu ia sembelih kurban itu dan masuk pula ke dalamnya aqiqah.”

Bagian yang dipotong ketika menyembelih hewan

Menurut madzhab Syafi’i dan Ahmad bahwa yang dipotong pada hewan sembelihan minimal tenggorokan (saluran pernafasan) dan kerongkongan (saluran makanan). Namun menurut Abu Hanifah, bahwa penyembelhan tidak sah kecuali dengan memotong dua urat leher dan hulqum (tenggorokan).

Sebagian ulama berpendapat, bahwa bagian yang mesti dipotong adalah tiga dari empat bagian, bisa dua urat leher dan tenggorokan, atau dua urat leher dan kerongkongan, atau kerongkongan dan tenggorokan serta satu urat leher.

Menurut sebagian Ahli Ilmu, bahwa bagian yang lebih cepat mematikan adalah dua urat leher, sehingga madzhab Abu Hanifah sangat tepat, namun lebih utama adalah memotong empat bagian; dua urat leher, kerongkongan, dan tenggorokan.

Kurban Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

عَنْ أَنَسٍ t قَالَ : ضَحَّى النَّبِيُّ r بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ، ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ ، وَسَمَّى وكَبَّرَ ، وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا

Dari Anas radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkurban dengan dua ekor kambing jantan berwarna putih ada hitamnya dan bertanduk. Beliau menyembelih kedua hewan itu dengan tangannya sendiri setelah menyebut nama Allah dan bertakbir, dan Beliau menaruh kakinya di samping leher kambing tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan:

1.   Hewan kurban jantan lebih utama dari hewan kurban betina.

2.   Hewan kurban bertanduk lebih utama daripada yang tidak bertanduk (Al Ajamm).

3.   Disyariatkan mencari hewan kurban yang sifat dan warnanya bagus. Misalnya hewan kurban tersebut gemuk dan bagus. Yang paling bagus adalah Al Amlah yaitu yang putih polos atau ada hitamnya sedikit. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa hewan kurban Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di bagian perut, kaki dan sekitar matanya berwarna hitam (HR. Muslim).

4.   Mengucapkan basmalah hukumnya wajib, sedangkan ucapan takbir hukumnya sunah.

 

Marwan bin Musa

Maraaji’: Ahaadits ‘Asyri Dzil hijjah (Abdullah bin Shalih Al Fauzan), Fiqhus Sunnah (Syaih Sayyid Sabiq), Zaadul Ma’ad (Ibnul Qayyim), Malkhash Fiqhiy (Syaikh Shalih Al Fauzan), Subulus Salam (Imam ash Shan’ani), Minhaajul Muslim (Abu bakar Al Jazairiy), dll.

Hakikat Riba


بسم الله الرحمن الرحيم


Hakikat Riba

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Riba secara bahasa artinya bertambah. Sedangkan secara syara’ adalah penambahan pada salah satu dari dua alat tukar yang sejenis, tanpa ada kompensasi yang menjadi imbalan tambahan tersebut.

Hukum Riba

Riba hukumnya haram. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Qs. Al Baqarah: 275)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (Qs. Al Baqarah: 278)

Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengancam orang yang bermuamalah dengan riba dengan ancaman yang sangat berat, Dia berfirman,

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. (Qs. Al Baqarah: 275)

Di ayat tersebut Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberitahukan bahwa orang yang bermu’amalah dengan riba tidak dapat bangkit dari kuburnya pada hari Kiamat melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan saat mengalami kesurupan, hal itu karena perut mereka yang buncit akibat makan riba ketika di dunia.

Allah Subhaanahu wa Ta'aala juga mengancam neraka kepada orang yang memakan riba sebagaimana firman-Nya,

وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Qs. Al Baqarah: 275)

Demikian pula Allah mencabut keberkahan pada harta yang bercampur riba sebagaimana firman-Nya,

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ

“Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang sangat kufur, dan selalu berbuat dosa.” (Qs. Al Baqarah: 276)

Oleh karenanya, harta itu hanyalah membuat kelelahan baginya ketika di dunia, azab baginya ketika di akhirat dan ia tidak dapat mengambil manfaatnya.

Allah Subhaanahu wa Ta'aala menamai pemakan riba sebagai “Kaffaar”, yang artinya sangat kufur, yakni sangat kufur terhadap nikmat Allah, karena ia tidak kasihan kepada orang yang lemah, tidak membantu orang fakir, tidak memberi tempo kepada orang yang kesusahan. Dan bisa mengeluarkannya dari Islam, jika ia menganggap halal melakukan riba.

Allah Subhaanahu wa Ta'aala juga mengumumkan perang dari-Nya dan dari Rasul-Nya kepada orang-orang yang memakan riba, dan menyifati orang-orang yang memakan riba sebagai orang yang zalim sebagaimana firman-Nya,

فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Jika kamu bertaubat (dari mengambil riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Qs. Al Baqarah: 279)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga menyebutkanya ke dalam kelompok dosa-dosa besar. Beliau juga melaknat semua yang bermuamalah dalam riba apa pun keadaannya. Dari Jabir radhiyallahu anhu ia berkata,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberinya, penulisnya, dan dua saksinya. Beliau juga bersabda, “Mereka sama (dosanya).” (Hr. Muslim)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Pengharaman riba lebih keras daripada pengharaman maisir, yaitu judi.”

Bahkan memakan riba adalah sifat orang-orang Yahudi yang mendapatkan laknat, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا



“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (Qs. An Nisaa: 161)

Hikmah diharamkan riba

Hikmah diharamkannya riba adalah karena di dalamnya:

-     Sama saja memakan harta orang lain dengan cara yang batil.

-     Menimbulkan peremusuhan di antara sesama dan menghilangkan ruh ta'awun (tolong-menolong).

-     Memadharratkan kaum fakir’ dan orang-orang yang membutuhkan.

-     Menghilangkan kerja dan usaha.

-     Menimbulkan kemalasan bekerja.

-     Wasilah yang menjadikan suatu negeri mudah dijajah.

-     Dll.

Riba dan pembagiannya

Riba terbagi dua; Riba Nasii’ah dan Riba Fadhl.

1. Riba Nasi’ah

Riba Nasii’ah diambil dari kata nas-’ yang berarti penundaan, yakni riba karena adanya penundaan. Riba Nasii'ah artinya tambahan yang disyaratkan oleh pemberi pinjaman dari si peminjam sebagai ganti dari penundaan. Riba ini jelas haram berdasarkan Al Qur'an, As Sunnah dan Ijma'.

Riba Nasii’ah ada dua macam:

a)  Qalbud dain ‘alal mu’sir, yaitu orang lain mempunyai hutang kepadanya dengan pembayaran ditunda, ketika tiba waktu menagih, ia (pemberi pinjaman) berkata kepada penghutang, “Anda ingin membayar atau akan ditambah hutang anda?” Jika tidak membayar, maka si pemberi pinjaman menambahkan lagi waktunya dan menambahkan pembayaran yang sebelumnya contoh 1.000.000,- menjadi 10.50.000,-  dsb. Inilah riba di zaman Jahiliyah. Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengharamkan riba ini dengan firman-Nya:

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (terj. Al Baqarah: 280)

Oleh karena itu, jika waktu penagihan tiba, namun si peminjam tidak mampu membayar, tidak boleh bagi si pemberi pinjaman menambahkan hutangnya, bahkan ia wajib menunggunya.

b) Riba Nasii’ah jenis kedua, yaitu menjual barang yang terdiri dari dua jenis; yang sama dalam hal ‘illat riba fadhl dengan adanya penundaan penerimaan keduanya atau salah satunya. Misalnya menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, gandum sya’ir dengan gandum sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam secara penundaan salah satunya.

2. Riba Fadhl

Riba Fadhl artinya terjadinya kelebihan di salah satu barang, yakni menjual uang dengan uang atau makanan dengan makanan dengan adanya kelebihan. Riba fadhl hukumnya haram berdasarkan As Sunnah dan Ijma', karena bisa mengarah kepada riba nasii'ah.

Di dalam hadits disebutkan lebih jelas pengharaman riba pada enam barang; emas, perak, bur/gandum, sya’ir, kurma dan garam. Jika barang-barang ini dijual dengan barang yang sejenis, diharamkan adanya kelebihan di antara keduanya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ سَوَاءٌ بِسَوَاءٍ مِثْلٌ بِمِثْلٍ مَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الْآخِذُ وَالْمُعْطِي سَوَاءٌ

"Emas dengan emas, perak dengan perak, kurma dengan kurma, sya’ir dengan sya’ir, gandum dengan gandum, garam dengan garam, sama dan sebanding. Barang siapa menambah-nambah atau minta ditambah maka ia telah melakukan riba, baik yang mengambil atau yang meminta hukumnya sama." (HR. Ahmad dan Bukhari)

Di hadits ini jelas sekali haramnya menjual emas dengan emas; apa pun macamnya, perak dengan perak apa pun macamnya kecuali secara sama di samping langsung serah terima.

Diqiaskan dengan enam barang ini adalah barang-barang yang sama illatnya dengan enam barang ini, sehingga barang-barang tersebut haram juga jika ada kelebihan di salah satunya. Namun para ulama berselisih tentang batasan ‘illat. Yang jelas bahwa enam barang tersebut merupakan asas yang dibutuhkan manusia.

Pendapat yang shahih (benar) adalah bahwa illat pada mata uang (emas dan perak) adalah “Bisa dijadikan sebagai alat pembayaran.” Oleh karena itu, masuk ke dalamnya setiap barang yang bisa dijadikan alat pembayaran. Misalnya uang kertas yang dipakai zaman sekarang, maka haram hukumnya ada kelebihan apabila salah satunya dijual dengan barang yang sama jenisnya; yakni uang tersebut dikeluarkan oleh negara yang sama.

Pendapat yang benar bahwa illat pada gandum, sya’ir, kurma dan garam adalah bisa “ditakar atau ditimbang di samping bisa dimakan”[i], sehingga setiap barang yang bisa bisa ditakar atau ditimbang yang termasuk bisa dimakan, maka haram terjadi kelebihan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Illat diharamkan Riba Fadhl adalah “bisa ditakar” atau “bisa ditimbang” di samping bisa dimakan, ini adalah salah satu riwayat Ahmad."

Oleh karena itu, setiap barang yang masuk ke dalam enam barang yang disebutkan nasnya karena sama ‘illatnya; yakni bisa ditakar atau ditimbang serta bisa dimakan atau adanya ‘illat “bisa dijadikan alat pembayaran” jika berupa mata uang, maka bisa masuk riba. Jika di samping sama ‘illatnya adalah sama jenisnya; seperti jual beli gandum dengan gandum maka haram adanya kelebihan dan adanya penangguhan berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ , وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ , وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ , وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ , وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ , وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ ; مَثَلًا بِمَثَلٍ , يَدًا بِيَدٍ

 “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sejenis dan langsung serah terima (sebelum berpisah).”

Kesimpulan

Dengan demikian, apabila dijual barang ribawi dengan yang sejenisnya, seperti emas dengan emas atau gandum dengan gandum, maka harus terpenuhi dua syarat:

1)  Sama jumlahnya, tanpa melihat kepada bagus atau jeleknya (yang ditakar dengan yang ditakar dan yang ditimbang dengan yang ditimbang)

Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id yang diriwayatkan oleh Muslim sbb.: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah diberi kurma." Lalu beliau bertanya. "Apakah kurma ini dari kurma kita?" Maka laki-laki yang memberi menjawab, "Wahai Rasulullah, kami menukar dua sha' kurma dengan satu sha' kurma seperti ini." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Inilah yang dinamakan riba, kembalikanlah kurma ini kemudian jualah kurma milik kita, lalu uang hasil penjualan kurma tersebut kamu belikan kurma seperti ini."

2)   Salah satunya tidak ditunda (serah terima di majlis akad sebelum berpisah)

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:

لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ

"Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali harus sama, dan janganlah kamu melebihkan salah satunya. Janganlah kamu menjual perak dengan perak kecuali secara sama dan janganlah kamu melebihkan salah satunya, dan janganlah kamu menjual yang tidak di tempat dengan yang ada di tempat." (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Sa'id)

Namun, jika sama ‘illatnya  dan berbeda jenisnya, seperti menjual bur dengan sya’ir, maka tidak boleh terjadi penangguhan di salah satunya dan boleh adanya kelebihan, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ اْلأَشْيَاءُ فَبِيْعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Jika barang-barang ini berbeda, maka juallah semau kalian dengan syarat langsung serah terima.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

Maksud “langsung serah terima” adalah langsung serah terima di majlis itu sebelum salah seorang di antara keduanya berpisah dari yang lain.

Dan jika illat dan jenisnya berbeda, maka boleh dua hal ini; adanya kelebihan dan adanya penangguhan. Misalnya emas dengan gandum dan perak dengan sya’ir.

Beberapa Contoh:

1.  Menjual 100 gram emas dengan 100 gram emas yang ditunda setelah sebulan. Hal ini riba, karena tidak langsung serah terima di majlis akad.

2.  Membeli 1 kg sya’ir (salah satu jenis gandum) dengan 1 kg bur (gandum) adalah boleh karena berbeda jenis, namun disyaratkan langsung serah terima di majlis akad.

3.  Menjual 50 kg gandum dengan seekor kambing adalah boleh secara mutlak, baik adanya serah terima di majlis maupun tidak.

4.  Tukar menukar uang dolar, misalnya 100 dolar ditukar dengan 120 dolar. Hal ini tidak boleh.

5.  Meminjamkan 1.000 dolar dengan syarat dikembalikan setelah sebulan atau lebih 1.200 dolar. Hal ini juga tidak boleh.

6.  Menukar 100 dirham perak dengan 10 junaih emas yang akan dibayarkan setelah berlalu setahun. Hal ini tidak boleh, karena harus langsung serah terima.

7.  Jual beli saham bank ribawi juga tidak boleh, karena termasuk menjual uang dengan uang tanpa ada kesamaan dan serah terima.

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa

 

Maraji’: Al Fiqhul Muyassar, Al Mulakhkhash Al Fiqhiy  dll.


[i] Yang lain ada yang berpendapat bahwa 'illat empat barang ini (gandum, sya'ir, tamar/kurma dan garam) adalah sebagai makanan pokok. Oleh karena itu jika terdapat hal yang sama illatnya (yakni sebagai bahan makanan pokok) pada barang-barang selain empat hal tersebut, maka diharamkan juga terjadi kelebihan dan haram terjadi penundaan (yakni harus langsung serah terima). 

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger