Sukses di Bulan Ramadhan

Sabtu, 27 Maret 2021

بسم الله الرحمن الرحيم



Sukses di Bulan Ramadhan

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Berikut kiat memaksimalkan bulan Ramadhan, semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk mengisi Ramadhan dengan sebaik-baiknya.

Ikhwati fillah, di antara sebab seseorang tidak memaksimalkan bulan ramadhan dengan sebaik-baiknya adalah karena tidak mempersiapkan diri menghadapi bulan Ramadhan dan karena ketidaktahuan tentang keutamaan bulan Ramadhan, sehingga ia termasuk orang yang mahrum (malang) dan terhalang dari memperoleh kebaikan yang besar di bulan itu sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

َرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ

“Hinalah seseorang yang memasuki bulan Ramadhan lalu berakhir bulan itu namun dosa-dosanya tidak diampuni.” (Hr. Tirmidzi, dan dinyatakan ‘hasan shahih’ oleh Al Albani)

مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ

Barang siapa yang terhalang dari memperoleh kebaikannya, maka dia adalah orang yang malang. (Hr. Nasa’i, dan dishahihkan oleh Al Albani)

Maka di sini, penulis akan menyebutkan beberapa kiat memaksimalkan bulan Ramadhan.

Kiat Memaksimalkan Bulan ramadhan

1. Bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla

Bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla wajib dilakukan di setiap waktu karena seseorang tidak tahu kapan kematian datang kepadanya,  akan tetapi sebelum memasuki bulan Ramadhan tentu lebih patut lagi agar seseorang lebih siap mengisi hari-harinya dengan berbagai amal saleh. Allah Azza wa Jalla berfirman,

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah wahai orang-orang yang beriman agar kalian beruntung.” (Qs. An Nuur: 31)

Rasulullah shallallahu alahi wa sallam bersabda,

"يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّي أَتُوبُ فِي الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ."

“Wahai manusia! Bertaubatlah kalian kepada Allah. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Nya sehari seratus kali.” (Hr. Muslim)

Di samping itu, pada bulan Ramadhan ada malaikat yang menyeru,

يَا بَاغِيَ الخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ

“Wahai orang yang menginginkan kebaikan! Sambutlah. Wahai orang yang menginginkan keburukan! Berhentilah.” (Hr. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Hakim, dan Baihaqi dari Abu Hurairah)

2. Berdoa kepada Allah Azza wa Jalla

Yakni jangan kita bersandar kepada kemampuan diri kita, tetapi bersandarlah kepada Allah Azza wa Jalla, mintalah kepada-Nya agar diberikan kemudahan untuk beramal saleh. Oleh karena itu, doa yang kita panjatkan kepada Allah adalah meminta kepada-Nya disampaikan ke bulan Ramadhan, meminta kepada-Nya dimudahkan beramal saleh, dan meminta kepada-Nya agar amal saleh kita diterima oleh-Nya. Di antara doa yang ma’tsur (diriwayatkan) dari generasi salaf adalah doa yang dibaca oleh Yahya bin Abi Katsir dan Makhul Asy Syami rahimahumallah,

اَللَّهُمَّ سَلِّمْنِي لِرَمَضَانَ، وَسَلِّمْ رَمَضَانَ لِي، وَتَسَلَّمْهُ مِنِّي مُتَقَبَّلًا

"Ya Allah, jaga diriku hingga aku dapat memasuki bulan Ramadhan, jagalah bulan Ramadhan itu untukku (hingga aku tidak merusak puasa dan ibadahku di bulan itu), dan terimalah dariku amal-amalku." (Hilyatul Auliya)

2. Membiasakan diri beramal saleh sebelum memasuki bulan Ramadhan

Biasakanlah beramal saleh sebelum memasuki bulan Ramadhan agar engkau terbiasa beramal saleh di bulan itu, seperti menambahkan amalan sunah setelah amalan fardhu, memperbanyak membaca Al Qur’an, berpuasa, dan bersedekah.

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata,

وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم اِسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلَّا رَمَضَانَ, وَمَا رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِي شَعْبَانَ

"Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh selain bulan Ramadhan. Aku juga tidak pernah melihat Beliau banyak berpuasa di bulan lain seperti halnya pada bulan Sya’ban.”

Amr bin Qais ketika memasuki bulan Sya’ban menutup tokonya dan fokus membaca Al Qur’an. Ia juga berkata, “Sungguh bahagia orang yang memperbaiki dirinya sebelum tiba bulan Ramadhan.” (Lathaiful Ma’arif hal. 138)

Abu Bakar Al Balkhi berkata, “Bulan Rajab adalah bulan menanam, bulan Sya’ban adalah bulan menyirami tanaman, dan bulan Ramadhan adalah bulan menuai tanaman.”

3. Mengetahui keutamaan bulan Ramadhan

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«أَتَاكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ فَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ، وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ، لِلَّهِ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ»

“Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan; bulan yang penuh keberkahan. Allah Azza wa Jalla mewajibkan kepada kalian berpuasa di bulan itu. Pada bulan itu pintu-pintu langit dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan dibelenggu setan-setan yang durhaka. Demi Allah, di bulan itu ada malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Barang siapa yang terhalang dari memperoleh kebaikannya, maka dia adalah orang yang malang.” (Hr. Nasa’i, dan dishahihkan oleh Al Albani)

Di bulan Ramadhan ada malaikat yang memanggil, “Wahai orang yang ingin kebaikan, bergembiralah!” dan “Wahai orang yang ingin keburukan, berhentilah!”. Di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan, itulah malam Lailatulqadr. Dan keutamaan lainnya seperti doa orang yang berpuasa ketika berbuka mustajab, puasa akan memberikan syafaat kepada pelakunya pada hari Kiamat dan dosa-dosa akan dihapuskan.

Bulan Ramadhan juga menjadi bulan diturunkan Al Qur’an dan kitab-kitab besar sebelumnya. Dalam hadits disebutkan,

أُنْزِلَتْ صُحُفُ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ، وَأُنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لِسِتٍّ مَضَيْنَ مِنْ رَمَضَانَ، وَالْإِنْجِيلُ لِثَلَاثَ عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ، وَأُنْزِلَ الْفُرْقَانُ  لِأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ "

“Diturunkan suhuf Ibrahim alaihis salam pada malam pertama bulan Ramadhan, Taurat pada malam keenam bulan Ramadhan, Injil pada malam ketiga belas Ramadhan, dan Al Furqan (Al Qur’an) diturunkan pada malam kedua puluh empat Ramadhan.” (Hr. Ahmad, didhaifkan oleh pentahqiq Musnad Ahmad, namun dihasankan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 1575)

4. Menjaga diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa, membatalkan pahala puasa, atau mengurangi pahala puasa.

Yang membatalkan puasa misalnya makan, minum, dan muntah dengan disengaja, berjima.

Yang membatalkan pahala puasa seperti dalam hadits berikut:

مَنْ لمَ ْيَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ، فَلَيْس ِللهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barang siapa yang tidak mau meninggalkan berkata dusta dan beramal dengannya, maka Allah tidak lagi butuh ia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari)

Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu berkata, “Puasa itu pada hakikatnya bukan hanya menahan diri dari makan dan minum saja, akan tetapi menahan pula dari dusta, kebatilan, perkara sia-sia, dan sumpah (palsu).” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah)

Mujahid berkata, “Dua perkara yang barang siapa menjaganya, maka akan selamat puasanya, yaitu ghibah dan dusta.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah)

Demikian pula jangan sampai meninggalkan shalat. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«مَنْ تَرَكَ صَلاَةَ العَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ»

“Barang siapa yang meninggalkan shalat, maka hapuslah amalnya.” (Hr. Bukhari dan Nasa’i)

Jika satu shalat fardhu ditinggalkan dapat menghapuskan amal seseorang, lalu bagaimana jika seseorang meninggalkan semua shalat?

Maka dari itu puasa orang yang tidak shalat adalah sia-sia.

Dan hendaknya seseorang juga menjaga dirinya dari perbuatan maksiat lainnya karena dapat mengurangi pahala puasa.

5. Mengetahui adab dan amalan yang disyariatkan pada bulan itu.

Dalam hadits Qudsiy, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ ، فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ، وَلاَ يَجْهَلْ ، فَإِنْ شَاتَمَهُ أَحَدٌ ، أَوْ قَاتَلَهُ ، فَلْيَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، مَرَّتَيْنِ ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ، وَ لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ بِفِطْرِهِ ، وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ "

“Semua amal anak Adam untuknya selain puasa, puasa itu untuk-Ku[i] dan Aku-lah yang akan membalasanya[ii]." Puasa itu perisai[iii], maka jika kamu sedang berpuasa, janganlah berkata rafats[iv], berteriak-teriak dan bersikap bodoh. Jika ada yang memaki atau mengajak bertengkar, katakanlah, “Saya sedang puasa” 2 x, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi (Allah) yang nyawa Muhammad di Tangan-Nya, sungguh bau mulut  orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah pada hari kiamat daripada bau kesturi. Bagi orang  yang berpuasa itu ada dua kegembiraan; kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu Tuhannya dengan puasanya itu.” (HR. Ahmad, Muslim dan Nasa’i)

Di antara adab dan amal saleh lainnya di bulan Ramadhan adalah makan sahur dan mengakhirkannya, bersikap dermawan, berdoa, melakukan shalat tarawih, memperbanyak membaca Al Qur’an, menyegerakan berbuka, berumrah, menjaga lisan dan pandangan, memperbanyak berdoa, beri’tikaf, dan memperbanyak amal saleh lainnya. 

6. Menghadirkan perasaan, bahwa Ramadhan itu adalah Ramadhan terakhirnya.

Betapa banyak saudara-saudara kita yang ternyata Ramadhan kemarin adalah Ramadhan terakhirnya, dan dia tidak berjumpa lagi dengan bulan Ramadhan yang akan datang, maka hadirkanlah perasaan ini agar engkau dapat memaksimalkan bulan Ramadhan bi idznillah.

7. Melihat generasi salaf dalam memaksimalkan bulan Ramadhan

Imam Malik bin Anas rahimahullah biasa memberikan kajian di masjid Nabawi, akan tetapi untuk bulan Ramadhan ia liburkan karena Beliau ingin menyibukkan dengan Al Qur’an, ia meninggalkan menyampaikan hadits dan beralih membaca Al Qur’anul Karim.

Sufyan Ats Tsauri rahimahullah saat memasuki bulan Ramadhan meninggalkan berbagai macam ibadah dan fokus membaca Al Qur’an.

Qatadah biasa mengkhatamkan Al Qur’an sepekan sekali, tetapi ketika memasuki bulan Ramadhan, maka ia mengkhatamkan tiga hari sekali, dan ketika memasuki sepuluh terakhir bulan Ramadhan, maka ia mengkhatamkan sehari sekali.

Ibnu Asakir - penulis Tarikh Dimasyq- rutin melakukan shalat berjamaah, membaca Al Qur’an, mengkhatamkan Al Qur’an sepekan sekali, dan mengkhatamkan Al Qur’an di bulan Ramadhan sehari sekali serta beri’tikaf di menara timur –yakni masjid Jami Damaskus-.”

Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku ingin seseorang menambahkan kedermawanan di bulan Ramadhan mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di samping manusia membutuhkan bantuan di bulan itu untuk maslahat mereka, dan karena kesibukan kebanyakan mereka dengan puasa dan shalat sehingga mereka mengurangi usahanya.”

Ibnu Umar radhiyallahu anhuma biasa berbuka dengan orang-orang miskin.

Ibnu Syihab Az Zuhri berkata tentang bulan Ramadhan, “Ia adalah bulan membaca Al Qur’an dan memberikan makanan.”

Khatimah

Perumpamaan orang yang menyia-nyiakan bulan Ramadhan adalah seperti seorang yang melewati sebuah jalan, lalu di jalan itu ada harta yang melimpah ruah dan ia boleh mengambilnya, di samping mampu mendatanginya, namun ia malah meninggalkannya, maka rugi dan rugilah mereka yang menyia-nyiakan bulan Ramadhan.

Maraji: https://www.alukah.net/sharia/0/104194/  , https://www.alukah.net/spotlight/0/1111/ , Maktabah Syamilah, dll.

Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa


[i] Dihubungkan kepada Allah adalah idhafat tasyrif yakni menunjukkan kemuliaan puasa di atas amalan yang lain..

[ii] Sampai di sinilah hadits qudsiynya, selebihnya hadits nabawi.

[iii] Yakni penghalangnya dari maksiat dan dari api neraka.

[iv] kata-kata jorok yang menjurus ke jima’ atau berkata-kata kotor.

Hukum Seputar Hadiah

Selasa, 23 Maret 2021

 بسم الله الرحمن الرحيم



Hukum Seputar Hadiah

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:

Berikut pembahasan hukum seputar hadiah, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.

Pengantar

Kita mengetahui bahwa Islam datang dengan membawa syariat yang penuh dengan kebaikan dimana dengannya hubungan seseorang kepada orang lain menjadi baik dan mereka akan saling mencintai. Termasuk di antaranya adalah syariat memberi hadiah dan menerimanya. Dengan memberikan hadiah, maka kebencian dan kedengkian yang ada dalam hati menyingkir. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

تَهَادَوْا تَحَابَّوْا

“Salinglah kalian memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (Hr. Abu Ya’la dari Abu Hurairah, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami no. 3004)

«يَا نِسَاءَ المُسْلِمَاتِ، لاَ تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا، وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ»

“Wahai wanita muslimah! Janganlah seorang tetangga menganggap remeh memberikan hadiah kepada tetangganya meskipun hanya memberi kaki kambing (yang sedikit dagingnya).” (Hr. Bukhari dan Muslim)

Aisyah radhiyallahu anha berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam biasa menerima hadiah dan membalasnya.” (Hr. Bukhari)

Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika kedatangan makanan, maka Beliau bertanya, “Hadiahkah atau sedekah (zakat)?” Jika dikatakan ‘sedekah’ (zakat) maka Beliau bersabda kepada para sahabatnya, “Makanlah kalian!” Dan Beliau tidak makan. Tetapi jika dikatakan ‘hadiah’ maka Beliau menjulurkan tangannya  dan ikut makan bersama mereka. (Hr. Bukhari)

Jangan Tolak Hadiah

Nabi shallallahu alaihi wa sallam suka menerima hadiah meskipun kecil. Oleh karenanya Beliau tidak pernah menolak hadiah meskipun ringan seperti minyak wangi. Beliau shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda,

«مَنْ عُرِضَ عَلَيْهِ رَيْحَانٌ فَلَا يَرُدُّهُ، فَإِنَّهُ خَفِيفُ الْمَحْمِلِ طَيِّبُ الرِّيحِ»

“Barang siapa yang ditawarkan wewangian, maka jangan ditolak, karena ia ringan dibawa dan beraroma wangi.” (Hr. Muslim)

Beliau juga bersabda,

ثَلَاثٌ لَا تُرَدُّ: الوَسَائِدُ، وَالدُّهْنُ، وَاللَّبَنُ

“Ada tiga hadiah yang tidak ditolak, yaitu: bantal, wewangian, dan susu.” (Hr. Tirmidzi, dan dihasankan oleh Al Albani)

Demikian pula pemberian ringan lainnya, hendaknya diterima dengan senang hati.

Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda,

لَوْ دُعِيتُ إِلَى ذِرَاعٍ أَوْ كُرَاعٍ لَأَجَبْتُ، وَلَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ أَوْ كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ

“Kalau aku diundang untuk makan paha depan (kambing) atau kaki kambing tentu aku akan datangi. Dan jika aku dihadiahkan paha depan atau kaki kambing, tentu aku terima.” (Hr. Bukhari)

Hadits ini menunjukkan, bahwa hadiah baik besar maupun kecil hendaknya diterima.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga memerintahkan untuk menerima hadiah dan tidak menolaknya, Beliau bersabda,

أَجِيْبُوا الدَّاعِيَ، وَلَا تَرُدُّوا الْهَدِيَّةَ، وَلاَ تَضْرِبُوا الْمُسْلِمِيْنَ

“Penuhilah undangan orang yang mengundang, jangan tolak hadiah, dan jangan pukul kaum muslimin.” (Hr. Bukhari dalam Al Adabul Mufrad, Ahmad, Abu Ya’la, dan Ibnu Abi Syaibah, dishahihkan oleh Al Albani)

Dan jika kita harus menolak hadiah, maka hendaknya kita sampaikan alasannya agar tidak menyakiti hati pemberi hadiah. Dalam hadits Ash Sha’b bin  Jutsamah radhiyallahu anhu disebutkan, bahwa ia pernah menghadiahkan keledai liar kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di Abwa atau Waddan, lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menolaknya, dan saat Beliau melihat wajahnya (bersedih), maka Beliau bersabda, “Ketahuilah, bahwa kami tidaklah menolak hadiahmu melainkan karena kami sedang ihram.”

Hadiah ada yang maksudnya untuk melembutkan hati seseorang menerima dakwah Islam dan ada pula untuk menyingkirkan kebencian dan permusuhan yang ada dalam hati. Ada kisah, bahwa Abu Hanifah pernah dicaci-maki oleh seseorang, maka ia mengirimkan hadiah kepada orang itu, lalu orang yang membencinya itu berubah malah memuji Abu Hanifah.

Demikian pula para ulama sering memberi hadiah kepada para penuntut ilmu untuk mendorong mereka giat menuntut ilmu. Ada kisah Imam Syafi’i yang mendatangi Imam Malik dan menerima Al Muwaththa darinya, lalu Imam Malik memujinya karena pemahaman dan hafalannya, lalu Imam Malik memberinya hadiah yang banyak  saat Imam Syafii hendak pergi. Ketika itu Imam Syafii berkata, “Imam Malik adalah guru dan ustadzku, darinya kami belajar ilmu, dan tidak ada seorang yang lebih besar jasanya kepadaku daripada Imam Malik.”

Ibnul Mubarak rahimahullah juga sering memberikan hadiah kepada kawan-kawannya, terkadang ia mengajak kawan-kawannya rihlah untuk haji dan ia yang menanggung nafkah perjalanannya, bahkan memberikan hadiah sesuai permintaan keluarga mereka, dan ketika sampai di suatu kota, maka ia belikan untuk mereka oleh-oleh kota tersebut.

Hadiah semakin besar nilai dan pahalanya jika ditujukan kepada pihak tertentu. Kepada orang tua jelas lebih besar pahalanya, karena di dalamnya terdapat birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua). Demikian  pula kepada kerabat, karena di dalamnya terdapat menyambung tali silaturrahim, dan kepada istri agar semakin harmonis hubungan rumah tangga.

Suatu ketika Maimunah istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerdekakan budaknya, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَمَا إِنَّكِ لَوْ أَعْطَيْتِهَا أَخْوَالَكِ كَانَ أَعْظَمَ لِأَجْرِكِ

 “Sesungguhnya jika engkau berikan budak itu kepada paman-pamanmu (dari pihak ibu) tentu lebih besar pahalanya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)  

Hadiah yang diberikan kepada sesama muslim akan mempererat persaudaraan dan rasa saling mencintai.

Hadiah yang diberikan kepada orang yang memusuhi, dapat menyingkirkan rasa permusuhannya, dsb. Karena sebab-sebab inilah hadiah disyariatkan.

Hadiah kepada kerabat dan tetangga

Kerabat terdekat lebih didahulukan daripada kerabat yang jauh, dan tetangga yang lebih dekat pintunya lebih didahulukan daripada tetangga yang jauh.

Imam Bukhari meriwayatkan hadits Aisyah radhiyallahu anha ia berkata, “Aku pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, aku punya dua tetangga, ke manakah di antara keduanya aku memberikan hadiah?” Beliau menjawab,

إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا

“Kepada yang lebih dekat pintunya denganmu.”

Menerima hadiah dari wanita jika aman dari fitnah

Imam Ahmad meriwayatkan dengan isnad hasan dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata, “Saudariku mengirimku menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk membawakan hadiah untuk Beliau, lalu Beliau menerimanya.”

Menerima hadiah dari Ahli Kitab dan kaum musyrik

Menerima hadiah dari Ahli Kitab dan kaum musyrik boleh jika di dalamnya tidak ada sikap sogok terhadap agama atau mengakui kebatilan mereka.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah diberi hadiah oleh raja Ailah berupa bigal (hewan yang lahir dari kuda dan keledai) berwarna putih dan kain burdah yang bergaris (sebagaimana dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Abu Humaid As Sa’idiy)

Wanita Yahudi juga pernah menghadiahkan kambing beracun kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan Beliau makan daripadanya (sebagaimana dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari hadits Anas)

Ukaidar dari Dumah juga pernah memberikan hadiah berupa pakaian kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam (sebagaimana dalam Shahih Bukhari secara mu’allaq dan dimaushulkan oleh Muslim dari hadits Anas radhiyallahu anhu).

Muqauqis juga pernah menghadiahkan Mariyah kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Demikian pula boleh memberikan hadiah kepada kaum musyrik. Allah Ta’ala berfirman,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (9)

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil--Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Qs. Al Mumtahanah: 8-9)

Umar pernah menghadiahkan pakaian kepada saudaranya yang masih musyrik di Mekkah sebelum ia masuk Islam (Lihat Shahih Bukhari no. 2619)

Abu Dawud meriwayatkan dengan sanadnya dari Mujahid, bahwa pernah disembelih seekor kambing di tengah keluarga Abdullah bin Amr, saat Abdullah datang ia bertanya, “Apakah kalian telah menghadiahkan kepada tetangga kita yang yahudi? Apakah kalian telah menghadiahkan kepada tetangga kita yang yahudi? Karena aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ

“Jibril senantiasa mewasiatkanku untuk berbuat baik kepada tetangga sehingga aku mengira bahwa ia akan mendapatkan warisan.”

Namun jika hadiah yang diberikan kepada orang kafir dapat membuatnya semakin kuat dan malah mengganggu kaum muslimin, maka tidak boleh diberikan.

Jangan menarik kembali hadiah yang telah diberikan

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

العَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالكَلْبِ يَقِيءُ ثُمَّ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ

“Orang yang menarik kembali hadiahnya seperti anjing yang muntah, lalau menelan kembali muntahnya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)

Jangan mengungkit-ungkit pemberian

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Ada tiga orang yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari Kiamat, tidak diperhatikan, tidak disucikan, dan bagi mereka azab yang pedih.”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan kalimat ini tiga kali, maka Abu Dzar berkata, “Mereka rugi sekali wahai Rasulullah.”

Beliau menjawab,

«الْمُسْبِلُ، وَالْمَنَّانُ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ»

“Yaitu orang yang melabuhkan kainnya (melewati mata kaki dengan sombong), orang yang mengungkit-ungkit pemberian, dan orang yang melariskan barang dagangannya dengan sumpah dusta.” (Hr. Muslim)

Beberapa Keadaan Ketika Hadiah Hukumnya Menjadi Haram

Hadiah bisa berubah hukumnya, yakni menjadi haram ketika mengantarkan kepada yang haram, seperti dalam hal berikut:

1. Hadiah yang berupa risywah (sogokan) agar seseorang bungkam dari menyampaikan yang hak (benar) dan menyetujui kebatilan. Oleh karenanya, Nabi Sulaiman alaihis salam menolak hadiah yang diberikan Ratu Balqis karena dapat membuatnya diam dari menyampaikan kebenaran dan dari dakwah ilallah serta meninggalkan jihad fi sabilillah. Ia bahkan berkata,

أَتُمِدُّونَنِ بِمَالٍ فَمَا آتَانِيَ اللَّهُ خَيْرٌ مِمَّا آتَاكُمْ بَلْ أَنْتُمْ بِهَدِيَّتِكُمْ تَفْرَحُونَ (36) ارْجِعْ إِلَيْهِمْ فَلَنَأْتِيَنَّهُمْ بِجُنُودٍ لَا قِبَلَ لَهُمْ بِهَا وَلَنُخْرِجَنَّهُمْ مِنْهَا أَذِلَّةً وَهُمْ صَاغِرُونَ

"Apakah (patut) kamu membantuku dengan harta? Maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu.--Kembalilah kepada mereka sungguh kami akan mendatangi mereka dengan balatentara yang mereka tidak kuasa melawannya, dan pasti kami akan mengusir mereka dari negeri itu (Saba) dengan terhina dan mereka menjadi (tawanan-tawanan) yang hina dina.” (Qs. An Naml: 36-37)

Termasuk juga penolakan yang dilakukan Raja Najasyi rahimahullah terhadap hadiah dari kaum kafir Quraisy ketika mereka mengirim dua orang duta mereka dengan membawa hadiah untuk para pendeta yang berada di samping beliau dan hadiah khusus untuk beliau agar Beliau mengembalikan kaum muslimin yang berhijrah ke negerinya kepada mereka.

2. Diharamkan pula hadiah jika ditujukan kepada para pegawai, yakni pegawai negara yang ditugaskan memberikan pelayanan kepada manusia dan telah menerima gaji dari negara. Mereka tidak berhak menerima hadiah. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُوْلٌ

“Hadiah untuk para pegawai adalah ghulul (khianat).” (Hr. Ahmad dan Baihaqi dari Abu Humaid As Sa’idiy, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami no. 7021 dan Irwa’ul Ghalil no. 2622)

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang berkhianat, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.” (Qs. Ali Imran: 161)

Oleh karena itu, saat Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengirimkan seseorang untuk mengumpulkan zakat, dan sudah maklum bahwa petugas zakat mempunyai bagian dari zakat karena sebagai ‘amilin, lalu ada di antara masyarakat yang memberinya hadiah, dan ia pulang menghadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam seraya mengatakan, bahwa ‘barang ini untuk kalian, sedangkan yang ini hadiah untukku’, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam marah besar dan menaiki mimbar lalu berkhutbah dan bersabda,

أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ عَلَى العَمَلِ مِمَّا وَلَّانِي اللَّهُ، فَيَأْتِي فَيَقُولُ: هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي، أَفَلاَ جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ، وَاللَّهِ لاَ يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْكُمْ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلَّا لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ، فَلَأَعْرِفَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ، أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ، أَوْ شَاةً تَيْعَرُ

Amma ba’du: sesungguhnya aku mengangkat salah seorang di antara kalian untuk melakukan pekerjaan yang diberikan Allah kepadaku, namun setelah pulang ia berkata, “Ini harta kalian, sedangkan yang ini hadiah untukku.” Mengapa ia tidak duduk di rumah bapak atau ibunya hingga ada hadiah yang datang kepadanya. Demi Allah, tidaklah ada di antara kalian yang mengambil sesuatu dengan tanpa haknya melainkan ia akan menghadap Allah dengan membawa sesuatu itu pada hari Kiamat. Aku benar-benar mengetahui ada seseorang di antara kalian yang menghadap Allah dengan membawa unta yang bersuara, sapi yang bersuara, atau kambing yang bersuara.”

Kemudian Beliau mengangkat tangannya hingga terlihat putih ketiaknya dan bersabda, “Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan?” (Hr. Bukhari dan Muslim)

Jika seorang pegawai hendak mengetahui pemberian yang diberikan kepadanya apakah sebagai hadiah atau sogokan, maka caranya mudah. Yaitu jika ia tidak berada pada jabatan itu atau di atas kursi itu, dan ternyata tidak ada yang memberinya hadiah, maka berarti pemberian pada saat dirinya menjabat atau di atas kursi itu merupakan sogok. Adapun jika hadiah itu dari saudaranya yang sebelumnya biasa memberi hadiah, baik sebelum ia menjabat amanah itu atau pun setelahnya, maka dalam hal ini tidak mengapa menerimanya.

3. Hadiah di pengadilan, yakni tidak boleh bagi hakim menerima hadiah dari seseorang kecuali dari orang yang sebelum ia menjabat sebagai hakim biasa memberi hadiah dengan syarat ketika ia memberi hadiah ia tidak punya permasalahan di sisi hakim.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Jika orang yang diberi hadiah bukan orang yang biasa diberi hadiah sebelum ia menjabat, maka haram baginya menerima hadiah. Jika pemberi hadiah tidak memiliki permasalan di sisi hakim, maka boleh menerimanya. Tetapi jika punya permasalahan di sisi hakim, maka tidak boleh bagi hakim menerima hadiah itu meskipun sebelumnya si pemberi hadiah biasa memberi hadiah sebelum si hakim menjabat sebagai hakim. keduanya adalah syarat.”

Suatu ketika datang seseorang kepada Umar bin Abdul Aziz dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, mengapa engkau tidak menerima hadiah, padahal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menerimanya?” Umar menjawab, “Dulu di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pemberian itu memang hadiah, namun sekarang adalah risywah (sogok). Dahulu mereka memberikan hadiah kepada Beliau karena kenabiannya, namun kami, apa alasan kalian memberi hadiah kepada kami?”

Dan pihak penguasa berhak meminta ditarik hadiah yang diberikan kepada para pegawainya dan mengembalikannya ke Baitul Mal.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Hadiah yang diterima oleh para pejabat dan lainnya dari harta kaum muslimin dengan tanpa hak, maka pihak yang berkuasa (pemerintah) yang adil berhak menariknya dari mereka seperti hadiah yang diambilnya karena sebab pekerjaannya.”

Hadiah (tips) yang diterima mereka itu atau yang kita berikan kepada pegawai negeri khususnya dalam bidang jasa atau pelayanan yang memang seharusnya mereka lakukan seperti ketika mengurus berbagai surat atau berkas dan sebagainya merupakan risywah (sogok) dan haram meskipun dianggap hal biasa.

4. Dalam hal syafaat, yakni menjadi perantara dalam kebaikan atau dalam urusan mubah dengan kedudukan yang dimilikinya juga tidak diperbolehkan mengambil hadiah terhadapnya, karena menjadi perantara terhadapnya adalah zakat terhadap kedudukan yang seharusnya diberikan secara gratis. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«مَنْ شَفَعَ لِأَخِيهِ بِشَفَاعَةٍ، فَأَهْدَى لَهُ هَدِيَّةً عَلَيْهَا فَقَبِلَهَا، فَقَدْ أَتَى بَابًا عَظِيمًا مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا»

“Barang siapa yang memberikan syafaat kepada saudaranya, lalu ia diberi hadiah terhadapnya, maka sesungguhnya ia telah mendatangi satu pintu besar di antara pintu-pintu riba.” (Hr. Ahmad dan Abu Dawud, dihasankan oleh Al Albani no. 3541)

 Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hadiah untuk orang yang memberikan syafaat (menjadi perantara) di hadapan pemerintah dan semisalnya adalah tidak boleh mengambil upah terhadapnya. Sebagian Ahli Fiqih berkata, “Tidak boleh mengambil upah karena menghindarkan kezaliman  dari orang yang terzalimi, bahkan yang wajib adalah dipenuhi hajatnya secara gratis.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga pernah ditanya tentang mengambil upah atau hadiah karena memenuhi kebutuhan orang lain, maka ia menjawab, “Saya berfatwa ‘tidak boleh’.”

Demikianlah yang dinukil dari kaum salaf dan para imamnya.

Ibnu Mas’ud pernah ditanya tentang suht (harta haram), ia menjawab, “Sesungguhnya suht adalah ada seseorang meminta bantuan kepadamu karena kezaliman yang menimpanya, lalu ia memberikan hadiah kepadamu, maka jangan diterima.”

Suatu ketika Masruq rahimahullah menjadi perantara di hadapan Ibnu Ziyad terkait kezaliman yang menimpa seseorang, maka hak orang itu pun dikembalikan, lalu orang itu memberikan hadiah kepada Masruq rahimahullah berupa budak sebagai pembantu, maka Masruq menolaknya dan tidak menerimanya seraya berkata, “Aku mendengar Ibnu Mas’ud berkata, “Barang siapa yang menghindarkan kezaliman dari seorang muslim, lalu ia diberi hadiah karena hal itu baik sedikit atau banyak, maka pemberian itu adalah suht (harta haram).”

Demikianlah perbuatan yang seharusnya dilakukan karena mencari keridhaan Allah tanpa ada maksud dibalas atau disyukuri oleh manusia, seperti menolong orang yang terzalimi, menjadi perantara dalam kebaikan, maka janganlah menerima hadiah terhadapnya. Tetapi jika kita lihat di zaman sekarang, manusia banyak yang mengatakan, “Saya siap menjadi perantara bagimu namun engkau harus berikan saya uang sekian,” padahal jika seseorang hanya menggunakan kedudukannya atau karena memiliki hubungan, maka zakatnya adalah dengan menggunakannya untuk membantu orang lain secara gratis. Kedudukan adalah karunia Allah yang seharusnya digunakannya untuk hal yang mubah atau untuk memberikan manfaat kepada orang lain secara cuma-cuma.

Padahal sesungguhnya manusia akan senantiasa menyebutkan kebaikan seorang pejabat jika ia mau membantu mereka secara cuma-cuma.

Suatu ketika Abdullah bin Rawahah diutus Nabi shallallahu alaihi wa sallam menemui orang-orang Yahudi di Khaibar untuk menghitung persentase yang harus mereka keluarkan dari buah dan tanaman mereka, kemudian ia hendak menyogok Ibnu Rawahah agar meringankan persentase itu, maka Ibnu Rawahah berkata, “Demi Allah, aku datang kepada kalian dari seorang yang paling kucintai dan kalian adalah orang yang paling aku benci daripada monyet dan babi. Akan tetapi kecintaanku kepada Beliau dan kebencianku kepadamu tidak bisa membuatku berlaku tidak adil, maka mereka berkata, “Dengan hal inilah langit dan bumi tegak.”

6. Hadiah juga menjadi haram jika diberikan kepada para pejabat, menteri, dan pihak berwenang seperti hakim, polisi, dan sebagainya agar mereka memberikan kepadamu yang bukan menjadi hakmu atau agar mereka melakukan kecurangan. Ketika ini haram hukumnya memberikan hadiah dan haram bagi mereka menerimanya. Ini disebut juga risywah atau sogok. Abdullah bin Amr radhiyallahu anhu berkata,

«لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي»

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat penyuap dan penerima suap.” (Hr. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)

Kebanyakan Ahli Ilmu berkata, “Ar Rasyi adalah yang memberikan suap, murtasyi adalah yang mengambilnya (menerimanya), sedangkan Ar Raa’isy adalah perantara antara keduanya.”

Mereka juga berkata, “Risywah (sogok) adalah pemberian untuk menyalahkan kebenaran atau membenarkan kebatilan. Adapun pemberian dengan maksud agar seseorang memperoleh haknya atau untuk menghindarkan kezaliman dari dirinya, maka tidak mengapa.”

Faedah/Catatan:

Para ulama juga tidak menerima hadiah karena berfatwa.

Hadiah haram lainnya

Termasuk hadiah yang haram juga adalah hadiah dari si peminjam kepada pemberi pinjaman. Oleh karena itu, tidak boleh bagi peminjam menghadiahkan sesuatu kepada peminjam sebelum ia lunasi utangnya, karena setiap pinjaman yang menarik manfaat adalah riba, dan Nabi  shallallahu alaihi wa sallam melarang menerima hadiah dari peminjam sebelum utang dilunasi, karena terkadang hal tersebut membuat penundaan tempo pembayaran sehingga hadiah itu seakan-akan sebagai bayaran (denda) karena penundaan.

Dan hendaknya seseorang menjaga diri dari mengambil hadiah ketika diminta menjaga amanah agar ia mendapatkan pahala dari sisi Allah Azza wa Jalla.

Demikian pula hendaknya diperhatikan, bahwa jangan sampai kita memberikan hadiah yang haram seperti cincin emas untuk laki-laki, jam emas, dan medali emas untuk laki-laki. Juga tidak boleh menghadiahkan baju sutera untuk laki-laki, hadiah untuk safar ke negeri kafir dan tempat maksiat, dsb. Demikian pula diharamkan hadiah yang berupa alat musik, khamar, patung, dan foto-foto yang diharamkan.

Termasuk hadiah yang diharamkan adalah hadiah yang diberikan pada hari raya orang-orang kafir, seperti saat mereka memperingatkan natal atau pada saat hari valentin.

Catatan:

Dalam memberi hadiah hendaknya diperhatikan, apakah dapat memperbaiki atau malah membuka kerusakan, atau hadiah itu murni membawa kebaikan. Jika malah membuka kerusakan seperti hadiah atau pemberian kepada seorang anak dengan meninggalkan anak-anaknya yang lain atau tidak adil maka tidak diperbolehkan.

عَنِ اَلنُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- أَنَّ أَبَاهُ أَتَى بِهِ رَسُولَ اَللَّهِ r فَقَالَ : إِنِّي نَحَلْتُ اِبْنِي هَذَا غُلَامًا كَانَ لِي، فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r " أَكُلُّ وَلَدِكَ نَحَلْتَهُ مِثْلَ هَذَا" ?. فَقَالَ : لَا . فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r " فَارْجِعْهُ" وَفِي لَفْظٍ : فَانْطَلَقَ أَبِي إِلَى اَلنَّبِيِّ r لِيُشْهِدَهُ عَلَى صَدَقَتِي. فَقَالَ : " أَفَعَلْتَ هَذَا بِوَلَدِكَ كُلِّهِمْ"?. قَالَ : لَا. قَالَ: " اِتَّقُوا اَللَّهَ , وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلَادِكُمْ " فَرَجَعَ أَبِي, فَرَدَّ تِلْكَ اَلصَّدَقَةَ  مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ قَالَ : فَأَشْهِدْ عَلَى هَذَا غَيْرِي" ثُمَّ قَالَ : " أَيَسُرُّكَ أَنْ يَكُونُوا لَكَ فِي اَلْبِرِّ سَوَاءً"? قَالَ : بَلَى . قَالَ : " فَلَا إِذًا

Dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu 'anhu, bahwa bapaknya pernah membawanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, ia berkata, “Sesungguhnya saya memberikan kepada anakku ini seorang budak milikku, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Apakah semua anakmu kamu berikan seperti ini?” Ia menjawab, “Tidak”, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun bersabda, “Kembalikan.” Dalam sebuah lafaz disebutkan, “Bapakku pergi menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk memnta persaksian terhadap pemberiannya, maka Beliau bersabda, “Apakah kamu lakukan hal yang sama kepada anakmu yang lain?” Ia menjawab, “Tidak” maka Beliau bersabda, “Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah kepada anakmu”, bapaknya pun menarik kembali pemberiannya.” (Muttafaq 'alaih, sedangkan dalam riwayat Muslim disebutkan “Mintalah jadi saksi kepada selainku,” lalu Beliau bersabda, “Sukakah kamu kalau anak-anakmu berbakti semua kepadamu?” Ia menjawab, “Ya” maka Beliau bersabda, “Kalau begitu jangan berikan.”)

Hukum menerima uang tips

Seorang pegawai/pekerja yang sudah mendapatkan gaji dari perusahaan tidak boleh meminta tips kepada konsumen atau pelanggan. Dan jika pelanggan menerima tips tanpa memintanya, maka dia harus menyampaikan kepada pihak atasan. Jika atasannya mengizinkan, maka boleh diambilnya dan halal. Dalam hadits disebutkan,

عَنْ عَدِيِّ بْنِ عَمِيرَةَ الْكِنْدِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ، فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا، فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ» ، قَالَ: فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ أَسْوَدُ مِنَ الْأَنْصَارِ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، اقْبَلْ عَنِّي عَمَلَكَ، قَالَ: «وَمَا لَكَ؟» قَالَ: سَمِعْتُكَ تَقُولُ: كَذَا وَكَذَا، قَالَ: «وَأَنَا أَقُولُهُ الْآنَ، مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ، فَلْيَجِئْ بِقَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ، فَمَا أُوتِيَ مِنْهُ أَخَذَ، وَمَا نُهِيَ عَنْهُ انْتَهَى»

Dari Addi bin Amirah Al Kindiy ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang kami angkat sebagai pegawai terhadap suatu pekerjaan, lalu ia menyembunyikan kepada kami barang sebuah jarum atau di atasnya, maka merupakan bentuk pengkhianatan yang akan ia bawa pada hari Kiamat, lalu ada seorang Anshar berkulit hitam yang sepertinya aku melihatnya berkata, “Wahai Rasulullah, ambillah lagi tugas yang engkau berikan kepadaku.” Beliau pun bertanya, “Ada apa denganmu?” Ia menjawab, “Tadi aku mendengar engkau bersabda begini dan begitu.” Beliau bersabda, “Aku memang bersabda demikian. Sekarang siapa saja yang kami angkat sebagai pegawai terhadap suatu tugas, maka bawalah semua hasilnya sedikit atau banyak. Jika ia diberi daripadanya, maka silahkan ambil, dan jika dilarang, maka jangan ambi.” (Hr. Muslim dan Abu Dawud)

Ibnu Baththal berkata, “Hadiah pegawai harus diserahkan kepada Baitul Mal, dan pegawai tidak berhak sedikit pun daripadanya kecuali jika mereka meminta izin kepada imam sebagaimana dalam kisah Mu’adz, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengaggap baik hadiahnya.”   

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa

Maraji: https://almunajjid.com/speeches/lessons/574  , https://ar.islamway.net/article/70783/%D8%A7%D9%84%D9%87%D8%AF%D9%8A%D8%A9-%D9%88%D8%A3%D8%AD%D9%83%D8%A7%D9%85%D9%87%D8%A7 , Fiqhul Mu’amalat bainal Mu’minin wal Mu’minat (Syaikh Mushthafa Al Adawi), Maktabah Syamilah, dll. 
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger