Syarah Kitab Tauhid (28)

Senin, 27 Februari 2017
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫من اتى عرافا‬‎
Syarah Kitab Tauhid (28)
(Tentang Dukun, Peramal, dsb.)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At Tamimi rahimahullah, yang banyak kami rujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
**********
Bab : Dukun, Tukang Ramal, dan sejenisnya
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari salah seorang istri Nabi shallallahu alahi wa sallam, dari Nabi shallallahu alaihi wa salam, bahwa Beliau bersabda,
«مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً»
“Barang siapa yang mendatangi peramal, lalu bertanya tentang sesuatu, maka tidak diterima shalatnya selama 40 hari.”
**********
Penjelasan:
Hadits di atas diriwayatkan oleh Muslim no. 2230 dan Ahmad no. 16638.
Istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang meriwayatkan hadits di atas adalah Hafshah radhiyallahu anha.
Kahin atau dukun adalah orang yang memberitahukan hal gaib di masa mendatang dengan meminta bantuan kepada setan.
Arraf atau peramal adalah Ahli nujum atau orang yang menerka-nerka dan mengaku mengetahui yang gaib. Menurut Al Khaththabi, ‘arraf adalah orang yang mengaku tahu di mana letak barang yang dicuri berada, dan di mana keberadaan hewannya yang hilang, dsb.
Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberikan ancaman kepada orang yang mendatangi dukun atau peramal untuk bertanya hal gaib, bahwa orang tersebut tidak akan mendapatkan pahala dari shalatnya yang ia lakukan selama 40 hari, karena amal salehnya itu dicampuri oleh maksiat. Hal ini menunjukkan dilarangnya perbuatan tersebut, dan bahwa hal tersebut merupakan dosa besar. Jika demikian sanksi bagi orang yang mendatangi dukun dan peramal, lalu bagaimanakah sanksi bagi dukun atau peramal itu? Tentu lebih berat lagi, wal ‘iyadz billah.
Sebagian ulama ada yang menerangkan, bahwa sanksi tidak diterima shalatnya selama 40 hari adalah bagi orang yang sekedar bertanya kepada dukun atau peramal. Jika sampai membenarkan, maka hal itu merupakan kekufuran. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى كَاهِنًا، أَوْ عَرَّافًا، فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barang siapa yang mendatangi dukun atau peramal, lalu membenarkan kata-katanya, maka ia telah kufur kepada wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.” (Hr. Ahmad no 9536, dan dinyatakan hasan oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah)
Kesimpulan:
1.    Larangan pergi ke dukun, peramal, dan sejenisnya.
2.    Haramnya perdukunan dan ramalan, dan bahwa hal itu termasuk dosa besar.
**********
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
مَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barang siapa yang mendatangi dukun, lalu membenarkan kata-katanya, maka sungguh ia telah kufur kepada wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.” (Hr. Abu Dawud)
Dalam riwayat empat imam Ahli Hadits dan juga Hakim ia berkata, “Shahih sesuai syarat keduanya (Bukhari-Muslim),” dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam disebutkan,
مَنْ أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا ، فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barang siapa yang mendatangi peramal atau dukun, lalu membenarkan kata-katanya, maka ia telah kufur kepada wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.”
Diriwayatkan pula oleh Abu Ya’la dengan sanad yang jayyid dari Ibnu Mas’ud secara mauquf (sampai kepada sahabat).
**********
Penjelasan:
Riwayat yang pertama disebutkan oleh Abu Dawud di no. 3904, dan Ahmad dalam Musnadnya 2/408, 429, 476.
Riwayat kedua disebutkan oleh Hakim dalam Al Mustadrak 1/8, dan Ahmad dalam Musnadnya 2/429, dinyatakan sebagai hadits hasan oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah.
Riwayat ketiga disebutkan oleh Abu Ya’la dalam Musnadnya no. 5408, dan Al Bazzar sebagaimana dalam Al Kasyf no. 2067. Al Haitsami dalam Majma’uz Zawaid 5/118 berkata, “Diriwayatkan oleh Al Bazzar, para perawinya adalah para perawi kitab Shahih selain Hubairah bin Yuraim, ia adalah seorang yang tsiqah.”
Dalam hadits di atas terdapat larangan keras mendatangi dukun dan peramal untuk bertanya kepada mereka tentang hal-hal gaib, serta membenarkannya. Hal itu, karena hal yang gaib hanya diketahui oleh Allah saja, maka barang siapa yang mendatangi untuk bertanya sesuatu dan membenarkan, sama saja telah kufur kepada wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
Kesimpulan:
1.      Haramnya datang ke dukun dan peramal, serta bertanya kepada mereka, dan wajibnya menjauhi mereka.
2.      Membenarkan dukun dan peramal sama saja kufur kepada wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
3.      Wajibnya mendustakan para dukun dan peramal.
4.      Barang siapa yang mendatangi dukun dan peramal serta membenarkan kata-katanya, maka sama saja telah kufur kepada wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
5.      Perdukunan adalah kemusyrikan, karena di dalamnya terdapat pengakuan mengetahui yang gaib.
**********
Dari Imran bin Hushain radhiyallahu anhu secara marfu  (dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda),
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَطَيَّرَ أَوْ تُطُيِّرَ لَهُ، أَوْ تَكَهَّنَ أَوْ تُكُهِّنَ لَهُ، أَوْ سَحَرَ أَوْ سُحِرَ لَهُ، وَمَنْ أَتَى كَاهِناً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-
Bukan termasuk golongan kami orang yang melakukan tathayyur (meramal nasib dengan terbangnya burung) atau minta dilakukan tathayyur, meramal atau minta diramal, menyihir atau minta disihirkan. Barang siapa yang mendatangi dukun dan membenarkan kata-katanya, maka ia telah kufur kepada wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.” (Hr. Al Bazzar dengan isnad yang jayyid. Thabrani juga meriwayatkan dalam Al Awsath dengan isnad yang hasan dari hadits Ibnu Abbas tanpa kalimat “Barang siapa yang mendatangi...dst.”)
Al Baghawi berkata, “Arraf adalah orang yang mengaku tahu banyak hal dengan menggunakan isyarat-isyarat yang dipergunakan untuk mengetahui barang curian atau tempat barang yang hilang dan sebagainya. Ada pula yang mengatakan, bahwa ‘araf adalah kahin (dukun).”
Kahin (dukun) adalah sebutan untuk orang yang memberitahukan hal-hal gaib di masa mendatang. Ada pula yang mengatakan, bahwa kahin adalah orang yang memberitahukan tentang isi hati seseorang.
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah berkata, “Arraf adalah sebutan untuk kahin (dukun), munajjim (ahli nujum), peramal nasib dan sejenisnya yang mengaku mengetahui yang gaib dengan cara-cara itu.”
**********
Penjelasan:
Tentang hadits di atas, Al Haitsami dalam Majma’uz Zawaid (5/177) berkata, “Diriwayatkan oleh Al Bazzar, para perawinya adalah para perawi kitab shahih selain Ishaq bin Rabi, ia adalah seorang yang tsiqah.”
Syaikh Al Albani menshahihkan hadits di atas dalam Shahihul Jami no. 5435.
Maksud “Bukan termasuk golongan kami,” adalah bahwa orang tersebut bukan termasuk pengikut kami dan bukan termasuk orang yang mengikuti jejak kami.
Dalam hadits di atas Nabi shallallahu alaihi wa sallam menerangkan, bahwa bukan termasuk pengikut Beliau orang yang melakukan tathayyur atau meminta dilakukan tathayyur dst. Hal itu, karena di dalamnya terdapat pengakuan mengetahui yang gaib, padahal hanya Allah yang mengetahui yang gaib. Di samping itu, di dalamnya terdapat bentuk merusak akidah dan akal sehat. Oleh karena itu, barang siapa yang membenarkan itu semua, maka sama saja telah kufur kepada wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, dimana wahyu itu diturunkan untuk membatalkan kebiasaan buruk kaum Jahiliyah ini serta menjaga akal sehat manusia.
Termasuk ke dalam tathayyur juga adalah meramal nasib dengan membaca telapak tangan atau dengan bintang (zodiak).
Dalam hadits di atas juga terdapat larangan keras terhadap praktek perdukunan dan sejenisnya, serta larangan membenarkannya.
Kesimpulan:
1.      Haramnya mengaku tahu yang gaib, karena hal itu bertentangan dengan tauhid.
2.      Haramnya membenarkan orang yang melakukan hal itu, baik berupa perdukunan maupun ramalan, karena hal itu merupakan kekafiran.
3.      Wajibnya mendustakan dukun dan sejenisnya, menjauhi mereka dan menjauhi ilmu yang mereka pelajari.
4.      Wajibnya berpegang dengan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam (Al Qur’an dan As Sunnah) serta membuang semua yang menyelisihinya.
**********
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata tentang orang yang menulis huruf-huruf “أبا جاد” sambil meramal dengannya dan memperhatikan bintang-bintang, “Menurutku, orang yang melakukan demikian tidak memiliki bagian (keuntungan) di sisi Allah.”
**********
Penjelasan:
Atsar di atas diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, dan Baihaqi. Atsar ini dinyatakan shahih namun mauquf (sampai pada Ibnu Abbas saja) oleh Muhammad Al ‘Allawiy.
Atsar di atas menunjukkan, bahwa orang yang menulis huruf “أبا جاد” dan memperhatikan bintang-bintang untuk meramal sambil meyakini bahwa itu semua memiliki pengaruh, maka sama saja melakukan ramalan dan perdukunan, dan berarti ia telah menghilangkan keberuntungannya di sisi Allah Azza wa Jalla.
Kesimpulan:
1.      Haramnya mempelajari “أبا جاد” untuk meramal. Adapun mempelajari huruf-huruf itu untuk hitungan (matematika), maka tidak mengapa.
2.      Haramnya ilmu nujum, karena dapat mengantarkan kepada perbuatan syirik.
3.      Tidak terpedaya dengan pengetahuan yang dimiliki orang-orang yang berada di atas kebatilan, karena hal itu sekedar istidraj (penangguhan kepada kebinasaan).
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan), Syarh Kitab Tauhid (Syaikh Abdul Aziz bin Baz, takhrij M. Al ‘Allawi), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.

Terjemah Umdatul Ahkam (11)

Senin, 20 Februari 2017
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫التحيات لله والصلوات والطيبات كامله‬‎
Terjemah Umdatul Ahkam (11)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan terjemah Umdatul Ahkam karya Imam Abdul Ghani Al Maqdisi (541 H – 600 H) rahimahullah. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penerjemahan kitab ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Bab Tasyahhud
125 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بنِ مَسْعُودٍ - رضي الله عنه - قَالَ: ((عَلَّمَنِي رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - التَّشَهُّدَ - كَفِّي بَيْنَ كَفَّيْهِ - كَمَا يُعَلِّمُنِي السُّورَةَ مِنْ الْقُرْآنِ: التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ , وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ , السَّلامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ. السَّلامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ. أَشْهَدُ أَنْ لا إلَهَ إلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ))
125. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan kepadaku tasyahhud, ketika itu telapak tanganku di antara kedua telapaknya sebagaimana Beliau mengajarkan kepadaku satu surat dari Al Qur’an, yaitu, “At Tahiyyatu lillah…dst.” (artinya: “Segala pengagungan untuk Allah serta semua ibadah badan dan ucapan, salam atasmu wahai Nabi, serta rahmat Allah dan berkah-Nya semoga dilimpahkan kepadamu. Salam untuk kami dan untuk hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya).
126 - وَفِي لَفْظٍ: ((إذَا قَعَدَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلاةِ فَلْيَقُلْ: التَّحِيَّاتُ للهِ - وَذَكَرَهُ - وَفِيهِ: فَإِنَّكُمْ إذَا فَعَلْتُمْ ذَلِكَ فَقَدْ سَلَّمْتُمْ عَلَى كُلِّ عَبْدٍ صَالِحٍ فِي السَّمَاءِ وَالأَرْضِ - وَفِيهِ - فَلْيَتَخَيَّرْ مِنْ الْمَسْأَلَةِ مَا شَاءَ))
126. Dalam sebuah lafaz disebutkan, “Apabila salah seorang di antara kamu duduk dalam shalat, maka ucapkanlah, “At Tahiyyatu lillah…dst.” Beliau juga bersabda, “Karena jika kamu mengucapkan demikian, maka kamu sama saja telah mengucapkan salam kepada semua hamba yang saleh baik di langit maupun di bumi.” Beliau juga bersabda, “Selanjutnya, pilihlah permintaan yang ia inginkan.”
127 - عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى قَالَ: ((لَقِيَنِي كَعْبُ بْنُ عُجْرَةَ فَقَالَ أَلا أُهْدِي لَكَ هَدِيَّةً؟ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم خَرَجَ عَلَيْنَا , فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ , قَدْ عَلَّمَنَا اللَّهُ كَيْفَ نُسَلِّمُ عَلَيْكَ: فَكَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ؟ فَقَالَ: قُولُوا: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ , كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إبْرَاهِيمَ إنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ , وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ , كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إبْرَاهِيمَ إنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ)) .
127. Dari Abdurrahman bin Abi Laila ia berkata, “Ka’ab bin Ujrah pernah menemuiku dan berkata, “Maukah engkau aku beri hadiah? Suatu ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam keluar menemui kami, lalu kami berkata, “Wahai Rasulullah, Allah telah mengajarkan kepada kami bagaimana kami mengucapkan salam kepadamu, lalu bagaimana cara kami bershalawat kepadamu?” Beliau bersabda, “Ucapkanlah, “Allahumma shalli alaa Muhammad …dst.” (artinya: “Ya Allah, berilah shalawat (rahmat dan pujian,) kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah berikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Berilah pula keberkahan kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah berikan keberkahan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau maha Terpuji lagi Maha Mulia.).
128 - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: ((كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَدْعُو: اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ , وَعَذَابِ النَّارِ , وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ , وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ)) .
وَفِي لَفْظٍ لِمُسْلِمٍ: ((إذَا تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَعِذْ بِاَللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ , يَقُولُ: اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ)) .
128. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam biasa berdoa, “Allahumma inni a’udzu bika…dst.” (artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur, azab neraka, fitnah (cobaan) hidup dan mati, dan dari fitnah Al Masih Ad Dajjal).”
Dalam lafaz Muslim disebutkan, “Apabila salah seorang di antara kamu bertasyahhud, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari empat perkata, yaitu dengan mengucapkan, “Allahumma inni a’udzu bika min adzab Jahannam…dst.”
129 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رضي الله عنهم أَنَّهُ قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -: ((عَلِّمْنِي دُعَاءً أَدْعُو بِهِ فِي صَلاتِي. قَالَ: قُلْ: اللَّهُمَّ إنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْماً كَثِيرَاً. وَلا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إلاَّ أَنْتَ. فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ. وَارْحَمْنِي , إنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ)) .
129. Dari Abdullah bin Amr bin Ash, dari Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu anhum, bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Ajarkanlah aku doa yang dapat aku baca dalam shalatku,” Beliau bersabda, “Ucapkanlah, “Allahumma inni zhalamtu nafsi…dst.” (artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku dengan kezaliman yang banyak. Tidak ada yang dapat mengampuni dosa melainkan Engkau. Ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu dan sayangilah aku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang).
130 - عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: ((مَا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - بَعْدَ أَنْ نَزَلَتْ عَلَيْهِ «إذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ» - إلاَّ يَقُولُ فِيهَا: سُبْحَانَكَ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ , اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي))
وَفِي لَفْظٍ: ((كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ فِي رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ: سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ , اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي))
130. Dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata, “Setelah turun ayat “Idzaa jaa’a nashrullahi wal fat-h” (Qs. An Nashr) Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selalu membaca dalam shalat, “Subhanaka Rabbanaa…dst.” (artinya: Mahasuci Engkau wahai Tuhan kami, dan dengan memuji-Mu, maka ampunilah aku).
Dalam sebuah lafaz disebutkan, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam banyak membaca dalam ruku dan sujudnya, “Subhaanakallahumma….dst.” (artinya: Mahasuci Engkau wahai Allah Tuhan kami, dan dengan memuji-Mu, maka ampunilah aku).
Bab Shalat Witir
131 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ: ((سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ - مَا تَرَى فِي صَلاةِ اللَّيْلِ؟ قَالَ: مَثْنَى , مَثْنَى. فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى وَاحِدَةً. فَأَوْتَرَتْ لَهُ مَا صَلَّى. وَإِنَّهُ كَانَ يَقُولُ: اجْعَلُوا آخِرَ صَلاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْراً)) .
131. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma ia berkata, “Ada seorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam saat Beliau berada di atas mimbar, “Apa sabdamu tentang shalat malam?” Beliau menjawab, “Dua rakaat, dua rakaat. Jika salah seorang di antara kamu khawatir tiba waktu Subuh, maka ia kerjakan shalat Subuh satu rakaat saja untuk mengganjilkan shalat malam yang ia lakukan.” Beliau juga bersabda, “Jadikanlah akhir shalatmu di malam hari adalah shalat witir.”
132 - عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: ((مِنْ كُلِّ اللَّيْلِ أَوْتَرَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -: مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ , وَأَوْسَطِهِ , وَآخِرِهِ. وَانْتَهَى وِتْرُهُ إلَى السَّحَرِ)) .
 132. Dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata, “Pada setiap malam, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berwitir, terkadang di awal malam, di tengahnya, dan di akhirnya, namun keadaan Beliau yang terakhir adalah berwitir menjelang waktu sahur (di akhir malam).”
133 - عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: ((كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ ثَلاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْ ذَلِكَ بِخَمْسٍ , لايَجْلِسُ فِي شَيْءٍ إلاَّ فِي آخِرِهَا)) .
133. Dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam shalat malam tiga belas rakaat, berwitir lima rakaat, dan tidak duduk tasyahhud kecuali di rakaat terakhir.”
Bab Dzikr Setelah Shalat
134 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما: ((أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ , حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -)) . قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: «كُنْتُ أَعْلَمُ إذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إذَا سَمِعْتُهُ» . وَفِي لَفْظٍ «مَا كُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاةِ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - بِالتَّكْبِيرِ» .
134. Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma, bahwa mengeraskan suara dzikr setelah orang-orang selesai shalat fardhu terjadi di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ibnu Abbas berkata, “Aku mengetahui selesainya shalat mereka ketika mendengar suara itu.” Dalam sebuah lafaz disebutkan, “Kami tidak mengetahui selesainya shalat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melainkan dengan terdengarnya suara takbir.”
135 - عَنْ وَرَّادٍ مَوْلَى الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ: أَمْلَى عَلَيَّ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ مِنْ كِتَابٍ إلَى مُعَاوِيَةَ: ((إنَّ النَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يَقُولُ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاةٍ مَكْتُوبَةٍ: " لا إلَهَ إلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ , وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٍ. اللَّهُمَّ لا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ , وَلا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ)) . ثُمَّ وَفَدْتُ بَعْدَ ذَلِكَ عَلَى مُعَاوِيَةَ فَسَمِعْتُهُ يَأْمُرُ النَّاسَ بِذَلِكَ.
وَفِي لَفْظٍ: ((كَانَ يَنْهَى عَنْ قِيلَ وَقَالَ , وَإِضَاعَةِ الْمَالِ , وَكَثْرَةِ السُّؤَالِ وَكَانَ يَنْهَى عَنْ عُقُوقِ الأُمَّهَاتِ , وَوَأْدِ الْبَنَاتِ , وَمَنْعٍ وَهَاتِ)) .
 135. Dari Warrad maula Mughirah bin Syu’bah ia berkata, “Mughirah bin Syu’bah pernah mendiktekan surat kepadaku untuk disampaikan kepada Mu’awiyah yang isinya, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam setiap selesai shalat fardhu mencucapkan, “Laailaahaillallahu wahdahu…dst.” (artinya: “Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan dan milik-Nya segala pujian. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan dan tidak ada yang dapat memberikan jika Engkau menghalangi serta tidaklah bermanfaat bagi seseorang kekayaannya (yang bermanfaat adalah iman dan amal saleh).” Setelah itu aku datang menghadap Mu’awiyah sebagai delegasi dan aku mendengar Mu’awiyah memerintahkan demikian kepada manusia. Dalam sebuah lafaz juga disebutkan, “Beliau melarang menyampaikan ‘dikatakan demikian dan katanya demikian’ (ucapan yang tidak berguna), menyia-nyiakan harta, banyak bertanya, dan melarang pula durhaka kepada orang tua, mengubur hidup-hidup anak perempuan, serta bersikap bakhil dan rakus terhadap harta.”
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Penerjemah:
Marwan bin Musa
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger