بسم الله الرحمن الرحيم
Keteladanan
Kaum Salaf Dalam Keikhlasan
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berpegang teguh dengan Kitabullah dan
Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman Salafush
Shalih merupakan bahtera penyelamat bagi orang yang menginginkan keselamatan
bagi dirinya. Dan yang dimaksud dengan As Salafush Shalih adalah tiga
generasi pertama Islam di bawah bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan orang-orang yang setelahnya, yaitu para sahabat dan para tabi’in.
Ada hal penting berkaitan dengan
manhaj Salafush Shalih yang kurang mendapatkan perhatian, padahal kita semua menyadari
kadar urgensinya dan bahwa itu termasuk asas manhaj mereka. Hal tersebut adalah
akhlak dan etika para salafush shalih. Sudah menjadi maklum, bahwa ketika kita
membicarakan manhaj Salafush shalih, maka yang dimaksud bukan hanya ilmu saja,
tetapi mencakup akidah, cara pandang, tingkah laku, dan akhlak mereka. Oleh
karena itu, para ulama Ahlussunnah ketika menyampaikan materi akidah
Ahlussunnah, maka mereka menyertakan pula materi akhlak Ahlussunnah. Hal ini
sebagaimana yang termaktub dalam beberapa kitab akidah, seperti Aqidah
Wasithiyyah, Aqidah Thahawiyyah, Aqidatussalaf wa Ashabil hadits, dan
lain-lain.
Imam Ash Shabuni berkata, “Mereka
saling mengingatkan untuk melakukan qiyamullail setelah tidur, menyambung tali
silaturrahim dalam berbagai keadaan, menyebarkan salam, memberikan makan,
menyayangi kaum fakir-miskin dan anak yatim...dst.” (Aqidatussalaf wa
Ashabil Hadits hal. 86 Cet. Mu’assasah Al Basya’ir Al ‘Alamiyyah)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah setelah
menyebutkan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah berkata, “Kemudian setelah mereka meyakini
prinsip-prinsip ini, mereka melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar sebagaimana
yang diperintahkan syariat, memandang wajibnya haji, berjihad, berjamaah, dan
berhari raya bersama pemerintah yang baik maupun yang buruk. Mereka juga
menjaga shalat berjamaah dan memberikan nasihat kepada umat, serta menghayati
kandungan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang mukmin satu sama
lain seperti bangunan yang tersusun; satu sama lain saling menguatkan,”
kemudian Beliau menganyam jari-jemarinya...dst.” (Syarhul Aqidatil
Wasithiyyah hal. 155 cet. Idarah Ihya’is Sunnah). [i]
Berikut ini contoh keteladanan kaum
Salaf dalam keikhlasan yang kami ambil dari kitab Aina Nahnu Min Akhlaqis
Salaf karya Abdul Aziz Al Julail dan Bahauddin Aqil, semoga Allah
menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
amin.
Keteladanan kaum
salaf dalam keikhlasan
Ar Rabi’ bin
Khutsaim pernah berkata, “Semua yang tidak diniatkan karena mencari
keridhaan Allah Azza wa Jalla akan sia-sia.” (Shifatush Shafwah
3/61).
Bakr bin Ma’iz
pernah berkata, “Ar Rabi’ tidak pernah terlihat shalat sunat di masjid kampungnya
kecuali sekali.” (Shifatush Shafwah 3/61).
Sufyan berkata, “Budak
Ar Rabi’ bin Khutsaim pernah berkata, “Amal yang dilakukan Ar Rabi’ semuanya
tersembunyi. Pernah ada seorang yang datang saat ia membuka mushaf, lalu ia
tutup dengan bajunya.” (Shifatush Shafwah 3/61)
Musa bin Mu’alla
pernah berkata, “Hudzaifah pernah menasihatiku, “Wahai Musa, ada tiga hal. Jika
ketiga hal itu ada pada dirimu, maka tidak ada kebaikan yang turun dari langit
kecuali engkau memperoleh bagiannya; hendaknya amal yang kamu lakukan ikhlas
karena Allah Azza wa Jalla, hendaknya kamu mencintai kebaikan untuk manusia
sebagaimana kamu mencintai kebaikan
untuk dirimu, dan hendaknya makananmu adalah makanan yang telah engkau
jamin kehalalannya semampumu.” (Shifatush Shafwah 4/269).
Abu Ja’far Al
Hadzdza’ berkata, “Aku mendengar Ibnu Uyaynah berkata, “Jika batin sama dengan
lahiriah, maka itulah adil. Jika batin lebih baik daripada lahiriah, maka
itulah keutamaan. Dan jika lahiriah lebih utama daripada batinnya, maka itu
adalah keculasan.” (Shifatush Shafwah 2/234)
Abu Hamzah Ats
Tsumaliy berkata, “Ali bin Al Husain biasa membawa sekarung roti di atas
punggungnya di malam hari, lalu ia sedekahkan.” Ia berkata, “Sesungguhnya
sedekah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dapat memadamkan kemurkaan Ar
Rabb Azza wa Jalla.” (Shifatush Shafwah 2/96).
Amr bin Tsabit
berkata, “Ketika Ali bin Al Husain wafat, maka orang-orang memandikannya, dan
mereka melihat ada bekas hitam di punggungnya, lalu mereka berkata, “Apa ini?”
Lalu diberitahukan, “Dia biasa memikul karung berisi tepung di malam hari di
atas punggungnya, lalu ia memberikannya kepada kaum fakir yang berada di
Madinah.” (Shifatush Shafwah 2/96).
Ibnu Aisyah
berkata, “Ayahku berkata, “Aku mendengar penduduk Madinah mengatakan, “Kami
tidak kehilangan sedekah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi sampai wafat
Ali bin Al Husain.” (Shifatush Shafwah 2/96).
Muhammad bin Malik
bin Dhaigham berkata, “Telah menceritakan kepadaku maula (tuan) kita Abu Ayyub,
“Suatu hari Abu Malik pernah berkata kepadaku, “Wahai Abu Ayyub, waspadailah
bahaya nafsumu terhadap dirimu, karena aku melihat penderitaan kaum mukmin di
dunia tidak ada habis-habisnya. Demi Allah, jika akhirat tidak datang kepada
seorang mukmin dengan membawa kebahagiaan, maka akan berkumpul padanya dua
perkara; penderitaan dunia dan kesengsaraan di akhirat.” Aku pun berkata,
“Biarlah ayahku menjadi tebusanmu, bagaimana akhirat tidak datang kepada
seorang mukmin dengan membawa kebahagiaan padahal ia telah bersusah payah
menghadap Allah di dunia dan bekerja keras?” Ia menjawab, “Wahai Abu Ayyub,
apakah sudah pasti diterima dan sudah pasti selamat?” Selanjutnya ia berkata,
“Betapa banyak orang yang menyangka bahwa dirinya telah berbuat baik, berkurban
dengan baik, berniat baik, dan beramal baik, lalu semua itu dikumpulkan pada
hari Kiamat dan dilempar ke mukanya (tidak diterima).” (Sifatush Shofwah
3/360)
Adz Dzahabiy
berkata, “Telah menceritakan kepada kami Ahmad, telah menceritakan kepada kami
Hammad, dari Ayyub, ia berkata, “Aku pernah mendapatkan ada orang di sini yang ucapannya, “Jika sudah
diputuskan dan ditakdirkan...dst.” Orang itu juga mengatakan, “Hendaklah
seseorang bertakwa kepada Allah. Janganlah ia menjadikan zuhud[ii] yang dilakukannya sebagai
kesusahan bagi manusia. Sungguh, jika seseorang menyembunyikan zuhudnya jauh
lebih baik daripada ia menampakkannya.” (Siyar A’laamin Nubala 6/19).
Muhammad bin Al
Mutsanna berkata, “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Sinan, ia
berkata, “Aku pernah bersama Ibnul Mubarak dan Mu’tamir bin Sulaiman di
Tharsus, lalu orang-orang berteriak, “Musuh!” Maka Ibnul Mubarak pun keluar
bersama kaum muslimin. Ketika dua pasukan saling berhadapan, maka ada seorang
tentara Romawi maju dan menantang berduel. Maka, salah seorang tentara muslim
maju melayaninya, tetapi laki-laki itu berhasil membunuhnya. Hal itu
berlangsung terus sehingga ia berhasil membunuh enam orang tentara muslim.
Dengan sombong ia berdiri di antara dua barisan perang sambil menantang duel,
namun tidak ada ada tentara muslim yang berani maju, maka Abdullah bin Al
Mubarak menoleh kepadaku dan berkata, “Wahai fulan! Kalau aku terbunnuh, maka
lakukanlah pesanku ini dan itu.” Kemudian Ibnul Mubarak memacu kudanya dan
menyerang tentara kafir tersebut, akhirnya ia berhasil membunuhnya. Lalu ia
menantang berduel tentara Romawi lainnya, maka keluarlah tentara Romawi
lainnya, tetapi Beliau berhasil membunuhnya, sehingga ia berhasil membunuh enam
orang tentara kafir. Beliau terus menantang duel, tetapi mereka menjadi
pengecut. Beliau pun memacu kudanya dan membelah dua pasukan, lalu menghilang,
sehingga kami seperti tidak merasakan apa-apa. Ketika Beliau telah berada di
tempat semula, maka ia berkata kepadaku, “Wahai hamba Allah! Selama aku masih
hidup, jangan engkau ceritakan kejadian ini kepada seorang pun.” Kemudian
Beliau menyebutkan beberapa kata.” (Siyar A’lamin Nubala 8/408-409).
Disebutkan, bahwa
Abdullah bin Mubarak mempunyai murid yang sudah lama absen. Setelah diselidiki,
ternyata murid tersebut absen karena mempunyai banyak hutang, maka Abdullah
mendatangi si pemberi hutang dan melunasinya sambil mengingatkan agar jangan
memberitahukan si murid siapa yang melunasi hutangnya. Setelah itu si murid
kembali aktif belajar tanpa tahu siapa yang melunasi hutangnya hingga sang
guru, Abdullah bin Mubarak meninggal dunia (Sebagaimana diceritakan oleh
Muhammad bin Isa, lihat Shifatush Shafwah 4/141-142).
Dari Abdush Shamad
bin Abdul Warits, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Dzakwan, telah
menceritakan kepada kami Khalid bin Shafwan, ia berkata, “Aku pernah menemui
Maslamah bin Abdul Malik, ia berkata, “Wahai Khalid, beritahukanlah kepadaku
tentang Al Hasan penduduk Basrah?” Aku menjawab, “Semoga Allah memperbaikimu.
Aku akan memberitahukan kepadamu berdasarkan pengetahuanku. Aku adalah
tetangganya, teman duduk di majlisnya, dan orang yang lebih tahu tentangnya.
Dia adalah orang yang paling mirip keadaan batin dengan luarnya dan paling
mirip ucapan dengan perbuatannya. Jika selesai terhadap suatu urusan, dia kerjakan urusan yang lain, dan
jika sedang mengerjakan urusan, maka dia menuntaskannya hingga selesai. Jika
dia memerintahkan sesuatu, maka dia adalah orang paling melaksanakannya, dan
jika melarang sesuatu, maka dia adalah orang yang paling menjauhinya. Aku
melihatnya tidak butuh kepada manusia, tetapi aku melihat manusia
membutuhkannya.” Maslamah berkata, “Cukup, bagaimana sebuah kaum bisa tersesat
jika ada orang seperti ini di tengah-tengah mereka.” (Siyar A’lamin Nubala
2/576).
Aun bin Umarah
berkata, “Aku mendengar Hisyam Ad Dastuwa’i berkata, “Demi Allah, aku tidak
mampu mengatakan, bahwa aku pernah pergi satu hari untuk mencari hadits karena
mengharap keridhaan Allah Azza wa Jalla.”
Adz Dzahabiy
berkata, “Demi Allah, aku juga sama. Dahulu kaum salaf mencari ilmu karena
Allah sehingga mereka menjadi orang mulia dan menjadi imam yang diikuti.
Kemudian ada orang yang mencari ilmu awalnya tidak ikhlas karena Allah, lalu
mereka memperolehnya dan beristiqamah. Kemudian mereka mengintrospeksi diri
mereka, sehingga ilmu itu menyeret mereka untuk berlaku ikhlas di pertengahan
jalan. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Mujahid dan lainnya, “Kami mencari
ilmu ini, padahal kami tidak memiliki niat yang besar. Setelah itu, Allah
mengaruniakan niat (yang benar).” Sebagian mereka berkata, “Kami mencari ilmu
ini karena selain Allah. Namun Allah tidak menghendaki kecuali dilakukan
karena-Nya.” Ini juga baik. Kemudian mereka menyebarkan ilmu dengan niat yang
baik.”
Fudhail bin Iyadh
berkata, “Wahai orang malang, kamu jahat, tetapi menyangka bahwa dirimu adalah
orang baik. Kamu bodoh, tetapi kamu menyangka bahwa dirimu orang berilmu. Kamu
orang bakhil, namun kamu menyangka bahwa dirimu orang dermawan. Kamu orang
dungu, namun kamu menyangka bahwa dirimu orang cerdas. Umurmu pendek, namun
angan-anganmu panjang.”
Adz Dzahabi
berkata, “Ya, demi Allah, ia benar. Kamu orang yang zalim, namun kamu menyangka
dirimu terzalimi. Kamu memakan harta yang haram, namun kamu menyangka dirimu
sebagai orang yang wara’. Kamu fasik namun kamu menyangka bahwa dirimu orang
yang adil. Dan kamu mencari ilmu karena dunia, tetapi kamu menyangka bahwa kamu
mencarinya karena Allah.”
Diriwayatkan,
bahwa ada salah seorang tukang cerita yang duduk di dekat Muhammad bin wasi’
dan berkata, “Mengapa saya melihat hati manusia tidak tunduk, mata tidak
menangis, dan kulit tidak merinding?” Muhammad berkata, “Wahai fulan, mereka
hanyalah yang datang kepadamu saja. Sungguh, peringatan yang keluar dari lubuk
hati akan menancap di hati.” (Siyar A’lamin Nuabala 6/122)
Abdullah bin
Mubarak berkata, “Hamdun bin Ahmad pernah ditanya, “Mengapa ucapan kaum salaf
lebih bermanfaat daripada ucapan kita?” Ia menjawab, “Karena mereka berbicara
untuk kemuliaan Islam dan menyelamatkan jiwa serta mencari keridhaan Ar Rahman,
tetapi kita berbicara untuk kemuliaan diri, mencari dunia, dan keridhaan
manusia.” (Shifatush Shafwah 4/122).
Wallahu a’lam
shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahabihi wa sallam.
Marwan
bin Musa
Maraji’: Aina Nahnu min Akhlaqis salaf (Abdul ’Aziz Al
Jalil dan Baha’uddin Aqil), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.
0 komentar:
Posting Komentar