Beberapa Tambahan Pada Lafaz Doa Yang Tidak Ada Asalnya

بسم الله الرحمن الرحيم
كتاب جديد بعنوان "مختارات من الأذكار النبوية" للدكتور محمد الصاحب ...
Beberapa Tambahan Pada Lafaz Doa Yang Tidak Ada Asalnya
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang beberapa tambahan pada lafaz doa yang tidak ada asalnya, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Aamin.
Tambahan Pada Doa Yang Tidak Ada Asalnya
Pertama, doa:
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ – وَالْأَبْصَارِ-
“Wahai Allah Yang membolak-balikkan hati dan penglihatan.”
Lafaz ‘wal Abshar’ (artinya: dan penglihatan) merupakan tambahan yang tidak ada asalnya, karena yang berasal dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam tanpa tambahan ‘wal abshaar’.
Dari Anas radhiyallahu anhu ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam sering berdoa,
«يَا مُقَلِّبَ القُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ»
“Wahai Allah yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.”
Aku (Anas) berkata, “Wahai Rasulullah, kami beriman kepadamu dan apa yang engkau bawa, apakah engkau mengkhawatirkan keadaan kami?”
Beliau menjawab,
«نَعَمْ، إِنَّ القُلُوبَ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ يُقَلِّبُهَا كَيْفَ يَشَاءُ»
“Ya. Sesungguhnya hati manusia di antara dua jari di antara jari-jari Allah, Dia mudah membalikkannya sesuai kehendak-Nya.”
(Hr. Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)
Kedua, doa:
وَلاَ تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ  - وَلاَ أَقَلُّ مِنْ ذَلِكَ -
“Dan janganlah Engkau menyerahkan aku kepada diriku meskipun sekejap mata –bahkan kurang dari itu-.”
Lafaz ‘walaa aqallu min dzaalik’ (artinya: bahkan kurang dari itu) adalah tambahan yang tidak ada asalnya.
Dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bahwa Beliau bersabda,
دَعَوَاتُ الْمَكْرُوبِ «اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو، فَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَأَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ
Doa orang yang berduka adalah, “Ya Allah, rahmat-Mu aku harapkan. Janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku sekejap mata pun, dan perbaikilah semua keadaanku, tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau.” (Hr. Abu Dawud, dan dinyatakan hasan isnadnya oleh Al Albani)
Ketiga, doa:
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ مَا سَأَلَكَ مِنْهُ عَبْدُكَ وَنَبِيُّكَ - وَعِبَادُكَ الصَّالِحُوْنَ -
“Ya Allah, aku meminta kepada-Mu kebaikan yang diminta oleh hamba dan Nabi-Mu shallallahu alaihi wa sallam dan diminta pula oleh hamba-hamba-Mu yang saleh.”
Tambahan ‘wa ibaadukash shaalihuun’ (artinya: dan oleh hamba-hamba-Mu yang saleh) dalam doa dan ta’awwudz tidak ada riwayatnya dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Dari Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan doa ini kepadanya,
«اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنَ الْخَيْرِ كُلِّهِ عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ، مَا عَلِمْتُ مِنْهُ وَمَا لَمْ أَعْلَمْ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الشَّرِّ كُلِّهِ عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ، مَا عَلِمْتُ مِنْهُ وَمَا لَمْ أَعْلَمْ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ مَا سَأَلَكَ عَبْدُكَ وَنَبِيُّكَ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا عَاذَ بِهِ عَبْدُكَ وَنَبِيُّكَ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ النَّارِ وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ، وَأَسْأَلُكَ أَنْ تَجْعَلَ كُلَّ قَضَاءٍ قَضَيْتَهُ لِي خَيْرًا»
“Ya Allah, aku meminta kepada-Mu semua kebaikan segera atau lambat, yang aku tahu dan yang tidak aku tahu. Aku berlindung kepada-Mu dari semua keburukan segera atau lambat, yang aku tahu dan yang tidak aku tahu. Ya Allah, aku meminta kepada-Mu kebaikan yang diminta hamba dan Nabi-Mu, dan aku berlindung dari keburukan yang berlindung daripadanya hamba dan Nabi-Mu. Ya Allah, aku meminta kepada-Mu surga dan segala yang mendekatkan kepadanya baik ucapan maupun perbuatan, dan aku berlindung kepada-Mu dari neraka dan segala yang mengantarkan kepadanya baik ucapan maupun perbuatan, dan aku meminta kepada-Mu agar takdir yang Engkau tetapkan selalu baik untukku.”
(Hr. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
Keempat, doa:
اَللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ – كَرِيْمٌ – تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Mahamulia, Engkau suka memaafkan, maka maafkanlah aku.”
Tambahan ‘kariim’ (artinya: Mahamulia) tidak ada dalam hadits. Al Kariim adalah salah satu nama Allah, akan tetapi tidak disebutkan dalam hadits yang menyebutkan doa itu sebagaimana diterangkan Syaikh Bakar Abu Zaid dalam kitabnya Tas-hihud Du’a hal. 506.
Dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata, “Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku jika aku tahu kapan malam Lailatul Qadr, apa yang perlu aku ucapkan?” Beliau bersabda, “Ucapkanlah:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, suka memaafkan, maka maafkanlah aku.” (Hr. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
Kelima, dzikir setelah shalat:
اَللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ، تَبَارَكْتَ –وَتَعَالَيْتَ-  يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالْإِكْرَامِ
“Ya Allah, Engkau adalah Pemberi kesalamatan, dari-Mu keselamatan, Engkau berhak mendapatkan segala pujian dan Mahatinggi Engkau wahai Yang memiliki kebesaran dan kemuliaan.”
Tambahan ‘wa Ta’alaita’ setelah ‘Tabarakta’ dalam dzikir di atas tidak ada dalam hadits.
Termasuk pula tambahan berikut ini:
وَإِلَيْكَ يُرْجَعُ السَّلاَمُ فَحَيِّنَا رَبَّنَا بِالسَّلاَمِ وَأَدْخِلْنَا الْجَنَّةَ دَارَ السَّلاَمَ
Tambahan ini juga diada-ada atau tidak ada asalnya.
Dari Tsauban ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika selesai shalat beristighfar tiga kali, lalu mengucapkan,
«اللهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ، تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ»
“Ya Allah, Engkau adalah Pemberi kesalamatan, dari-Mu keselamatan, Engkau berhak mendapatkan segala pujian wahai Yang memiliki kebesaran dan kemuliaan.”
Al Walid (rawi hadits ini) berkata, “Aku pun bertanya kepada Al Auza’i, “Bagaimanakah istighfar itu?” Ia menjawab, “Engkau ucapkan, “Astaghfirullah-Astaghfirullah.” (Hr. Muslim)
Keenam, ucapan istighfar:
أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ عَظِيْمٍ
“Aku meminta ampun kepada Allah Yang Mahabesar dari setiap dosa besar.”
Dalam As Sunnah telah disebutkan berbagai shighat (bentuk) istighfar, termasuk di antaranya sayyidul istighfar, namun tidak ada tambahan atau pembatasan dengan  ‘dzanbin ‘azhiim’ (dosa besar), bahkan jika seseorang istighfar, maka ia meminta ampunan kepada Allah dari semua dosa, baik besar maupun kecil.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdoa dalam sujudnya,
اللهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي كُلَّهُ دِقَّهُ، وَجِلَّهُ، وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَعَلَانِيَتَهُ وَسِرَّهُ
“Ya Allah, ampunilah dosaku semuanya, kecil maupun besar, awal maupun akhir, yang terang-terangan maupun yang tersembunyi.” (Hr. Muslim dan Abu Dawud)
Ketujuh, doa antara rukun yamani dan hajar aswad,
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ - وَأَدْخِلْنَا الْجَنَّةَ مَعَ الْأَبْرَارِ يَا عَزِيْزُ يَا غَفَّارُ-
“Wahai Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka. Masukkanlah kami bersama orang-orang yang berbakti, wahai Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Tambahan ‘Wa adkhilnal jannata ma’al abraar yaa ‘Aziiz yaa Ghaffar’ sebagaimana diterangkan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam Fatawanya 22/332 dan dalam Asy Syarhul Mumti 7/248.
Kedelapan, tambahan ‘Yaa Rabbal ‘aalamiin’ pada ucapan ‘Aamiin’ yang biasa diucapkan orang-orang.
Ibnu Rajab Al Hanbali rahimahullah berkata, “Dan tidak dianjurkan menambahkan Aamiin dengan kalimat lain seperti ‘Aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin’. Karena tidak disebutkan dalam As Sunnah. Demikian pendapat kawan-kawan kami (yang semadzhab).” (Fathul Bari 4/389)
Kesembilan, tambahan dalam doa setelah mendengar azan:
 ‘وَالدَّرَجَةَ الرَّفِيْعَةَ ’  danيَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
Ibnu Hajar berkata, “Tidak ada dalam satu jalur hadits pun yang menyebutkan ‘Wad darajatar rafii’ah’ dan Ar Rafi’i menambahkan di akhirnya dalam Al Muharrar dengan ‘Yaa Arhamar Raahimiin’ namun tidak ada sama sekali di salah satu jalurnya.”
Demikian pula tambahan
 ‘إِنَّكَ لاَ تُخْلِفُ الْمِيْعَادَ  ’
“Sesungguhnya Engkau tidak pernah mengingkari janji.”
Syaikh Masyhur bin Hasan menerangkan, bahwa tambahan ini ada dalam Sunan Kubra karya Baihaqi hanyasaja syadz (menyelisihi rawi lainnya yang lebih kuat) karena tidak disebutkan dalam semua jalur hadits dari Ali bin Ayyasy, hanyasaja ada pada riwayat Al Kasymahini terhadap Shahih Bukhari namun menyelisihi yang lain, sehingga syadz menyelisihi riwayat rawi yang lain terhadap shahih Bukhari, sehingga Al Hafizh tidak memperhatikannya dan tidak menyebutkannya dalam Al Fat-h padahal beliau biasa mengumpulkan semua tambahan yang ada dalam jalur hadits.
Termasuk pula doa ketika azan Maghrib,
اَللَّهُمَّ  هَذَا إِقْبَالُ لَيْلِكَ ، وَ إِدْبَارُ نَهَارِكَ …
“Ya Allah, ini masa kedatangan malam yang Engkau tetapkan dan kepergian siang yang Engkau tetapkan...dst.”
Doa ini didasari hadits yang dhaif, diriwayatkan oleh Tirmidzi dan lainnya dari jalur Abu Katsir maula Ummu Salamah dari Ummu Salamah. Tirmidzi berkata, “Hadits gharib. Abu Katsir tidak kami kenali.”
Oleh karena itu Imam Nawawi berkata, “Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi, namun dalam isnadnya ada rawi yang majhul.”
Hadits seperti ini tidak boleh disebarkan ke tengah umat kecuali dengan menerangkan kedhaifannya.
Termasuk pula ucapan,
صَدَقْتَ وَ بَرِرْتَ
“Engkau benar.”
Ketika mendengar ucapan ‘Ash Shalatu khairum minan naum  dalam azan Subuh. Al Hafizh berkata tentang, “Tidak ada asalnya.”
Termasuk pula ucapan ‘Marhaban bidzikrillah’ dan ucapan ‘Marhaban bil qaa’iliina ‘adlaa wa marhaban bish shalaati ahlaa’.
Hadits yang menyebutkan demikian juga tidak ada asalnya.
Kesepuluh, ucapan:
أَقَامَهَا اللهُ وَأَدَامَهَا
“Semoga Allah menegakkan dan mengekalkannya.”
Ketika mendengar ucapan ‘Qad qaamatish shalaah’ saat iqamat.
Doa ini didasari hadits Abu Umamah dalam riwayat Abu Dawud, dimana dalam sanadnya terdapat rawi yang majhul dan dua orang yang dhaif. Oleh karenanya didhaifkan oleh Imam Nawawi dan Ibnu Hajar Al Asqalani.
Oleh karena itu, yang dianjurkan bagi orang yang mendengar iqamat adalah mengucapkan seperti yang diucapkannya termasuk pada saat diucapkan ‘Qad Qaamatish shalah’ berdasarkan keumuman hadits 'Idzaa sami’tumul mu’adzdzin faquuluu mitsla maa yaquulu...dst. (apabila kalian mendengar muazin, maka ucapkanlah seperti yang diucapkannya).
Kesebelas, tambahan ‘Sayyidinaa’ pada shalawat di dalam shalat.
Hal ini juga sama tidak disebutkan dalam lafaz shalawat yang diajarkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Oleh karena itu, hendaknya tidak menambahkannya dalam shalawat ketika shalat.
Al Hafizh Muhammad bin Muhammad Al Gharabiliy (790-853) murid Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani berkata,
“Al Hafizh –semoga Allah memberikan kenikmatan pada kehidupannya- pernah ditanya tentang sifat shalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam shalat atau di luar shalat, baik ada yang mengatakan hukumnya wajib atau sunah, yakni apakah disyaratkan tambahan  ‘Sayyidina’ misalnya mengatakan ‘Allahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad’ atau ‘alaa Sayyidil khalq’ atau ‘alaa sayyid waladi Adam’? Ataukah cukup mengucapkan ‘Allahumma shalli ‘alaa Muhammad’? Dan manakah yang lebih utama, menggunakan ‘Sayyidina’ karena sebagai sifat tetap untuk Beliau shallallahu alaihi wa sallam atau tanpa menyebutkannya, karena tidak disebutkan dalam atsar?”
Jawab: Ya. Mengikuti lafaz-lafaz yang diriwayatkan dalam atsar itulah yang lebih kuat. Tidak bisa dikatakan, ‘boleh jadi Beliau meninggalkan lafaz itu ‘sayyidina’ karena tawadhu sebagaimana tidak disebutkan ‘sayyidina’ saat disebutkan nama Beliau ketika bershalawat dengan ucapan ‘shallallahu alaihi wa sallam’ dan umat Beliau dianjurkan mengucapkan hal itu ‘shalawat’ ketika disebut nama Beliau. Kami mengatakan, bahwa kalau hal itu ‘yakni tambahan ‘Sayyidina’ lebih kuat tentu ada riwayat dari para sahabat dan tabi’in, namun kami belum mendapatkan satu atsar pun dari para sahabat dan tabiin yang menyebutkan hal itu padahal banyak riwayat dari mereka tentang hal itu. Inilah Imam Syafii –semoga Allah meninggikan derajatnya- dimana Beliau adalah seorang yang sangat memuliakan Nabi shallallahu alaihi wa sallam, namun ia berkata di bagian mukadimah kitabnya yang menjadi pegangan orang-orang yang berada di atas madzhabnya, ‘Allahumma shalli alaa Muhammad’ dan seterusnya hingga akhir yang disebutkan oleh ijtihadnya, yaitu pernyataannya ‘setiap kali disebutkan namanya’ dan ‘setiap kali orang-orang lalai menyebutkannya, yang sepertinya beliau mengambil istinbath (kesimpulan) dari hadits shahih yang menyebutkan ‘Subhaanallah ‘adada khalqih’ (Mahasuci Allah sesuai jumlah makhluk-Nya). Telah shahih bahwa Nabi shallallahu alahihi wa sallam bersabda kepada Ummul Mukminin, -yang dilihat Beliau banyak bertasbih-, “Aku telah mengucapkan setelahmu kalimat yang jika ditimbang dengan ucapanmu tentu seimbang,” maka Beliau mengucapkan kalimat tersebut, dan Beliau adalah seorang yang senang dengan doa-doa yang kandungannya mencakup. Bahkan Al Qadhi Iyadh telah membuat bab tentang sifat shalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam kitab Asy Syifa, dimana beliau menukil di sana  atsar (riwayat) yang marfu (sampai kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam) dari sejumlah sahabat dan tabiin, yang tidak ada satu pun dari para sahabat dan lainnya tambahan lafaz ‘Sayyidina’.
Selanjutnya Al Hafizh berkata, “Masalah ini sudah masyhur dalam kitab-kitab fiqih. Maksud hal ini adalah bahwa semua Ahli Fiqih yang menyebutkan masalah ini tidak menyebutkan ‘Sayyidina’, kalau seandainya tambahan ini dianjurkan tentu tidak akan samar bagi mereka sehingga mereka sampai melalaikannya, dan kebaikan itu terletak pada ittiba (mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam), wallahu a’lam.”
(Dari tulisan tangan Al Hafizh Al Gharabili di Maktabah Zhahiriyyah yang disebutkan Syaikh Al Albani dalam Shifatush Shalah hal. 172-173).
Khatimah
Menambah kata atau kalimat pada lafaz dzikir yang diajarkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak dibenarkan, karena Beliau melarang umatnya untuk mengada-ada dalam agama yang Beliau bawa, Beliau bersabda,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Jauhilah perkara yang diada-adakan, karena setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (Hr. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Albani)
Yakni diada-adakan dalam agama yang Beliau bawa berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
«مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ، فَهُوَ رَدٌّ»
“Barang siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami yang bukan termasuk di dalamnya, maka tambahan itu tertolak.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Di samping itu, mengada-ada dalam agama yang Beliau bawa dapat merusak agama Beliau sehingga tidak murni lagi seperti yang Beliau bawa dan di dalamnya meniru orang-orang Yahudi dan Nasrani yang suka menambah-nambah dalam beragama sehingga agama mereka rusak.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Ziyadat Laa Asla Laha Fi Ad’iyah Ma’tsurah (Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al Badr), Al Qaulul Mubin fi Aktha’il Mushallin (Syaikh Masyhur bin Hasan bin Salman), Qamusul Bida (Syaikh Masyhur bin Hasan bin Salman), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger