Ringkasan Musthalah Hadits (2)

بسم الله الرحمن الرحيم
نشأة علم الحديث ومراحلها – Dalan Slamet
Ringkasan Musthalah Hadits (2)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan ringkasan Musthalah Hadits merujuk kepada kitab At Ta’liqaat Al Atsariyyah ‘alal Manzhuumah Al Baiquuniyyah oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali Abdul Hamid dan lain-lain, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Musnad
Musnad artinya hadits marfu’ yang bersambung sanadnya.
Musnad juga memiliki arti kitab yang di sana dihimpun riwayat-riwayat setiap sahabat secara terpisah, seperti Musnad Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, di sana disebutkan nama setiap sahabat dan hadits-haditsnya.
Musalsal
Musalsal adalah hadits yang para perawi sanadnya bersamaan dari awal hingga akhirnya dalam mengucapkan, atau dalam mencontohkan keadaan atau dalam melakukan perbuatan.
Dalam mengucapkan seperti masing-masing mereka bersumpah dengan nama Allah ‘Azza wa Jalla.
Dalam mencontohkan keadaan seperti mernyampaikan hadits sambil berdiri.
Dalam melakukan perbuatan seperti tersenyum setelah menyampaikan hadits.
Hukum hadits musalsal ini adalah bahwa hadits tersebut diterima setelah terpenuhi syarat-syarat untuk diterima.
Ibnush Shalah dalam ‘Ulumul Hadits hal. 249 berkata, “Sedikit sekali hadits musalsal itu yang selamat dari kelemahan, maksud saya, dalam menyifati keadaannya, bukan pada asal matannya.”
Contoh:
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Wahai Mu’adz, demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu. Aku berpesan kepadamu wahai Mu’adz, janganlah kamu tinggalkan mengucapkan di akhir setiap shalat, “Allahuumma a’inniy ‘alaa dzikrik wa syukrik wa husni ‘ibaadatik.” (Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, untuk bersyukur kepada-Mu dan memperbaiki ibadah kepada-Mu). (HR. Ahmad 5/247, Nasa’i (3/53), Abu Dawud (1522) dan Ibnu Khuzaimah (751) dengan sanad yang shahih).
Disebutkan dalam Musnad Ahmad:
وَأَوْصَى بِذَلِكَ مُعَاذٌ الصُّنَابِحِيَّ وَأَوْصَى الصُّنَابِحِيُّ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَأَوْصَى أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ عُقْبَةَ بْنَ مُسْلِمٍ
“Mu’adz berpesan seperti itu kepada Ash Shunabihi (rawi setelahnya), Ash Shunabihi berpesan kepada Abu Abdurrahman, dan Abu ‘Abdurrahman berpesan kepada ‘Uqbah bin Muslim.”
Syaikh Ali bin Hasan Al Halabiy berkata, “Syaikh Abul Faidh Al Fadaniy berkata kepadaku, “Sesungguhnya aku mencintaimu, lalu ia berkata, “Telah menceritakan kepadaku beberapa orang syaikh, yaitu Umar bin Hamdan, Muhammad bin Abdul Baqi Al Laknawi,…dst, dan masing-masingnya berkata kepadaku, “Sesungguhnya aku mencintaimu.”
Seperti itulah permisalannya.
Hadits ‘Aziz
Hadits ‘Aziz adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh dua orang dalam seluruh lapisan sanad dari rawi pertama, dan jumlahnya tidak kurang dari itu.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas, dan Bukhari dari hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Tidak (sempurna) iman salah seorang di antara kamu sampai aku lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya, dan manusia semuanya.”
Al Hafizh menerangkan dalam Nuz-hatun Nazhar, bahwa hadits ini diriwayatkan dari Anas oleh:
  1. Qatadah dan Abdul ‘Aziz
  2. Syu’bah dan Sa’id (dari Qatadah)
  3. Isma’il bin ‘Ulayyah dan Abdul Warits (dari Abdul ‘Aziz)
  4. Lalu dari masing-masingnya diriwayatkan oleh jamaah (banyak para perawi).
Hadits Masyhur
Hadits Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih dalam seluruh lapisan sanad namun tidak sampai batasan mutawatir. Hadits ini disebut juga Masyhur Isthilahi.
Contoh:
Dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mencabut ilmu secara langsung Dia cabut dari hamba-hamba-Nya, akan tetapi Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga apabila Dia tidak menyisakan seorang yang berilmu, maka manusia mengangkat para tokoh yang bodoh, lalu mereka ditanya, sehingga mereka berfatwa dengan tanpa ilmu, dan akhirnya mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini diriwayatkan dari Ibnu Amr oleh tiga orang atau lebih dalam seluruh lapisan sanad sebagaimana disebutkan secara rinci di semua sanad-sanadnya, lihat Fathul Bari 1/190.
Selain Masyhur Ishthilahi di atas ada lagi masyhur yang tidak ishthilahi, dimana hadits tersebut masyhur di kalangan golongan tertentu atau salah satu generasi karena faktor-faktor tertentu, bahkan terkadang suatu hadits masyhur di kalangan manusia namun tidak ada asal usulnya atau tidak ada sanadnya. Masyhur ini terkadang ada yang shahih dan terkadang mutawatir. Contoh masyhur selain masyhur isthilahi adalah:
a. Masyhur di kalangan Ahli Hadits saja, seperti hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan qunut selama sebulan setelah ruku mendoakan keburukan terhadap suku Ri’il dan Dzakwan (yang melakukan pengkhianatan) (Hr. Bukhari dan Muslim).
b. Masyhur di kalangan Ahli Hadits, ulama, dan masyarakat awam, seperti hadits Al Muslim man salimal muslimun min lisanihi wa yadih (orang muslim (yang sempurna) adalah orang yang muslim lainnya aman dari gangguan lisan dan tangannya), (Hr. Bukhari dan Muslim).
c. Masyhur di kalangan Ahli fiqh, seperti hadits abghadhul halali ilallahith thalaq (perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak) (Hr. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Hakim, namun dinyatakan mursal (terputus di akhir sanad) oleh Abu Hatim).
d. Masyhur di kalangan Ahli Ushul, seperti hadits ‘Rufi’a ‘an ummatil khatha wan nisyan wamas tukrihuu ‘alaihi’ (artinya: diangkatnya dosa dari umatku kesalahan yang tidak disengaja, lupa, dan yang dipaksakan).
Hadits ini masyhur dengan lafaz tersebut, namun yang shahih dengan lafaz innallaha wadha’a ‘an ummati...dst (Lihat Shahihul Jami no. 3515).
e. Masyhur di kalangan Ahli Nahwu, seperti hadits Ni’mal ‘Abdu Shuhaib lau lam yakhfallah lam ya’shih (artinya: sebaik-baik hamba adalah Shuhaib, kalau pun ia tidak mempunyai rasa takut kepada Allah, ia tetap tidak mendurhakai-Nya). Hadits ini dinyatakan tidak ada asalnya oleh Al Iraqi dan lainnya.
f. Masyhur di kalangan masyarakat, seperti hadits ‘Al ‘Ajalah minasy syaithan’ (artinya: terburu-buru berasal dari setan) (Hr. Abu Ya’la dan Baihaqi dalam Al Kubra, dishahihkan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 1795)
Hadits Mu’an’an
Hadits Mu’an’an adalah hadits yang seorang rawinya atau lebih berkata, “Dari fulan, dari fulan…dst.”
Jika rawinya adalah seorang mudallis dan tidak menyebutkan secara tegas tahdits (haddatasana, yang artinya telah menceritakan kepada kami) atau tidak menyebutkan sima’(mendengar)nya, maka hadits tersebut tertolak. Tetapi, jika rawinya tsiqah (terpercaya) dan tsabt (teguh) yang tidak diketahui tadlisnya, maka hadits tersebut diterima, demikian pula apabila hadits itu ada keterangan dengan tegas bahwa rawi mendengarnya berdasarkan riwayat yang lain terhadap hadits itu, maka diterima pula.
Tadlis artinya menyembunyikan cacat. Orangnya disebut mudallis, ia adalah seorang rawi yang apabila menyampaikan melakukan tadlis dengan salah satu di antara macam-macam tadlis yang akan diterangkan nanti, insya Allah.
Catatan:
Imam Bukhari dan gurunya Ibnul Madini serta sebagian imam ahli hadits  mensyaratkan bahwa rawi harus benar-benar bertemu dengan rawi yang diambil riwayatnya dengan ‘an’anah (dari fulan,…dst.). Adapun mayoritas para imam, terlebih Imam Muslim, maka mereka mencukupkan diri dengan betul-betulnya mereka berada di masa yang sama dengan adanya kemungkinan bertemu, meskipun tidak (jelas) satu berita pun bahwa mereka berdua berkumpul dan berbicara langsung. Imam Muslim juga menukilkan tentang adanya kesepakatan tentang hal itu dalam Mukadimah kitab Shahihnya.
Mubham
Mubham adalah orang yang tidak jelas namanya dalam matan maupun isnad, baik terkait dengan perawi atau orang yang memiliki hubungan dengan riwayat.
Mubham dalam matan contohnya hadits Ibnu Abbas, bahwa ada seorang yang berkata, “Wahai Rasulullah, apakah haji itu (wajib) setiap tahun?”
Di sini ada seorang yang masih mubham, tetapi diketahui berdasarkan riwayat yang lain, bahwa nama penanya itu adalah Al Aqra’ bin Habis.
Adapun mubham dalam sanad contohnya hadits Rafi’ bin Khadiij dari pamannya tentang larangan melakukan mukhabarah.
Di sanadnya terjadi mubham, yaitu pada paman Rafi’ bin Khadij, padahal riwayat itu darinya, tetapi diketahui dari riwayat yang lain bahwa namanya adalah Zhahiir bin Raafi’.
Bersambung….
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, At Ta’liqaat Al Atsariyyah  ‘alal Manzhuumah Al Baiquuniyyah (Ali bin Hasan bin ‘Ali Abdul Hamid Al Atsari), Silsilatul Ahadits Ash Shahihah (M. Nashiruddin Al Albani), Musthalah Hadits Muyassar (Dr. Imad Ali Jum’ah) dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger