Ikhtishar Ilmu Hadits (9)

بسم الله الرحمن الرحيم
علوم الحديث (@bder_alenezi) | Twitter
Ikhtishar Ilmu Hadits (9)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan Ikhtishar (Ringkasan) Ilmu hadits merujuk kepada kitab Musthalahul Hadits Al Muyassar karya Dr. Imad Ali Jum’ah, Mushthalahul Hadits karya Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin, dan lain-lain, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
TAKMILAH (PELENGKAP)
4. Jarh (Mencacatkan Rawi)
Ta’rif (Definisi), Pembagian, Tingkatan, dan Syarat-Syarat Diterimanya
Jarh adalah menyebutkan seorang perawi dengan kata-kata yang mengharuskan ditolak riwayatnya dengan menyebutkan sifat tertolaknya atau meniadakan sifat diterimanya, seperti mengatakan, “Dia pendusta”, “Seorang yang fasik”, “Dha’if (lemah)”, “Laisa bitsiqah (tidak terpercaya)” , “Laa yu’tabar (tidak dianggap)” atau “tidak ditulis haditsnya.”
Jarh terbagi menjadi dua bagian; Mutlak dan Muqayyad.
a.        Mutlak adalah seorang perawi disebutkan cacat tanpa terikat, sehingga dalam keadaan bagaimana pun ia cacat.
b.       Muqayyad adalah seorang perawi disebutkan cacat dalam keadaan tertentu, misalnya (ia bercacat) jika mengambil riwayat dari syaikh tertentu, golongan tertentu, dsb. sehingga ia menjadi cacat dalam keadaan tertentu tersebut, tidak dalam keadaan lain.
Contohnya adalah pernyataan Ibnu Hajar dalam At Taqrib tentang Zaid bin Al Habbab –dimana Imam Muslim mengambil riwayat darinya-: “Ia sangat jujur, namun keliru dalam hadits Ats Tsauri,” sehingga ia menjadi dhaif saat meriwayatkan dari Ats Tsauriy saja.
Contoh lainnya adalah perkataan pemilik kitab “Al Khulaashah” tentang Isma’il bin ‘Ayyasys, “Telah ditsiqahkan oleh Ahmad, Ibnu Ma’in, dan Bukhari dalam periwayatannya dari penduduk Syam, dan mereka mendhaifkannya jika ia mengambil riwayat dari para penduduk Hijaz, bukan penduduk Syam.”
Contoh lainnya adalah kalimat, “Dia dhaif dalam meriwayatkan hadits-hadits tentang Ash Shifat (sifat-sifat Allah),” maka berarti ia tidak dhaif dalam meriwayatkan hadits tentang masalah lainnya.
Namun jika maksud Jarh Muqayyad dimaksudkan untuk menolak pernyataan bahwa orang tersebut tsiqah, maka hal ini menunjukkan dhaif juga dalam periwayatannya yang lain.
Jarh memiliki beberapa tingkatan sbb.:
Tertingginya adalah jika kata-katanya sudah mencapai puncaknya. Misalnya menyebut sebagai “  أَكْذَبُ النَّاِس  ” (manusia paling dusta) atau “  رُكْنُ الْكَذِبِ “ (rukun atau tiang kedustaan).
Setelah itu, yang menunjukkan mubaalaghah (banyak atau sangat), misalnya menyebut sebagai “كَذَّابٌ  ” (Pendusta), “  وَضَّاعٌ  ” (pemalsu), dan “دَجَّالٌ  ”  (Dajjal).
Yang paling ringannya adalah menyebutnya sebagai Layyin (lunak), sayyi’ul hifzh (buruk hapalan) atau kata-kata “fiihi maqaal (terhadapnya ada pembicaraan).
Di antara yang disebutkan di atas ada beberapa tingkatan yang sudah maklum.
Untuk diterimanya jarh harus terpenuhi lima syarat, yaitu:
1.       Berasal dari orang yang adil, bukan fasik.
2.       Berasal dari orang yang mawas, tidak dari orang yang lalai.
3.       Berasal dari orang yang mengetahui sebab-sebabnya, sehingga tidaklah diterima jarh dari orang yang yang tidak mengenal cacat.
4.       Menerangkan sebab jarh (cacat), sehingga tidak diterima jarh yang masih mubham (belum jelas), misalnya dalam menjarh hanya sampai pada kata-kata “Dha’if” atau “haditsnya ditolak” sampai ia menerangkan sebabnya. Karena bisa saja ia menjarhnya dengan sebab yang tidak membuatnya menjadi cacat, inilah yang masyhur.
Ibnu Hajar rahimahullah memilih diterimanya jarh yang masih mubham kecuali bagi orang-orang yang diketahui keadilannya, maka tidak diterima jarhnya kecuali dengan menerangkan sebab. Inilah pendapat yang rajih (kuat), apalagi jika yang menjarh termasuk imam dalam masalah ini.
5.       Jarh tersebut tidak menimpa kepada orang keadilannya sudah mutawatir dan masyhur keimamannya, seperti Nafi’, Syu’bah, Malik, dan Bukhari. Sehingga tidak diterima jarh yang mengenai mereka dan orang-orang yang semisalnya.

5. Ta’dil (Menyatakan rawi adil atau tsiqah/terpercaya)
Ta’rif, Pembagian, Tingkatan dan Syarat-Syarat Diterimanya
Ta’dil adalah menyebutkan seorang perawi dengan kata-kata yang mengharuskan diterima, dengan menetapkan sifat diterima atau meniadakan sifat tertolaknya. Misalnya menyebutkan “  ثقة  ”  (tsiqah/terpercaya), “  ثَبْت  ”  (kokoh), “Laa ba’sa bihi (tidak mengapa),” atau “haditsnya tidak tertolak”.
Ta’dil terbagi menjadi dua, yaitu:
1.       Ta’dil Mutlak, yaitu menyebutkan perawi sebagai orang yang adil tanpa terikat sesuatu, sehingga dalam keadaan bagaimana pun ia dianggap tsiqah.
2.       Ta’dil Muqayyad, yaitu menyebutkan perawi sebagai orang yang adil apabila mengambil riwayat dari syaikh tertentu, golongan tertentu, dsb. sehingga dia menjadi tsiqah dalam keadaan tertentu saja. Contohnya, “Dia tsiqah jika mengambilnya dari Az Zuhri” atau “Dia tsiqah dalam hadits yang diriwayatkan dari orang-orang Hijaz.Ketika seperti ini, maka orang tersebut tidak tsiqah dalam periwayatannya dari orang-orang selain tadi. Namun jika maksudnya membantah pernyatan dha’ifnya dalam mengambil dari orang-orang tertentu, maka ia juga tsiqah dalam periwayatan dari selain mereka.
Ta’dil memiliki beberapa tingkatan, yaitu:
a. Paling tinggi adalah jika ta’dilnya sampai puncaknya, seperti menyebutnya sebagai “  أَوْثَقُ النَّاسِ  ”  (orang yang paling tsiqah) atau “  إِلَيْهِ الْمُنْتَهَى فِي التَّثَبُّتِ  (Kepadanya puncak dalam masalah tatsabbut/kehati-hatian).
b. Lalu ta’dil yang diperkuat dengan satu sifat atau dua sifat. Contohnya “ثِقَة ثِقَة   ” (terpercaya-terpercaya)” atau “  ثِقَة ثَبْت  ” (terpercaya dan kokoh)”, dsb.
Yang terendahnya adalah yang menggambarkan kedekatan dengan jarh yang paling ringan. Contoh: “Shalih”, “muqaarib (mendekati)”, “diriwayatkan haditsnya” dsb.
Antara tingkatan tersebut ada beberapa tingkatan yang sudah maklum.
Disyaratkan untuk diterimanya ta’dil harus terpenuhi empat syarat, yaitu:
1.       Berasal dari orang yang adil, sehingga tidak diterima jika berasal dari orang yang fasik.
2.       Berasal dari orang yang mawas, sehingga tidak diterima jika berasal dari orang yang lalai yang gampang tertipu dengan keadaan lahir seseorang.
3.       Berasal dari orang yang mengetahui sebab-sebabnya, sehingga tidak diterima jika berasal dari orang yang tidak mengerti sifat-sifat diterima dan ditolak.
4.       Ta’dil tersebut tidak mengena kepada orang yang dikenal riwayatnya ditolak, seperti orang yang berdusta, orang fasik yang tampak kefasikannya, dsb.

6. Ta’aarudh (Bertentangan Antara Jarh wa Ta’dil)
Ta’rif (pengertian) dan keadaannya
Bertentangannya antara jarh wa ta’dil maksudnya menyebutkan tentang perawi bahwa dia wajib ditolak riwayatnya, sedangkan yang lain berpendapat bahwa dia wajib diterima riwayatnya. Misalnya sebagian ulama berkata tentang perawi tersebut, “Sesungguhnya dia orang yang tsiqah”, yang lain berpendapat, “Dia orang yang dha’if.”
Ta’aarudh ini ada empat keadaan, yaitu:
Keadaan pertama, kedua pendapat itu masih mubham, yakni tidak menerangkan sebab dijarh(dicacatkan) atau ta’dil. Jika kita berpendapat bahwa jarh tidak diterima jika masih mubham (tidak diterangkan cacatnya), maka kita pegang ta’dilnya, karena pada kenyataannya tidak bertentangan. Namun jika kita berpendapat bahwa jarh diterima –dan inilah yang rajih- maka timbul pertentangan, sehingga diambil yang paling rajih di antara keduanya, baik dengan melihat keadilan orang yang mengatakannya, dengan mengenal keadaan orang tersebut, atau dengan melihat sebab dijarh dan dita’dil, atau melihat banyaknya jumlah orang (yang menjarh atau menta’dil).
Keadaan kedua, keduanya diterangkan, yakni diterangkan sebab menjarh atau menta’dil, maka dipegang yang jarh. Karena orang yang mengatakannya memiliki kelebihan ilmu, kecuali jika orang yang menta’dil berkata, “Saya mengetahui bahwa sebab yang menyebabkannya dijarh sudah hilang,” maka ketika ini dipegang ta’dilnya, karena orang yang mengatakannya memiliki kelebihan ilmu.
Keadaan ketiga, ta’dil masih mubham sedangkan jarhnya sudah diterangkan sebabnya, maka diambil jarh, karena orang yang mengatakannya memiliki kelebihan ilmu.
Keadaan keempat, jarh masih mubham sedangkan ta’dil sudah diterangkan sebabnya, maka dipegang ta’dilnya karena lebih kuat.
Bersambung....
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Musthalah Hadits Muyassar (Dr. Imad Ali Jum’ah), Al Haditsul Hasan (Ibrahim bin Saif Az Za’abiy), Ilmu Musthalahil Hadits (Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin), Ilmu Musthalah Hadits (Abdul Qadir Hasan), At Ta’liqat Al Atsariyyah ala Manzhumah Al Baiquniyyah (Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid), Tamamul Minnah (M. Nashiruddin Al Albani), Silsilatul Ahadits Adh Dha’ifah (M. Nashiruddin Al Albani), dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger